Hari itu adalah pelepasan siswa kelas tiga—di musim semi yang jalan-jalannya masih ditutupi oleh salju; sepertinya musim dingin menolak untuk pergi lebih cepat—walaupun begitu matahari seperti hendak mencairkan salju-salju yang hampir menutupi seluruh jalan, tapi tidak seperti matahari yang terik, suasana hati para adik kelas sangatlah mendung, mereka menangis karena berpisah dengan kakak kelas kesayangan mereka. Banyak diantara mereka saling berbagi momen terakhir mereka sebelum sang kakak kelas melangkah keluar dari sekolah menjalani kehidupan yang baru di luar sekolah entah sebagai mahasiswa atau sebagai pekerja di kedai milik keluarganya sendiri—membantu usaha keluarga.
Dari semua kejadian itu di sinilah aku sekarang, sama sekali tidak mempedulikan semuanya, meskipun telah banyak hal yang terjadi di sekolah; seperti melakukan pentas seni, festival kebudayaan, kegiatan osis, kamping bersama anggota osis, atau hanya sekedar berdiri di lorong kelas membicarakan hal ini dan itu. Semuanya mungkin akan membuatku bersedih ketika mengingatnya kembali suatu hari nanti.
Tak mau berlama-lama di ruang kelas yang mulai terasa dingin dan asing, aku melangkah keluar dari kelas, tak sengaja aku bertabrakan dengan teman sekelasku. Kutatap wajahnya yang sepertinya baru saja selesai menangis. Tanpa ingin terlibat suatu percakapan tak berarti aku kemudian meninggalkan gadis itu sendirian.
"Selamat atas kelulusanmu." Ucapku seraya berlalu begitu saja meninggalkan dirinya sendirian di dalam kelas yang kosong.
Fiksi penggemar ini hanya berisi percakapan ringan antara Eli dan Umi. Dibuat agar pembaca tahu betapa manisnya mereka berdua saat berinteraksi.
Love Live! Sunshine! © Kimino Sakurako, ASCII Media Works, Klab.
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fiksi penggemar ini!
Percakapan Kecil Kita olehOwldio
Alternate Universe.
Chapter 1—berawal dari laut
Dalam masa-masa sulit, kita pasti pernah berpikir untuk menyerah, berpikir betapa tidak bergunanya semua yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun, berpikir bahwa kita tidak akan bisa mendapatkan apa yang kita inginkan; dan terkadang kita pernah berpikir untuk mengakhiri semuanya begitu saja. Aku baru saja melewati masa-masa sulit itu; nyaris saja aku menenggelamkan diriku ke tengah laut—laut yang berada tepat diseberang jalan di depan rumah kerabatku—saat mengetahui bahwa aku tidak lulus ujian masuk ke universitas yang kuinginkan aku segera berlari sekuat tenaga ke arah laut, namun niat bunuh diri itu langsung sirna ketika aku tersadar bahwa aku tidak dapat mati jika hanya dengan menenggelamkan diriku ke tengah lautan—terlebih lagi tubuhku memiliki refleks untuk mengapung kepermukaan begitu aku menyentuh air, bakat alami seorang perenang dan penyelam; dan penari—haha.
Kutarik napasku dalam, menikmati udara segar kota kecil kelahiranku. Jika seandainya aku lulus ujian masuk universitas yang kuinginkan maka aku akan meninggalkan kota ini; aku juga akan meninggalkan laut ini, dan orang-orang yang selalu lalu-lalang di kota kecil ini—oh, sebenarnya aku tinggal di Tokyo, kota kecil ini hanya tempat kelahiranku, begitulah, setelah upacara kelulusan aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah kerabatku yang jauh dari Tokyo. Apakah ini adalah sebuah keuntungan karena aku tidak lulus? Lalu aku masih dapat menghirup aroma segar pedesaan—maksudku, sebuah kota kecil yang sedang berkembang?
Aku tertawa. Menertawakan diriku yang terlalu berpikiran positif. Apa aku salah jika terlalu berpikiran positif? Sehingga aku menjadi tidak mengkhawatirkan apapun? Aku ingin menangis sekarang. Menangisi diriku yang selalu berpikiran positif. Ah Ayase Eli, kenapa kau mendadak aneh begini? Aku menangisi diriku sendiri. Ah, seorang mantan ketua osis yang terlihat tegar dan dingin, menangisi masa mudanya! Memalukan sekali.
