Warning : karakter OOC, ada OC, typo, dan segala macam kesalahan yang terkadang luput dari pandangan Author

Disclaimer : Diabolik Lovers bukanlah milik Author, hanya meminjam karakternya untuk membuat fanfiction ini~

Karena ada banyak kesalahan yang cukup fatal, terlebih typo bertebaran dimana - mana, Author mau edit ulang dulu. Biar minna lebih nyaman buat bacanya hehehe


Prolog

Ia berusaha lari secepat yang ia biasa. Ia terus menerus berdoa semoga ia bisa sampai disana tepat waktu. Ia sungguh menyesal karena tidak makan apa yang diberikan oleh mereka padanya selama seminggu ini. Hanya minum dan minum air yang disuguhkan tiap hari. Kini ia benar – benar membutuhkan makanan untuk bisa lari dengan cepat. Tapi, tentunya tak ada waktu untuk berhenti dan makan apa yang bisa dimakan. Jika tidak cepat, ia bisa kehilangan nyawa orang – orang yang ia sayangi. Ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali tepat didepan matanya. Tidak untuk kedua kalinya.

Samar – samar aroma darah tercium. Ia mengenal dengan sangat baik aroma darah ini. Ia mulai mempercepat larinya, tidak mempedulikan apa dan siapa yang ia tabrak. Ia hanya ingin sampai disana, menolong mereka. Pikiran buruk mulai menghampirinya ketika aroma darah itu semakin kuat.

Ketika dirinya sampai disana, lututnya gemetar dan napasnya naik turun tak karuan. Matanya melebar melihat apa yang ia lihat disana. Lantai keramik yang dingin itu tertutupi oleh kubangan darah. Aromanya sungguh tak tertahankan mengingat kubangan darah itu berasal dari empat orang. Air matanya langsung tumpah begitu saja tanpa bisa ia hentikan.

Ia terlambat. Sangat terlambat.

Dengan langkah kaki yang gemetar, ia mendekat kearah tubuh yang paling dekat dengannya. Lukanya cukup parah dan dadanya pun terkoyak seolah jantungnya diambil paksa. Tubuh tingginya berlumuran dengan darahnya sendiri. Rambut hitam keperakan yang ia sukai pun harus ternoda oleh darah. Dengan pelan, ia membaringkan tubuh tak bernyawa itu ketempatnya. Menangisi tubuh itu.

Samar – samar ia mendengar suara erangan. Ia segera mendongakkan kepalanya dan mencari sumber suara itu. Ia langsung mendekati orang itu dan menggengam erat tangan yang tengah terangkat itu. Kelopak mata orang itu terbuka dengan pelan. Dibalik bibirnya yang bersimbah darah, ia melihat seulas senyum mengembang.

"Syukurlah... kau... baik – baik... saja..." ucapnya pelan.

"Jangan bicara," sergahnya. "Aku akan menyelamatkanmu."

"Ja... ngan..." tolaknya. Ia kembali memuntahkan sejumlah darah, membuat bajunya yang sudah penuh darah dipenuhi darah kembali. "Sudah... jangan... menangis... Yuki..."

Air matanya mengalir semakin deras. Ia mendekatkan tangan orang itu kewajahnya, menyentuh kulitnya yang dingin juga basah oleh darah. Ia bisa merasakan gerakan pelan dari jari orang itu yang berusaha mengusap air matanya yang jatuh. Ia tahu bahwa orang dihadapannya ini tak mungkin selamat meski ia membawanya untuk diobati. Tapi, dilubuk hatinya yang paling dalam, ia masih ingin berharap ada cara lain untuk menolongnya, menolong ketiga orang yang sudah tak bernyawa yang sudah pergi terlebih dulu.

"Balaskan... dendam... kami..."

Setelah mengucapkan kalimat itu, matanya tertutup kembali. Ia terkejut dan berusaha memanggil namanya. Namun, tak ada reaksi. Tak ada jawaban. Ia menguncangkan tubuh orang itu dengan keras, barangkali bisa membangunkannya. Tapi, hasilnya sama saja. Ia sudah meninggalkan dirinya, pergi menyusul yang lain.

"Tidak. Kumohon, jangan tinggalkan aku..." isaknya.

Mendadak, muncul sebuah sinar lembut didepannya. Ia mendongak dan melihat seorang pria yang kiranya berumur 30 tahunan dengan rambut pirangnya yang dibiarkan tergerai. Pria itu mendekatinya, menanyai mengapa dirinya menangis. Air matanya langsung tumpah kembali, tak sanggup untuk menjawab pertanyaan pria itu.

"Bagaimana kalau kuberi kau dan teman – temanmu kesempatan?" tawar pria itu.

"Kesempatan?"

Pria itu menganggukkan kepalanya. "Jika kau ingin bertemu kembali dengan mereka sekaligus membalaskan dendam mereka, hanya ada satu cara untuk melakukannya."

"Aku akan melakukannya," ucapnya tegas. "Aku tidak peduli walau harus mengorbankan nyawaku sendiri ataupun sampai membuat perjanjian dengan iblis. Asal bisa bertemu mereka lagi, aku..."

"Aku mengerti maksudmu," sahut pria itu. Ia merogoh kantong jasnya dan mengeluarkan semacam botol bening berukuran sedang. Didalam botol itu terdapat kuncup mawar hitam, yang anehnya berdiri dengan tegak. "Katakanlah permohonanmu dan kau akan terikat dengan mawar hitam ini sampai permohonanmu terkabul."

"Jika tidak terkabul?" tanyanya.

"Jika tidak terkabul dan kejadian ini terulang, kau akan kembali pada waktu yang sama untuk mencegahnya terjadi kembali. Intinya, kau akan terus mengulang waktumu hingga bisa mencegah hal ini terjadi," jelasnya.

"Satu hal lagi," sambungnya. "Saat kau kembali pada waktu yang sama, ingatan teman - temanmu mengenai dirimu akan hilang. Jadi, kau harus menemukan cara untuk meyakinkan kata - katamu pada mereka. Bagaimana? Masih ingin menerima tawaranku?"

Ia mengangguk mantap. "Aku tidak peduli apa mereka akan lupa padaku atau tidak. Aku hanya ingin bertemu mereka kembali dan memperingatkan mereka."

Pria itu tersenyum bangga dan kembali berdiri, kemudian membungkukkan tubuhnya sedikit. "Kalau begitu, kudoakan semoga kau berhasil, Lucifer-ku."