Runa (author): "Huaa~ akhirnya aku buat fic baru lagi."
Motonari: "Kenapa sih bikin fanfic mulu? Direview pembaca saja tidak, review + PM pembaca terdahulu kebanyakan ditelantarin, hiatus dalam jangka waktu lama—" *dibekep Runa*
Runa: "Astaga, mulutmu tajam banget ya~" *gigit baju*
"Ehm, kok pahit— KYAAAA!" *ternyata menggigit kaos kaki Motochika yang berjamur*
Motochika: "Main embat sih. Rasain!"
Runa: *berkumur selama 1 tahun pake air zam-zam mekah*
"Ajegile pahitnya parah daripada pare!"
Motochika: "Bweekk~! Namanya aja gak dicuci 1 bulan tanpa sepatu! Kan keinjek tanah dan material lainnya."
Runa: *syok berat*
Tsuruhime: "Ah!? Kok aku jadi tokoh utamanya?" *puppy eyes*
Runa: "Kau kan dekat sama mereka." *lirik Motonari sama Motochika* /gak!
"Ehm—maksudku, Tsuruhime kan manis, polos, baik, suka menolong—"
Motonari: "Udah! Kau ini ngedumel melulu. Mulai ceritanya dong!"
Runa: "Motonari-sama jahat!"
Motonari: "Sama? Kapan gue jadi tuan lo?"
Runa: "Jahat amat... Hyaaa! Sylph Mode: Wing Dance!" (jurus buatan author sendiri XD ..kan senjatanya kipas bulu burung crimson, ya udah.. Bagi yang mau liat rupanya bisa add fb saya 'Nur Laifire Phinix'~ *promosi*)
Motonari: "..." *terbang ke udara dengan elegannya*
Tsuruhime & Motochika: *saling berpelukan*
"Baiklah para pembaca sekalian, silakan dibaca dan jangan hiraukan author ya!"
"Tsuruhime! Waktunya sekolah!"
"Tsuruhimee! Ini sudah jam 7 pagi—"
"AAAAAA!"
Runa fanfiction fandom Basara Present
You're Our Saver and You're Our Princess
Disclaimer: Capcom dan Production. I.G. punya, jika punya saya pasti Runa udah bener-bener jadi karakter utama /ditebas
Warning! Scene with Harem for Tsuruhime; Yaoi for ChikaNari, MasaYuki, YasuMitsu; Romance; Friendship; etc. Kadang bisa saja menjadi OOC, Typo, bahkan terganti ratingnya secara tidak langsung(?) Ini fanfic yang cukup berbahaya bagi pembaca manula(?) (Tsuruhime: yang bener anak-anak author!)
—oOo—
Chapter 1 : Suzaku Hadir menjadi Pangeranmu
"Kau terlambat lagi,"
Seorang pria paruh baya dengan potongan rambut yang rapi tersisir ke belakang—seperti memakai gel, menatapku tajam. Pipi kirinya yang terlihat seperti bekas goresan pedang tak membuat wajahnya seram meski matanya menyorotkan lain. Justru, ia terlihat 'gently' dan tidak heran banyak murid-murid kelasku menyukai guru satu ini. Dia guru ekologi kami, sekaligus satu dari 5 guru terfavorit di Basara Academy.
Nama guru ini adalah Katakura Kojuurou, dipanggil Kojuurou oleh kami, para murid. Ada desas-desus jika guru ini ternyata adalah pelayan pribadi Date Masamune, salah satu murid berperangai keras yang sekelas denganku.
"Maaf Pak! Saya tidak bisa bangun tidur pagi," kataku lemah sambil menunduk dengan wajah sedih. Kami berdua kini berdiri di depan pintu kelas 3 - 1. Kelasku yang sekarang adalah waktunya jam pelajaran ekologi, jadi wajar Kojuurou-sensei mendapatiku terlambat masuk sekolah di pagi hari ini. Padahal materi pelajaran hari ini adalah bagaimana cara memilah kompos.
