Chapter 1 : Dilan sialan!

Cast : Renjun (17 y.o), Jaemin (17), Jeno (17), etc.

Warning! Mengandung umpatan dan kata-kata vulgar. Perbanyak istighfar dan siapkan kreseknya ya gais.

.

.

.

.

.

Stay Weird and Love Me

.

.

.

.

.

Huang Renjun rasanya ingin menangis saja jika harus membayangkan hari esoknya yang sudah dipastikan akan ramai dan penuh keributan. Tuhan memang terlalu 'menyayanginya' sampai mengaruniakan seorang 'pengawal' yang nyaris membuatnya terkena stroke di usia 17. Pengawal sialan yang senantiasa membuat kepalanya berdenyut maknyus.

Mari berkenalan dengan oknum yang Renjun maksud.

Namanya Na Jaemin, pria tergombal di sekolah yang mengaku sebagai titisan Dilan. Jago jika sudah membahas kimia, namun payah jika harus ditantang lomba lari, kecuali lari mengejar injuninya yang menggemaskan.

Terlahir di keluarga serba berkecukupan tak membuat Jaemin tumbuh menjadi pria urakan yang gemar tawuran. Justru Jaemin tumbuh menjadi anak baik kebanggaan mama papa yang selalu membawa pulang piala olimpiade setiap tahunnya. Di hadapan orang tua, kerabat serta calon mertuanya (sebutan Jaemin pada Keluarga Milea Huang/Renjun) ia juga senantiasa menunjukkan sifat terpuji dan tak lupa bersalaman jika bertemu di jalan.

Di balik sifat terpujinya, Jaemin sebenarnya merupakan pria dengan kadar kemesuman yang berbahaya. Bibirnya akan otomatis maju satu sentimeter saat merasakan kehadiran sang Milea dan tak segan menghujani pipi kenyal pria manis itu dengan ciuman-ciuman basah.

Satu kebiasaan buruk yang Renjun benci dari pria ini adalah merokok.

Ya, Jaemin memang perokok. Meskipun pria itu menyebalkan dan memiliki kebiasaan buruk yang sangat Renjun benci, Renjun sebagai sosok manusia imut penuh kepedulian serta berbudi luhur tak pernah sekalipun melakukan kekerasan fisik (dalam hal ini, menurut sudut pandang Renjun, mencekik dan menendang tidak termasuk kekerasan fisik) atau mengusir Jaemin secara kasar. Malah Renjun dengan sabarnya tak pernah bosan menceramahi lelaki itu untuk berhenti merokok.

"Jaem, bibirmu bisa hitam jika terus merokok. Bisa kau berhenti?" Pintanya setiap kali Jaemin kedapatan merokok.

"Ganti rokokku dengan bibirmu. Sanggup, injuni sayang?"

Renjun benci jika Jaemin sudah menggodanya. Tapi rona merah di pipinya mengatakan sebaliknya.

Apa kalian pikir cobaan hidup Renjun hanya bersumber dari Jaemin?

Tidak, kawan.

Maka dari itu, mari berkenalan dengan sumber masalah kedua.

Ialah Jeno Lee, ketua kelas yang jago melukis dan suka sekali menjadikan Renjun sebagai objek lukisannya. Pria bereyesmile itu lebih terlihat kalem dari Jaemin dan sangat baik.

Orang bilang, pria yang terlalu baik itu kesannya membosankan. Renjun juga setuju pada pernyataan itu karena menurutnya Jeno sama sekali tak lucu dan sangat garing.

Jika Jaemin hobi menciumi Renjun, maka Jeno ini hobi sekali melecehkan Renjun dengan cara yang aneh.

Orang lain pasti tidak menyangka jika Jeno sedang meremas bokong Renjun karena eyesmile dan senyuman tampan pria itu lebih menarik untuk disaksikan dan selalu mencuri perhatian orang. Jeno melecehkannya dengan ekspresi ramah. Aneh bukan?

