Author Note : Haloha! Aria nulis fanfic ini dengan niatan ikut event Family: Fall and Feel nih XD Selamat baca~

Disclaimer : Kali ini Aria kasih tau deh ya XD Naruto dari jilid satu sampe sekarang masih punya Masashi Kishimoto sensei kok! ;)

Summary : Memiliki seorang kakak tapi terasa seperti menjadi anak tunggal sungguh tidak menyenangkan. Karena alasan itu lah Akasuna Sakura sangat menginginkan seorang adik, daripada seorang kakak lelaki bernama Sasori yang selama ini selalu mengabaikannya. Benarkah memiliki seorang adik itu menyenangkan seperti yang Sakura pikirkan?

Words : 4.443

Theme : Glowing Grace

Onii-chan or Aniki

Chapter 1 : Hello Little Girl

Liburan musim dingin telah tiba. Siapa yang tidak menyukai kata "liburan"? Tentu saja kalimat itu terdengar seperti sebuah alunan musik terindah di telinga semua orang, terutama ditengah musim bersalju yang dinginnya bukan main seperti saat ini. Membenamkan kaki di dalam kotatsu sambil menonton televisi terdengar sangat menggoda bagi siapa pun manusia normal di muka bumi.

Berbicara manusia normal, tentu saja seorang gadis 16 tahun yang sedang membenamkan diri dalam kotatsu ini pun sangat normal. Gadis itu memiliki karakteristik yang khas dengan rambut merah muda sepundaknya dan mata ibarat emerald yang berkilauan meski dalam kegelapan sekalipun. Ya, gadis itu adalah anak bungsu dari keluarga Akasuna, lengkapnya Akasuna Sakura. Namun saat ini gadis manis itu tampak sedang membolak-balikkan komiknya dengan ekspresi bosan dan setengah mengantuk. Terlihat jelas bahwa Ia sedang bosan sampai komiknya yang terbalik pun tidak Ia hiraukan.

Di sore hari yang dingin ini tentu saja kedua orang tua nya belum pulang. Sang ayah, Akasuna Mamoru, bekerja sebagai manager di sebuah kantor pertambangan. Dan sang ibu, Akasuna Kana, adalah seorang designer pakaian yang baru membuka butik sendiri beberapa bulan yang lalu. Tidak heran kalau rumah keluarga Akasuna ini tergolong luas, namun tidak terlalu besar pula.

Sebenarnya saat ini di kediaman Akasuna, Sakura tidaklah sendirian. Sang kakak yang berbeda dua tahun darinya, Akasuna Sasori, sebenarnya sedang berada satu atap dengannya, tapi Sasori lebih sering menghabiskan waktunya dikamar untuk belajar daripada duduk dan bersantai dengan sang adik tercinta. Tercinta? Ah, Sakura meragukan—ralat, sangat meragukan hal itu. Bagaimana mungkin Sakura adalah adik tercinta Sasori apabila berbicara pun sangat jarang. Sekalinya berbicara, yang keluar dari mulut mereka—atau lebih seringnya mulut Sakura, hanya akan menyebabkan pertengkaran kalau bukan pembicaraan singkat yang hanya terdiri dari empat sampai lima dialog.

"Aku tahu cita-cita Aniki menjadi seorang arsitek itu tidak mudah, tapi rasanya belajarnya keterlaluan…" ucap Sakura sambil menghela nafas entah sudah yang keberapa kalinya selama dua jam terakhir.

Sasori adalah sosok yang populer di sekolahnya. Point plus yang dimiliki Sasori untuk menarik hati para fangirl nya adalah otaknya yang encer bagaikan susu murni kesukaan Sakura dan wajah baby face nya yang imut—meski tidak suka tapi kenyataan adalah kenyataan. Diam-diam Sakura mengakui bahwa wajah sang Aniki memang imut, tapi tentu saja Ia tidak akan—sekali lagi, tidak akan pernah mengakui hal ini pada siapa pun.

"Inilah alasannya aku lebih memilih memiliki adik daripada memiliki kakak… huft…" keluh Sakura sambil menghempaskan dirinya ke belakang. Untung saja di belakangnya sudah tersedia bantal empuk yang siap menerimanya. "Aku ingin punya imouto! Pasti menyenangkan kalau punya adik kecil perempuan yang menggemaskan. Aku bisa mengelus-elus kepalanya, bisa menyuapinya, bisa memanjakannya, pokoknya menyenangkan dibandingkan memiliki Aniki membosankan yang satu ini!"

"Hoo…"

Suara berat dan terkesan malas-malasan tersebut mengagetkan Sakura sampai-sampai lututnya menghantam meja, "A—aaa!"