Di pinggir pantai ini sekarang aku berdiri, menikmati angin sore, menatap sang mentari yang sebentar lagi akan terbenam. Aku menghela napasku untuk kesekian kalinya, sebelum aku berniat untuk meninggalkan pinggiran pantai aku melihat seseorang berjalan ke arah laut, seorang gadis dengan one piece putihdan rambutnya yang tergerai diterpa angin sore, sejenak aku terpana, aku seperti sedang menyaksikan sepotong adegan di dalam sebuah drama, dimana sang heroin sedang mencoba untuk pergi meninggalkan dunia dengan menenggelamkan dirinya ke tengah lautan. Gadis itu terus berjalan hingga aku hanya dapat melihat kepalanya saja dari tempatku berdiri; sebelum dia menenggelamkan dirinya aku tersadar; itu adalah percobaan bunuh diri yang sama dengan yang aku lakukan berkali-kali namun gagal karena refleksku dan ketidaksiapanku untuk mati!
Aku dengan tergesa berlari ke arahnya. "Untuk seorang gadis secantik dirimu ...
—bunuh diri itu dilarang!" teriakku. Cih. Gadis itu telah menenggelamkan dirinya ke laut dengan cepat kutarik lengannya dan kubawa gadis itu kepermukaan. Aku berhasil menyelamatkannya; namun gadis berambut hitam itu sudah tidak sadarkan diri, apakah aku terlambat? Apakah dia sudah mati? Aku mengecek denyut nadinya, walaupun lemah aku masih merasakan nadinya berdenyut. Kemudian aku teringat pelajaran kesehatan yang diajari guruku di sekolah; pertolongan pertama pada korban tenggelam; cpr!
"Uhuk... uhuk..."
"Ah, padahal aku belum melakukan apapun padamu, tapi kau sudah sadar! Tidak apa-apa yang penting kau baik-baik saja." Aku menghela napas lega, memeluk gadis itu erat setengah kecewa.
"Kenapa kau menyelamatkan diriku?" dalam pelukanku, suara yang terkesan memaksa keluar dari mulut gadis berambut tergerai itu.
Aku melepas pelukanku, tersenyum ke arahnya. "Well, aku hanya tidak ingin kau mati begitu saja, sayang kan? Kau sungguh cantik." Aku menggaruk pipiku yang tidak gatal.
"Aku tidak akan berterima kasih untuk aksi penyelamatanmu."
Sinis. Jawaban yang keluar dari mulutnya sungguh sinis. Aku memang sangat menyayangkan jika gadis cantik sepertinya mati begitu saja. Kenapa orang-orang ini memilih untuk bunuh diri sih? Apakah tekanan yang mereka dapatkan sangat besar dan tidak dapat ditangani sendirian? Oh ya, seperti diriku, tapi alasanku sungguh klise dan lebih seperti suatu alasan bodoh; tidak lulus ujian universitas favorite lalu bunuh diri? Bodoh kan? Tapi aku tidak jadi melakukannya, hati nuraniku menolak untuk mati dengan alasan bodoh seperti itu; kalau saja aku punya alasan yang lebih masuk akal, mungkin tuhan yang akan menarik nyawaku. Setelah bertemu gadis ini aku jadi tidak ingin mati dulu. Terima kasih Tuhan.
"Kenapa kau mencoba bunuh diri?" tanyaku.
"Haruskah aku mengatakan alasannya padamu? Aku bahkan tidak mengenalmu."
"Aku Eli, Ayase Eli, sekarang kau mengenalku, ceritakan alasanmu untuk bunuh diri!" paksaku.
Gadis itu menatapku datar sambil menaikkan alisnya, aku yakin pasti dia sedang membatin betapa anehnya diriku.
"Aku tidak bunuh diri, aku hanya sedang menikmati keindahan laut dan ingin menyelam untuk sementara."
"Benarkah?"
"Ya, seperti yang kau lakukan beberapa hari yang lalu, tapi sepertinya kau memang berniat bunuh diri."
"Kau melihatku?" tanyaku.
Dia menganggukkan kepalanya. "Ya, dari pada aku, kau lah orang yang lebih terlihat untuk mencoba mengakhiri hidupmu sendiri," gadis itu menunjuk diriku. "Kau selalu memandang ke arah laut, tiba-tiba saja berteriak lalu berlari sekuat tenaga menuju laut, aku pikir kau itu gila, kau melakukannya hampir setiap hari—sejak kau ada di kota ini, aku tidak bisa tenang ketika melihatmu menghilang di tengah lautan, namun kau tiba-tiba muncul di permukaan, berteriak kesal dan kembali ke rumahmu."
