Tittle: GET DOWN (Meanie)
Cast: Jeon Wonwoo
Kim Mingyu
Others
Genre: Yaoi, bdsm/?
Rated: untuk sementara T
Disclaimer: Plot ceritanay murni punya author, Wonwoo juga punya author.
Summary: Jeon Wonwoo, harus hidup menderita dengan statusnya sebagai istri Kim Mingyu.
DON'T LIKE DON'T READ AND REVIEW PLEASE
.
.
.
HAPPY READING!
Sesosok pria bertubuh tinggi dengan surai cokelat, tampak membawa sesuatu dalam gendongannya. Pria itu menaiki tangga, melewati barisan dinding bercat cokelat muda, dan langkahnya berhenti di depan sebuah pintu hitam. Tangannya memutar knop pintu. Membiarkannya terbuka.
Ruangan itu gelap, lampunya dimatikan. Hanya seberkas cahaya yang masuk lewat celah-celah gorden. Pria jangkung itu meletakkan tubuh kurus yang digendongnya kekasur. Mengusap lembut surai pemuda manis yang tertidur itu. Pria jangkung itu bernama Kim Mingyu.
Mingyu mengusap lagi rambut yang lepek oleh peluh itu. kemudian membetulkan posisi sosok yang terlelap tanpa pakaian itu. hanya selimut tipis yang sejak tadi dipakaikan Mingyu ketubuhnya. Mingyu merunduk, mencium sejenak bibir tipis di depannya itu. Kemudian mencium keningnya, kedua matanya, hidungnya, dan lagi bibir tipis pemuda manis berkulit putih pucat itu.
Mingyu menghampiri lemari di belakangnya, meraih sebuah selimut beludru tebal yang hangat. Menyelimuti sosok manis itu dengan selimut tebal. Kemudian berbisik,
"Tidurlah yang nyenyak, Kim Wonwoo. Dan maaf aku bermain kasar lagi tadi." Bisiknya pelan. Raut wajahnya tetap datar.
Mingyu merapihkan jasnya, kemudian berjalan meninggalkan ruang tidur kedap udara itu. Menutup pintunya, dan menguncinya.
"Oi!" Panggil Mingyu, seorang pria mungil bersetelan pelayan menghampiri Mingyu dengan pandangan sungkan.
"Ada apa, Tuan?" Tanya pemuda bername tag Lee Jihoon itu.
"Ini, pegang kunci kamar Wonwoo. Kalau dia menggedor pintu atau berteriak minta sesuatu, turuti saja kemauannya. Jangan biarkan dia melakukannya sendiri. Kau harus terus berjaga di sini." Perintah Mingyu.
"Saya mengerti tuan." Sahut Jihoon, menerima kunci yang disodorkan Mingyu. Kemudian Mingyu berjalan menuruni tangga, meninggalkan Jihoon yang berjaga di depan pintu kamar Wonwoo.
.
.
Mingyu kembali keruang khusus. Tempat pestanya dan teman-temannya berlangsung. Music berdentum keras dari ruangan itu. Tapi ruangan itu kedap suara, sehingga tak terdengar apapun dari bagian rumah yang lain.
Didalam sana pria-pria muda dan tampan tampak berkeliaran. Dan jangan lupakan wanita-wanita jalang yang berpakaian sangat minim. Sampai kau bisa melihat pakaian dalam mereka saat mereka membungkuk. Entah siapa yang mengundang wanita-wanita itu, yang pasti mereka selalu ada saat Mingyu berpesta ria dengan teman-temannya.
Mingyu mendudukkan dirinya di sebuah sofa panjang yang kosong, berhadapan dengan temannya Seungcheol yang sudah ditemani wanita cantik dan seksi di kanan dan kirinya.
"Oi, Kim. Dari mana saja kau?" Tanya Seungcheol, mereguk kembali brendi yang berjajar rapih di meja.
"Menyelesaikan urusan kecilku." Mingyu tersenyum. Membiarkan dua wanita jalang bergelayut manja di bahunya.
"Halah. Kau pasti mengurus istrimu dulu, kan? Sudah kubilang. Istri itu tak penting. Hanya akan mengganggu waktu senangmu!" Seorang pria berwajah chinese menyahut, Wen Junhui.
