Disclaimer:

KATEKYO HITMAN REBORN! by: AMANO AKIRA

MEMENTO MORI by: RUKISKYE LUKITA

Warning: AU, OOC, OVER, T-RATED, Age-Bending, dll

Pairing: 1859

A/N: Nah, saya punya proyek multichap 1859 baru nih, Minnasan.. Genre gak jauh dari angst/romance, tetap menganut aliran Alternative Universe. Yah, sesuai kebisaan dan kebiasaan saya lah. Tapi bedanya sama Osaka Snowledge, ya.. saya gak pake 'Lo-Gue' disini. Jadi lebih sopan dikit lah. DAN! Romance-nya lebih terasa disini, dikarenakan banyak yang minta romance yang agak banyak gitu (maksud?). Okeh, saya persembahkan.. ENJOY !

"Semalam aku memimpikanmu.

Mungkin karena aku terlalu merindukanmu, sampai-sampai rasanya aku bahagia sekali saat bisa bertemu denganmu, walau hanya di dalam mimpi.

Setelah terbangun, aku berharap kau ada.

Tapi ternyata kau tak disini.

Aku tahu, kau tak mungkin ada disini lagi.

Saat itu, aku hanya berharap aku akan selalu memimpikanmu setiap malam.

Agar bisa terus hidup bersamamu, walau hanya di dalam mimpi."

*****MEMENTO MORI*****

1st Chapter: Painless


"Ayo pulang, Hayato," ujar seorang wanita berambut panjang dari palang pintu kamar rumah sakit itu.

Yang diajak bicara hanya menggeleng, "Aku tak akan pulang.."

"Tapi, Haya—.."

"Tak akan. Setidaknya sebelum Kyouya sadar." pria 25 tahun bernama Hayato Gokudera itu menjawab pasti. Menatap wanita itu dengan sorot mata yang sama sekali tak memancarkan keraguan.

"Kau sudah 5 hari tidak pulang." wanita bernama Bianchi itu bersikeras. Bukan apa-apa, ia hanya mengkhawatirkan keadaan adiknya itu.

"Kakak, yang membuat Kyouya begini adalah aku. Aku tak bisa duduk-duduk bersantai di rumah sementara Kyouya disini sendirian." Kata Gokudera sambil beralih memandang menuju sesosok pria berambut hitam yang tengah terbaring di hadapannya.

Bianchi menatap mata adiknya itu. Dia benar-benar serius. Setidaknya itulah yang dapat disimpulkan olehnya.

"Baiklah, terserah. Tapi tetap jaga kesehatanmu, Hayato.." Bianchi mengalah, memaksakan sedikit senyum pada Gokudera, berusaha meredam rasa khawatirnya.

Gokudera tersenyum, "Kau bisa percaya padaku,"

Setelah Bianchi menutup pintu dan pergi, senyum Gokudera lenyap begitu saja. Yang benar saja, masih bisakah ia tersenyum saat orang yang paling dicintainya kini tengah berbaring tak sadarkan diri? Terlebih dokter mengatakan keadaannya sangat gawat. Bahkan juga mengatakan bahwa ia masih bernapas saja sudah merupakan keajaiban?

Gokudera tak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri. Lensa hijau matanya menatap wajah seorang Kyouya Hibari. Gokudera bersumpah tak akan meninggalkannya sendiri disini. Ia yakin suatu hari nanti lensa biru-kelabu mata Hibari akan kembali menatapnya seperti biasa, suara monoton Hibari akan kembali menyebut namanya, tangan putih itu akan kembali menggenggam tangannya. Seperti dulu, seperti yang biasa mereka lakukan dulu.

Ya, suatu hari nanti, alat bantu pernapasan yang dipakaikan dokter itu akan dilepas, segala bebatan perban di tubuh Hibari juga akan hilang, dan alat berisik berbunyi teratur yang menunjukkan aktivitas jantung Hibari itu akan segera dikeluarkan dari kamar ini. Ya, semoga saja.

Dan Gokudera tak henti-hentinya meyakini dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ia akan baik-baik saja, Hibari akan baik-baik saja. Ya, memang sudah seharusnya begitu, kan?

Tak dapat dipungkiri bahwa Gokudera merasa takut. Lebih tepatnya ia benar-benar ketakutan.


Sudah dua minggu Gokudera terus merawat Hibari di rumah sakit. Sesekali ia pulang ke apartemennya untuk mengambil baju ganti dan persediaan snack. Ia malah mulai terbiasa dengan kehidupannya kini. Dokter bilang kondisi Hibari mulai berangsur membaik, walau tak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dua minggu waktu yang disisihkan Gokudera untuk Hibari tak akan pantas untuk membayar apa yang telah dilakukan Hibari untuknya selama ini. Apalagi memang Hibari lah yang menyelamatkan nyawanya terakhir kali sampai keadaannya seperti ini sekarang.

