My Assistent

Xi Lu Han (GS)

Oh Se Hun

Romance, Hurt/Comfort

Oneshot Series(Series 1)

Rating : T/M

Author Post : Annyeonghaseoyo... Tiba-tiba kepikiran buat bikin Ff ini gegara habis nonton ulang Kuroshitsuji Book of Circus, salah satu anime yang menceritakan tentang perjanjian iblis gitu. Pokoknya bagus deh! Tapi, ini ngambil ide cuma tentang pelayan-majikan doang. Nggak ada perjanjian-perjanjian iblisnya segala. Imajinasiku belum nyampe, kekeke... Just enjoy dan ini akan jadi Series yang antar ceritanya berkesinambungan tapi bukan Chaptered FF yang kaitan antar chapternya jelas banget, tapi yah, terserah yang menginterpretasikan sih. Hmm, mungkin nggak akan lebih dari 5 series, kekeke... Btw, ini fokus sentrik ke HunHan ya... ^^

Summary : "Aku tidak mau tahu. Bereskan semuanya." /Luhan. "Ne, Nona Lu. Saya akan melakukannya." /Sehun. Aku lelah, aku ingin berhenti. /Luhan. "Berhentilah kalau kau lelah, jangan ragu karena apapun yang terjadi aku akan selalu ada disini." /Sehun.

Hurt and Comfort

Hujan deras mengguyur Kota Seoul dengan kejamnya. Rintikan tajam yang terjun bebas itu tidak mempedulikan ada seorang gadis yang kini tengah kewalahan untuk menghindari hujan itu. Gadis bermata rusa yang bias wajahnya tengah memucat itu berlari menerobos hujan dengan tangan rantingnya yang berada didepan wajahnya; bukan untuk menghindari hujan membasahi wajahnya –itu sudah basah– hanya sekedar mencegah hujan mengenai matanya agar ia tetap bisa melihat dengan jelas. Ketukan stilletto hitam yang mengetuk trotoar sebuah perumahan elit itu terkalahkan suara derasnya hujan.

Hujan Musim Dingin yang amat menyiksa.

Ia basah sempurna dan mini dress hitamnya sudah sempurna mencetak tubuh sempurnanya. Kalau kau memperhatikan lebih jelas, hidung bangir kecilnya sudah memerah sempurna dan kerap kali bernafas tidak nyaman.

Ini salahnya sendiri. Menyuruh pelayannya untuk pulang lebih dulu hanya karena sebuah alasan konyol yang nyatanya hanya kebohongan semata karena sebenarnya ia sedikit muak –dengan dirinya sendiri–, ia hanya ingin menyendiri sebentar. Pelayannya meninggalkannya dengan patuh dengan membawa catatan "Jangan menyusulku ataupun mengangguku sedikitpun sampai aku pulang sendiri." dan tanpa sebuah persiapan sedikitpun untuk menghadapi hujan tiba-tiba ini.

Ia sedikit terkekeh miris ketika sebuah pikiran konyol terlintas dipikirannya; apa ada yang akan memarahiku setelah ini? Tidak ada, walaupun sebenarnya ia sangat mengharapkannya. Saat ia melihat rumah besarnya yang semakin dekat, ia mempercepat langkahnya. Ia sama sekali tidak takut terjatuh dengan stiletto mengerikannya itu.

Pintu gerbang terbuka otomatis dan ia berlari melewati air mancur bundar ditengah halaman depan rumahnya yang luas dan dihiasi berbagai tumbuhan khas ornamen taman itu dengan sedikit salju putih diatasnya. Dan ya, ini bukan pertama kalinya ia 'kembali' merutuki segala bagian rumahnya yang besar itu. Ia langsung membuka pintu utama itu dan langsung menemukan lelaki berumur 25 tahun yang acara 'mondar-mandir'nya langsung terhenti ketika pintu utama itu terbuka.

"Aku pulang." Katanya acuh sambil berjalan menuju kamarnya di lantai dua; melewati lelaki muda bermata dingin setajam elang itu. Meninggalkan jejak basah yang begitu kentara di lantai marmer itu, ia acuhkan.

"Saya rasa akan lebih baik kalau Nona memesan taksi saat pulang, Nona." Ia mengabaikannya.

Ia menaiki tangga kanan berlapiskan karpet merah megah itu dengan lelaki berkemeja hitam formal yang mengikutinya dengan setia. Ia langsung membawa kaki jenjang pucatnya menuju satu-satunya pintu yang ada dibagian sayap timur itu. Pintu berwarna putih bersih.

Cklek!

"Saya akan menyiapkan air hangat untuk Nona mandi. Mohon Nona menunggu sebentar." Kata lelaki itu setelah ikut menapaki kamar megah bernuansa white-darkblue yang terkesan suram itu. Gadis itu mengangguk acuh sambil melepaskan stilettonya begitu saja ditengah kamar. Ia juga meletakkan tas selempangnya yang meneteskan air ke atas lantai marmer yang dingin itu.

Begitu kakinya mencapai kamar mandi ia melihat airnya sudah siap dan tanpa sungkan ia melepaskan pakaianya sendiri disana. Lelaki itu tampak acuh dan tetap pada pekerjaannya menaburkan garam mandi ke dalam bath tub mewah itu.

Gadis itu langsung masuk ke dalam bath tub. Ia menghiraukan kemungkinan lelaki itu melihat lekuk tubuhnya yang sempurna itu. Ia tak peduli lebih tepatnya. Lelaki itu memunguti pakaian basah yang tergeletak di lantai kamar mandi tanpa sungkan. Lalu memasukkannya kedalam keranjang pakaian kotor dan berniat membawanya keluar ketika sebuah suara arogan menginterupsinya.

"Ponselku basah. Gantikan dengan yang baru dan aku mau semua filenya tetap sama saat aku keluar dari sini nanti." Kata gadis itu sebelum makin menenggelamkan diri kedalam rendaman air hangat beraroma lemon itu dengan suara arogan nan dinginnya.

"Ne, saya akan menyiapkannya, Nona Lu." Jawab lelaki itu sebelum keluar dari kamar mandi dengan membawa keranjang pakaian kotor.

Tatapan terlukamu menyakitiku...

Diam-diam, air mata gadis yang dipanggil Nona Lu itu menetes diwajahnya yang sudah basah oleh bias air. Dadanya menyesak tiba-tiba.

"Aku butuh dipanggil Luhan saat ini, Sehun..." gumamnya sebelum memejamkan matanya.