Tetapi meskipun aneh, pelecehan tetaplah pelecehan dan Renjun takkan segan memelintir tangan Jeno dengan kuat sampai lelaki itu memohon ampun padanya.

"Renjun, kurasa bokongmu butuh silikon agar tingkat kekenyalannya bertambah." ujar Jeno setiap kali pria itu melecehkan Renjun.

Dan Renjun dengan senang hati akan memelintir tangan Jeno seraya berteriak, "Katakan sekali lagi, sialan! Kupastikan hidungmu patah dalam sekali tendangan."

-Renjunaldowati, 2k18-

.

.

.

.

Renjun bosan menjawab pertanyaan orang-orang tentang keputusannya untuk menjomblo seumur hidup padahal mereka bilang wajahnya ini terbilang laris di kalangan perempuan maupun lelaki.

Haechan -adik tiri kesayangannya bahkan sering menyarankan ia untuk jadian saja dengan Jaemin yang jelas-jelas selalu membututinya kemana pun. Atau Jeno yang terkenal dengan sifat kalemnya. Tapi ia tetap tak mau.

Bukan.

Bukan karena ia tak punya gebetan atau makhluk aseksual. Tapi satu-satunya pria yang ia cintai malah berpacaran dengan adik tirinya sejak sebulan yang lalu namun Renjun baru tahu tentang hal itu hari ini.

Nama lelaki itu Mark. Si jenius berkacamata yang fasih berbahasa inggris. Pria itu termasuk golongan makhluk tereceh. Mendengar suara botol kecap kentut saja pasti tertawa. Mark juga seumuran dengan Renjun dan merupakan pensiunan ketua OSIS. Perawakannya tinggi, bahunya selebar pinggul Nicki Minaj, kulitnya seputih mayonnaise, hidungnya mancung kecil, matanya bulat dan berpipi tirus.

Pokoknya Renjun merasa kalau Mark itu makhluk yang paling pantas untuk berjodoh dengannya. Tapi sial, adiknya yang bohay sudah menyalip duluan. Tak tanggung-tanggung, tahun depan mereka bahkan akan bertunangan. Itu yang ia dengar dari Haechan.

Sebagai seorang manusia yang menyandang status jomblo sejak embrio, Renjun sungguh iri pada adiknya yang masih berusia 17 tapi sudah memiliki kekasih dengan poin plus plus, sedangkan ia yang sebentar lagi lulus SMA malah diberi fans fanatik tampan berkelakuan aneh. Fans fanatik berambut coklat yang malah asyik merokok di sampingnya yang sedang menangis ini. Iya, Renjun memang menangis. Patah hati kan sakit, kawan.

"Injun, jangan menangisi Mark yang jelas tak pernah mencintaimu. Sisakan saja air matamu untuk nanti. Nanti jika aku memutuskan tuk pergi dari sisimu." Ujar Jaemin tiba-tiba.

Renjun merotasikan bola matanya. Terlampau jengah dengan perkataan Jaemin. Sedari dulu, pria itu suka sekali mengatakan omong kosong. Mengaku akan pergi dari sisinya sejak lama namun sampai sekarang masih betah membuntutinya bagai bayangan.

Saat ini mereka berada di kamar Renjun. Jangan tanya mengapa Jaemin bisa masuk. Jawabannya sudah pasti dengan cara menerobos. Untung setengah sial, Rumah mereka berhadapan, jadi Lelaki itu suka seenaknya berkunjung di saat orang tua Renjun ada maupun tiada. Tapi Renjun juga beruntung, jika ada tugas pelajaran eksakta yang sulit, ia bisa mencontek dari buku milik Jaemin.

"Kau mau pergi? Kapan?" Tanya Renjun dengan suara parau sambil menyeka air mata di pipinya.

Jaemin mematikan puntung rokoknya lalu turun dari ranjang dan membuang puntung itu keluar jendela. "Nanti saat kau bosan padaku"

"Padahal sekarang saja aku sudah bosan padamu"

"Ya sudah, selamat tinggal." kata Jaemin sambil berjalan mendekat.

