Matanya menyapu ruangan sekitar, dengan pandangannya yang kabur perlahan menjadi jernih. Memorinya semalam mulai terputar di kepalanya. Sesosok pria yang tak pernah ia kenal dengan dirinya saling menyentuh, untuk menghabiskan waktu bersama.
.
.
.
.
.
Langkah kakinya gontai, tak memperdulikan tiap kali tubuhnya bertabrakan dengan orang yang lalu lalang disekitarnya. Pikirannya tidak bersatu, semua kejadian tadi sore terlalu cepat. Kata-kata selalu mudah baginya untuk dirangkai, namun ia hanya mampu diam membeku tatkala pertemuannya dengan kekasihnya di café yang selalu menjadi tempat singgah keduanya, menjadi tempat mereka berpisah.
.
.
"Hyung." Lambaian tangan mungil itu menghentikan langkahnya mengelilingi café, perlahan menarik kursi untuk duduk, Namjoon tersenyum.
Senyumannya dibalas singkat dengan anggukan, dengan tangannya yang saling bertautan di atas meja.
"Mau pilih minum? Atau seperti biasa?"
.
"TIdak usah, hyung. Cuma bisa sebentar."
Namjoon memusatkan matanya pada pria di depannya, yang telah menjalin kasih dengannya semenjak keduanya bertemu semasa waktu kuliah.
Tangannya terulur, mencoba meraih tangan kekasihnya untuk menggenggam. Belum sempat, tangan mungil itu sudah menarik diri.
.
"Kita akhiri saja hyung."
Mengedipkan matanya beberapa kali, ia mencondongkan tubuhnya, merasa tak percaya dengan apa yang ia dengar.
.
"Apa aku salah dengar? Tadi kau bilang kita apa?"
.
Pria didepannya mengusap wajah, menutup matanya lalu kembali menatap dirinya.
.
"Kita akhiri hubungan kita. Semua ini sudah cukup, sudah menyiapkan semua barang-barangku untuk dibawa keluar-"
Namjoon tidak lagi dapat mendengar kata tiap kata selanjutnya yang dikatakan, matanya menyelusuri tiap jengkal pria yang telah berada di sisinya, menghabiskan waktu bersama, menjadi yang pertama dalam setiap momen.
Bahkan tiap menit yang berlalu tidak ia sadari, pikirannya berkelana jauh, meski kekasihnya tak lagi duduk berhadapan dengannya.
.
Tangannya mendorong pintu, menimbulkan suara bel yang tergantung di atas pintu. Mengedikkan kepalanya untuk menatap ruangan yang ia masuki.
Sebuah bar sederhana dengan live music yang tengah mempersiapkan diri untuk tampil.
Ia tidak pernah melangkahkan kakinya ke tempat ini, ia hanya membawa asal tubuhnya ke tempat yang masih bertuliskan buka, karena ia tak ingin cepat kembali ke rumah, hanya untuk melihat ruangan yang kini kosong, barang-barang yang ditumpuk di dalam kardus.
Ia tak mau melihatnya, kekasihnya yang perlahan membawa satu demi satu barang miliknya, dan kehilangan sosok itu dari pandangannya.
.
.
"Mau pesan minum?"
Ia terlonjak kaget, mengadahkan kepalanya yang sedari tadi ia kubur dengan lengannya sebagai tumpuan. Membetulkan posisi duduknya, menatap meja bar untuk berpikir.
"Wiski."
Langkah kaki terdengar menjauh, ia melirik sedikit barista yang tengah menyiapkan pesanannya, ia tak menemukan barista lain, hanya beberapa pelayan yang membawa pesanan dan tengah berinteraksi dengan pelanggan.
"Silahkan."
Namjoon menoleh dan mengucapkan terimakasih. Ucapannya dibalas dengan seulas senyum sebelum pria tersebut kembali menangani pesanan pelanggan lain. Tak menyadari bahwa kini Namjoon sibuk memperhatikan barista tersebut.
Pria tersebut cukup tinggi, tidak yakin apakah bila dibandingkan dirinya akan lebih tinggi atau mereka memiliki tinggi yang sama, rambut hitamnya tertata rapi dengan anting berwarna perak tersemat di kedua telinganya. Senyum singkatnya dengan bibir berwarna coral, entah bagaimana mengingatkannya dengan kekasihnya.
Mantan, lebih tepatnya.