Setelah berlama-lama dikamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhnya yang ia rasakan masih menggigil itu, ia keluar dari sana menggunakan bathrobe putih menempel pas ditubuhnya. Ia bisa merasakan penghangat ruangannya sudah bekerja. Ia lantas mengeringkan tubuh sepintas dan memakai piyama merah muda yang terlipat apik dipinggiran ranjang biru tuanya itu. Ia melirik tak minat pada ponsel putih baru di nakas mejanya. Ia sudah bisa memastikan semuanya sudah beres; jejak-jejak basah dilantai marmernya sudah hilang sempurna. Stiletto dan tas basahnya sudah hilang tanpa jejak dan pasti sekarang sudah berada ditempat penyimpanan yang ia sendiri tak hafal letaknya.

"Sehun, masuklah..." Katanya memanggil lelaki tadi sambil duduk di pinggiran ranjang.

Cklek!

Pintu terbuka dan yang ia panggil Sehun masuk dengan menenteng sebuah nampan perak yang diatasnya terdapat semangkuk risotto keju –ia tahu dengan aroma yang menguar itu– dan secangkir teh serta beberapa makanan manis yang tak terlalu banyak.

Sehun meletakkan nampannya itu di pinggiran meja rias dan mengambil lipatan handuk baru disisi Luhan dan mengeringkan rambut Luhan. Luhan menurut saja karena semua ini memang sudah biasa.

"Nona sama sekali tidak mendengarkan saya. Saya benar-benar tidak berharap mendengar rengekan Nona kalau hidung Nona tersumbat nantinya." Kata Sehun sambil terus mengeringkan rambut Luhan hati-hati. Ia mengambil sebuah hair drayer portable dan langsung menyalakannya. Mungkin terlihat menggelikan, namun inilah tugasnya.

"Kau berani menggerutui Nona-mu sendiri?" decihnya. Luhan mulai nyaman ketika rambutnya tersapu udara hangat; sedikit mengurangi rasa dinginnya yang membuatnya menggigil.

"Maafkan saya, Nona."

"Saya telah menyiapkan risotto keju, teh ceylon dengan sedikit tambahan herbal dan beberapa kukis sirup karamel kalau Nona mau." Kata Sehun sambil mengambil nampannya lalu duduk berlutut di depan Luhan.

"Kau yang membuatnya? Bukan Kyungsoo?"

"Nona tahu dari aromanya. Saya tahu Nona akan menolak makanan apapun yang Kyungsoo masakkan malam ini." Sehun mulai menyuapkan risotto keju yang menguarkan aroma yang jujur sangat Luhan sukai itu. Luhan mengunyahnya pelan.

Luhan makan dengan diam. Ia menolak menatap Sehun sama sekali. Saat Luhan memberikan gestur cukup, Sehun meletakkan mangkuk risottonya yang tinggal setengah itu lantas mengambil secangkir teh ceylon yang masih mengepulkan asap itu. Luhan sedikit tersenyum, Sehun menambahkan herbal itu sebagai ganti obat karena lelaki berahang tegas itu tahu betul Luhan sangat membencinya. Ia tak khawatir akan flu yang bisa menyerangnya; ia tahu Sehun tak akan membiarkannya. Ia hanya harus menurut dan semuanya akan baik-baik saja.

Luhan menerimanya dan langsung menyesapnya perlahan. Mendesah ketika aroma herbal teh itu menyeruak sempurna kedalam penciumannya dan membuatnya rileks. Dalam hati Luhan memikirkan Sehun, lelaki 25 tahun yang sudah hampir sepanjang hidupnya mengabdikan diri menjadi pelayannya; juga mencakup peran ayah, kakak, teman, dan... kekasih, –sebenarnya.

Luhan berpikir ia sedikit keterlaluan tadi, mengucapkan kalimat yang sudah dapat dipastikan menyakiti hati lelaki tampan itu. Mengucapkan kalimat menyakitkan tanpa berpikir hanya karena seorang teman tak berharga mengatakan "Kau bahkan tak bisa apa-apa tanpa Sehun, Luhan. Benarkah dia hanya pelayanmu? Kalau dia kekasihmu, aku sangat kasihan padanya karena kau perlakukan sesuka hati."

"Dia hanya pelayanku yang selalu mematuhi perintahku! Dan sesuka hatiku aku melakukan apa terhadapnya!" Luhan meneriakkan kalimat yang sepenuhnya kebohongan saat itu, tepatnya beberapa jam lalu. Sebelum ia menyuruh Sehun meninggalkannya.

Sirat mata dingin itu masih sama. Tapi, Luhan bisa melihat kilatan luka disana.

Luhan ingin menangis.

Luhan menyerahkan cangkir kosongnya ke Sehun lantas bangkit dan menekan interkom khusus yang menempel di dinding disamping tempat tidurnya.

"Ambil kesini." Kata Luhan sebelum merebahkan diri diranjang besarnya. Sedangkan Sehun membereskan makanan Luhan, sedikit terkekeh geli pada kukis kecil yang sama sekali tidak mau Luhan sentuh itu.

"Luhan tak akan mau memasukkan kau yang penuh kalori kedalam tubuhnya."

Selang beberapa menit sebuah ketukan sopan terdengar dan seorang gadis berbalutkan seragam koki masuk kesana dengan hati-hati dan berusaha keras agar tidak menimbulkan suara. Kyungsoo, juru masak di rumah mewah Luhan bermata burung hantu itu mengambil nampan yang Sehun ulurkan dengan sedikit tatapan simpati pada Sehun yang melemparkan senyum tipis.

Kyungsoo langsung keluar setelah itu. Meninggalkan Luhan yang masih membaringkan diri disisi kanan ranjangnya itu dan Sehun yang masih berdiri di depan meja rias. Suasananya sedikit mencekam.

"Sehun-ah... Peluk aku." Titah Luhan dengan suara tercekat dan sangat lirih; sedikit menggerus suara dingin dan arogannya. Sehun menghela nafasnya dengan teramat halus sebelum beranjak ke ranjang Luhan. Sehun berbaring tepat dibelakang Luhan sambil menarik selimut. Sehun merengkuh tubuh Nona Mudanya yang mungil itu kedalam pelukan hangat yang hampir setiap malam ia berikan.

Tidak terkejut saat Luhan langsung menggenggam tangannya erat didepan dada; gestur agar Sehun tetap disana tanpa beranjak sedikitpun. Tidak terkejut saat terdengar isakan tertahan dari gadis berumur 20 tahun yang arogan itu. Tidak terkejut ketika Luhan mengatakan––

"Maafkan aku..."

––dengan suara tercekat.