"Loh? Katanya selamat tinggal, kok malah mendekatiku?"

Jaemin merunduk dan membingkai wajah injuninya. "Aku ingin ciuman perpisahan"

"Jangan. Nanti aku terkena serangan jantung. Mulutmu penuh nikotin. Efek rokok kan berbahaya. Tak mau aku ditulari bibit penyakit mematikan dari bibirmu itu"

"Jadi kapan kau mau menggantikan rokok itu dengan bibirmu, hm?" Tanya Jaemin yang kini mulai mengelus pipi halus injuninya teramat lembut. "Bagaimana kalau sekarang?"

Renjun mendelik tajam. "Dasar mesum!" Katanya lalu menepis tangan Jaemin kasar. Renjun menjauhkan wajah Jaemin dengan cara mendorong dahi lelaki itu dengan jari telunjuk lentiknya.

"Kasar sekali."

"Terserah akulah!"

"Hih! Gadis jahat! Kuperawani baru tahu rasa kau!"

Renjun merotasikan bola matanya. Jengah dengan ancaman murahan yang entah sudah berapa kali Jaemin katakan. "Sudah berapa kali kubilang kalau aku juga lelaki sepertimu, Jaem. Kita sama-sama dikaruniai belalai mini-"

"Punyamu saja yang mini, punyaku tidak."

Ya tuhan! Beruntung hari ini Renjun memutuskan untuk menjadi makhluk anggun penuh karisma dan tahan banting meskipun hidupnya kerap kali diuji seperti sekarang ini. Jika tidak, mungkin Jaemin sudah habis ia pukuli. Jujur saja, harga dirinya sedikit terluka jika harus membahas masalah "ukuran".

Renjun hanya diam dengan bibir mengerucut. Tak mau memperpanjang masalah.

"Injun, seharusnya kau memakai rok jika mau terus-terusan menampilkan ekspresi menggemaskan itu di wajah cantikmu." Ledek Jaemin dengan mata yang tertuju pada bibir merah Renjun.

"Aku tampan, sialan!"

"Jangan menyebutku sialan, nanti hatiku sakit."

"Lebay!"

"Karena hatiku sakit, maka akan kutagih obatnya sekarang"

Cup

Jaemin mencuri satu kecupan di pipi Renjun sebelum lari terbirit-birit untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Gawat kalau Jaemin tak cepat-cepat kabur, bisa-bisa jakunnya pindah ke tengkuk. Renjunnya yang menggemaskan itu akan berubah jadi monster jika ada seseorang yang berani mencium. Dan Jaemin adalah satu-satunya manusia yang tak bosan dihajar monster tersebut karena di matanya, Renjun itu bagai monster berbulu pink dengan ekor pelangi yang bergerak-gerak imut menggoda.

"Dasar sinting!" Maki Renjun dengan wajah merona seraya mengusap bekas ciuman Jaemin.

"Injun!" teriak Jaemin kencang dari luar rumah. "Kau tidak lupa kan kalau tugas kimia dikumpulkan besok?"

Renjun melotot. Ia lupa jika besok tugasnya harus dikumpulkan. Tugas kimia sebanyak 50 soal tentang senyawa karbon dan benzena yang sama sekali tak pernah nyangkut di otaknya. Mengerjakan satu soal saja ia hampir menangis, apalagi harus mengerjakan 50 soal, bisa-bisa malam ini ia mati berdiri karena overthinking.

"Injun?" Seru Jaemin sekali lagi, menyadarkan Renjun dari keterkejutannya.

Renjun berlari ke balkon dan menatap Jaemin yang tengah tersenyum lebar di bawah sana. "Bantu aku, ya?" mohonnya.

"Bayarannya mahal."

"Apa?"