"Tunggu, bagaimana kau bisa tahu? Dan cerita itu lumayan detail. Kau stalker?"
Gadis itu memerah. "A-aku hanya kebetulan melihatmu saat duduk di dermaga itu, aku mungkin memikirkan hal yang sama denganmu, tapi aku tak pernah punya keberanian untuk mencoba melakukan hal gila itu seperti dirimu." Gadis itu menunjuk dermaga tua dibelakangku, aku tidak pernah menyadari bahwa akan ada seseorang yang menyaksikan semua aksi nekatku selama ini. Aku hanya terdiam setelah mendengar cerita yang disampaikannya. Terdiam dengan tatapan bodohku.
"Sonoda Umi."
Tiba-tiba saja, gadis itu memperkenalkan dirinya padaku. Sebuah senyum terukir di wajahnya. Gadis itu berdiri, membungkukkan badannya lalu pergi begitu saja dari hadapanku yang masih terdiam, seakan sedang berpikir, namun aku sebenarnya tak memikirkan apapun, kemudian hari itu berakhir begitu saja, hari-hari lainnya pun berlanjut; sudah hampir dua bulan aku menganggur di rumah kerabatku, namun tidak ada lagi percobaan bunuh diri yang coba kulakukan, aku juga tidak pernah lagi menginjakkan kakiku ke laut.
"Tidak kah kau ingin melakukan sesuatu?" tanya kerabatku yang melihatku hanya bermalas-malasan di atas sofa sambil membaca sebuah majalah idol.
Aku menatapnya malas, "aku sebenarnya datang kemari untuk bunuh diri..." ucapku tanpa sadar.
"Ha?!" kerabatku menatapku tajam.
"Maksudku, aku kemari untuk menjernihkan pikiranku dari dunia luar, ya, menjernihkan pikiran!" aku segera mengoreksi kalimatku sebelumnya sambil tertawa.
"Menjernihkan pikiran ya menjernihkan pikiran, tapi sudah dua bulan ini kau hanya tidur di tempat tidurmu dan duduk di sofa itu, punggungmu bisa mati rasa kalau kau tidak menggerakkannya seperti saat kau datang kemari pertama sekali."
"Jadi kau ingin aku mati?" Aku menggeliat malas di atas sofa menutup majalah yang sedari kubaca tanpa ketertarikan.
"Bukan begitu bodoh. Setelah semua yang kau lakukan sekarang kau berubah pikiran dan ingin hidup? Menjadi seorang pengangguran muda? Atau kau hanya sedang menunggu calon pengantinmu datang melamarmu?"
"Kumohon jangan bahas apapun soal pernikahan." Aku menutup telingaku.
"Baiklah, aku juga tidak suka dengan topik itu, tapi paling tidak carilah udara segar Eli ... oh ngomong-ngomong, kau tahu hari ini hari apa?" tanyanya.
"Rabu?" aku tertawa, bodoh amat! Peduli apa soal hari ini hari apa, semuanya sama saja kan? Toh matahari masih terbit pada tempatnya.
Kerabatku menjitak kepalaku. "Hari ini hari Senin, aku lebih menyukaimu saat masih menjadi ketua osis, kau lebih bertanggung jawab dan berwibawa."
Aku kembali tertawa. "Oh, aku hanya menjadi diriku sekarang."
"Pantas saja orang tuamu mengirimmu kemari, mereka ingin kau lebih bertanggung jawab." Dia memijat keningnya. "Dasar menyebalkan, sana keluarlah bermain untuk hari ini! Paling tidak Arisa masih lebih manis daripada dirimu."
"Ya, ya aku akan bermain."
Aku beranjak dari sofa melambaikan tangan pada kerabatku itu lalu meninggalkan rumah. Aku kemudian teringat dengan gadis yang kutemui hari itu, apakah dia masih melakukan aksi bunuh diri itu ya? Sudah hampir dua bulan aku tidak berjumpa dengannya, aku lalu berjalan ke arah laut, tidak seperti dua bulan yang lalu, sekarang jalanan cukup ramai, ternyata waktu dua bulan juga dapat membuat perubahan ya—walaupun tidak banyak sih, jalan yang tadinya sepi menjadi lebih sedikit ramai begini, ya, ramai dengan pejalan kaki—rata-rata anak sekolahan lah yang menghiasi jalanan.
Aku berdiri di pinggir jalan, menatap laut dari tempatku berdiri. Aku terus melihat laut itu hingga sebuah suara mengejutkanku.