"Tapi bapak sudah mendapatimu 3 kali terlambat, Tsuruhime. Berturut-turut lagi. Apa kau tidak menyukai pelajaran bapak?"
"Ti—tidak pak!"
"Tapi saat bapak mengadukan sikapmu pada guru lain, yang lain bilang kau malah masuk ke sekolah lebih pagi."
"Saya...,"
Aku membungkuk dalam gemetar, berharap guru pecinta tanaman sekaligus pengurus kebun botani sekolah ini memaklumi kesalahanku.
"Percuma membungkuk, bapak kali ini harus menghukummu," katanya mengerti maksud tingkahku barusan. Aku berhenti membungkuk dan berdiri tegap kembali, meski wajahku masih menunduk hingga helaian rambut pendek segi itu menutupi wajahku yang merah malu dari sensei yang tengah kuhadapi sekarang. Berdebar rasanya jantungku, hampir copot saking takutnya.
"Maafkan saya...," kataku sekali lagi, namun kali ini aku tidak bisa mengendalikan pita suaraku. Alhasil, suaraku bergetar seakan ingin menangis.
"Bukan apa, tapi bapak juga harus mengikuti peraturan sekolah ini," timpalnya. "Bapak akan dicap sebagai orang yang pilih kasih jika tidak menghukummu."
"...," aku hanya diam. Rasanya ingin menangis, berharap tidak dihukum. Meskipun harus dengan syarat aku takkan lagi terlambat masuk 41 menit atau lebih lagi jika tidak ingin dihukum sama dengan sekarang ini di lain waktu.
Kulirik seorang pria berambut coklat tua dengan eyepatch hitam yang menutupi mata kanannya, berjalan ke arah kami. Mata birunya menyorotku. Aku merasa malu karena aku terlihat menangis di depan Kojuurou-sensei.
"Katakura-sensei, ada murid baru akan kesini kan?" tiba-tiba seorang murid laki-laki itu menegur pria yang terlihat memojokkanku sekarang.
"Ah Masamune, aku lupa akan hal itu," Kojuurou-sensei menatapku dengan senyum sumringah. "Ayo masuk, hukumanmu akan saya batalkan karena kita akan menyambut murid baru."
Ia mengulurkan tangannya padaku.
"Si—siapa?" tanyaku heran sambil menyeka air mataku yang sempat merembes. Orang yang kutanyai hanya tersenyum tipis.
"Kau akan lihat nanti."
—oOo—
"Harap tenang semuanya!" perintah Kojuurou-sensei mencoba mendamaikan kami. Satu kelas murid-muridnya saling berbincang satu sama lain, dan menyebabkan keributan yang lumayan berisik. Tentu topik yang dibicarakan adalah soal murid pindahan tersebut. Kurasa, mereka tidak mendengarkan perintah guru sekaligus wali kelas kami satu ini.
"Anak pindahan dari Amerika? Wow!"
"Pasti orang kaya ya? Mudahan saja dia cewek, jadi aku bisa PDKT!"
"Rese' amat sih kau, Keiji. Kau kemanain Saika-sensei?"
"Hahh," aku mendesah pelan, lalu dengan wajah masih mengantuk aku membaringi mejaku—dengan sebelumnya kulipat kedua tanganku ke atas meja sebagai alas bantalku. Derita meskipun aku cewek, tapi disini hanya aku yang tidak punya pasangan teman, atau dibilang teman sebangku. Padahal tempat dudukku di dekat jendela, adem tentunya. Walau aku yang mepet ke jendela sih.