Jaemin menunjuk bibirnya lalu masuk dengan cueknya ke dalam rumah, bersikap seolah tak mau peduli padahal dalam hati ia kegirangan bukan main. Renjunnya pasti akan datang karena tak punya pilihan.

.

.

.

.

Sudah satu jam berlalu sejak Renjun datang ke kamarnya. Bukannya mendapat ciuman, Jaemin malah dilanda rasa bosan dan kantuk karena Renjun bersikeras mau mengerjakan soal itu sendirian dengan alasan tak mau menyerahkan bibirnya begitu saja.

Sedari tadi, Renjun memaksa Jaemin agar mau memberi petunjuk, namun setelah diberi petunjuk pun Renjun tak kunjung mengerti, membuat Jaemin gemas sendiri dengan kelemotan Mileanya itu.

Mereka berdua duduk di ranjang super besar milik Jaemin. Renjun dengan posisi duduk sambil menggaruk dahi, sementara Jaemin berbaring dengan wajah yang tak lepas memandangi bibir sang Milea.

"Yakin tak mau menciumku?" Tawar Jaemin untuk yang kesekian kalinya.

Renjun berkedip ragu. "Di pipi saja, bagaimana?"

Jaemin memejamkan matanya. "Lupakan! Kerjakan saja soalnya sendiri, ok? Dilan butuh tidur karena terlalu lelah mengahadapi kelemotan sang Milea."

"Aku tidak lemot!"

"Iya, kuganti saja kata lemotnya menjadi bolot."

"Aku tidak bolot!"

"Kalau bukan, lalu apa? Sedari tadi kau hanya mencoret-coret tidak jelas. Makanya jangan malas baca buku, perhatikan penjelasan guru dengan benar dan jangan hanya memikirkan Mark, Mark dan Mark!" Kata Jaemin ketus seraya tidur membelakangi Renjun.

Renjun tak menyangka jika Jaemin bisa setega itu padanya. Sudah tahu ia pusing, pria mesum itu sama sekali tidak punya rasa kasihan dan tak kunjung memberi petunjuk yang bisa dicerna otak minimalisnya dan sekarang malah mengatainya bolot.

"Kalau sudah beres, tutup pintu kamarku ya? Jangan lupa tutup juga pintu rumahku. Kalau ada maling, orang pertama yang kusalahkan pasti kau, Milea Huang."

"Jaem-"

"Besok jangan mengemis jawaban padaku, kau kan punya Mark yang tak kalah pintar dariku, kenapa tak minta bantuannya saja?"

"Aku malu." Cicit renjun seperti anak kecil.

"Makanya terima saja tawaranku. Mau tidak?"

"Tidak-"

"Sekali ciuman setara dengan 50 soal kimia. Bukannya itu menguntungkan? Lain kali mungkin aku harus menaikkan tarif 1 ciuman/soal." Sela Jaemin cepat.

"Dengar, idiot-"

"Dan orang yang kau sebut idiot ini mungkin satu-satunya harapanmu karena Mark yang sangat kau cintai itu terkenal pelit jika sudah menyangkut tugas. Jadi, pilih Mark si pelit atau aku yang jelas baik dan mencintaimu?" Tanya Jaemin sambil menaikturunkan alis.

Renjun mengepalkan kedua tangannya. "Kau pikir aku murahan sampai mau menyerahkan bibir perjakaku pada pria idiot sepertimu?"

"Jika orang sepintar diriku ini kau sebut idiot, lalu sebutan apa yang cocok untukmu, injuni sayang?"

Renjun menghembuskan nafasnya kasar. Ia tidak suka jika Jaemin sudah bertransformasi menjadi makhluk bermulut tajam. Kata-kata lelaki itu ia rasa sudah keterlaluan. Dalam hati ia sudah membayangkan, kira-kira azab apa yang cocok untuk titisan dilan bermulut plin-plan itu.

"Bagaimana jika kubayar dengan 1 ciuman di pipi?" Tawar Renjun pada akhirnya.

