Disklaimer: Haikyuu! milik Furudate Haruichi. Penulis tidak mengambil keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini selain kesenangan belaka.

Peringatan: Light-Science Fiction; BokuAka; possibly OOC; drama opera sabun; time travel. Alternate Reality.


GANON D800I

Dedikasi untuk Matchann – Prompt: Kamera

Story by Kenzeira


Kamera Ganon D800i itu diberikan kepada Keiji tiga hari sebelum ayahnya meninggal dunia, terlindas truk pengangkat barang. Hancur.

Dengan alasan demikian, ia menolak segala tawaran yang datang padanya untuk menjual kamera tersebut, tidak peduli meski diiming-imingi harga yang sungguh tak masuk akal. Barangkali manusia zaman sekarang mengalami kemunduran otak, mereka berpikir barang langka semacam itu benar-benar pantas dihargai sedemikian mahal. Padahal tak ada yang istimewa. Hanya kamera biasa. Agak karatan dan sulit menangkap obyek dengan sempurna—atau malah kamera tersebut sebetulnya sudah rusak karena tak bisa lagi mengambil gambar.

Seorang teman menyuruhnya menjual kamera itu. Tak ada gunanya. Barang rusak. Peninggalan tidak hanya berbentuk barang, tapi kenangan—kenangan yang tak berwujud, namun tertanam selamanya di dalam diri Keiji. Begitulah temannya merayu. Tentu saja, ia menolak. Apa pun alasannya, ia tetap menolak. Karena ia merasa ada yang aneh dengan kamera itu. Dan kematian ayahnya juga aneh baginya. Terlalu mendadak, tanpa peringatan. Meski ia sepenuhnya sadar, hidup dan mati manusia tidak ada yang tahu. Kecuali jika si manusia itu sendirilah yang menjemput kematiannya; membiarkan tubuhnya terlindas truk dan mampus seketika.

Maka dari itu, ayahnya memberikan kamera tersebut pada Keiji. Soalnya sudah bosan hidup. Mau mati saja. Dan kamera Ganon D800i itu merupakan satu-satunya barang paling berharga dalam hidup ayahnya, yang jika mati, harus diwariskan kepada anaknya; kepada Keiji. Tapi, tentu, pemikiran demikian langsung dipatahkan oleh sanak-saudara.

Jangan gila. Ayahmu mati bukan karena dia menginginkan kematian. Kalau memang begitu, lalu untuk apa dia menerima undangan reuni yang diadakan tepat sehari setelah kematiannya? Dia pasti merindukan kawan-kawannya semasa SMA. Jadi, tidak mungkin dia mati karena bunuh diri. Itu murni karena kecelakaan.

Aku bukan berpikir gila. Aku hanya mengira-ngira. Siapa tahu betul. Kalau salah, ya sudah, berarti memang tidak ada yang istimewa mengenai kamera ini.

Tapi, benarkah begitu?

Kamera tersebut tetap enggan bekerja dan Keiji tidak mau memperbaikinya. Ia hanya bisa melihat-lihat apa yang ada di dalam memori kamera itu, gambar-gambar tak jelas, bunga-bunga, langit, awan hitam menggumpal. Dan seorang laki-laki, mengenakan seragam SMA Fukurodani, sekolah tempat ayahnya mengenyam bangku pendidikan. Senyuman laki-laki itu lebar sekali. Jika diperdekat, ada papan nama di bagian dada: Bokuto.

Bokuto?

Keiji mengenal nama itu. Nama yang selalu muncul di dalam surat-surat ayahnya. Ia kembali mencari-cari surat itu, mungkin saja masih disimpan rapi, entah di mana. Tapi tidak ada. Tidak di mana pun. Barangkali hilang. Atau dibuang—atau lebih parah lagi, dibakar, tanpa sisa selain abu. Keiji merasa sia-sia. Biarlah. Sudah takdir, menjadi rahasia.

Tidak begitu banyak foto yang diambil ayahnya. Keiji bahkan tidak melihat fotonya sewaktu kanak-kanak, atau bayi, atau saat di dalam kandungan ibunya. Foto ibunya juga tidak ada. Kamera itu hanya berisi hal-hal random, tidak jelas, terkesan asal. Tapi ia tahu ada sesuatu di balik semua keganjilan itu, mengenai keberadaan foto-foto Ibu dan ayahnya, atau ia sendiri ketika balita, atau soal mengapa hanya ada satu foto manusia di sana; seorang lelaki yang tersenyum sungguh lebar bernama Bokuto.

Ayahmu bukan tidak lagi mencintai Ibu, Keiji, tapi dia memang tidak pernah mencintai Ibu. Ibulah yang mencintai ayahmu—dan menerimanya meski dia begitu.

Keiji tahu ke mana kesimpulan ini bakal bermuara. Ia hanya tak mengira bahwa ternyata yang dicintai ayahnya adalah seorang laki-laki—laki-laki yang mungkin saja bernama Bokuto. Bukan. Laki-laki itu memang Bokuto.

Sekali lagi, Keiji memandang gambar-gambar yang diambil ayahnya, seraya berbaring, berhadapan dengan langit-langit kamar dan lampu di tengah-tengahnya. Malam nyaris berada di puncak tatkala ia tak sengaja menekan tombol memotret. Mendadak kamar berubah gelap. Mati lampu. Ia memutuskan untuk menyimpan kamera tersebut di samping tempat tidur. Dan tidur.

.


.

Tapi lampu tidak pernah menyala.

Tidak, bukan tidak pernah menyala. Lampu itu hilang begitu saja. Seperti tak pernah ada.

Kemudian, Keiji memotret dirinya sendiri pada tengah malam berikutnya. Dan ia menghilang, seperti tak pernah lahir.

.

.

.


(to be continued)

9:44 PM – 19 December 2016