Ia tidak terkejut. Itu sudah berlangsung selama 5 tahun. Ia juga tidak terkejut saat ia mengucapkan––

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidurlah, sudah malam dan kau butuh istirahat."

––sambil mencium kepala Luhan dengan lembut dan tetap terjaga sampai Luhan benar-benar jatuh tertidur.

"Eungh..."

Luhan menggeliat pelan kala seberkas cahaya emas yang menerobos lewat jendela besar yang kordennya sudah tersingkap itu mengenai wajahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sekedar untuk mengumpulkan nyawa. Ia bangkit perlahan lantas menyenderkan punggung sempitnya ke dashboard ranjang. Bibir plumnya langsung merengut ketika menyadari sisi kiri ranjangnya sudah kosong dan terasa dingin.

"Tidurmu nyenyak, Nona Lu?" Suara bass itu terdengar berbarengan dengan pintu yang terbuka pelan dan menampakkan lelaki muda dengan kemeja hitam formal yang digulung sampai siku. Sehun, lelaki muda itu juga membawa senampan sarapan bersamanya. Luhan hanya menatapnya dingin.

"Kapan kau meninggalkanku?" tanya Luhan ketika Sehun memberikan sarapan berupa dua potong sandwich tuna dan segelas susu vanilla itu. Sehun tersenyum tipis saat mengambil sebuah sisir berwarna putih gading dari laci nakas.

"Seperti biasa, dua jam sebelum Nona bangun." Sahut Sehun sambil mengambil helaian rambut halus Luhan dan menyisirnya pelan. Luhan mendengus sambil melirik jam yang menunjukkan pukul 8 itu.

"Kau bahkan menghitung dengan tepat kapan aku bangun."

Saat gigitan terakhir dari sepotong sandwich tunanya sudah berhasil masuk ke dalam perut rampingnya, tangan Luhan terjatuh ke sisi tubuhnya dengan lemas. Tangannya lemas bahkan hanya untuk mengambil potongan sandwich kedua ataupun gelas susu itu.

"Aku buruk saat kau memanggilku Nona dipagi hari ini, Sehun. H-harusnya kau tahu." Lirih Luhan dengan suara tercekat. Memori-memori masa lalu yang sebenarnya begitu indah itu mulai membayang dan membuat Luhan serasa kehilangan nafas. Sehun yang baru selesai mengikat rambut Luhan lantas meletakkan sisir kembali ke laci nakas dan mengambil sarapan Luhan dan meletakkannya ke meja nakas.

"Maafkan aku... Harusnya aku tidak melakukannya." Kata Sehun sambil bersimpuh dan memeluk Luhan dari samping.

Ya, ini kesalahannya dengan memanggil Luhan dengan sebutan Nona di pagi hari saat gadis bermata rusa itu baru saja terbangun. Itu akan selalu mengingatkannya pada kedua orang tuanya yang memanggilnya "Nona Lu" sebagai sapaan pagi. Kebiasaan yang hampir selama lima tahun tak pernah terulang. Yah, harusnya Sehun tahu itu. Hanya saja, moodnya sedikit memburuk.

Sehun makin mengeratkan pelukannya ketika merasakan kemeja hitamnya membasah dibagian dada dimana Luhan menyandarkan wajahnya.

"Apa agendaku hari ini?" tanya Luhan masih dipelukan Sehun.

"Kuliah seperti biasa sampai jam 2 siang, kemudian mengadakan meeting dengan Klien dari Jepang, dan kalau kau mau kau bisa makan malam dengan klien itu. Kau bisa bebas di jam 9 malam."

"Aku ingin makan malam denganmu. Siapkan air mandiku, dan, apa tidak apa aku tidur lebih dari 8 jam? Apa kulitku akan mengerut karenanya?" kata Luhan dengan nada bicara yang membaik. Sehun terkekeh pelan.

"Sesekali kau membutuhkan waktu tidur lebih lama, Lu. Jja, bersiaplah, aku akan menyiapkan air mandimu." Kata Sehun sebelum melepaskan pelukannya dan beranjak menuju kamar mandi. Meninggalkan Luhan yang tengah tersenyum tipis; moodnya membaik.

Luhan menuruni tangga dengan balutan mini dress berwarna putih gading dengan hiasan renda manis di bagian leher dan ujungnya serta pita hitam di pinggang sempitnya sambil menenteng tas berwarna senada di tangan kirinya, kaki jenjangnya dibalut stoking hitam. Ketukan stiletto putih itu menggema anggun dipenjuru ruang utama. Sedang dibelakangnya Sehun menenteng satu coat putih milik Luhan, coat hitamnya sendiri sudah terpasang sempurna di tubuh atletisnya. Dibawah sana sudah ada Kyungsoo yang tengah berdiri dengan seragam kokinya yang sudah rapi.

"Apa yang mau kau makan untuk makan malam nanti, Luhan-ah?" tanya Kyungsoo dengan seulas senyum dibibir heart-shapednya itu. Luhan tersenyum amat tipis sambil mengangkat lengannya agar memudahkan Sehun yang tengah memakaikan coatnya itu.

"Apapun yang kau sajikan, Kyung. Dengan catatan tidak ada asupan lemak berlebih disana. Aku serahkan padamu." Kata Luhan. Kyungsoo berbinar, sekalipun nada bicara Luhan terdengar serius dan dingin, arogannya masih kentara, tapi, kini Kyungsoo tahu Luhan baik-baik saja. Luhan merapikan coatnya yang telah terpasang lalu berjalan keluar.

"Ne! Semoga harimu menyenangkan!" Kyungsoo melambai ceria pada Luhan dan Sehun yang sudah melewati pintu utama sambil mengulas sebuah senyuman yang sedikit haru.

"Aku harap kalian akan terus bersama." Lirihnya sambil memegang dadanya penuh harap. 3 tahun tinggal seatap bersama mereka membuat Kyungsoo tak sulit untuk tahu apa yang terjadi pada mereka berdua.

Sehun membukakan pintu disisi kanan kemudi untuk Luhan, lalu memutar cepat dan membuka pintu kemudi dan masuk kesana. Sehun menyalakan mobil Audi putih itu dan langsung berangkat. Perjalanan ke kampus Luhan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dan seperti hari-hari sebelumnya, mereka habiskan dengan berdiam diri tanpa ada sebuah percakapanpun. Sehun fokus pada jalanannya sedangkan Luhan memilih untuk berkutat dengan ponsel pintarnya. Menghandle beberapa pekerjaan yang tak bisa diwakilkan.