Sakura membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah tangga dimana sumber suara tersebut sedang bersandar pada tembok disampingnya. Rambut merahnya yang berantakan namun entah kenapa bisa tetap terlihat stylish itu dan mata hazel nya yang menyiratkan kecerdasan, ditambah lagi baby face nya yang imut, ya, siapa lagi kalau bukan Sasori.

"Sejak kapan Aniki berdiri disitu?" teriak Sakura sambil berdiri dan menunjuk-nunjuk Sasori dengan jari telunjuknya.

"Cukup lama untuk menyadari tadi kau membaca komiknya terbalik."

"Kuuu…" geram Sakura sambil melayangkan tatap tajamnya pada sang kakak. Tapi sayangnya, tatapan itu tidak pernah menakuti Sasori barang secuil pun. "Kalau dengar berarti bagus! Berarti Aniki tahu kalau aku lebih ingin punya Imouto daripada Aniki membosankan sepertimu!"

Tatapan bosan dari Sasori tidak berubah sama sekali, seolah kalimat dari sang adik tidak berpengaruh apa pun pada dirinya, "Aku sudah sering dengar."

Sakura meletakkan kedua tangannya di pinggang kemudian menumpukan berat badannya pada sebelah kaki, "Untuk apa Aniki turun? Sudah selesai berkencan dengan buku matematika mu itu?"

Dengan santai Sasori menunjuk ke arah dapur, "Aku mau masak untuk makan malam. Kecuali kau yang mau memasak."

"A—aaa…" rasanya malu sekali telah bertindak tidak sopan begitu padahal Sasori berniat baik, namun Sakura tidak mau mengakui kekalahannya, "Aku tidak suka memasak, Aniki saja. Masak yang enak, ya!"

"Hampir setiap kesempatan kan memang aku dan Okaa-san yang memasak," ucapnya kemudian mulai melangkahkan kakinya ke arah dapur. Sebelum tubuhnya menghilang di balik tembok, Sasori menyembulkan kepalanya, "Lagipula kau kan tidak bisa masak, Sakura." ucapnya sambil tersenyum usil kemudian terdengar suara kulkas dibuka.

Seandainya saja senyuman Sasori tadi tidak begitu memesona, Sakura pasti sudah melemparinya dengan bantal. Bagaimana bisa ada manusia yang begitu menyebalkan sekaligus begitu tampan?

-oOo-

Malam hari pun tiba. Ruang makan kediaman Akasuna sudah dipenuhi oleh keempat orang penghuni, saling mengelilingi meja makan. Seperti keluarga-keluarga normal lainnya, keadaan meja makan pun disertai dengan perbincangan ringan dan canda tawa. Kecuali Sasori tentunya, Ia hanya merespon seperlunya saja. Meski sudah mengingatkan diri sendiri untuk memaklumi kelakuan kakaknya itu, tapi tetap saja terkadang Sakura sebal juga melihat kakaknya yang menurutnya sok cool itu.

"Oh iya, Saso-chan, Saku-chan! Okaa-san ada berita penting untuk kalian," seru Kana tiba-tiba, mengejutkan Mamoru dan Sakura yang sedang mengobrol. Ketika suasana menjadi hening, Kana menganggap itu sebagai tanda bahwa mereka semua mendengarkan, "Besok ada pameran pakaian dari butik-butik terkenal di dunia, dan Okaa-san baru dapat kabar tadi katanya butiknya sahabat Okaa-san akan ada disana juga. Tapi lokasi pamerannya agak jauh, mereka mengadakannya di Suna. Jadi—"

"Jadi langsung ke intinya saja, Kaa-san," ucap Sasori memotong kalimat Ibu nya yang panjang lebar tersebut. Kalau tidak begini, bisa saja basa-basi Kana sampai sepuluh menit lamanya.

"Jadi Otou-san dan Okaa-san akan berada di Suna selama pameran itu berlangsung," jawab Mamoru.

Sakura tampak terkejut, "Hee! Otou-san juga akan pergi? Kenapa? Berapa hari?"

Kana mengacungkan sebelah tangannya dan membentuk huruf V, "Hanya dua hari saja," jawabnya sambil mengeluarkan senyuman lebarnya.

"Otou-san juga harus ikut karena kebetulan teman Okaa-san mu itu adalah teman SMA nya Otou-san juga."

"Kantor? Bagaimana dengan kantornya Otou-san?"

"Ah, Otou-san sudah dapat izin."

Dengan secepat kilat kepala Sakura menghantam meja makan. Untung saja tidak ada piring dihadapannya. "Dengan kata lain aku hanya akan berdua dengan Aniki selama dua hari di libur musim dingin ini?" suaranya terdengar aneh dalam posisi seperti itu. "Jangan bercanda! Mana mungkin aku kuat hanya berdua dengan Aniki yang membosankan ini!" omelnya dalam hati.