Mingyu hanya tertawa pelan mendengarnya.
"Ayo kembali berpesta!" Seru seorang pria bule yang menjadi kendali DJ di sana. Semuanya bersorak. Dan music kembali berdentum keseluruh sudut ruangan. Sementara bau alkohol dan bau seks mulai menguar di berbagai penjuru.
Begitulah, setiap sabtu malam, pria-pria muda dan kaya itu selalu menggelar pesta sesukanya. Dan mereka lebih suka melakukannya di rumah Mingyu. Karena Mingyu memiliki rumah yang paling luas dengan ruang pesta khusus. Dan juga, tidak aka nada orang tua yang teriak-teriak kebisingan di sana, karena seluruh ruangan kedap suara. Sehingga para tetangga tidak akan tahu menahu apa yang terjadi di dalam rumah megah dan mewah itu.
.
.
.
.
Sinar mentari mulai menembus celah-celah gorden. Biasnya menerpa wajah pucat dan manis seorang pria mungil yang tertidur dengan selimut beludru tebal berwarna cokelat keemasan itu. merasa terganggu dengan sinar mentari, pemuda itu menggeliat bangun. Mengucek matanya lucu dengan gayanya yang khas. Kemudian menatap sekelilingnya. Dan sesuai dugaannya, ia masih dalam keadaan telanjang. Hanya selimut tipis yang menggulung tubuh polosnya.
Pemuda itu melirik jam yang tersedia di nakas. Jam setengah delapan pagi. Dan perutnya berteriak minta sarapan.
"Oi!" Panggilnya. Tapi taka da yang menyahut.
Pemuda itu, Jeon atau lebih tepatnya Kim Wonwoo, meraih ponselnya. Mendial nomor seseorang. Lee Jihoon. Pelayan pribadinya.
"Halo, Jihoonie~" Sapa Wonwoo dengan suara serak khas bangun tidur.
"Aku lapar. Bawakan sarapan kekamarku." Ujarnya lagi. Kemudian menuutup sambungan telepon.
Tak sampai lima menit, pintu kamarnya terbuka seorang pemuda imut bersurai jingga seperti permen kapas masuk. Membawa nampan sarapan Wonwoo.
"Wah Wonu-ya, kau belum mandi dan bahkan tidak berpakaian, tapi sudah minta makan?" Jihoon tersenyum manis pada Wonwoo, meletakkan sarapan Wonwoo di meja nakas.
"Aku lelah Jihoonie. Dan aku sangat lapar." Wonwoo menyambar sarapannya. Melahapnya dengan begitu semangat. Jihoon hanya tersenyum tipis melihatnya.
"Oh ya, Jihoonie, tolong siapkan Michi ya, aku ingin jalan-jalan sebentar dengannya di taman belakang." Ujar Wonwoo di sela-sela kunyahannya.
"Baik, tuan." Sahut Jihoon.
"Yah! Hentikan panggilan menggelikan itu!" Wonwoo cemberut lucu. Dan Jihoon tertawa.
"Baiklah, aku pergi dulu, Wonu-ya." Pamit Jihoon. Meninggalkan kamar Wonwoo.
Selesai sarapan, Wonwoo beringsut meninggalkan ranjangnya tanpa sehelai benangpun. Membiarkan tubuhnya yang putih dan ramping terekspos sempurna. Masuk kekamar mandi.
Sebelum mandi, Wonwoo memandangi dirinya di cermin besar dan lebar di hadapannya. Kulitnya yang putih pucat itu kini dipenuhi bercak merah dan bahkan biru keungungan bekas perbuan Mingyu semalam. Bahkan beberapa luka sayatan kecil di beberapa bagian. Wonwoo meringis. Meski dia sudah sering di perlakukan begini, dia tetap saja merasa sakit.
Ia rindu Eomma dan Appanya. Ia rindu adiknya Bohyuk. Ia juga rindu teman-temannya, Junghan dan Jisoo di Changwon sana. Apalah daya, ia hanya bisa menangis dalam diam seperti ini.
Selalu, seperti ini. Sebelum ia memutuskan mandi dan berendam membersihkan diri.
.
.
.