Bisa dibilang, aku satu dari sekian anak kurang populer di kelasku. Masamune bersama Yukimura, sesama cowok keren dan paling populer di kelasku. Mereka selalu bertanding mendapatkan coklat paling banyak jika hari valentine telah tiba. Tidak heran loker mereka nyaris meledak saking penuhnya. Kemudian Ieyasu bersama Motochika. Meski mereka berdua bergaya berandalan, tapi itulah kesan yang membuat mereka ditakuti sekaligus dihormati oleh kelas ini. Ieyasu adalah ketua kelas kami. Lalu Keiji dan Mitsunari. Mereka sering berkelahi tiada henti. Itu disebabkan karena Keiji selalu membicarakan cewek pada Mitsunari, padahal Mitsunari paling risih dengan yang namanya 'hawa', 'betina', dan lainnya yang berhubungan dengan perempuan. Kasuga dan Sasuke, Matsu dan Toshie, pokoknya jumlah pasangan di kelasku ada 10 bangku. Jadi ada 17 murid disini yang menepati kelas ini, karena hanya aku yang duduk sendiri sedangkan bangku di belakangku kosong tanpa penghuni.
"Sigh," Masamune mengeluh di depanku. Bangkunya memang terletak di depan mejaku. Mereka urutan kedua dari depan samping kiri kelas ini, jadi bisa ditebak kalau aku menduduki posisi ketiga dari urutan meja kelas ini. "Tsuruhime, kau jadi punya teman sebangku deh."
"Mungkin saja, jika dia cewek. Dan kuharap dia benar-benar mau duduk disampingku," kataku penuh harap, masih memiringkan kepalaku rebahan.
"Kalau cowok tak apa kan? Just like Matsu and Toshie, or Kasuga with Sasuke?"
"Tapi Tsuruhime kan malu jika berhadapan dengan lawan jenis, Masamune-dono," Yukimura nyeletuk tiba-tiba. Masamune menatap Yukimura tajam langsung.
"Don't saying like that, Yukimura," katanya menjaga perasaanku.
"Ah, maaf Tsuruhime-dono!"
"Ah, tak apa. Haha...," sebenarnya pernyataan kalimat Yukimura tadi sempat menusuk hatiku dalam. Perih...
Apa yang Yukimura katakan sangat benar. Aku selalu salah tingkah, bahkan gugup jika berhadapan—apalagi berduaan, dengan lelaki seumuranku. Masamune dan Yukimura juga salah satunya. Karena aku sudah sering berbincang dengan mereka saja makanya aku tidak segugup waktu pertama bertemu mereka. Dan itu dimulai ketika aku mengadakan kerja kelompok bersama mereka.
"Silakan masuk!"
Perintah itu pun membuat kami serentak membisu sebaya ketika pintu kelas pun bergeser, dan sesosok pria muncul masuk ke dalam kelas. Ia menggunakan kacamata dengan rambut coklat gelap yang belah tengah, panjang sampai atas bahu. Matanya yang berwarna coklat sepadan dengan matanya menatap kami sementara, lalu berjalan lurus kembali menuju arah Kojuurou-senpai. Ia mengenakan rompi peach dengan seragam sama seperti cowok-cowok di Basara Academy, memakai kemeja putih lengan pendek—baju yang wajib digunakan saat musim panas menghampiri.
"Perkenalkan dirimu," sapa Kojuurou-sensei ramah, lalu menyodorkan kapur putih pada pria manis itu. Pria dengan bulu mata yang lentik SEKALI itu menyambut kapur yang disodorkan Kojuurou-sensei, dan mulai menulis nama kanjinya dari papan tulis kapur tersebut.
"Mori Motonari?" tanya Kojuurou-sensei sambil menatap papan tulis tegang.
"Mouri Motonari," sahut pria itu kembali. Ia memutar tubuhnya membelakangi papan tulis, lalu membungkuk hormat pada kami.
"Mouri Motonari. 16 tahun. Salam kenal semuanya," ucapnya sopan. "Jika ada pertanyaan, silakan ber—"
"Saya! Saya!" Motochika mengacungkan tangannya antusias. "Lahir tanggal berapa?"