Jaemin menoleh lalu menggelengkan kepala. "Tidak, silahkan keluar dari kamarku."

"Ciuman di kening?"

Jaemin berguling, berbaring menyamping dan menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. Senyum di bibirnya mulai terbentuk. "Ciuman di kening setiap pagi selama 50 hari, bagaimana?"

Kepalan tangan Renjun menguat. Apa demi tugas sialan itu Renjun sampai harus menggadaikan keperjakaan bibirnya? Ya tuhan, andai Renjun tidak malu, mungkin sedari tadi ia sudah menangis dan berlutut di kaki jaemin. Tapi harga dirinya tidak serendah itu, kawan. Ia tidak mau dicap sebagai lelaki murahan.

Aku pria tangguh yang kurang pantas jika harus menangis saat tidak diberi contekan, batinnya menguatkan.

"Tidak mau! Bagaimana kalau ciuman di mata?"

Jaemin geleng-geleng kepala seraya mengelus dagu. "Itu aneh."

"Cari solusi selain ciuman-"

"Bagaimana kalau kau tidur denganku?"

"KAU GILA?"

"Loh? Apa yang salah dengan jawabanku?"

"Yang salah itu otakmu!" Jerit Renjun dengan kaki menghentak.

Jaemin menguap lebar kemudian tersenyum manis. "Ok, sesi tawar menawar sudah berakhir. Kalau begitu selamat begadang, Milea sayang."

"Jaem, tolong aku-"

"Tunggu apa lagi? Kenapa masih disini? Aku sudah mengusirmu barusan"

Pusing dan kekesalan yang sedari tadi Renjun tahan akhirnya pecah dalam bentuk tangisan. Renjun meraung seperti anak kecil dan Jaemin hanya menanggapinya dengan tawa menyebalkan.

"ululululu~ Manisnya injuniku jika sedang mengamuk~"

Renjun menutup bukunya kasar dan pergi dengan langkah menghentak. Persetan dengan harga diri dan tugas. Esok hari ia tinggal bolos saja dengan alasan sakit. Tak apa dikatakan pecundang, dari pada menyandang gelar murahan dengan menyerahkan bibir berharganya pada Si mesum sialan yang mengaku sebagai titisan Dilan itu.

"Mau kemana, cengeng?" Tanya Jaemin pura-pura bodoh.

Renjun berbalik, menatap tajam sang tersangka penghinaan lalu melempar penanya dengan kekuatan penuh tepat di kepala Jaemin hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. Renjun melanjutkan langkah kakinya tanpa memberi jawaban apapun.

Lihat saja, sialan! Akan kulubangi ban sepedamu saat ini juga! Batinnya penuh dendam.

.

.

.

.

Malam harinya, seusai makan malam bersama papah Taeil, Renjun terkena musibah. Perutnya kontraksi hebat dan ia terpaksa mendekam di kamar mandi sejak 1,5 jam yang lalu. Kakinya bahkan sampai kesemutan berkali-kali. Sangat geli dan terasa lembek bagai jelly.

Sampai saat ini, kontraksi di perutnya belum juga hilang. Renjun masih betah duduk di toilet, merenung sambil sesekali meremas perut rampingnya.

Sedari tadi entah sudah berapa kali ia membaca kandungan shampoo, sabun dan pasta gigi untuk mengurangi kebosanan. Andai saja yang ia bawa ke WC itu tabel unsur periodik, mungkin sekeluarnya dari WC ia bisa sedikit pintar. Minimal ia tahu bilangan oksidasi unsur alkali tanah itu berapa saja.

"Renjun, papa Yuta menelponmu!" Teriak Winwin -mamanya dari luar.

"Angkat saja dan katakan kalau anaknya butuh uang untuk membeli obat diare!"

"Kau baik-baik saja?" Tanya sang mama sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Sudah kubilang aku terkena diare! Mama pikir aku masih baik-baik saja setelah-"

"Ok, tak perlu membentakku seperti itu, Renjun!"