"Ayase Eli ... ?"
Aku membalikkan tubuhku. "Gadis yang mencoba bunuh diri waktu itu!" aku menunjuknya. "Kau masih hidup!"
"Tolong jangan sebut aku begitu, bukan kah aku sudah memperkenalkan diriku?" gadis itu protes. "Aku memang masih hidup, sudah kukatakan kan kalau aku tidak bunuh diri?"
"Maafkan aku, Shinoda Umi bukan?"
"Sonoda." Koreksinya. "Jadi, apa yang kau lakukan? Aku pikir kau sudah tidak di sini lagi, aku jadi sedikit merasa sedih."
Aku tertawa. "Jadi aku membuatmu sedih ya, kau pasti kesepian kan? Padahal kau tidak mengenalku." godaku.
"Apa-apaan?" gadis itu memalingkan wajahnya.
"Haha, maafkan aku, sebenarnya dua bulan ini aku sibuk berhibernasi."
"Ha? Memangnya kau beruang?" dia tertawa.
Aku memiringkan kepalaku. "Memangnya beruang melakukan hibernasi?" tanyaku.
"Yang benar saja! Kau tidak tahu?" Dia tertawa. "Ngomong-ngomong, sedang apa di sini? Tidak sekolah?"
"Sekolah?" aku menaikkan alisku, ah benar, ternyata gadis ini satu tahun lebih muda dariku, aku melirik dirinya dari bawah hingga atas, gadis itu—Sonoda Umi—menutupi dadanya dengan kedua tangannya.
"A-apa yang kau lihat?!" dia mencoba menutup mataku.
"Se-sebentar, aku tidak sedang melihat dadamu kok!" aku melangkah mundur, tanganku berusaha untuk meraih tangannya yang berusaha menutup mataku. Aku dapat melihat wajahnya yang memerah. Tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbanganku saat melangkah mundur, Sonoda Umi yang berusaha menutup mataku juga kehilangan keseimbangannya dan terjatuh menimpaku.
"Aduh..." aku mengaduh. Pendaratan yang sempurna pikirku. Kedua tanganku merasakan sesuatu yang empuk—seperti jeli, tidak bukan, apa ini? Aku menggerakkan kedua tanganku, tunggu—tunggu dulu, ini kan ... jangan bilang ... ?!
"Kyaa!" teriak Sonoda Umi lalu menjitak kepalaku dengan tas yang di bawanya secara refleks. Wajah gadis itu merah padam.
"Ah, anu, aku tidak sengaja, maafkan aku..." aku menutup wajahku dengan satu tanganku karena malu, tanganku yang satunya memegangi bekas jitakan Umi. "Aku sebenarnya tidak berniat untuk melihat dadamu dan memegangnya, hm, ya, itu murni kecelakaan, aku hanya sedang memperhatikan seragam sekolahmu." Ujarku.
Umi terdiam cukup lama dan kami berdua masih terduduk.
"Kita berdua perempuan seharusnya, tidak apa-apa kan?" kataku, aku melirik ke arahnya. Wajahnya masih memerah, namun air mata mulai keluar membasahi pipinya. Dia mengangis? Ah, gawat, bagaimana ini? Kenapa dia jadi terlihat manis sekali begitu? Hati kecilku tidak bisa berhenti berteriak. Gawat. Gawat. Gawat. Eli. Kau ini perempuan, perempuan tidak boleh jatuh cinta pada perempuan. Gawat, dia manis sekali... Eli sadarlah!
"Tolong! Kurangilah manismu sedikit saja, kau bisa membuat hatiku diabetes!" teriakku.
"Ha?!" Umi menatapku dengan wajah merah dan air matanya, tatapannya marah namun dia tidak terlihat marah, dia seperti anak kecil yang sedang ngambek karena permennya direbut. Dia kemudian bangkit lalu membalikkan badannya. "Bodoh! Dasar mesum!" teriaknya seraya berlari meninggalkanku yang masih terduduk di pinggir jalan. Aku terus menatapnya berlari menjauh dariku, kemudian aku tersenyum.
Ah. Aku ingin bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertegur sapa dengannya. Kalau begini aku tidak ingin membunuh diriku sendiri. Aku ingin mendekatinya. Aku ingin hidup. Tolong berikan aku kesempatan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan sekali ini saja! Kalau aku bertemu lagi dengannya, aku akan minta maaf.
Aku melangkahkan kakiku menuju rumah dan kerabatku menyapaku kembali.
Percakapan selanjutnya?