Mobil itu memasuki gerbang megah Univeritas Nasional Seoul dan berhenti tepat disalah satu parkiran. Luhan menarik lengan Sehun ketika lelaki muda itu hendak keluar untuk membukakan pintu untuknya. Sehun hanya bisa menurut dan menatap bertanya pada Nona Mudanya itu.

"Aku ingin kau ada disampingku sampai aku selesai nanti. Buat tak ada yang memprotes saat kau ada dikelasku." Kata Luhan dingin dengan tatapan lurus kedepan. Sehun mengangguk sopan.

"Ne, Nona Lu. Saya mengerti." Setelah itu Sehun keluar dan membukakan pintu untuk Luhan. Luhan keluar dengan tatapan yang benar-benar berbeda. Keangkuhannya bertambah dan kadar arogansinya mencapai taraf dimana orang-orang akan gentar dengan sendirinya.

Sehun paling benci saat-saat seperti ini. Ia tahu benar Luhan memang angkuh dan dingin, tapi, ini adalah saat dimana Luhan benar-benar menjadi orang lain. Hanya sedikit sifat aslinya yang menempel pada Luhan saat ini. Sehun benar-benar membencinya sampai ke urat-urat nadinya. Terlebih pada dirinya sendiri, yang tak mampu mengembalikan Luhan ke dirinya yang sebenarnya.

"Lihatlah, Nona Muda itu memang angkuh sekali ya. Kudengar lelaki tampan disampingnya itu sudah menjadi pelayannya sejak dulu. Aku heran, kenapa bisa lelaki setampan itu mau menjadi pelayan Nona Angkuh itu? Aku yakin dia akan sukses jika menjadi model." Berbagai macam desas-desus tak enak didengar mulai mengudara. Membuat Luhan panas, namun ia tetap mempertahankan dagunya agar tetap terangkat tinggi. Ia tetap melangkah tegak tanpa menoleh sedikitpun. Toh, itu sama sekali tidak berarti apapun baginya; hanya sebuah angin lalu.

"Tingkahnya memang benar-benar menjengkelkan. Aku tahu dia donatur terbesar disini, tapi sikapnya pada Baekhyun kemarin benar-benar tidak bisa dimaafkan. Aku ragu, apakah pantas seorang "Nona Muda" seperti dia mengguyur orang tak bersalah seperti Baekhyun? Aku benar-benar muak padanya! Apa orang tuanya itu tidak mengajarinya tata krama saat masih hidup dulu?!"

Langkah kaki Luhan terhenti mendengar hinaan itu. Kakinya mulai bergetar dan ia bisa merasakan sekujur tubuhnya merinding menyakitkan dan mulai melemas. Matanya menatap nanar dengan pandangan yang mulai kabur karena air mata yang mulai menggenang.

Baba... Mama... Mereka tidak tahu apa-apa...

Luhan masih membeku walaupun ia bisa melihat seorang gadis yang melemparkan tatapan membunuh padanya berjalan mendekat kepadanya dengan sebuah ember berisikan air berwarna kecokelatan.

Balasan ya?

Luhan menutup matanya ketika mendengar kecipak air menjijikkan yang akan mengguyur tubuhnya yang bergetar itu. Ia sudah bersiap merasakan seluruh tubuhnya akan basah dengan air menjijikkan yang bau itu.

BYURRR!

Tapi tidak.

Sebuah lengan kokoh merengkuhnya erat dan tubuh tegap yang sangat ia kenal itu mendekapnya amat erat; menyembunyikan tubuhnya dari guyuran air itu... Aroma musk-bassilisk yang sangat Luhan sukai mulai bercampur dengan aroma menjijikkan dan lantas membuat dadanya menyesak tiba-tiba.

Ia bisa mendengar suara terkejut orang-orang disekelilingnya, namun ia memilih untuk mendengarkan kalimat menenangkan dari pelindungnya ini––

"Kau baik-baik saja? Maafkan aku, tubuhmu sedikit basah." ––tepat saat ia membuka matanya yang sudah berkaca.

"S-sehun-ah... Ak-aku... Pulang... Aku ingin pulang..." lirih Luhan sambil menggigit bibirnya yang bergetar, tak kuasa melihat wajah menenangkan Sehun yang sudah kotor dengan rambut meneteskan air menjijikkan itu.

"Sehun?! Kenapa kau melindunginya?! Harusnya kau biarkan saja! Itu balasannya karena telah mempermalukan Baekhyun!" teriak gadis berambut pirang pelaku pengguyuran air itu. Sehun perlahan melepaskan pelukannya dan berbalik menatap pemilik suara itu dengan sebuah senyum tipis. Ia masih memeluk Luhan dengan lengan kirinya.

"Tugasku untuk melindungi Nona Luhan dari apapun, Irene-ah. Aku tak akan membiarkan siapapun mempermalukannya." kata Sehun sambil menatap Irene tenang. Sama sekali tidak marah.

"Ya! Apa yang kau lakukan Irene! Aku sudah bilang kau tidak perlu melakukannya! Aku bisa menerima perlakuan Luhan padaku! Aku benar-ben––"

"BERHENTI BERAKTING BAEKHYUN!" teriak Sehun nyalang pada gadis berambut hitam yang baru saja tiba yang kini berada didepannya itu. Sehun sudah mencapai batas rasa muaknya. Ia tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini akan hubungannya dengan Baekhyun. Ia akan mengabaikan rasa bersalahnya pada Baekhyun.

Baekhyun tercekat nafasnya sendiri, bersama semua orang yang ada disana. Ini pertama kalinya Sehun mengeluarkan emosinya. Tatapan nyalang penuh amarah itu membuat nyali Baekhyun mengkerut sampai membuat tubuhnya beku diatas kedua kakinya. Mata bereyelinernya itu membulat tak percaya. Orang yang paling Baekhyun pentingkan diatas segalanya, baru saja membentaknya sekeras itu?

"Kau tidak perlu berakting seolah kau tidak menginginkan ini terjadi. Harusnya kau menjadi orang yang mengerti Luhan selain aku, Baekhyun. Kau sudah benar-benar keterlaluan, Baekhyun." Kata Sehun tajam. Baekhyun makin tercekat.

"K-kau... Aku tidak percaya kau melakukan ini padaku Sehun... Kenapa kau terus saja membela Nona Muda-mu itu?! Seberharga apa orang yang berlaku sesuka hati padamu itu hah?! Apa aku sudah tidak berarti lagi sebagai sahabatmu?!" teriak Baekhyun marah dengan pipi tergenang air mata; mengabaikan tangan Irene yang berusaha menenangkannya. Sehun menyeringai tipis.