"16 April," jawab pria bernama 'Mouri Motonari' itu. "Ada lagi?"
"Saya!" Motochika masih saja terus mengacungkan tangannya. "Sekarang tinggal di—"
"CUKUP, CHOUSOKABE!" bentak pria itu pada Motochika. Kami semua langsung menatap heran mereka berdua.
"Jadi, kalian saling mengenal ya?" tebak Kojuurou, dan disambut anggukan dari kedua pihak laki-laki tersebut.
"Mouri! Ayo duduk sama aku!" seru Motochika. Tatapan tajam dari Ieyasu langsung membuat semangatnya ciut.
"Oh gitu ya? Sahabat?" kata Ieyasu ketus.
"Anu... Hehe...," Motochika hanya bisa nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Lebih baik aku duduk bersama gadis itu," kata pria itu sambil menatapku ramah. Aku tentu langsung menegang dibuatnya.
"Sudah menentukan tempat duduk?" tanya Kojuurou-sensei, dan pria itupun mengangguk. "Silakan kesana."
Pria itu berjalan santai kearahku, tidak menghiraukan tatapan-tatapan tajam dari semua murid. Mereka semua mengangga karena pria cantik itu malah ingin duduk bersamaku. Kurasa aku mengatakannya manis karena selain rambut panjangnya yang seperti cewek, dadanya juga tidak terlalu lebar.
Ia meletakkan tas selempang hijaunya disamping mejaku, lalu menarik kursinya dan duduk disana. Aku ingin menyapanya, namun yang kulakukan adalah menatap keluar jendela dengan jantung yang berdetak kencang.
"Baik, kita lanjutkan—" suara bel istirahat memotong kalimat guru kami. "Ehm, waktunya istirahat ya?"
"Yee!" sorak kami satu kelas, serempak, kecuali aku dan pria disampingku tentunya. Kojuurou-sensei pun keluar kelas tanpa bicara satu patah kata pun.
"Ehem, Tsuruhime~" goda Yukimura dari depan bangku pria disebelahku. "Akhirnya benar-benar bisa teman duduk cie~"
"Rewel ah!" kataku, masih memalingkan wajahku menghadap jendela.
"Shy, huh?" Masamune mengolok tak mau kalah.
"Hei, mungkin mereka bisa jadi kopel (baca: couple) di kelas ini ya?" ejek Yukimura.
"Kalian berisik sekali."
Kami semua langsung menatap wajah pria itu dengan heran. Ia dengan santainya membaca sebuah buku berukuran sedang sambil menyenderkan punggungnya pada sanggahan kursi, seakan tidak mengucapkan suatu kata pun tadi.
Masamune dan Yukimura langsung beranjak dari kursi mereka, meninggalkan kami berdua. Sepertinya mereka sambil menuju kantin, mereka menggosipkan sesuatu.
"Ma—maafkan kami," kataku mencoba memberanikan diri mewakili mereka. "Kami tidak tahu jika kau sedang baca buku."
"Tak apa," katanya singkat, masih berkonsentrasi membaca buku tersebut—yang ia pegang.
Aku dengan rasa penasaran pun melihat sampul buku tersebut.
"Sacred Beast and Devil Beast?" kataku fasih dalam membaca bahasa Inggris. Pria itu melirikku dan menutup bukunya.
"Bisa mengucapkan bahasa inggris dengan fasih rupanya," katanya, dengan tatapan wajah datar namun hangat. Aku mengangguk dengan cepat.
"Aku bisa baca dengan lancar, beda dengan menulis," sahutku agak antusias. Pria berkacamata itu langsung tertawa kecil.
"Ahaha! Aku tidak pernah melihat orang yang bisa grammar tapi tidak bisa writing."
"Tapi aku begitu..."
"Mouri Motonari. Panggil saja aku Motonari," ucapnya, lalu menyodorkan tangan padaku ingin bersalaman dengan sedikit ulasan senyum.