Pukul 10.32 pm, rasa kantuk mulai menguasai Gokudera. Perlahan wajahnya tertunduk dan ia akhirnya mengistirahatkan kepalanya yang terasa sedikit pusing di tepi tempat tidur yang ditiduri Hibari. Tak lupa sebelum benar-benar terlelap ia memandang Hibari sebentar, memastikan ia masih 'baik-baik saja'.

xoxoxoxoxoxoxoxox

Ini.. dimana?

Kenapa aku ada disini?

Bukankah seharusnya aku sudah mati?

Kenapa aku bisa berada di tempat ini?

Dan..

Hibari terkejut ketika ia membuka kelopak matanya. Tiba-tiba saja ia dikelilingi atmosfir yang sangat ia rindukan. Entah sudah berapa lama ia tak berada di suasana seperti ini. Tunggu.. suasana apa? Rumah sakit? Bukan. Tapi sesuatu yang terasa hangat yang menjalari lengan kanannya. Dengan lemah, Hibari menoleh ke arah yang dimaksudkan dan..

Ternyata itu Hayato.

Hayato Gokudera.

Hibari mendapati pria berambut silver yang tertidur di pinggir kasurnya dan kepalanya menindih sebagian lengan kanannya. Hangat.

Tapi, kenapa begini?

Gokudera begitu nyata. Ia bisa merasakan kehangatannya, bisa melihatnya, bahkan bisa merasakan deru pelan napasnya yang menerjang lembut lengannya.

Sungguh, Hibari tak mengerti. Terakhir ia melihat kekasihnya ini, seakan sudah lama sekali. Saat pria Italia itu berteriak dan meneriakkan namanya ketika ia tertabrak bus kala itu. Tak mungkin ia masih hidup. Ia tak boleh berharap untuk tetap hidup, tidak boleh. Atau mungkin ini mimpi? Ilusi barang kali?

Hibari mengangkat tangan kirinya yang dipasangsi injeksi infus. Melihat tangannya secara intensif dan seksama. Biasanya di film-film orang yang sudah mati akan tembus pandang, bukan? Namun, ia mendapati tangannya yang terlihat jelas. Kemudian meraba wajahnya dan ia bisa merasakannya. Wajahnya pun tak dingin seperti mayat. Tidak. Ia utuh, ada, hidup.

Apa mungkin?

Sedetik kemudian Hibari tersentak pelan dan mengerjapkan matanya berkali-kali. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru ruangan kamar yang gelap namun temaram itu. Tanpa sadar, tangan kanannya bergerak-gerak dan sepertinya membangunkan Gokudera dari tidurnya.

Gokudera mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Seperti ia merasakan sesuatu yang bergerak tadi. Mungkinkah itu Kyouya?, pikirnya.

Sontak, Gokudera menoleh ke arah Hibari. Benar saja, mata sipit Hibari terbuka lemah dan kini sedang menatapnya. Mata biru-kelabu yang bisa menggambarkan apa yang dirasakan pemiliknya, tatapan yang menghujam, penuh misteri dan rasa kesepian, dalam serta menghanyutkan. Tatapan yang selalu disukai dan dikagumi Gokudera.

"K—Kyou.. ya?" Gokudera bahkan tak sanggup berkata-kata. Ia memang yakin Hibari pasti akan siuman, tapi ia tidak menyangka akan terjadi disaat seperti ini.

"Tak perlu kaget begitu." Hibari berkata dengan nada datar dan dingin seperti biasa. Walau kini suaranya terdengar lebih parau dari biasanya.

"I—itu benar kau, kan?" tanya Gokudera berusaha memastikan, belum sepenuhnya pulih dari rasa terkejut.

Hibari tak menjawab. Ia yakin dirinya terlalu nyata untuk masuk ke dalam mimpi Gokudera. Tangan kirinya tergerak untuk melepas alat bantu pernapasan di wajahnya. Ia merasa cukup kuat untuk tidak menggunakan alat itu lagi.

Tiba-tiba Gokudera menghambur memeluknya. Otomatis, hangat tubuh Gokudera menjalari seluruh tubuhnya yang seakan telah lupa bagaimana rasanya dipeluk itu. Di pihak lain, Gokudera tak menyangka dirinya tak bisa menahan diri seperti ini. Dalam keadaan normal, mungkin Hibari akan menertawakannya. Tapi, biarlah, toh Gokudera benar-benar merindukan pria Jepang yang satu ini.

Saat memeluk Hibari, Gokudera hanya menatap kosong. Angan-angannya melanglang buana entah kemana saat ia mencoba berpikir rasional mengenai sadarnya Hibari. Bukannya ia tidak senang saat Hibari membuka matanya. Bukan. Ia justru sangat bahagia sampai-sampai tak tahu harus mengatakan apa. Hanya saja ia merasa bersalah dan mulai berpikir bahwa ini tak seharusnya terjadi.

