"Kalian... Benar-benar sangat jahat!"
Seru Jihoon setelah mendengar keputusan telak dari mulut ayahnya.
Dengan wajah yang telah basah oleh air mata, Jihoon berlari keluar meninggalkan meja makan. Berlari sejauh mungkin, berharap dengan itu dia akan benar-benar terlepas dari mereka yang selalu menyakitinya.
'Mereka pasti sangat menyayangiku, hingga memberiku banyak kesempatan untuk menderita'
Lee Jihoon, umur 24 tahun. Pria manis yang sudah menjadi kekasih Kim Mingyu selama dua tahun terakhir. Tahun ini berencana untuk menikah tapi gagal karena kakak tirinya, Jeon-- Lee Wonwoo, menyukai kekasihnya dan ingin menikah dengannya.
Mendengar kekasihmu yang akan menikah dengan orang lain--apalagi dengan kakak tirimu-- pasti sangat menyakitkan. Bukan tak mau mengalah, ia bahkan selalu mengalah atas apa yang menimpanya. Bukankah seharusnya yang lebih tua yang harus mengalah? Kenapa harus selalu dia yang mengalah?
Pertama, ia mengalah untuk menempati kamar yang sempit setelah hari pertama kepindahan Wonwoo dan Eommanya. Padahal sebelumnya ia menempati kamar yang luas, yang sekarang ditempati oleh Wonwoo.
Kedua, ia mengalah atas semua fasilitas yang diberikan ayahnya kepada mereka. Cenderung tidak mendapatkan apa-apa karena Wonwoo yang merebut semuanya.
Ketiga, ia mengalah atas semua yang seharusnya menjadi haknya, kini malah menjadi hak Wonwoo.
Keempat, dia mengalah atas semua tuduhan ayahnya atas kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh Wonwoo. Dan berakhir dengan dia yang diberi hukuman atau dipukul jika ayahnya dalam mood buruk.
Jihoon mengalami itu semua setiap hari semenjak Wonwoo datang bersama ibunya.
Apakah Wonwoo masih kurang cukup membuatnya menderita? Kenapa harus Mingyu yang dia ambil? Kenapa tidak barang atau hal lain yang biasanya dia rebut? Kenapa selalu Jihoon yang harus mengalah? Kenapa?!
Dan Mingyu, ia tidak punya pilihan lain. Jika ia menolak, Tuan Lee akan menghancurkan perusahaan dan keluarganya.
Jujur saja, Jihoon sudah dari dulu merasa muak dengan semua drama dan penderitaan yang datang silih berganti menghampirinya. Maka tanpa ragu, dengan wajah yang semakin basah oleh air mata, ia menambah laju berlarinya menuju aspal dengan coretan putih yang sering menjadi sarana kendaraan untuk lewat.
Semakin dekat, lima langkah lagi ia akan berhasil mempertemukan tubuhnya dengan besi besar yang melaju kencang di depannya.
Namun lengan kekar yang entah datang darimana, menarik tubuhnya menjauh dari truk besar yang nyaris menabraknya. Tubuhnya terjatuh menimpa pemilik lengan kekar tadi di trotoar--setidaknya sudah tidak di tengah jalan.
Jihoon menganggkat kepalanya, hanya untuk sekedar mencari tau siapa orang yang 'baik hati' menolongnya. Saat netra kembar itu bertabrakan, dirinya membeku. Bukan, Jihoon bukan jatuh cinta seperti cerita klasik--yang jatuh cinta setelah diselamatkan dari kecelakaan-- tapi karena orang di bawahnya ini adalah orang yang sangat ia kenal. Melihatnya dalam keadaan seperti ini, membuat Jihoon kembali merasakan panas pada matanya. Tanpa sungkan, ia meraung pilu dan memukuli dada pria di bawahnya--tanpa berpikir untuk mengubah posisi agar lebih nyaman-- dan melesakkan wajahnya di ceruk leher pria itu.
"Kau sudah tau, Jihoon-ie? Tenanglah, ada aku yang sama sepertimu."
Ujar pria itu sambil mengusap lembut punggung Jihoon. Membisikkan kata-kata penenang yang bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Karena orang yang mengatakannya pun sama sepertinya, hatinya hancur dan Jihoon yakin dia pun juga ingin menangis.
Kali ini Jihoon mulai tenang, sudah tidak meraung dan memukul, tapi tetap menyembunyikan wajahnya di leher pria di bawahnya, sesekali terdengar sesenggukan. Ia harus kuat-- setidaknya pura-pura kuat-- seperti pria di bawahnya ini.