"Tsu—Tsuruhime. Panggil saja aku Hime, atau Tsuruhime juga bi—bisa kok!" kataku gugup, lalu menerima jabatannya dalam gemetar.
Ngiingg!
Kepalaku seketika berdenyut hebat seiring suara dengungan itu menghiasi pendengaranku.
"Ukh," kupegangi kepalaku melepas jabatannya. Sekitar pun seakan-akan berputar, dan katup mataku siap bergerak ke bawah menutupi bola mataku.
"Suzaku..."
"Hime-sama? Saint Princess?"
"TSURUHIME!"
BRUKK!
—oOo—
Sayup-sayup terdengar suara tawa kecil, tengah menghiasi penglihatanku yang sepi dan gelap. Aku membuka mataku perlahan ketika aku tersadar aku tengah tertidur—kemudian memulihkan kesadaranku untuk bangun.
"Aku... dimana?"
Ku tatap sekeliling. Bangunan-bangunan bahkan gedung pencakar langit roboh seakan habis terkena gempa bumi, porak poranda. Tanah-tanah naik membentuk bukit ataupun turun seperti amblas, lempeng bumi bergeser, pepohonan mengering.
"Welcome to My Beautiful World, Saint Hime-sama!"
Sesosok monster seperti kelinci namun berwarna hitam, matanya berwarna merah menyala, gigi bergerugi tajam, menyeringai seram padaku. Ia mendekatiku—merangkak perlahan sambil menunjukkan kuku-kuku tajamnya, memamerkannya seakan ingin melihat wajah takutku. Dan itu sukses membuatku langsung menjauhinya dengan gemetaran, walau dia berukuran hanya sama denganku.
"Si—siapa kau..," ucapku takut. "Siapa itu Saint Hime-sama?"
"Fufufu, boleh aku menjelaskannya agar tuan putri yang lupa ingatan ini menjadi ingat?" ia pun berdiri dari rangkakannya mendekatiku. Wajahnya yang seram—gelap seakan dia merupakan bayangan dengan dua lampu merah yang menerangi, sontak memegang daguku, mendongakkan wajahku yang tersirat ketakutan. Kukunya secara pelan mulai menusukkan ujungnya pada daguku, walau belum menembus kulitku.
"Seharusnya kubunuh dirimu sebelum takdir ini menjadi kenyataan dan datang di hadapanku!"
Bwooshh!
Angin kencang menerbangkan material-material kecil ke arah kami, seperti debu, pasir, daun, dan lainnya. Kami berdua menggerakkan lengan kami untuk melindungi mata masing-masing.
Sesosok burung besar berukuran sebesar Taj Mahal—istana dari India yang masuk ke dalam 7 keajainan dunia, berbulu warna merah cerah mengibaskan sayapnya pada kami. Ia bertengger pada salah satu bangunan yang roboh, dan menyisipkan sayapnya seperti burung kebanyakan.
"Suzaku. Satu dari empat hewan suci mata angin dari China. Kau... benar-benar datang untuk mengakhiri hidupmu ya?" sapa monster dihadapanku ini ramah. Ia melepaskan cengkraman tangannya dariku.
"Tch, tidak kusangka akan bertemu denganmu lagi di dunia mengerikan ini," ucap burung itu dingin.
"Haha! Aku takkan membunuhnya, Suzaku! Aku tau ini dunia kita, dan rasa sakit disini 5 kali lipat dari dunia normal, dunia gadis ini," monster menyeramkan ini kembali melotot kepadaku dengan seringai ngeri.
Burung besar itu langsung mengibaskan sayapnya, dan bulu-bulunya bertebaran tak tentu arah. Tapi entah mengapa, bulu-bulu yang ingin jatuh ke tanah akibat gravitasi bumi malah menuju arah monster itu menjadi hujan api.