Ah! Apa yang dipikirkannya barusan, hah? Apa yang sedang ia coba pikirkan tadi?

Gokudera menutup matanya kuat-kuat, takut akan pemikirannya sendiri. Mencoba menghilangkan pikirannya barusan. Ayolah, ini kenyataan. Ia sedang memeluk Hibari dan dia masih bisa ia rasakan, dia masih hidup. Inilah yang diharapkannya selama ini.

Hibari menggerakkan tangan kirinya untuk mengelus juntaian rambut silver Gokudera yang lembut, sementara tangan kanannya melingkar di pinggang Gokudera. Ia membenamkan wajahnya di belakang leher jenjang Gokudera dan menghirup aroma tubuh Gokudera yang sangat dikenalinya. Oh, betapa ia merindukan kekasihnya ini. Entah kapan terakhir kali mereka melakukan ini.

Ya, ini Hayato.

"Sejak kapan kau disini?" tanya Hibari, terdengar seperti menggumam di leher Gokudera. Walau begitu, Gokudera tetap bisa menangkap kata-katanya.

"Sejak kau berada disini," jawabnya.

"Oh ya? Berapa lama?"

"Sekitar dua minggu,"

"Wao."

"Kenapa?"

"Sudah dua minggu aku tidak makan."

Gokudera tertawa mendengar jawaban Hibari, "Baiklah, akan kuambilkan makanan untukmu," katanya sambil melepaskan pelukan mereka dan sebelah tangannya mengusap sedikit air mata di pelupuk matanya karena terharu.

Namun, saat Gokudera hendak beranjak, Hibari menggenggam tangannya seolah menahannya.

"Sekarang jam berapa?" tanya Hibari.

Gokudera merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya serta melihat penunjuk waktu yang tertera di layarnya, "Pukul 3 dini hari. Kenapa?"

Tanpa peringatan, Hibari menarik tangan Gokudera sehingga pria Italia itu kembali ke pelukannya.

"Brengsek! K-kau kenapa, hah?" seru Gokudera terkejut.

"Belum waktunya sarapan. Jadi lebih baik kau disini dulu, herbivore." Kata Hibari sambil memejamkan matanya. Hening.

"Kyou—.."

"Naiklah ke atasku."

"EEH?" lagi-lagi Gokudera berseru, "Kau 'kan sedang sakit. Tubuhmu penuh luka." ujarnya ragu.

"Tak apa, Hayato. Aku kedinginan." Hibari berbohong, ia tak begitu kedinginan. Ia hanya sangat merindukan Gokudera, hanya saja ia tak bisa mengatakannya secara langsung. Ayolah, walaupun mereka telah lama berpacaran, harga diri Hibari masih terlalu tinggi untuk mengatakan hal itu secara langsung. Lagi pula, kemungkinan Gokudera akan menghajarnya jika ia mengatakan hal bodoh semacam itu bukanlah 0%.

Wajah Gokudera memerah seketika dan ia tak punya pilihan selain menuruti kata-kata Hibari. "Tch! Jangan salahkan aku kalau kau kesakitan. Ini maumu, kau tahu?" kata Gokudera sambil menaiki tempat tidur Hibari. Kepalanya tertunduk, sebagian wajahnya terhalang helaian rambutnya. Ia tak mau Hibari melihat betapa merah wajahnya saat ini.

Aneh. Hibari sama sekali tak merasakan sakit pada luka-lukanya ketika tubuh Gokudera kini berada di atasnya. Padahal ia yakin bahwa kini beberapa bagian tubuhnya terbalut perban. Walau ia bisa terbangun dari koma secara ajaib, tapi ia tak percaya tubuhnya juga 'secara ajaib' jadi tak bisa merasakan sakit. Kenapa? Jelas ada yang tidak beres disini. Namun, Hibari enggan memikirkannya lebih jauh.

Begitu Hibari memeluknya erat, Gokudera langsung mengistirahatkan kepalanya di dada bidang Hibari. Ia tersenyum saat mendengar detak jantung Hibari yang begitu teratur dan damai. Nyata.

Saat itu Gokudera percaya Hibari takkan pernah meninggalkannya. Kalaupun Hibari 'mau' meninggalkannya, ia tak akan mengijinkannya.

~~END OF CHAPTER~~

A/N: Waduh, maaf ya readers, saya gak jago bikin adegan-adegan romance. Nah, gimana? Baru chapter 1 aja udah begini jadinya *rebahan di rel* Hm, kalo readers sekalian pada bingung baca fic ini, mendingan tungguin kelanjutannya aja. Saya emang udah rencana bikin fic ini, sedikit dengan menggunakan bentuk 'piece-to-piece' alias potongan demi potongan. Jadi, kalo melewatkan satu saja chapter dari fic ini, bakalan langsung makin bingung. Hehe. #plak. Okeh, sekian dulu dari saya. RnR, No Flame! :D