Pernikahan harus didalam rasa jujur dan kepercayaan. Dan kebahagian haruslah dibangun dengan rasa cinta dan sayang. Itulah kisahku.

Jika bunga sakura bermekar hanya saat musim semi, jika maple gugur disaat gugur memekak, atau jika mawar itu berduri, aku tak akan mau menjadi mereka.

Aku tak mau cintaku sebatas bunga sakura. Tak mau cintaku gugur walau seindah maple. Tak sudi jika cintaku berduri. Karena aku bisa lebih dari mereka. Percayalah kau...

Namikaze Naruto.

Aku memejamkan mata perlahan, menikmati angin musim panas yang menampar pipiku. Rasanya mengingatkanku pada kisah ku. Sepersekian detik antara aku dan dirinya.

"Sedang apa?"

Kulengkungkan senyum tipis, menahan diri agar tak berbalik dan memeluknya.

"Sayang, kau sedang apa? Apa kau tak bisa menjawab suamimu ini?"

Ia mulai lagi.

Aku membalikkan badan, melempar senyum kecilku yang katanya amat manis bagaikan gula-gula. "Aku sedang melihat kebahagianku."

Ia memicingkan matanya, "Dengan mata terpejam begitu?"

Aku terkekeh.

Kembali menatap danau buatan yang sengaja dibuat di depan rumah kecil kami. Pernikahan ini baru berjalan setahun, dengan penderitaan yang berjalan bak seabad.

Naruto mendekatiku, meletakkan tanganya pada bahuku. Menyandarkan kepalaku pada dadanya. Ikut menikmati betapa sejuknya musim panas kali ini.

"Aku tak perlu mata untuk melihat kebahagianku."

Ia menunduk melihat bagaimana bibir yang selalu ia ecap sedang berbicara.

Aku meliriknya malu-malu, "Karena kebahagianku ada padamu, Naruto-kun."

Naruto terkikik. Tangannya mengacak poniku yang mulai menutupi mata. "Dengan cara apa aku bisa menjadi kebahagianmu, Hinata?"

"Dengan cinta."

Alisnya terangkat, "Dan aku juga mencintaimu, Sayang."

Pipiku bersemu, merasakan jika angin musim panas semakin menjadi-jadi. Tangan Naruto beralih menarik tengkukku. Menciumnya pelan. Penuh sarat rasa cintanya.

"Apa kau merasakan apa yang aku rasakan, Hinata?"

Aku mengambil napas dalam-dalam, setelah ciuman tadi yang banyak mengambil oksigenku. "Apa?"

"Jika rasanya aku bukan lagi mencintaimu. Tapi, aku mulai tergila-gila padamu."

Aku tertawa.

Naruto selalu beranggapan jika tawaku halus seperti beledu. Bibirku merah pualam, mataku yang katanya selalu menggodanya. Ia saja yang mesum.

"Astaga! Aku mulai takut padamu, Naruto-kun." ujarku menggoda.

Ia mengusap pipi yang turun hingga dada kiriku. Menekannya, merasakan jika jantungku berdetak lebih cepat bahkan hanya karena senyumannya. Naruto kembali mengurai senyum.

"Jika kau sudah menemukan kebahagianmu, lalu aku bagaimana?"

Alisku tertaut, "Loh? Bukannya aku kebahagianmu?"

"Kata siapa? Siapa juga kau bisa jadi kebahagianku?"

Mataku melotot padanya yang malah tergelak keras.

"Kau mau tahu kebahagianku?" ia mendekati telingaku, mengendusnya pelan membuatku bergidik membayangkan yang tidak-tidak.

"Aku mau baby, Sayang."

Pipiku memanas.

Tanpa butuh jawaban, ia menggendongku menuju tempat yang selalu jadi saksi bisu percintaan kami.

"Naruto-kun! Turunkan aku!! Sekarang!"

"Benarkah? Nanti saat kita sudah sampai kasur, Sayang."

"NARUTO!"

Fin..Jadi ini namanya drabble, dan gak lebih dari 2k kata. Jadi jangan heran kalau setiap chapter itu pendek. Karena ini ibarat kumpulan oneshoot.

Selamat membaca cerita pertamaku!