"Sasuke, dengar—"

Tidak, ia tidak mau dengar. Ia ingin Naruto menutup mulutnya segera. Begitu pula Sai, Kakashi, ataupun Tsunade. Ia ingin semua dunia menutup mulut mereka. Ia sedang tidak ingin mendengar apa-apa. Ia tidak berminat mendengar penjelasan mereka, biar sepatah katapun ia tak butuh. Ia ingin menutup telinganya rapat-rapat, membendung semua lisan yang mengalir membayangi tiap langkahnya.

Ia tak meminta apapun, ia tak pernah memohon apapun pada mereka. Ia hanya ingin mereka diam. Kenapa mereka tak bisa pergi saja, meninggalkannya sendirian. Ia tak terbiasa dengan semua ini, tak pernah mau terbiasa. Ia ingin kesendiriannya. Karena tanpa sosok itu, ia lebih baik tanpa teman.

"Sasuke, aku tahu—"

Naruto tidak tahu, tidak juga mengerti. Tidak akan ada yang mengerti. Tidak satupun bisa memahaminya, hanya gadis itu. Cuma ia, maka yang Sasuke butuhkan hanya gadis itu. Sasuke bergertakkan giginya, jengah dengan tatap yang sarat kepedihan dan iba. Ia tak butuh itu semua. Kenapa mereka tak bisa tahu apa yang ia bisa butuh? Kenapa tak ada yang mampu membaca gelisahnya?

"Mereka sudah mencoba—"

Ia bahkan ingin Kakashi lenyap saat itu juga. Pikirannya terlalu kalut bahkan untuk sebuah penghiburan. Karena ia tahu itu hanya omong kosong belaka. Itu hanya ucap hampa yang tak mampu mengubah apa-apa. Maka ia tak kunjung menyahut, Sasuke tak merespon barang satu katapun. Mulutnya terkatup, memandang tajam ke depan. Entah ada apa di situ. Mungkin jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membakar otaknya, membuat dadanya sesak.

"Kami semua kehilangan, Sasuke, jadi—"

"Pergi" untuk pertama kalinya sejak menginjak tempat ini mulutnya terbuka, melisankan sebuah kata. Tatapan-tatapan itu makin mengiba, beberapa bahkan menintikkan airmata. Tanpa perlawanan, satu persatu meninggalkan ruangan itu. Perlahan, Sasuke mendaptakan apa yang ia teriakkan dalam benaknya sedari tadi, sebuah keheningan.

Kehilangan.

Ia bertanya-tanya apa ada yang mengerti betapa berat kata itu baginya. Bagaimana kata itu bisa meremukkan segala pondasi kekuatan dan ketegaran yang ia bangun bertahun-tahun, bagaimana kata itu menjadi momok baginya tiap kali ia terpaksa—kadang dengan rela—memberikan hati, membagikan kasih. Ia memang sudah kuat, ia sudah tak harus bertemu mimpi buruk seputar kejadian berdarah keluarganya setiap memejamkan mata. Ia sudah bisa menjalani hari-harinya tanpa ketakutan masa lalu.

Dan itu karena gadis itu di sisinya.

Dan sekarang ia… pergi?

Ia memang sudah menerima kehilangan lampau, lalu kenapa ia harus berhadapan dengan kehilangan yang baru? Yang menghancurkan lebih dari yang ia bayangkan.

"Sampai bertemu lagi"

"Eh?"

"Aku akan menemuimu segera"

"Sasuke-kun…?"

"Jadi…"

"…."

"Tunggu aku"

.

Sehangat pelukmu, selembut belaimu.

.

Gadis itu menarik garis bibirnya. Pipinya merona, emeraldnya terarah ke bawah, entah apa yang menarik dari sepasang sandal yang dipakai pemuda yang teramat dicintainya itu.

"Kalau aku…" kini emerald itu terangkat, menatap onyx yang meski datar bisa ia tahu tengah kebingungan dengan aksaranya.

"tidak mau bagaimana?"

Sasuke menautkan kedua alisnya, sejurus kemudian menyeringai.

"Kau memang menyebalkan" Dan tersenyum tipis membalas senyum yang sama dari gadisnya.

.

Tak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu.

.

Really short, right? Hehehe.

Terinspirasi dari lagu Semua Tak Sama – Padi yang buat saja berangan-angan, semisalnya, setelah balik dari perjalanan panjang Sasuke, Sakura udah g ada. Duh, rada aneh sih ceritanya, hihihi.

Btw, thanks for reading.

Mind leaving a comment? Arigatou gozaimasu!