"Jihoonie, dimana Michi?" Tanya Wonwoo sambil menuruni tangga. Sekarang dia sudah tampak lebih segar dari sebelumnya. Dan ia juga sudah mengobati luka-lukanya. Wonwoo terlihat sangat manis dan menggemaskan dengan sweater pink pastel oversize nya. Mungkin yang seharusnya memakai sweater itu Mingyu yang bertubuh tinggi kekar dan bahu yang lebar. Bukan Wonwoo yang bertubuh kurus dan ramping. Sehingga sweater itu membuatnya terkesan sangat mungil. Dan juga celana jeans hitam yang membalut kakinya. Seharusnya jeans itu ketat untuk orang setinggi Wonwoo, tapi kalian tahu kalau Wonwoo sangat kurus sehingga jeans itu terlihat longgar dikakinya yang panjang dan kurus.
"Ini dia, Wonu-ya." Ucap Jihoon, tangannya memegangi tali berwarna kuning terang yang ujungnya terkait dengan kalung Michi. Anak anjing lucu peliharaan Mingyu. Anjing itu memang milik Mingyu, tapi hei, Mingyu terlalu sibuk mengurusnya. Jadi ia biarkan saja para pelayan yang mengurusnya.
"Michi-ya. . . kau terlihat lebih gemuk ya. Seungkwanie pasti memberimu makanan yang bergizi." Wonwoo berjongkok, mengusap-usap anjing mungil itu dengan tangannya yang setengah tertutup oleh lengan sweternya sendiri.
"Kau mau berjalan-jalan sendiri atau kutemani, Wonu-ya?" Tanya Jihoon.
"Aku berdua dengan Michi saja." Sahut Wonwoo. Ia mengangkat anjing mungil itu, mendekapnya hangat.
"Ya sudah, aku permisi dulu. Ada yang masih harus kukerjakan." Jihoon pergi dari hadapan Wonwoo. Dan Wonwoo masih asik dengan Michi.
"Baiklah, ayo kita berkeliling, Michi-ya~" Ajak Wonwoo dengan suaranya yang dibuat lucu seperti anak kecil.
.
.
.
Wonwoo berjalan perlahan mengelilingi kebun belakang bersama Michi. Tangannya menggenggam erat ujung tali anjing itu sedang tangan yang satunya menjinjing keranjang kecil berisi camilan dan minuman kotak. sementara Michi tampak menikmati waktunya diluar.
Taman belakang rumah Mingyu seluas kebun raya. Kau bahkan bisa membuatnya jadi kebun binatang kalau Mingyu mengizinkannya. Sayangnya, Mingyu lebih suka menjadikan lahan seluas itu kebun bunga.
Disudut taman terdapat rumah kaca mungil yang cantik. Wonwoo berjalan memasuki rumah kaca itu. ia melapas tali Michi, membiarkannya berjalan sendirian mengelilingi rumah kaca.
Sepertinya tadi pagi tukang kebun Mingyu baru saja menyiram semua tanaman yang ada di kebun belakang. Sehingga mereka tampak begitu segar untuk dipandang.
Wonwoo mendudukkan dirinya dikursi kayu yang berada di tengah-tengah rumah kaca itu. menyelonjorkan kakinya dan meletakkan keranjangnya di tanah yang tertutup rumput hijau yang lembut.
Wonwoo menyesap susu stoberi di tangannya. Haus. Ia sudah satu kali mengelilingi kebun belakang yang sangat luas itu. wajar kalau ia kelelahan.
Wonwoo memanggil Michi, membawa anjing mungil itu kepangkuannya. Sementara ia mulai rebahan pada kursi kayu yang didudukinya. Menatap keatas dimana cahaya matahari tampak menyusup di celah-celah tumbuhan rambat yang tumbuh di atap rumah kaca itu.
"Kau tau Michi-ya, semalam aku memimpikan orang itu lagi." Ujar Wonwoo, mulai bercerita.
Ia lebih suka bercerita pada Michi, karena lebih terjamin kerahasiaannya dan Michi takkan menyela ucapannya sampai kapanpun. *Hell*
"Orang yang sering kuceritakan padamu. Aku tak tahu dia siapa." Ujar Wownoo, mengingat mimpinya yang semalam.