"Aku sudah pernah bilang aku bahkan rela mati kalau itu keinginan Luhan; harusnya dengan dengan itu kau tahu seberapa berharganya dia untukku." Desis Sehun.

"P-pulang..." lirih Luhan yang menyandar didekapannya itu. Ia sudah tidak mau mendengar kata-kata kasar lebih dari ini. Dirinya sudah benar-benar kacau dan ia butuh untuk menangis sekarang. Perasaan bersalah itu... Perasaan menyesal itu... Perasaan sedih itu... Perasaan marah itu... Semuanya kembali memenuhi pikirannya hingga tubuhnya menggigil dan limbung.

Sehun mengambil ponselnya lantas menghubungi seseorang yang bisa menyetir mobil nanti. Sehun tahu betul Luhan tak akan melepaskannya barang sedikitpun. Setelahnya ia meletakkan tangan kirinya dilekukan lutut Luhan dan lengan kanannya yang menyangga bahu Luhan lalu menyembunyikan wajah gadis bermata rusa itu kedalam dadanya; menggendongnya.

"Aku rela membuang apapun, kau sekalipun." Kata Sehun sebelum meninggalkan tempat itu menuju parkiran mobil. Meninggalkan Baekhyun yang jatuh terduduk dengan tangisan pilu dan orang-orang yang tercekat melihat kejadian tak terduga itu.

Sepanjang perjalanan pulang Luhan sama sekali tidak melepaskan cengkeramannya pada coat basah Sehun. Luhan mencengkeramnya erat dan tidak membiarkan Sehun bergerak sedikitpun. Tangisannya sangat keras dan menyayat hati dengan tubuh yang terus berdeguk kencang. Memilukan.

Bukan kali pertama ia memeluk Luhan dengan kondisi yang sama. Bukan kali pertama Luhan menangis keras didada bidangnya itu. Bukan kali pertama ia melihat Luhan sehancur ini. Tapi, rasa sakitnya tak pernah sama dengan kali pertama. Semakin bertambah dan semakin menyesakkan. Dadanya sesak seperti tertindih batu. Kenyataan ini menamparnya; lagi-lagi ia gagal melindungi Luhan.

"Lu, lepaskan sebentar, heum?... Tubuhku kotor." Kata Sehun sambil berusaha melepaskan Luhan, namun Luhan menolak dan makin mengeratkan cengkeramannya.

"Kalau kau rela mati untukku kenapa kau tidak mengijinkan aku memelukmu?! Aku tidak peduli! Kau sudah kotor karena aku dan aku ingin kotor bersamamu!" isak Luhan. Sehun hanya bisa menggigit bibirnya sambil mengeratkan pelukannya. Ia mencium pelan rambut Luhan yang semi basah itu.

Maafkan aku... Maafkan aku yang tidak menepati janjiku...

Kai, lelaki yang berada dibelakang kemudi itu hanya bisa mencengkeram stir kemudinya dengan keras. Wajahnya yang sudah basah dengan air mata itu ia biarkan. Melihat Nona Muda sekaligus adik kecilnya menangis seperti sebelum-sebelumnya berhasil menyakiti hatinya. Ia tak bisa melakukan apa-apa dengan amarahnya yang memuncak itu, karena ia tahu siapa yang lebih tersakiti disini.

Sehun langsung menggendong Luhan masuk begitu mobil yang dikemudikan Kai berhenti tepat didepan pintu utama. Menghiraukan tubuhnya yang berbau tidak mengenakkan. Ia melewati Kyungsoo yang berdiri sambil menatap Luhan penuh kekhawatiran. Sehun langsung menaiki tangga dan membawa Luhan kedalam kamar. Ia sama sekali tidak merasa lelah ataupun pegal, tubuh Luhan terlampau ringan.

"Turunkan aku disini." Lirih Luhan, membuat tangan kanan Sehun yang menyangga bahu Luhan yang hendak menggapai gagang pintu kamar itu menggantung di udara. Sehun menatap Luhan penuh tanya.

"Lu?"

"Turunkan aku disini dan panggilkan Kyungsoo, kumohon..." lirih Luhan lagi. Dengan pikiran masih mencerna apa yang terjadi Sehun menurunkan Luhan dari gendongannya. Matanya masih menatap tak percaya saat Luhan menutup pintu itu pelan.

Air matanya menetes bersamaan dengan terdengarnya suara isakan tertahan dari dalam kamar Luhan itu.

Apakah baru saja ia... ditolak?

"Sehun-ah! Apa Nona Lu baik-baik saja? Dan kenapa kau malah berdiri disini?! Harusnya kau didala—"

"Masuklah, Kyung... Dia memintamu masuk. Siapkan piyamanya, jangan lupa menambahkan minyak aromaterapi pada air mandi Luhan nanti, keringkan rambutnya perlahan. Dan, panggil dia Luhan, jangan berani memanggilnya Nona saat ini." kata Sehun dengan tatapan nanar.

Tangan Kyungsoo yang membawa nampan perak yang diatasnya terdapat secangkir teh itu bergetar pelan. Matanya tiba-tiba memburam dan terasa amat panas. Apakah sesuatu yang buruk baru saja terjadi? Ini pertama kalinya ia melihat mata Sehun yang benar-benar menyiratkan rasa luka yang mendalam dan ini pun pertama kalinya ia melihat Luhan menolak Sehun.

"Ne." Setelah itu Kyungsoo masuk kedalam kamar Luhan.

"Bersihkan dirimu, Sehun." kata Kai sambil menepuk bahu Sehun pelan.

Sehun tidak menjawab apa-apa dan lantas berjalan menuju sayap barat dimana kamarnya berada. Meninggalkan Kai yang menatapnya penuh simpati. Tak butuh waktu lama untuk sampai didepan pintu kamar yang juga berwarna putih bersih itu. Ia membukanya pelan dan langsung masuk kedalam kamar bernuansa broken white dan abu-abu itu. Sehun meletakkan jam tangannya, kalung perak yang mengalung di leher kokohnya serta ponselnya yang berhiaskan titik-titik air diatas meja.

Sehun melangkah kedalam kamar mandi. Ia melepaskan semua pakaian yang menempel ditubuhnya kemudian mengguyur dirinya dibawah shower yang mengalirkan air dingin. Seluruh tubuhnya menggigil dibawah guyuran shower air dingin itu; menggigil merasakan hatinya yang tersayat pedih karena penolakan Luhan.

"Maafkan aku, Lu... Maafkan aku..." lirih Sehun dengan air mata yang tersamarkan aliran air dingin itu.

