Lantunan surat untuk Ayah

Naruto © Mashashi Kishimoto

Warning : Typo! Pwp? Drabble! AU!

.

.

.

Seorang anak pasti akan dekat dengan salah satu orang tuanya, Ayah atau Ibunya. Begitulah kata orang-orang, dan itu memang benar adanya. Waktu anak-anak lain bermain di lapangan dusun, aku selalu dilarang oleh Ibu saat akan ikut bemain, ia selalu bilang jika itu berbahaya. Aku mengangguk sedih, dan saat itu pula Ayah justru menginzinkanku pergi bermain asal selalu berhati-hati, padahal Ibu tadi melarangku.

Oleh karena itu aku selalu dekat dengan Ayah. Bukan karena Ayah yang selalu mengizinkanku untuk melakukan hal-hal baru, melainkan Ayah selalu tahu apa yang sedang kurasakan dan apa yang sedang kuinginkan. Bukan berarti pula aku tidak menyukai Ibu. Aku sangat menyukai Ibuku, ialah yang telah melahirkanku, namun aku lebih suka dekat dengan Ayah.

Tapi akhir-akhir ini aku merasa jika ada sesuatu yang berbeda dari Ayah. Ia sudah sangat jarang keluar dari bilik kamarnya. Ayah sudah tak pernah terlihat lagi pergi bekerja, Ayah selalu berbaring di kasur, bahkan Ayah sendiri kini disuapi oleh Ibu saat makan. Tak pernah mandi dan hanya berbaring di sana seharian sembari berdzikir.

Waktu itu aku, Uzumaki Naruto masih berusia 8 tahun. Para tetangga bahkan masih senang untuk mencubit kedua pipiku hingga memerah, pun dengan Ibu dan Ayah. Tapi kebiasaan yang tak kusuka ini kian sirna ditangan Ayah. Beliau… diusianya yang berkisar 45 tahun sudah tak lagi banyak mencubitnya, Mengbrol dengannya, mengajarinya mengaji dan memberinya uang jajan tambahan.

Ayah sudah hanya tidur di atas kasur, sendirian dan hanya lantunan dzikir yang terlontar dibibir kusamnya. Aku hanya menatap bingung. Gerangan apa Ayah setahun ini selalu berbaring? Kenapa ia selalu terbatuk saat berbicara? Kenapa setiap akhir pekan pria berjas putih selalu datang kerumahnya? Dan kenapa setiap aku bertanya selalu saja hanya dibalas senyum lembut?

Dalam benak yang kian bergejolak penuh tanya, aku hanya melakukan perintah Ibu untuk terus membaca quran, melafalkan ayat-ayat pendek dan selalu berdoa untuk Ayah. Ibu tidak pernah berkata mengenai apa yang harus aku doakan untuk Ayah, jadi aku hanya berdoa agar Ayah selalu ada dalam hidupku, memberiku arahan dan kasih sayang seperti dulu, kecuali cubitan gemas darinya yang membuat kedua pipiku memerah.

Itu sakit sekali rasanya.

Tahun berganti hingga hari raya kedua semenjak Ayah selalu berbaring di bilik kamarnya. Para sudaranya yang jauh pasti berdatangan, entah menginap atau hanya sekedar menyempatkan saja. Namun rasanya agak berbeda, itu dikarenakan semenjak Ayah selalu berbaring di bilik, banyak sekali yang datang kerumahnya. Itu hal yang bagus, sebab aku bisa mendapat banyak uang saku dari sudara yang datang, meski kesal juga karena jajanan di atas meja selalu habis disantap padahal itu kan kue favoritku!

Dan lagi, haruskah mereka berdatangan hanya ketika Ayah sudah tak pernah keluar bilik? Padahal masih teringat dalam sanubarinya akan amanat ustadz yang berceramah di surau dusun, bersilaturahmi tidak harus menunggu hari raya lebaran atau hari besar lainnya, tapi setiap hari dimana kita masih diberi berkah untuk melakukannya.