Kana menepuk kedua tangannya, seolah baru mengingat sesuatu yang penting, "Ah! Okaa-san hampir lupa. Kalian tidak akan hanya berdua di rumah, karena kalian akan kedatangan dua orang lagi."

"Dua?" tanya Sasori sambil tetap melanjutkan makannya dengan santai. Yah, bagaimana pun juga kehadiran kedua orang baru ini tidak akan mengubah daftar kegiatan belajarnya untuk besok… kan?

"Kalian ingat keluarga Yamanaka? Keluarga rekan kerja Otou-san yang pernah mampir kesini."

Sakura dan Sasori mengangguk mengiyakan.

"Selama dua hari kedepan mereka menitipkan kedua anak perempuannya, Ino-chan dan Hinata-chan, disini. Mereka masih kecil dan menggemaskan, lho!" ucap Kana dengan riang.

Mendengar informasi tersebut, reaksi Sasori hanya menghela nafas sekali kemudian melanjutkan acara makan malamnya. Sedangkan Sakura langsung menatap Okaa-san nya seolah Ia telah dibelikan sebuah ponsel keluaran terbaru, matanya berbinar-binar mengisyaratkan kebahagiaan tak terkira yang sedang Ia rasakan saat ini.

"Imouto! Akhirnya aku dapat kesempatan untuk merasakan bagaimana memiliki imouto, bahkan dua sekaligus!" dalam hatinya Sakura sudah berteriak bahagia.

"Jaga mereka baik-baik ya, Saso-chan, Saku-chan," ujar Kana.

Dengan segera Sakura memukul meja makan dan mengarahkan jari telunjuknya kepada Sasori, "Aku! Hanya aku, Sakura, yang akan mengurus Ino-chan dan Hinata-chan. Aniki jangan ganggu aku dengan kedua imou—maksudku anak manis itu."

"Terserah, lagipula aku memang tidak mau repot-repot mengurusi," kemudian dengan santainya Sasori mengambil peralatan makannya yang sudah kosong dan berjalan menuju tempat cuci piring, "Memiliki satu imouto sepertimu saja sudah sangat melelahkan," senyuman usilnya kembali muncul.

Seketika Sakura langsung mengamuk dan berteriak, sedangkan Sasori dengan santainya mulai mencuci piring bekas makannya. "Ara… Saso-chan dan Saku-chan akrab sekali ya, Mamo-kun~"

-oOo-

Hari yang ditunggu oleh Sakura pun akhirnya tiba. Sudah sejak dini hari Sakura mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan kedua imouto-selama-dua-hari nya itu. Mungkin orang yang melihat ekspresi Sakura sekarang akan teringat dengan rumus 227, 2cm ujung bibir kiri naik ke atas, 2cm ujung bibir kanan naik ke atas, namun bukan 7 detik yang Sakura lakukan melainkan 7 menit senyum itu bertahan. Rasa antusiasnya menghilangkan rasa pegal di pipinya.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 08.51 yang berarti sebentar lagi mereka akan datang. Meski malas, Sasori terpaksa ikut turun dan duduk di ruang keluarga sambil tetap membaca buku Geografi nya. Anak itu benar-benar tidak mau menghabiskan waktu tanpa membaca buku.

Bel rumah pun berbunyi, sontak gadis berambut merah muda yang sedari tadi tersenyum itu berlari menuju pintu depan rumahnya, diikuti Kana dan Mamoru yang sudah siap dengan koper mereka masing-masing. Mengingat didikan kedua orang tua untuk mengajarinya menjadi anak yang sopan, Sasori pun mulai berjalan menyusul ketiga orang tadi untuk menyambut kedatangan dua orang tamu spesial tersebut.

Dengan semangat Sakura membuka pintu rumahnya, dan terlihatlah dua orang anak manis berdiri di hadapannya. Mata emerald Sakura langsung membulat ketika melihatnya.

Anak yang pertama berambut blonde dengan model rambut ponytail, poninya menutupi mata kanannya. Rambutnya panjang mencapai pinggang. Matanya berwarna biru-kehijauan, sorot matanya tampak ceria dan aktif. "Halo!"

Anak yang kedua kebalikan dari yang sebelumnya. Rambutnya pendek di atas bahu berwarna biru tua. Poninya menggantung rapi sampai depan alisnya. Matanya terlihat sejuk dan tenang dengan warna abu muda hampir putih. "Se-selamat pagi."

Kalau boleh, ingin rasanya Sakura langsung memeluk kedua anak manis tersebut dan menculiknya masuk kedalam rumah untuk segera bermain bersama. Karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri, Sakura sampai tidak menyadari kalau kedua orang tuanya sudah berangkat menuju bandara bersama keluarga Yamanaka. Imajinasinya takkan terhenti jika saja Ia tidak mendengar suara teriakan dadakan dari Yamanaka kecil.