Hari sudah beranjak malam dan Sehun masih terpekur didalam kamarnya. Berbaring lemas diatas ranjang berbalutkan bedcover putih dengan selimut hitam itu. Ia menatap langit-langit kamarnya yang sama dengan milik Luhan namun lebih maskulin itu. Sehun hanya bisa termenung. Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Apa yang ia lakukan telah menyakiti Luhan? Apa Luhan muak karena lagi-lagi dirinya tak bisa melindunginya?

Pikirannya kembali melayang ke hari sebelumnya.

Saat itu Luhan tengah menikmati makan siang yang baru saja Sehun belikan di kafetaria kampus dengan tenang. Namun semuanya menjadi buruk ketika Baekhyun duduk tepat didepan Luhan dan memakan makan siangnya, menghiraukan Luhan yang menatapnya tak suka.

"Kurasa masih ada tempat yang kosong, Baekhyun-ssi." Kata Luhan dengan tenang sambil melanjutkan makan siangnya. Baekhyun meletakkan sendoknya dan menatap Luhan dengan tatapan manis yang sangat Luhan benci.

"Aku hanya ingin menemanimu, Nona Muda. Kupikir pelayanmu itu sungkan duduk disampingmu saat ini." kata Baekhyun dengan nada dibuat-buat sambil melirik Sehun yang tengah mengambilkan minuman untuk Luhan di vending machine. Luhan mengeraskan genggaman tangannya.

"Kurasa itu bukan urusanmu, Baekhyun-ssi." Desis Luhan. Ia menatap Baekhyun dengan tatapan tajamnya namun Baekhyun menghiraukannya. Ia melunturkan senyumannya dan menatap sengit pada Luhan.

"Apa yang kau mau sebenarnya, Nona Muda? Tidakkah kau kasihan dengan Sehun? Sejak kecil kau memonopolinya. Apakah kau tidak mengerti selama ini kau menyiksanya?" tanya Baekhyun dengan sinis. Luhan mendecih.

"Siapa kau berani mengatakan ini padaku?"

"Aku sahabatnya sejak kecil; kau tau kan? Dan karena kecelakaan kedua orang tuamu 5 tahun lalu, Sehun meninggalkan aku hanya untuk mengurusi Nona Muda-nya yang amat manja ini. Apa kau tidak malu?"

Luhan terdiam. Semuanya memburuk ketika kedua orang tuanya dibawa.

"Kau membuatnya terkekang karena sikapmu itu. Tidakkah kau ingin melihatnya bebas menjalani kehidupannya?"

"Kau benar-benar egois dan mementingkan dirimu sendiri. Apa kau pikir dengan jalan hidupmu yang menyedihkan itu lantas kau bisa mengekang Sehun terus berada disampingmu? Picik sekali."

"Kau manja, Luhan. Apa kau pikir Sehun menyukai gadis manja yang bahkan piyamanya saja disiapkan? Yang bahkan menyentuh pisau saja tidak becus? Aku rasa Sehun sudah muak menemanimu, Luhan."

Luhan hanya bisa terdiam mendengarnya. Ia tak ingin meledak –lagi– dan mengacaukan semuanya. Sekalipun hatinya teriris mendengarnya, ia akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak membalas perkataan menyakitkan ini.

Baekhyun menyeringai ketika melihat Sehun mendekat.

"Kau bahkan tak bisa apa-apa tanpa Sehun, Luhan. Benarkah dia hanya pelayanmu? Kalau dia kekasihmu, aku sangat kasihan padanya karena kau perlakukan sesuka hati."

"Dia hanya pelayanku yang selalu mematuhi perintahku! Dan sesuka hatiku aku melakukan apa terhadapnya!"

Bukan. Bukan itu yang ingin Luhan katakan.

Bertepatan dengan itu Luhan melihat Sehun telah berada disampingnya dengan membawa sekaleng jus yang Luhan minta tadi. Matanya memanas dan sebelum meninggalkan kafetaria, Luhan mengambil minuman milik Baekhyun dan menyiramkannya ke wajah Baekhyun yang langsung terpekik kaget.

"Kau... Kau tidak tahu apa-apa." Lirih Luhan. Sehun langsung mengikuti Luhan setelah sebelumnya menatap Baekhyun dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Jangan menyusulku ataupun mengangguku sedikitpun sampai aku pulang sendiri." kata Luhan dengan angkuh. Sehun hanya bisa mematuhinya dan meninggalkan Luhan.

"Arggh!" Sehun mengacak rambutnya frustasi.

Sehun mendengar semuanya. Namun ia hanya bisa berdiam diri saat itu. Ia tahu saat itu Luhan hanya sedang kalut karena amarahnya dan terpancing oleh kalimat Baekhyun. Tapi bagaimanapun, kalimat itu sedikit banyak menyakitinya.

Dan sekarang melihat kenyataan Luhan menolaknya, membuatnya bodoh mengapa ia harus merasa sakit hati karena kalimat Luhan. Ia tahu Luhan luar dan dalam, tidak seharusnya ia sempat menampakkan wajah terlukanya pada Luhan. Harusnya... Harusnya... Banyak sekali kalimat berawalan 'harusnya' berputar-putar di kepalanya.

Sehun tak ingin menggila dengan pikirannya sendiri, karenanya ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan turun melalui tangga sayap barat. Ia berusaha keras agar tidak menoleh ke pintu kamar Luhan yang terlihat jauh itu.

Ia berjalan menuju dapur dimana Kyungsoo dan Kai tengah berada disana menyiapkan makan malam untuk Luhan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Sehun saat tiba disana.

Kyungsoo yang tengah menyusun makan malam Luhan di nampan perak dan Kai yang tengah mengambilkan salad langsung terdiam.

"Luhan langsung mandi dan aku mendengarnya menangis disana. Ia memakan makan siangnya dengan baik walaupun tatapan matanya kosong. Sepanjang sisa hari, ia memintaku memeluknya dan menyanyikan Moonlight Lullaby untuknya. D-dia terus menangis dalam pelukanku." Jelas Kyungsoo dengan suara tercekat. Tangannya bergetar.

"Aku membutuhkannya, tapi saat ini aku hanya ingin sedikit menjauh darinya. Aku hanya sedang ingin memikirkan semuanya. Itu jawabannya ketika aku menanyakan tentangmu, Sehun." lanjut Kyungsoo. Sehun hanya mengulas senyum tipis mendengarnya.

"Cepat bawakan makan malamnya, dan paksa dia untuk menghabiskannya, Kyungsoo-ya." Kata Sehun. Kyungsoo mengangguk pelan kemudian meninggalkan kedua lelaki seumuran berbeda warna kulit itu didapur.