"Aku bermimpi orang itu menyelamatkanku yang tertidur kelelahan di kamar Mingyu setelah melayani Mingyu yang seperti orang kesetanan. Pria itu bertubuh tinggi. Tapi aku tidak tahu bagaimana wajahnya, karena kamar itu gelap." Jelas Wonwoo lagi. Menggigit bibir bawahnya pelan.
Sementara Michi meringkuk nyaman dalam dekapannya. Anjing itu seolah mengerti ucapan majikannya, dan mendengarkannya dengan seksama.
"Dia menggendongku, membawaku kekamar tidurku. Lalu menyelimutiku. Dia juga sempat menciumku seperti malam-malam sebelumnya. Dia mengusap rambutku sayang. Dan mencium keningku. Lalu setelah itu, ia pergi meninggalkanku." Wonwoo mengusap pelan bibirnya. Mimpinya tentang orang itu selalu terasa nyata. Wonwoo bahkan masih ingat bagaimana rasanya orang itu menciumnya dengan lembut. Dan penuh cinta. Sehingga ciuman itu terasa begitu memabukkan baginya.
Rasanya berbanding terbalik dengan ciuman yang dilakukan Mingyu ketika pria itu bernapsu padanya. Wonwoo benci ciuman Mingyu, rasanya pahit dan menyakitkan. Belum lagi perlakuan kejam Mingyu yang menyiksanya saat seks.
"Aku jadi semakin benci Kim Mingyu." Lirihnya. Kembali meneteskan air matanya. Teringat betapa dingin dan menyebalkannya seorang Kim Mingyu.
.
.
.
.
Mingyu memang sepenuhnya menjamin hidup Wonwoo sebagai istrinya. Ia membiarkan Wonwoo melakukan apapun dirumahnya. Dengan satu syarat, Wonwoo tidak boleh keluar rumahnya barang selangkahpun. TIDAK BOLEH.
Mingyu membiarkan Wonwoo seharian berkutat dengan gadgetnya menghabiskan uang bulanannya dengan belanja online. Membiarkan Wonwoo menghamburkan uangnya dengan memesan sekardus besar buku setiap minggunya. Ia menuruti semua permintaan Wonwoo.
Saat Wonwoo bilang ingin punya perpustakaan pribadi, maka Mingyu mengubah kamar tamu di sebelah kamar Wonwoo menjadi perpustakaan pribadi Wonwoo. Dengan merobohkan dinding penyekat kedua ruangan itu. sehingga kamar Wonwoo luasnya dua kali lipat dari ruangan lain.
Dirumah Wonwoo hidup dimanjakan oleh belasan buttler dan maid. Semua yang Wonwoo minta, selalu dikabulkan. Kecuali jika Wonwoo minta keluar rumah. Jangan harap, Mingyu justru akan mencambuknya dua kali seperti kuda peliharaan.
Kejam? Ya begitulah. Dan tak ada seorangpun yang dapat menolong Wonwoo dari kejamnya tangan Kim Mingyu. Tidak ada.
.
.
.
Wonwoo sepertinya ketiduran di rumah kaca itu. sampai Mingyu datang bersama Jihoon menjemputnya.
"Lee Jihoon, bawa Michi dan keranjangnya kerumah." Suruh Mingyu dengan nada datar. Jihoon hanya mengangguk dan segera pergi menjalankan perintah.
Mingyu menatap wajah damai istrinya saat tertidur. Ia tidak pernah melihat Wonwoo setenang itu saat terjaga bersamanya. Wonwoo selalu menatapnya takut dan memasang wajah datarnya. Mingyu mengelus wajah manis dan putih itu. menyampirkan poni Wonwoo yang menjuntai dikeningnya kesamping. Mengecup hangat kening pemuda itu.
Mingyu bangkit. Menyelipkan tangannya di antara leher dan kaki Wonwoo. Mengangkatnya ala bridal, dan membawanya pergi dari rumah kaca itu.
.
.
Mingyu melepas jasnya setelah merebahkan Wonwoo dikasur. Ia sangat lelah sehingga melempar jas dan kemeja putihnya kesembarang tempat. Ia juga menaruh sepatunya sembarangan di dekat kaki ranjang.. kemudian merebahkan diri di sebelah Wonwoo yang tertidur.
.
.