Dia--Soonyoung, Kwon Soonyoung-- yang selama ini dikenal Jihoon sebagai kekasih dari kakak tirinya, Wonwoo. Dan dia salut pada Soonyoung yang terlihat kuat di luar, seakan hatinya tidak sakit setelah mendengar keputusan dari orang yang dicintainya yang ingin menikah dengan orang lain.
Dan bertemu disaat situasi seperti ini, Jihoon bersyukur dalam hati.
Tapi tunggu...
Situasi seperti ini?
Jihoon secara tiba-tiba mengangkat kepalanya dan bangun dari tubuh Soonyoung setelah sadar posisi mereka. Untung saja jalanan sedang sepi.
Jihoon berdiri kikuk sambil menundukkan kepalanya, menggumamkan kata maaf, pipinya terasa panas. Soonyoung ikut bangun lalu menepuk-nepuk setelannya, menghilangkan debu yang menempel. Setelah selesai, dirinya mendekati Jihoon sambil tertawa, tidak keras tapi mampu membuat Jihoon semakin malu.
"Eiy kenapa menunduk? Kajja, kita pulang--ke rumahku."
Ujar Soonyoung yang sepertinya mengerti jika sekarang Jihoon sedang malu. Dan menawarkan pulang ke rumahnya, dia serius. Sebab Soonyoung mengerti, Jihoon sedang tidak baik-baik saja untuk kembali ke rumah ayahnya. Pun Jihoon tidak bisa menolak. Mengingat ia tidak membawa apa-apa saat berlari dari rumah. Ia terlalu shock, sebab yang ada di pikirannya saat itu adalah rasa sakit yang berdenyut di dadanya dan ingin menghilang saat itu juga.
Setibanya di rumah Soonyoung, Jihoon tak lantas masuk. Ia masih ragu, sedikit takut juga sebab ini rumah Soonyoung sendiri. Yang artinya mereka akan berdua di dalam sana. Meskipun Jihoon sudah lama mengenal Soonyoung, tetap saja masih ada keraguan yang ia rasakan.
Soonyoung yang sudah selesai membuka pintu, menoleh ke belakang. Mengajak Jihoon untuk masuk sebab udara sudah mulai terasa dingin. Seakan mengerti apa yang kini dirasakan cal-- ah, mantan calon iparnya, Soonyoung tersenyum maklum lalu mengucapkan kalimat yang mampu membuat Jihoon tenang sekaligus lega.
"Walaupun aku sudah berakhir dengan Wonwoo, aku masih menganggapmu sebagai adikku. Jadi, kemarilah, udara sudah mulai menusuk kulit"
Tak terasa sudah satu tahun Jihoon tinggal bersama Soonyoung. Selama itulah mereka mencoba melupakan apa yang terjadi satu tahun yang lalu. Jihoon seakan musnah dari kehidupan keluarga Lee, dan Soonyoung terlalu sibuk untuk mengingat kejadian setahun silam.
Mereka kini seakan memulai hidup baru. Soonyoung yang setiap harinya sibuk mengurusi perusahaan ayahnya, dan Jihoon yang sibuk menjadi sekretaris Soonyoung. Ya, Soonyoung memutuskan memberi Jihoon pekerjaan.
"Agar kau bisa menunjukkan kepada mereka bahwa kau mampu bahagia tanpa adanya orang-orang jahat itu"
Kata Soonyoung saat itu.
Jihoon sangat berterimakasih pada Soonyoung. Sebab Soonyoung seperti payung di hidupnya. Yang datang dan melindungi dari hunjaman air yang mengenai tubuhnya. Jika disuruh menghitung, mungkin Jihoon tidak sanggup karena sudah terlalu banyak Soonyoung memberinya bantuan dan kebaikan.
Dan sampai sekarang pun, mereka masih tinggal bersama. Soonyoung benar-benar memperlakukan dirinya sebagai seorang adik. Hingga membuat Jihoon lupa akan adanya penderitaan yang dulu dialaminya. Bersama Soonyoung, Jihoon dapat merasakan kasih sayang dari seorang ayah, kakak, sekaligus adik. Kadang Soonyoung akan bersikap sangat dewasa dan bijaksana seperti seorang ayah. Kadang dia bersikap gentle seperti seorang kakak, dan akan bersikap manja pada Jihoon disaat tertentu seperti seorang adik.
Intinya, Jihoon merasa sangat bersyukur sudah mengenal Soonyoung. Begitupun Soonyoung yang bersyukur mempunyai Jihoon sebagai adiknya. Mereka saling bersyukur atas kehadiran mereka di sisi masing-masing. Yang saling melengkapi dan menguatkan.
.
.
.
.
.
.
.
End