"Perasaan bersalahnya menusuknya dalam. Tapi tenanglah, dia mengatakan kalau dia membutuhkanmu kan? Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Sekarang, biarkan dia bersama Kyungsoo dulu." Kata Kai menenangkan sambil melempar senyum simpatinya. Sehun mengangguk pelan.

Sehun berjalan meninggalkan Kai menuju kamar Luhan, setelah menaiki tangga dengan tak bertenaga. Ia menyandarkan punggung tegapnya didinding samping pintu kamar Luhan dengan kedua tangan yang berada disaku celananya.

Tik tok. Tik tok.

Sehun tak tahu berapa lama ia berdiri menyandar disana. Ia rasa lumayan lama; melihat bekas makan malam Luhan yang sedikit mengering di pinggiran alat makannya saat Kyungsoo keluar dari kamar Luhan. Kyungsoo melempar senyum teduhnya.

"Luhan sudah tertidur. Kau tidak perlu khawatir Sehun. Semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Masuklah." Kata Kyungsoo. Sehun melempar senyum tipisnya tanpa berkata apa-apa. Iapun masuk kedalam kamar Luhan.

Sehun langsung menaiki ranjang Luhan dan berbaring disamping Luhan; ikut satu selimut dengan gadis bermata rusa itu. Sehun dengan hati-hati menyelipkan lengan kanannya dibawah kepala Luhan dan membawa Luhan tidur menyamping menghadapnya. Sehun memeluknya.

Sedikit tersenyum miris ketika menyadari mata Luhan yang sembab dengan hidung memerah hebat.

"Maafkan aku, Lu... Maafkan aku... Aku berjanji, setelah ini aku akan menjaga dan melindungimu lebih baik... Dan kau tidak perlu mengkhawatirkan aku sama sekali. Aku disini untukmu, menemanimu, melindungimu dan terus mendukungmu. Kau tidak perlu memikirkan semua kalimat Baekhyun, Lu... Kau hanya perlu mendengarkanku dan percaya pada apa yang aku lakukan untukmu. Hanya itu." kata Sehun sambil mengecup dahi Luhan pelan.

Cahaya emas itu menerobos melewati celah-celah korden kamar yang tidak tertutup sempurna, tidak terlalu menyilaukan namun cukup untuk mengusik ketenangan tidur seorang Luhan. Ia menggeliat pelan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia baru saja ingin bangkit ketika merasakan ada sebuah lengan kokoh yang mengeratkan pelukannya dipinggangnya. Dan, dada bidang ini? Luhan menatap ke atas, tepat ke wajah pemeluknya ini. Dan seketika matanya memanas.

"Kau sudah bangun, Lu?" sapa Sehun dengan suara serak ketika matanya terbuka pelan. Luhan hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan apapun.

"Apa kau masih dalam mode 'sedikit menjauh dariku'?" tanya Sehun lagi sambil memegang dagu runcing Luhan dan mengangkat wajahnya agar menatap lurus. Luhan masih terdiam, hingga membuat Sehun menghela nafasnya. Dadanya menyesak lagi dan ia hampir meneteskan air mata.

"Aku akan ikut menjauhimu kalau kau mau, Lu. Tapi kumohon, setidaknya ucapkan satu kata saja padaku... Aku sungguh buruk saat kau tidak bicara apapun padaku, Lu... Kumohon, jangan mengingatkan aku pada saat kau terpuruk Lu... Itu menyakitiku..." lirih Sehun dengan suara bergetar. Luhan tertegun, ternyata selama ini Sehun juga menyimpan ketakutan yang sama akan masa lalu.

Sejak kemarin, saat ia menolak Sehun, ia hanya sedang ingin merenungkan semuanya. Hatinya benar-benar sakit saat itu, semua luka masa lalunya kembali muncul ke permukaan dan itu membuatnya tak kuasa untuk melihat Sehun sekalipun. Ia butuh kehangatan pelukan seorang ibu maka dari itu ia menghabiskan air matanya dipelukan Kyungsoo.

Tapi, seperti yang ia katakan sebelumnya, ia hanya sedang ingin menjauh sedikit dari Sehun; Luhan masih tetap membutuhkannya dan akan selalu membutuhkannya. Bagaimanapun juga, ia tak akan pernah melepas Sehun, tak akan pernah. Semuanya sudah ia pikirkan matang-matang; iapun sudah lelah dengan keadaannya yang menyedihkan ini. Bukankah ini saat yang tepat untuk memberikan penghargaan atas semua yang Sehun lakukan 5 tahun terakhir ini? Sehun sudah banyak terluka untuknya, bukan? Ini gilirannya untuk menyembuhkan luka Sehun.

Luhan menangkupkan tangannya ke rahang tegas Sehun yang tengah memasang wajah terluka itu. Ia menghiraukan tatapan bertanya Sehun dan langsung menempelkan bibirnya ke bibir tipis Sehun. Melumatnya teramat pelan penuh perasaan, menyalurkan segenap perasaannya. Cinta, sayang, marah, sedih, terluka, bersyukur dan semuanya; ia berharap Sehun mampu menangkapnya.

Sehun masih terkejut, namun setelah mulai mengerti iapun memejamkan matanya dan menarik tubuh Luhan mendekat ke tubuhnya. Ia mulai mengambil alih ciuman itu, dan tanpa ia sadari, air matanya menetes dan bercampur menjadi satu dengan air mata Luhan yang memang sudah mengalir sejak awal.

Sehun memutuskan tautan itu pelan dan menempelkan keningnya ke kening Luhan, lantas menatapnya dalam.

"Sudah? Kau mengerti apa mauku? Kau mengerti apa yang aku sampaikan bukan? Sekarang... B-biarkan aku yang menyembuhkan lukamu, Hunna... Giliranku atas semua yang kau lakukan selama ini. Ne?" kata Luhan dengan sedikit terisak. Sehun melempar senyum harunya kemudian memeluk Luhan dengan erat.

Panggilan sayang itu...

Luhan menangis ketika menyadari Sehun yang memeluknya ini memiliki sisi lemah yang bahkan lebih mengerikan ketimbang dirinya. Ia mulai mengerti kenapa Sehun bersikap dingin selama ini; ia hanya ingin membangun dinding kuat agar bisa melindunginya. Ia mengerti kenapa Sehun rela membuang semuanya hanya untuk dirinya; karena ketika Sehun lalai akan dirinya, Sehun akan ikut tersakiti dan hancur bersama Luhan. Ia mengerti betapa hancurnya Sehun saat ia hancur. Dan ia berterimakasih atas itu.