"Kyaaaaa! Onii-chan rambut merah ini tampan sekali! Aku suka!" teriak anak yang bernama Ino itu sambil memeluk Sasori dengan erat. Disampingnya berdiri Hinata, tampak Ia sedang mengaitkan sebelah tangannya pada tangan Sasori.

Sakura tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "A—aniki dapat perhatian lebih dulu daripada aku? Dan apa maksudnya itu Ia dipanggil 'Onii-chan' dengan manis seperti itu?!"

Ekspresi terganggu dan tidak nyaman jelas tergambar di wajah sang 'Onii-chan tampan'. Rasanya sesak dipeluk erat seperti ini, mengingat dipeluk saja Ia memang sangat jarang. "Bocah Yamanaka ini pasti merepotkan…" keluh Sasori dalam hati.

"Ano… Ino-chan, Hinata-chan, lebih baik kita masuk kedalam dulu ya. Dan Onee-chan sarankan jangan dekat-dekat dengan makhluk yang satu itu, dia adalah makhluk paling membosankan di muka bumi ini, lho," ucap Sakura, berusaha menarik perhatian Ino dan Hinata.

Ino hanya menatap sekilas Sakura kemudian segera berlari menuju kedalam rumah sambil menggenggam sebelah tangan Sasori yang bebas dari tangan Hinata, "Onii-chan ayo kita masuk!" dan mengabaikan Sakura ternganga di depan pintu. Hinata pun mengikuti mereka berdua.

"Aniki! Apa maksudnya ini? Jangan berani-beraninya kau merebut imouto ku!"

-oOo-

Saat ini di ruang keluarga kediaman Akasuna terdapat empat orang manusia yang sedang duduk sambil menghangatkan diri dibawah kotatsu. Posisi saat ini adalah Sakura yang berhadap-hadapan dengan Sasori, sedangkan Ino dan Hinata di kedua sisi lainnya.

"Ehem… untuk formalitas sebaiknya kita kenalan terlebih dahulu," ucap Sasori sambil memijat pelipisnya dengan sebelah tangan. Baru 5 menit saja bersama dua anak ini sudah bisa membuat kepalanya pusing.

Ino dengan semangat mengangkat tangannya, "Namaku Yamanaka Ino. Suka laki-laki tampan seperti Onii-chan ini dan bergosip."

"A-aku Yamanaka Hinata. Saudari kembarnya Ino, dia yang kakak. Su-suka membaca buku dan warna biru," ucap Hinata sambil sesekali melirik ke arah Sasori.

"Selanjutnya aku! Akasuna Sakura, suka imouto meski tidak punya imouto," semangatnya tidak kalah dengan semangatnya Ino. Namun perkenalan diri Sakura tidak didengar oleh Ino maupun Hinata karena mereka sedang asyik menatap sosok Sasori dengan mata berbinar.

"Akasuna Sasori."

Hanya dengan sepotong kalimat itu kedua Yamanaka, terutama Ino, kemudian berteriak heboh seperti fangirl Sasori di sekolah.

Tidak mau kalah, Sakura kembali mencoba menarik perhatian Ino dan Hinata, "Kalian anak kembar ya? Tapi kenapa penampilan fisik kalian berbeda sekali? Kalian terlihat semakin manis saja, deh."

"A-ano, sebenarnya rambutku—"

"Rambut dan mataku turunan dari Okaa-san. Sedangkan rambutnya Hinata turunan dari Ojii-san, dan matanya mirip Otou-san. Begitu saja tidak tahu," jawab Ino dengan tatapan meremehkan pada Sakura.

"Mana mungkin aku tahu bagaimana sosok Ojii-san mu itu, Ino-chan! Kau pikir aku siapa mu? Stalker?" teriak Sakura dalam hati, "Sabar… sabar… Ino-chan ini tipe imouto tsundere, sabar…"

"Ino, ja-jangan bicara begitu pada Sakura-san."

"Ah, Hinata-chan ini tipe imouto dandere ya sepertinya~ Aku suka yang seperti itu," pikir Sakura sambil tersenyum manis.

"Ehem," Sasori berusaha menenangkan suasana, "Selama kalian disini, aku tidak akan membuat peraturan macam-macam. Hanya ada satu peraturan pasti yang wajib dipatuhi disini."

Seketika Ino dan Hinata kembali memfokuskan telinga pada Sasori.

"Jangan menggangguku. Hanya itu, mudah bukan? Selanjutnya, yang akan mengurus kalian berdua adalah gadis pink yang itu," kemudian Sasori berdiri dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua.

"Tapi tapi tapi aku mau main dengan Sasori Onii-chan juga. Iya kan, Hinata?" dan yang ditanya hanya mengangguk dengan semangat.