Semua terus berulang hingga ia berusia 11 tahun, itu adalah saat ia sudah berada dibangku Madrasah Ibtidaiah Negeri yang ada baru dibangun. Saat itu, bulan memasuki awal Rajab yang mana bendera kuning yang tak kumengerti artinya berkibar di depan rumahnya. Para tetangga berdatangan, menyapa dengan baju hitam, mengelus kepalanya dan memeluk tubuhnya.

Ibu. Dia hanya menangis, namun air matanya tak keluar, kecuali bahwa kedua kelopak matanya yang memerah. Aku menatap bingung dalam ketidaktahuan yang menyandera. Kenapa semua menangis? Dan kenapa dalam kurun sehari ini banyak sekali kata tabah mendera telinganya?

Aku tidak tahu! Bahkan ketika Ayah memakai baju putih, dan diangkat menggunakan sebuah tandu, itu adalah saat terakhir ia melihat Ayah. Setelahnya… hanya ada lantunan Yasin dan Tahlil yang dibacakan para tetangga di rumahnya selama sepekan tanpa sekalipun aku melihat Ayah kembali.

Saat aku bertanya kemana Ayah pada Ibu, aku hanya mendapat ekspresi Ibu yang sedih dan membalas pertanyaanku dengan suara yang begetar.

"Ayahmu itu pergi menuju taman yang indah!"

"Apakah aku bisa menyusul Ayah, bu?"

"Kamu tidak bisa menyusul Ayah sekarang nak, Ayah akan marah kalau kamu menyusulnya sekarang!"

"yah, kan Naru ingin bertemu Ayah lagi."

"Maafkan Ibu nak, tapi Naru bisa kok memberi Ayah surat jika Naru sedang kangen dengan Ayah!"

"Benakah bu!?"

"Benar! Besok ikutlah Ibu mengirim suratnya!"

"Hum… semoga Ayah lekas membaca suratku esok!"

"Amin!"

Malam harinya semenjak sebulan aku tak bertemu Ayah, aku sudah menulis dua lembar surat untuknya. Itu semua aku siapkan dan aku merasa senang saat Ayah nanti membacanya, apalagi jika Ayah berkenan membacanya. Itu akan sangat menyenangkan.

Namun esoknya saat aku berangkat, Ibu berpesan padaku untuk memakai setelan muslim lengkap dengan kopiah hitam yang kebesaran. Sebelumnya aku mengira bahwa kantor pos adalah tujuannya, tapi tenayata justru tempat lain. Itu adalah sepetak tanah yang masih basah dan sepatok kayu yang tertancap di ujungnya.

Ibu menyuruhku membersihkan tempat ini, aku hanya mematuhinya saja agar sesegera mungkin mengirimkan surat ini pada Ayah. Selepas itu Ibu menyuruhku untuk memberikan suratku pada Ayah, namun Ibu terlihat tersenyum saat aku menyerahkan selembar ketas berisi tulisanku untuk Ayah.

Ibu menyurhku menyimpannya, dan memberitahuku bahwa surat untuk Ayah bukan berupa pesan tulisan, melainkan surat-surat Al-Quran dan doa. Aku tersipu malu, jadi Ayah lebih menginginkan doa daripada surat ya. Dan setengah jam lamanya aku membacakan surat untuk Ayah.

Doaku untuk Ayah…

Harapanku untuk Ayah…

Dan rasa terimakasihku untuk Ayah…

Ayah…

Maafkan segala kesalahanku yang lalu…

Biarkan aku membasuh kedua kakimu yang membengkak atas segela perimtaanku yang membebanimu…

Biarkan aku untuk mengusap air mata Ayah yang penuh perjuangan selama hidupku…

Biarkan aku memeluk Ayah dengan erat, seerat bagaimana Ayah dulu melindungiku…

Maafkan aku jika aku tak pernah mengerti…

Maafkan, bila aku tak cukup memahami…

Ayah…

Terimaksih atas semua yang tak akan pernah bisa aku balas…

Terimakasih atas segala pikiran yang tak mampu aku cerna….

Terimaksih atas semua pengorbanan yang Ayah lakukan untuk kebahagiaanku…

Ayah…

Rasa terimakasih kuucapkan…

Kini biarkan aku selalu mendoakanmu agar Ayah selalu bahagia,

Baik di dunia dan di akhirat….

Amin…