Wonwoo terbangun, mengucek matanya beberapa kali dan berusaha menyempurnakan pandangannya. Hal yang ditatapnya pertama kali adalah, dada bidang Mingyu yang berwarna kecoklatan. Wonwoo merasakan darahnya berdesir dan tubuhnya gemetar. Mengingat bagaimana cara Mingyu melampiaskan nafsu padanya.
Wonwoo tak berani bergerak. Ia takut Mingyu terbangun dan marah padanya. Jadi ia diam saja, menatap wajah tampan Mingyu yang sedang tertidur. Menatap wajah seseorang yang sudah setahun lebih berstatus suaminya. Seseorang yang sangat memanjakannya. Seseorang yang juga menyiksanya bagaikan hewan peliharaan yang malang. Wonwoo benci semua ini.
Dia benci Mingyu. Dia benci statusnya. Dia benci keadaannya sekarang. Kenapa Tuhan memperlakukannya begini? Intinya, Wonwoo benci dunianya. Meskipun ia hidup kaya raya, apalah artinya jika dibandingkan dengan tekanan batin yang Mingyu berikan padanya.
Mingyu menggeliat, melepas pelukannya. Ia mulai terbangun. Dengan cepat Wonwoo membalik tubuhnya. Menghadap dinding. Tapi kemudian, pemuda emo itu memilih bangkit meninggalkan ranjangnya.
"Jeon. . ." Panggil Mingyu rendah. Wonwoo menghentikan langkahnya. Tapi tidak berbalik. Ia merasakan jantungnya berdegup hebat.
"Kau sudah makan?" Tanya Mingyu. Seperti biasanya. Wonwoo hanya mengangguk kecil. "Baguslah." Ucap Mingyu akhirnya.
Wonwoo meraih handuknya, masuk kekamar mandi. Meninggalkan Mingyu yang menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan.
.
.
.
.
"APA KAU BILANG? BAJINGAN ITU MEMBATALKAN PERJANJIAN BISNISNYA?" bentak Mingyu, pada seorang pegawainya yang hanya bisa menunduk. Teralu nekat membalas tatapan Kim Mingyu saat seperti ini.
"Ya. . . tuan. . ." Cicit pegawai itu. Mingyu melempar cangkir yang ada di hadapannya. Emosinya naik.
"DIMANA JEON WONWOO?!" Teriak Mingyu lagi.
"Dia di kamarnya, tuan." Sahut seorang butler yang kebetulan berada di ruangan itu.
Mingyu bangkit. Melempar berkas yang tadi dicengkeramnya, hingga kertas-kertas itu berhamburan di wajah pegawainya. "Aku tak mau tahu. Park Chanyeol harus jadi mitra bisnisku. Terserah kau pakai cara apa. Jangan laporan sebelum kembali, atau kukirimkan kepalamu pada istrimu." Perintah Mingyu, dingin dan mengerikan.
"Ba-ik tuan." Lirih pegawai itu, memunguti kertas yang berserakan di lantai.
Mingyu berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Langkah-langkahnya yang lebar membuatnya dengan cepat mencapai tujuan. Dia memutar knop pintu kamar Wonwoo. Celaka. Selalu seperti ini.
Mingyu menatap Wonwoo yang sedang terduduk di ranjangnya sambil membaca majalah. Pemuda manis itu menatapnya bingung, tapi ia merasakan bahaya mengancamnya. "A-ada apa?" Gugup Wonwoo.
Mingyu menghampirinya, menarik tangan putih pucat itu. Menyeretnya. "Ya, lepaskan! Sakit!" Berontak Wonwoo.
"DIAM KAU!" Bentak Mingyu. Wonwoo tercekat. Pasti. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika Mingyu sudah menyeretnya dengan kasar begini, pasti. Dia lagi yang akan kena imbasnya
Selalu begitu, saat emosi kepada siapapun, Mingyu pasti melampiaskannya pada Wonwoo. Seperti saat ini, Wonwoo diseretnya menuju sebuah ruangan yang terdapat di lantai bawah tanah. Bukan, bukan gudang. Tapi justru sebuah kamar khusus. Dan, Wonwoo sangat benci ruangan itu.
.
.
.
.
To Be Continued or END?
Review Please