"Ah, sebelumnya hampir saja lupa. Sakura, nikmati tugasmu selama dua hari, ya," ucap Sasori sambil menaiki anak tangga satu per satu.

Tatapan tajam Sakura tidak pernah lepas dari punggung Sasori, dan dengan semangat api Ia menerima pernyataan perang dari Aniki nya tadi, "Memang itu tujuanku! Justru Aniki yang jangan menggangguku!"

-oOo-

Akhirnya suasana kembali tenang. Ino dan Hinata sudah tidak merengek ingin bermain bersama Sasori setelah Sakura meyakinkan mereka bahwa jika Sasori marah Ia terlihat sangat menyeramkan. Oh, tentu saja Sakura sendiri tidak pernah melihat Aniki nya itu marah. Ia kan terlalu malas bahkan untuk sekedar mengekspresikan dirinya sendiri. Payah.

Sudah sejam berlalu, saat ini Ino dan Hinata sedang asyik menonton televisi ditemani kotatsu hangatnya. Sakura sendiri sedang sibuk memikirkan bagaimana cara untuk mengakrabkan diri pada mereka berdua. Bagaimana pun Sakura belum pernah memiliki adik sebelumnya, jadi Ia bingung juga cara menghadapi anak kecil meski pada dasarnya Ia menyukai anak kecil.

Hinata berjalan perlahan menghampiri Sakura yang sedang duduk di sofa, "Sa-sakura-san, aku bosan."

Pikiran Sakura yang semula berkeliaran tak menentu pun kembali terfokus, "Oh iya, sebelumnya, kalian tidak perlu formal begitu. Panggil saja aku Sakura-nee atau Onee-chan atau Sakura Onee-chan, ya. Supaya lebih akrab," senyumnya kembali mengembang.

Ino memalingkan matanya dari layar televisi yang kebetulan sedang iklan, "Tidak mau."

"Eh? Kenapa? Tapi kan kalian memanggil Aniki dengan panggilan Onii-chan," terdengar nada kecewa dari Sakura.

"Sasori Onii-chan itu tampan dan keren, beda denganmu, Sakura-san."

"Kuberi tahu, ya. Aniki itu orangnya membosankan dan menyebalkan. Apa yang bagus darinya? Bahkan aku yang adiknya saja tidak mau memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Kusebut Aniki saja seharusnya dia sudah bersyukur."

Ino pun berdiri dengan cepat dari posisi duduk semulanya, "Kau itu bodoh atau apa? Sudah sangat beruntung kau memiliki kakak lelaki se keren itu malah dihina! Haah… jangan-jangan selera mu terhadap lelaki jelek. Ya, pasti begitu."

"Hei, bahkan kau tidak memanggilku dengan rasa hormat sama sekali, Ino-chan!"

"Sudah kukatakan tadi, kau tidak pantas!"

Hinata memandang keluar jendela dan melihat tumpukan salju di halaman belakang kediaman Akasuna. Sepertinya tumpukan salju sedari kemarin belum meleleh karena hari ini pun matahari tidak menunjukkan sinarnya sama sekali. Bahkan ramalan cuaca tadi pagi menyatakan ada kemungkinan hari ini akan turun salju lagi.

"Sakura-san, a-aku mau main salju," ucapnya sambil menunjuk keluar jendela.

Perkelahian antara Sakura dan Ino pun terhenti sejenak. Sakura melihat keadaan halaman belakangnya dan menyadari banyak tumpukan salju disana. Matanya berbinar-binar dan dengan semangat Ia menyerukan bahwa mereka akan bermain perang salju.

Dengan senyuman angkuhnya Ino kembali berkata, "Jelas sekali bahwa kau itu lebih bocah daripada kami," dan kemudian keributan pun terjadi lagi.

-oOo-

Suara berisik dari lantai satu sesekali mengganggu konsentrasi lelaki berambut merah yang sedang membaca buku Geografi nya ini. Terutama saat Sasori mendengar suara dari salah satu 'bocah' yang ada di bawah, Ia tidak bisa menghentikan senyumannya. Jarang sekali Ia menunjukkan senyuman seperti itu pada orang lain.

Saat suara berisik tadi terdengar semakin samar, ada sedikit rasa penasaran dalam diri Sasori. Apa yang dilakukan adiknya dan kedua bocah Yamanaka itu dibawah? Rasanya aneh, sejak tadi suara teriakan mereka terdengar cukup jelas, namun sekarang samar sekali.

Meski beberapa dugaan negatif sempat menguasai pikirannya, dengan segera Ia menepis semua dugaan itu. Tidak mau membuat dirinya penasaran lebih lama, Sasori pun memutuskan untuk menutup buku Geografi nya sebentar untuk melihat keadaan dibawah.