Walaupun tinggi dirinya jelas berbeda, warna rambut keduanya juga tak sama. Dibandingkan anting, mantannya lebih suka menggunakan cincin untuk menghiasi jemari mungilnya. Mungkin bibirnya-
Mungkin saja karena Namjoon merasa kesepian sekarang.
Iringan musik perlahan mengisi ruangan, memutar tubuhnya untuk memperhatikan band yang tengah tampil, sembari mengeluarkan dompet dari kantung celana.
"I'm lost, just like a king without a throne." Suara riuh rendah pelanggan yang satu persatu mulai berdiri, beberapa diantaranya mulai menari pelan. Lagu jazz milik Sarah Vaughan menghiptonis hampir seluruh orang yang hadir di ruangan ini, terpukau untuk menikmati.
Ia tatap potret di dalam dompetnya, sosok pria yang baru saja pergi dari hidupnya ada disana, bersepeda dengan latar sungai Han, tersenyum menatap kamera.
Perjalanan pertama mereka bersepeda menuju sungai Han, setelah mereka memilih untuk tinggal bersama, yang merupakan hal pertama juga untuk keduanya, tinggal di kota dengan seseorang di luar keluarga, seseorang yang saling cinta.
Jemarinya mengusap perlahan, seakan merasakan hangat kulitnya, ketika tangannya menangkupkan wajah pria tersebut, seulas senyum terbentuk.
Baru sebentar saja ia sudah rindu seperti ini, bagaimana bisa ia menjalani hari selanjutnya tanpa kehadiran pria tersebut?
'Sudah cukup, sebelum mabuk dan tak mampu kembali.'
Meneguk minumannya di gelas sampai tak tersisa, meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan bersiap diri untuk melangkah pergi.
Iringan musik telah lama berganti, kini menjadi lagu yang mungkin sering ia dengar. Ia terlalu sibuk untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, kepalanya mulai terasa berat, tangannya mencengkram kursi dengan kuat.
.
"Who's that loungin' in my chair?"
.
Ia menarik napasnya perlahan, matanya tertutup rapat, mencoba mengenyahkan rasa pusing yang menyerang. Saat itulah, ia merasakan sentuhan tangan seseorang pada pundaknya yang perlahan mengusap punggungnya. Matanya terbuka, menoleh perlahan untuk menatap kedua mata pria tersebut.
.
"Who's that castin' devious stares in my direction?"
.
"Anda baik-baik saja?" yang Namjoon bisa ingat pada malam itu adalah, tangannya merayap untuk mengusap wajah pria di depannya, sebelum mendekatkan wajahnya, untuk bertukar kecupan.
.
.
.
Tubuhnya masih berbalut selimut, dengan cahaya perlahan mulai masuk ke dalam kamarnya dari jendela. Ia kembali menghempaskan kepalanya ke bantal. Terlalu lelah untuk mengingat apa yang terjadi dengan dirinya, bahkan ia terlalu acuh untuk kembali meratapi kondisi kamarnya yang sudah hampir kosong karena barang-barang yang menghilang- atau lebih tepatnya diambil kembali oleh pemiliknya.
Suara shower dari kamar mandi berhenti, ia diam membeku. Mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat siapa tamu yangia temui untuk menghabiskan waktu semalam bersama.
Ia tahu betul, semalam pasti terjadi sesuatu. Ia tidak pernah telanjang bila bukan karena sesuatu yang menyenangkan terjadi.
Disitulah pria tersebut, berdiri dengan tubuh yang dibalut bathrobe dan rambut hitam legamnya yang basah. Jemarinya menyentuh lehernya, yang terdapat ruam-ruam di beberapa tempat.
Tatapan keduanya bertemu, dan seketika itu juga, memori akan kejadian semalam berkelebat tanpa bisa ia hentikan.
.
.
This surely isn't a dream, is it?
.
.
To be continued
P.S.
Wah, saya sudah tidak tau berapa tahun saya tidak mampir untuk sekedar membaca di website ini, atau bahkan buat cerita. Banyak hal terjadi, dan saya yakin banyak hal juga yang terjadi dengan kalian semua.
Saya harap kumpulan kata ini bisa menjadi teman untuk menemani saat di perjalanan, atau saat menghabiskan waktu singkat.
Terimakasih ya, sudah mau berkunjung. Meskipun konsepnya masih banyak yang harus digali lagi, tapi setelah sekian lama, rasa untuk cepat menulis akhirnya balik lagi.
'till the next time, sehat-sehat ya semua.