Selain menguras stok tinja di dalam perut, sepertinya diare juga menguras kewarasannya. Ia jadi menyesal telah membentak sang mama. "Maafkan aku, ma!"

"Ok, cepat selesaikan urusanmu di WC sebelum hantu-hantu disitu bosan melihat keberadaanmu!"

Hantu?

Renjun buru-buru menyelesaikan acara tongkrongan di atas toiletnya dan segera lari ke kamar tanpa mematikan lampu kamar mandi. Berlari dengan kaki basah di atas lantai kamarnya yang tak kalah licin dari lantai kamar mandi, Renjun akhirnya meluncur seperti ice skater lalu tergeletak mengenaskan di dekat ranjang hingga menghasilkan bunyi debuman yang cukup keras.

Sial, pantat ratanya mendarat terlebih dahulu di lantai. Jika ia wanita hamil, mungkin sekarang ia sudah keguguran.

"Kau baik-baik saja? Kepalamu tidak terbentur keras, kan? Kau masih ingat aku, Milea Huang?"

Renjun yang masih tergeletak pun mendongak dan mendapati Jaemin tengah mengulurkan tangan padanya.

"Jadi Mileaku ini takut hantu, ya?"

Renjun menepis tangan Jaemin kasar. Ia mencoba bangkit, tetapi denyutan menyakitkan di pantatnya belum juga hilang.

Apa tulang-tulang imut di tubuhku mengalami keretakkan? Bagaimana jika setelah ini pantatku cekung? Batinnya panik.

Renjun memejamkan mata sebentar, berharap rasa sakitnya berkurang, namun kemudian ia merasa tubuhnya melayang dalam gendongan seseorang.

Matanya otomatis terbuka lebar, menatap sang pelaku yang seenak jidat menggendong tubuh rampingnya dengan kedua tangan. "Jaem-"

"Tenang, aku takkan memperkosamu." Jaemin membaringkan sang Milea Huang di atas ranjang lalu kembali duduk di kursi belajar tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Renjun mengernyitkan dahi, jadi sedari tadi selama ia tengah berjuang melawan rasa mulas di dalam wc, Jaemin sudah ada di kamarnya? Dan kenapa lelaki itu malah duduk di kursi belajarnya?

"Jaem?"

"Apa, sayang?"

Renjun mengacungkan jari tengahnya diam-diam. "Jawab yang benar, sialan!"

"Ok, maaf. Ada apa?"

"Sejak kapan kau disini?" Tanyanya pelan.

"Sejak kau mendekam di kamar mandi. Kau kaget ya? Bagaimana bisa lelaki tampan ini tiba-tiba masuk ke kamar dan duduk di meja belajar untuk mengerjakan tugasmu? Kau pasti terpesona kan? Lihat, punggung dan bahu tegapku terlihat bagus kan dari belakang?" Tanya Jaemin tanpa menoleh.

Renjun mengangguk malas. "Terserah! Kenarsisanmu malah membuatku semakin mulas"

Keadaan menjadi hening selama kurang lebih 15 menit. Jaemin terlihat sangat fokus mengerjakan kimia sementara Renjun hanya melamun dengan pandangan yang mengarah pada langit-langit kamar yang penuh dengan sticker bintang.

Renjun melirik Jaemin yang masih sibuk. Ternyata benar, tubuh Jaemin terlihat sexy dari belakang. Pundak lebar dan punggung lelaki itu sepertinya sangat cocok untuk disandari. Ia kemudian meraba pundaknya sendiri. Kenapa pundakku sempit seperti wanita? batinnya.

Renjun menghela nafas dan kembali memandangi Jaemin dengan pandangan iri.

"Injun, kau mendengar sesuatu?"

"Tidak, memang apa yang kau dengar?"

Jaemin melirik Renjun sekilas. "Goresan pena dengan buku, denting jarum jam dekat pintu dan debaran jantungmu."