"Mulai sekarang, kau tidak perlu takut akan apapun. Lulu sudah kembali, Lulu sudah kembali untuk Hunna... Jadi Hunna sudah tidak perlu takut lagi, ne?" kata Luhan menenangkan sambil mengelus pelan pungguh Sehun yang bergetar. Sehun mengangguk kacau diatas kepala Luhan.

Semuanya akan baik-baik saja setelah ini... Kalian benar, Kyungsoo-ya... Kai-ah...

Luhan menuruni tangga sayap timur menggunakan dress berwarna pink lembut dengan tambahan cardigan putih manis sebagai pelengkapnya. Untuk pertama kalinya ia kembali memakai flat shoes yang kali ini berwarna putih itu. Rambutnya tergerai indah dengan sematan jepit rambut berwarna putih disisi kiri rambutnya. Dibelakangnya seperti biasa, Sehun mengikutinya dengan pakaian lengkap dan membawa coat milik Luhan.

Namun ada yang berbeda; raut wajah keduanya. Luhan menampakkan senyuman ceria yang hampir tak pernah Kyungsoo lihat. Senyuman ceria yang hanya Kyungsoo lihat dialbum-album foto masa kecil Luhan. Dan Sehun, lelaki dingin itu menampakkan senyum tipisnya seperti biasa, namun itu bukan sekedar formatilas belaka; Sehun benar-benar bahagia. Sinar matanya benar-benar menyenangkan.

Kyungsoo dan Kai sampai tercekat melihatnya.

"Eoh? Kalian kenapa berdiri disana? Kajja kita ke dapur, aku benar-benar lapar dan ingin segera menyerbu masakanmu. Apa kau sudah memasak salmon steak seperti permintaanku tadi malam?" Luhan berucap ceria sambil melewati Kyungsoo dan Kai menuju Ruang makan yang merangkap dapur itu. Kyungsoo dan Kai saling berpandangan takjub tak percaya. Namun mereka langsung mengikuti Luhan ketika Sehun berucap—

"Aku rasa kalian tidak mau mendengar teriakan Luhan kan? Cepat ikuti dia."

"Ya! Kyungsoo-ya! Kai-ah! Palliwayeo!"—bersamaan dengan teriakan Luhan yang menyuruh mereka segera ke Ruang Makan.

Luhan duduk di kursi utama seperti biasa dengan Sehun yang tengah merapikan rambut Luhan. Mereka saling melempar senyum dan candaan ceria. Wajah mereka berdua benar-benar bersinar, membuat mata Kyungsoo memanas karena tercekat haru.

"Jja, Kyungsoo-ya... Apa sarapan hari ini?" tanya Luhan lembut. Kyungoo tergagap.

"S-saya... Ah... A-aku menyiapkan salmon steak seperti permintaanmu tadi malam, sup sayuran, salad anggur dan croissant." Kata Kyungsoo sedikit tersendat. Ia mati-matian menahan air matanya.

"Dan mulai besok, aku mau kau memasak sarapan korea untukku. Harus ada kimchi dan nasi oke?" kata Luhan sambil mulai memakan sarapannya.

"N-ne." Kyungsoo masih berdiri mematung disamping Luhan. Terjebak dalam diam.

Tak.

Luhan meletakkan garpu dan pisaunya ke piring, Kyungsoo langsung khawatir melihat sarapan Nona Muda-nya yang hanya dimakan sedikit itu. Apa ia melakukan kesalahan? Apa ini tidak seperti keingingan Luhan? Apa ini menge—

"Gomawoyo, mulai sekarang, tanggalkan semua etika pelayan menyebalkan itu. bersikaplah seperti temanku karena kau memang temanku yang kebetulan bisa memasak seenak ini. Kau tidak mau aku kembalikan ke restoran dengan manager congkak itu kan? Ne?"

—cewakan Luhan?

"Ne, Luhan-ah. Aku mengerti." Isak Kyungsoo yang memberanikan diri mengangkat tangannya untuk memeluk Luhan. Elusan tangan Luhan dipunggungnya benar-benar menyenangkan.

"Cha, hapus air matamu dan kita sarapan bersama sekarang." Kata Luhan sambil melepas pelukannya. Kyungsoo mengangguk sambil menghapus air matanya.

"Ah, Kai-ah... Kau membutuhkan pelukanku? Kau sangat buruk dengan air matamu itu." kekeh Luhan saat menyadari Kai tengah terpaku dengan lelehan airmatanya tak jauh darinya. Kai segera mengusap air matanya dan membuang pandangan.

"A-aniya. Aku tidak membutuhkannya." Kilah Kai sambil menggigit bibirnya.

"Sebuah pelukan tidak akan melunturkan harga dirimu, Man." Kata Sehun. Mendengarnya Kai langsung mengerang keras dan berjalan cepat menuju Luhan. Lantas memeluk sahabat kecilnya itu dengan erat dengan deraian air mata.

"Lulu sudah kembali, eoh? Kenapa tidak dari dulu? Apa aku harus menghabiskan seluruh air mataku dulu baru kau kembali hah?!" kata Kai. Luhan terkekeh pelan sambil menepuk punggung Kai pelan.

"Gomawoyo telah menangis untukku ne, Kkamjong-ah..."

"Astaga, ini pertama kalinya aku bahagia dipanggil Kkamjong, Lulu. Panggil lagi, panggil lagi."

Setelah itu derai tawa memenuhi udara di rumah mewah itu. Aura suram dan dingin sudah berganti menjadi kehangatan yang penuh cinta dan rasa sayang. Luhan hanya bisa memandang Sehun yang kini tengah memakan sarapannya dengan seulas senyum tipis itu dengan tatapan terimakasih yang penuh cinta.

Hatinya masih menyisakan luka, dan Luhan yakin luka itu akan terus membekas seumur hidupnya. Tapi, ini saatnya untuk melupakan lukanya dan balik menyembuhkan luka milik Sehun, orang yang telah menyembuhkan lukanya. Orang yang rela kotor untuknya, orang yang rela membuang semuanya demi dirinya, orang yang rela melakukan apapun untuknya. Dan Luhan kira, dirinya yang kembali ke pribadinya yang dulu, bisa menyembuhkan luka Sehun itu. Lagipula, ia sudah lelah dengan segala topeng dingin yang selama 5 tahun terakhir ini ia pasangkan didepan wajahnya.

Semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Kau benar, Kyungsoo-ya, Kai-ah... Gomawo, aku harap kalian akan tetap menemaniku bersama Sehun...

END

Ini FF pertamaku yang aku publish, so, I'm sure there's a lot of mistake. Aku newbie, so mohon bimbingannya ya.^^