Sasori menuruni tangga perlahan dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruang keluarga. Disana tidak ada siapa-siapa. Hanya ada beberapa bantal sofa yang tergeletak berantakan di lantai. Semakin Sasori berjalan, semakin jelas Ia mendengar kembali ketiga suara yang dicarinya.

Senyum tipis Sasori kembali terukir di wajahnya saat melihat pemandangan di hadapannya. Di halaman belakang rumahnya ternyata Sakura sedang berlari-lari menghindari serangan bola salju dari Ino dan Hinata. Sepertinya anak kembar itu memang berniat menjahili Sakura.

Saat persediaan bola salju dalam tangan Yamanaka kembar itu habis, Sakura langsung melemparkan serangan balas dendamnya pada mereka berdua. Saat ini Sakura sedang melawan dua orang anak kecil berusia 7 tahun dalam sebuah permainan bola salju dengan kemampuan penuh, tidak ada niatan untuk mengalah sama sekali. Namun yang membuat hal ini lucu adalah Ia tetap kalah meski melawan anak kecil. Ah, mungkin saja kerja sama yang solid antara Ino dan Hinata lah yang membuat Sakura kalah.

Melihat sang adik yang sedang asyik bermain seperti itu, lega rasanya hati Sasori. Setiap kali Ia melihat adiknya tersenyum senang seperti itu memberikan kepuasan tersendiri pada dirinya.

Tidak ingin diketahui keberadaannya, Sasori memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan belajar.

"Berjuanglah, Sakura."

-oOo-

Sakura, Ino, dan Hinata saat ini sedang tergeletak lesu di karpet ruang keluarga setelah puas bermain perang salju. Karena terlalu asyik bermain sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa sekarang sudah masuk jam makan siang. Tidak heran kenapa saat ini perut mereka sedang konser besar-besaran.

"Sakura-san, aku lapar," keluh Ino sambil berusaha mengatur nafasnya.

"A-aku juga lapar," timpal Hinata.

Sakura pun duduk kemudian merenggangkan tubuhnya sebelum akhirnya berdiri, "Baiklah, Onee-chan akan membuatkanmu makan siang."

"Berhenti menyebut dirimu sendiri dengan Onee-chan. Terdengar menyebalkan, tahu."

Aura gelap tiba-tiba mengelilingi Sakura, "Ino-chan… aku tidak akan membuatkanmu makan siang jika kau tidak memanggilku dengan sebutan Onee-chan."

Ino memalingkan wajahnya, "Huh, mudah saja. Aku bisa meminta tolong pada Sasori Onii-chan."

"Padahal kukira bermain salju tadi sudah membuat kami cukup akrab…" desah Sakura pelan.

"Sakura-san ta-tadi bicara apa?" tanya Hinata.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa," balas Sakura sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Seperti yang Aniki katakan pada kalian tadi pagi, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas kalian selama kalian ada disini. Jadi aku yang akan memasak untuk kalian. Kau minta tolong Aniki pun akan percuma."

"Bohong," ucap kedua anak kembar Yamanaka bersamaan.

"Aku tidak bohong. Kalau Aniki sudah bilang aku yang mengurus, maka Ia takkan mau membantu. Percayalah, aku sudah hidup bersamanya selama 16 tahun," ucap Sakura dengan bangga sambil membusungkan dadanya. Melihat ekspresi sedih-tapi-lapar dari kedua anak kecil di hadapannya, Sakura kembali bicara, "Aku akan membuatkan makanan asalkan kalian memanggilku Onee-san. Tidak sulit, kan?"

Setelah memikirkannya matang-matang dan bergelut dengan pikirannya masing-masing, akhirnya Ino dan Hinata mencapai kesepakatan. "Tolong masaklah untuk kami, Sakura Onee-chan," mereka mengucapkannya bersamaan sambil mengeluarkan tatapan puppy eyes nya yang aktif secara otomatis karena kelaparan. Rasa lapar memang senjata yang mematikan.

Mendengar namanya disebut seperti itu oleh dua orang imouto yang menggemaskan, Sakura tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar dan melompat-lompat, "Imouto memang yang terbaik!" teriaknya dalam hati.

-oOo-

Sasori sedang membalas e-mail dari teman sekelasnya, Deidara, saat terdengar langkah kaki tergesa-gesa menuju kamarnya. Sedetik kemudian pintu kamarnya dipukul-pukul kencang. Kaget, Sasori segera berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri pintu kamarnya. Ia sangat terkejut saat menemukan dua orang anak kecil berambut pirang dan biru tua yang tampak panik berdiri di depan pintu kamarnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah tangga.

"Sa… hosh hosh… Sakura Onee-chan…" ucap Ino terpotong-potong sambil berusaha mengatur kembali nafasnya. Karena langkah kaki yang kecil dan menaiki tangga, wajar saja bagi seorang anak berusia 7 tahun untuk kelelahan meski jaraknya dekat, apalagi ditambah panik.