Monster itu lari ketakutan dengan merangkak bertatih-tatih dan pergi dari tempat itu.
"Kau tak apa, Tsuruhime?" tanya burung itu padaku. Ia mendekati paruhnya dengan leher panjangnya agar aku bisa menyentuhnya—kupikir.
"Kau, manis ya?"
Burung itu menjauh 5 meter dariku dengan cepat.
"Bicara apa sih?" katanya gugup. "Kau seharusnya takut denganku."
"Entahlah," ucapku santai, lalu memainkan rambut-rambutku. "Aku seperti pernah bertemu denganmu, bicara denganmu, bahkan berteman denganku.
Hening sesaat. Burung dengan nama 'Suzaku' itu pun mendekatkan kepalanya padaku dengan memanjangkan lehernya.
"Aku mencari kediaman di dunia nyata, ya? Tentu dia akan melaporkan hal ini pada rajanya," kata burung itu khawatir padaku. Aku hanya diam kebingungan. "Ya?"
"Maksudmu?" tanyaku masih mencerna apa maksudnya. Ia mengelus kepalanya pada pundak kananku dengan manja.
"Siapa teman dekatmu?"
"Jawablah, Hime..."
"Aku tidak punya teman dekat," lirihku sedih. Burung itu masih juga bermanja-manja denganku.
"Hoo begitu ya," katanya lembut. "Aku akan mencari orang yang akan dekat dengan Hime. Baik, waktunya pulang Hime-chan~"
"Tunggu! Apa maksudmu—"
Bwooshh!
Jalaran api besar pun seakan membakarku langsung. Burung itu pun melebarkan sayapnya, dan kobaran api semakin membesar mencapai setinggi dengannya.
—oOo—
"Nghh..."
"Kau tak apa, Tsuruhime?"
Ku buka mataku perlahan. Kami masih berada di kelas, dengan suara ramai dan ricuh yang menggelegar di kelas ini. Dan paling hebatnya—
Kepalaku membaringi paha pria sebangkuku itu dengan santainya. Hingga Yukimura dan Masamune yang kembali dari kantin langsung cengo, secengo cengonya.
"Cie~ Tsuruhime main serang!" celetuk Keiji dari kejauhan. "Kalau tahu begitu, aku lebih memilih duduk bersamamu, Tsuruhime!"
"Bodoh!" tukas pria berkacamata itu.
"Mouri curang! Pantas duduk disana!"
"... Kubunuh kau, Chousokabe."
"Hya! Motonari-kun, anda mempesona sekali~" ejek Motochika menirukan suara banci, mengandaikan dia sekarang di posisiku.
"CHOUSOKABE!"
Suara gelak tawa mewarnai kelasku sampai istirahat berhenti.
...
"Aku sudah menemukan target agar bisa bersama Hime~"
Runa: "Tsuruhime kok jadi tsundere ya?"
Tsuruhime: "Tau' ah, aku ngikut skenario saja."
Motonari: "Apaan tuh? Aku PDKT sama Tsuruhime?"
Runa: "..."
Motochika: "Mulai lavar."
Runa: *death glare pd Motochika*
Masamune: "Hell dragon!" *lempar author ke langit ke tujuh*
Runa: "APA SALAH EMAK!" *kelempar*
Masamune: "Sigh! Ngejek orang bukan levelku tau! Ah sudah. Terima kasih telah membaca chapter gaje ini!"
Yukimura: "Jangan lupa Review ya! Mungkin yang penasaran sama ceritanya bisa langsung review!"
Masamune: "Mana ada yang penasaran sama fanfic gaje begini."
Runa: "Grr... Crimson mode: Fire Tornado!" *lempar Masamune ke langit neraka*
"Seperti kata Yukimura, tanya saja sama mbak-mbak ini ya!" *wink*
Keiji: "Nah author mulai lapar."
Magoichi: "Plis jangan nyari ribut, Keiji!" (tutup mulut Keiji)