Si gombal ini berulah lagi, batin Renjun kesal. Iya, Renjun kesal sampai pipinya kembali dibuat merona. Titisan Dilan itu memang menyebalkan.

"Aku merasa ditatapi sedari tadi. Kau mulai jatuh cinta padaku, ya?"

"Aku Bisex, Jaem. Kalaupun jatuh cinta pada lelaki, lelaki itu pasti Mark, bukan kau."

"Jangan bilang begitu, kalau kau di posisiku pasti kau sudah menangis, injun."

"Kau ini bicara apasih?" Tanya Renjun seraya mengorek telinganya.

Jaemin tak menyahut dan Renjun mengerucutkan bibir karena tak suka diabaikan.

"Jaem-"

"Kau ini memang payah, membedakan aldehida dan keton saja masih salah." Omel Jaemin seraya menulis di buku latihan kimia milik Renjun. "Maaf soal perkataanku sore tadi. Kau pasti kesal kan? Mulutku memang kurang ajar, tapi hatiku ini tulus kok menyayangimu"

Renjun refleks mengelus tengkuknya yang merinding. "Mulutmu menggelikan"

"Jadi, bagaimana? Apa permintaan maafku diterima?"

Karena Jaemin sudah berbaik hati mengerjakan tugasnya, Renjun memutuskan untuk menganggukkan kepala.

"Kok diam saja?" Tanya Jaemin.

"Aku sudah mengangguk."

"Kau pikir aku melihat anggukanmu? Wajahku membelakangimu, mataku cuma dua dan sedang fokus melihat bukumu. Kalau mau memberi jawaban seperti itu, pastikan lawan bicara sedang menatapmu. Kau pikir aku dewa matahari berwajah 4 dalam film Little Krishna hah?" Jaemin mengomel seperti ibu-ibu.

Renjun bergumam pelan. "Kau ini bawel sekali. Sudah untung aku mau bicara padamu"

"Kau ini jahat sekali, sudah untung aku mau mengerjakan tugasmu," balas Jaemin tak kalah tajam dan telak menampar hati sang Milea.

Keheningan kembali melanda. Tak terasa, jarum jam kini telah menunjuk angka 11.39. Malam hampir berakhir dan Jaemin masih bergelut dengan buku tugas sang Milea sementara si pemilik buku sudah tertidur pulas di ranjang. Beruntung orang tua Jaemin sedang dalam perjalanan bisnis, jadi takkan ada orang yang menunggu kepulangannya hari ini.

Andai jika Renjun bukan orang yang Jaemin cintai, mungkin Jaemin sudah pergi sedari tadi dari pada harus merelakan jam tidur berharganya hanya demi mengerjakan tugas secara sukarela. Tapi berhubung rasa sayangnya pada Renjun lebih besar dari rasa kantuk yang menderanya saat ini, Jaemin memaksakan diri untuk tetap terjaga. Gawat jika tugas itu tak selesai malam ini. Bisa-bisa Milea Huangnya tak mendapat nilai mengingat Pak Doyoung -guru kimianya- itu orang yang sangat menjunjung tinggi nilai kedisiplinan.

Jika pak Doyoung bilang tugas harus dikumpulkan jam 8, maka harus jam 8. Tidak ada tawar menawar, apalagi aksi suap menyuap. Jika pak Doyoung bilang tugas harus selesai, maka harus diselesaikan. Jika belum selesai, jangan harap bisa mendapat nilai sekalipun tugas itu dikumpulkan tepat waktu.

"Untung hari ini aku masih mencintaimu. Tidak tahu kalau besok." Bisik Jaemin sebelum kembali mengerjakan soal.

TBC

_

"Loh? kok cuma Jaemin yang muncul? Jenonya kapan?"

Sabar, Yang Mulia. Di chapter selanjutnya dia bakalan muncul dan pastinya lebih nyebelin dari Jaemin. Perkuat saja iman kalian agar tidak kelepasan menghujat.

teruntuk Reader tercinta, makasih udah sempetin baca.