Mendengar nama Sakura, Sasori langsung sigap dan memegang pundak Ino dan Hinata, "Apa? Ada apa dengan Sakura?" meski nada bicaranya tidak menunjukkan bahwa Ia khawatir, namun siapa yang tahu perasaan kacau dalam hatinya saat ini. Khawatir, ya memang.

Hinata yang nafasnya mulai sedikit teratur berusaha menjelaskan, "Onee-san… hosh… memasak… lalu… lalu… pisau… hosh…"

Sakura? Memasak? Untuk apa Sakura memasak? Sakura dan memasak bukanlah pasangan yang pas di dunia ini, apalagi ditambah pisau. Tunggu, tadi Hinata bilang pisau? Dengan segera Sasori melesat menuju dapur di lantai satu.

"Sakura!" teriaknya saat melihat beberapa tetes darah di lantai dapur yang berasal dari telapak tangan adiknya. Saat ini Sakura sedang terpaku melihat telapak tangannya yang teriris pisau sekitar 3-4 cm.

Untung saja Sasori orang yang cekatan, Ia segera mengambil kotak P3K dari salah satu lemari di dapur dan menangani tangan Sakura yang teriris tadi. Selama Sasori mengelap darah sampai selesai melilitkan perban pada telapak tangan Sakura, tidak ada percakapan sama sekali.

Beberapa menit setelah Sasori selesai menangani Sakura, Ino dan Hinata pun turun dan menghampiri mereka berdua dengan ekspresi cemas.

"Sasori Onii-chan, Sakura Onee-san tidak akan kenapa-kenapa, kan?" tanya Ino sambil terus menatap jari Sakura yang dililit perban.

Sasori berusaha tersenyum tipis untuk setidaknya menenangkan kedua bocah dihadapannya, namun Ia tidak dapat menyunggingkan senyumannya itu, "Ya, dia sudah tidak akan kenapa-kenapa."

Setelah beberapa menit berlalu, Sasori merasa Ia harus mulai membuka pembicaraan, "Sakura, kenapa kau memasak?"

Awalnya Sakura hanya terus menatap telapaknya yang terluka tersebut, namun akhirnya Ia menjawab, "Karena Ino-chan dan Hinata-chan bilang mereka lapar…"

Meski dalam hatinya Sasori terkejut, entah kenapa intonasi yang keluar dari bibirnya malah terdengar seperti marah, "Tapi kau tahu kan kalau ini berbahaya. Lagipula kau kan memang…" kalimat Sasori terhenti sejenak, Ia mencoba mencari kosakata yang sedikit lebih lembut, "belum pandai memasak. Seharusnya kau panggil saja aku, Sakura."

"Maaf…" tubuh Sakura mulai bergetar dan Ia terus menundukkan kepalanya, menutupi air mata yang mulai mengaliri pipi putihnya, "Maafkan aku, Aniki… maaf… maaf…"

Ino dan Hinata yang tidak mengerti apa-apa pun akhirnya bertanya pada Sasori mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Meski terlihat sedikit enggan tapi Sasori akhirnya menjelaskannya, "Dulu saat Sakura masih berusia 5 tahun dia sangat senang memerhatikan Okaa-san yang sedang memasak di dapur. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi Sakura sendiri yang pernah mengatakan kalau dia menyukai suara pantulan dari pisau saat memotong sayuran, dia bilang itu lucu. Suatu hari Okaa-san dan Sakura sedang di dapur seperti biasa, tiba-tiba bel rumah berbunyi, saat kubuka yang datang adalah tukang pos. Karena dulu aku belum mengerti apa-apa maka Okaa-san menghampiri pintu dan menerima paket tersebut, Ia menyuruhku untuk mengawasi Sakura. Saat aku tiba di dapur…" Sasori melirik adiknya yang sedang gemetar tersebut dan mengusap pelan punggungnya dengan penuh kasih sayang, seolah bertanya apakah boleh Ia melanjutkan bercerita.

Melihat Sakura mengangguk, maka Sasori pun melanjutkan bercerita, "Aku kaget, sangat kaget, saat melihat tetesan darah menggenangi kaki Sakura. Saat kulihat, Sakura sedang memegang gagang pisau di tangan kanannya, dan tangan kirinya sedang menggenggam erat bagian mata pisau." Ino dan Hinata merinding membayangkan kejadian tersebut. "Saat itu Sakura tidak tahu kalau mata pisau itu tajam, dan dengan santainya Ia menggenggamnya seperti itu terus, sambil menatap ke arahku dengan tatapan terkejut. Tapi Ia tidak menangis karena Ia sendiri kaget melihat darahnya menetes semakin lama semakin deras. Dengan panik aku segera menghampirinya dan mengambil pisau tersebut dari tangannya dan melemparnya dengan keras ke wastafel. Mungkin karena suara berisik yang kubuat, Okaa-san pun datang dan sama terkejutnya denganku saat Ia melihat keadaan tangan Sakura. Setelah itu Sakura pun dibawa ke rumah sakit."

Mata Ino dan Hinata terbelalak setelah mendengar cerita tersebut. Pantas saja tadi saat Sakura akan memegang pisau Ia terlihat sedikit gemetar. Mereka tidak bisa membayangkan apabila itu terjadi pada diri mereka sendiri, mungkin melihat pisau saja mereka akan kabur sampai ke ujung dunia. Tapi Sakura, meski Ia memiliki trauma pada pisau, Ia masih berniat untuk membuatkan mereka makan siang. Demi mereka.

Merasa bersalah, Hinata segera menghampiri Sakura dan memeluk pinggangnya erat, "Sakura Onee-chan, maafkan aku ya. Aku tidak tahu hal seperti itu terjadi pada Onee-chan. Maafkan aku ya…"

Pikiran Sakura pun kembali terfokus dan Ia menatap dengan pandangan mata terharu pada Hinata, "Ah, imouto dandere memang menggemaskan, ya." pikirnya dalam hati. Ia mengulurkan tangannya yang tidak terluka dan mengusap kepala Hinata, "Tidak apa-apa, Hinata-chan. Dan terima kasih sudah memanggilku Onee-chan," ucapnya dengan nada yang diusahakan untuk ceria. Hinata masih terus memeluk Sakura seolah-olah dunia akan berakhir esok hari.

Sasori menatap Sakura dengan ekspresi yang tidak dapat didefinisikan. "Sakura bisa juga menjadi seorang kakak," pikirnya. Ia mengira selanjutnya Ino akan memberikan pelukan juga pada Sakura, namun Ia salah besar.

Ino memalingkan wajahnya dan berkata, "Yah, setidaknya sekarang keadaan sudah aman terkendali. Sudahlah jangan menangis seperti itu, kau jelek sekali kalau begitu, hei Jidat Lebar."

Atmosphere mengharukan pun hilang dalam sekejap. Aura hitam Sakura kembali menguar mengisi seluruh bagian dapur. "Apa tadi kau bilang, Ino-pig?" suaranya berubah menjadi lebih berat dan mematikan daripada biasanya.

"Jidat Lebar!"

Melihat peperangan akan segera terjadi antara kakak kembarnya dan gadis berambut merah muda yang tadi dipeluknya, Hinata melepaskan pelukannya dan bersembunyi dibalik kursi.

Dengan langkah santai Sasori menghampiri Sakura dan mengusap puncak kepalanya dengan sebelah tangan, "Sakura, apa tanganmu masih terasa sakit?"

Seketika seluruh amarah Sakura menguap bersama setiap usapan dari sang kakak. Hatinya terasa tentram seketika dan pipinya terasa sedikit memanas. Apa ini? Rasanya sudah berapa tahun sejak terakhir kali Sasori melakukan ini pada dirinya?

"Ti—tidak! Aku baik-baik saja, Aniki. Sana kembali belajar saja, aku akan melanjutkan masak."

"Huh, dengan tangan seperti itu? Kau bercanda ya?" sekali lagi Ia mengusap kepala Sakura namun kali ini dengan lebih kasar sehingga membuat rambut pink nya berantakan, "Duduk dan hibur saja kedua bocah itu. Biar aku yang melanjutkan memasak."

Ketika tubuh Sasori sudah memelakanginya, dengan tidak sadar Sakura menyentuh kembali tempat dimana tangan Sasori menyentuhnya tadi.

"Hangat…"

To be Continue…

Rencana oneshot gak kesampean jadinya twoshot ;w;) Aria gabakat nulis oneshot hiks… ini isi fanfic nya sesuai dengan tema gak sih :'D Yang cerita Sakura dan pisau itu bukan jadi fokus cerita dan bikin story nya sedih atau gimana-gimana kok, itu cuman hints awal untuk SasoSaku di chapter 2 nanti. Teehee~

Terima kasih untuk Azu, Milmil, dan Shinshin yang sudah membantu mencari ide untuk fanfic ini :'D Tanpa mereka mungkin plot ini tidak akan lahir(?). Wab wab yu! X'D

Untuk judul, Aria tahu kedengerannya konyol, tapi udah mentok gaada ide :') Masuk akal lah ya mudah-mudahan. Dan untuk judul kali ini "Hello Little Girl" Aria ambil dari character song nya Akiyama Mio [CV: Hisaka Youko]. Udah pada denger lagunya kah? Enak ya lagunya –w-)b

Ayo bagi yang udah baca ini tinggalkan review! Gaakan Aria gigit kok XD