Love is Fight (Chapter 1)
Confess dari author, tolong baca dulu
Sebelumnya, author mau minta maaf soalnya ending dari Because of You mungkin gak sejalan sama kemauan kalian. Sebenernya author juga bingung bikin endingnya. Karena menurut author pribadi, yang susah dari bikin cerita itu adalah bikin judul, awal cerita dan akhir cerita. Jadi author minta maaf karena ending Because Of You kurang greget,atau mungkin gak greget sama sekali. Juga author mau berterima kasih karena kalian udah mau baca karya author.
Sekarang author bikin ff baru, ini agak bersinggungan sama paham yang ada di kedua negara (re: Korsel dan Korut) . Jadi author mau minta maaf dulu, author disini gak bermaksud buat rasis atau apapun itu, ini hanya ff yang dibuat oleh penulis amatir.
Semoga kalian suka sama ff iniJ
.
.
.
Lelaki manis bersurai hitam itu berkutat dengan pekerjaannya, ralat pekerjaan ayahnya. Jeon Wonwoo adalah nama lelaki itu. Ia sibuk berkutat di depan laptop untuk menyelesaikan pekerjaan ayahnya. Sebenarnya Wonwoo yang menginginkan untuk menyelesaikan pekerjaan ayahnya itu, karena ia bosan tidak melakukan apapun. Ayah Wonwoo adalah seorang pebisnis dan juga menteri dalam negeri Korea Utara. Ayahnya adalah seorang komunis yang sangat mengabdi kepada negaranya. Wonwoo sendiri adalah seorang lulusan dari kampus ternama di Korea Utara. Dia mengambil jurusan Hubungan Internasional, karena Wonwoo bercita-cita menjadi seorang duta besar Korea Utara untuk Korea Selatan, meskipun tidak ada urusan diplomatic apapun antara kedua negara tersebut. Entahlah, Wonwoo sangat ingin membuat kedua Korea ini berdamai. Wonwoo ingin sekali melihat kedua Korea bekerja sama, walaupun persentase untuk damai sangat kecil atau mungkin mustahil.
Ayah Wonwoo, tidak mengizinkan Wonwoo menjadi seorang duta besar. Ayahnya ingin Wonwoo untuk meneruskan perusahaan yang ia bangun dari hasil jerih payahnya. Walaupun ayahnya memang mengizinkan Wonwoo masuk jurusan Hubungan Internasional, tetapi ayahnya tidak ingin Wonwoo menjadi seorang politikus ataupun duta besar.
"Ini tidak asik, hanya berkutat di depan benda kotak ini hanya membuat pusing." Ujar Wonwoo sambil meminum sodanya. Ia mendengus sebal karena ang ia lakukan hanya mengecek dokumen dan arsip-arsip perusahaan.
Wonwoo meregangkan ototnya, lalu menyenderkan badannya ke kursi. Menurut Wonwoo, kehidupannya terasa begitu membosankan. Dia serasa terkurung dalam negaranya. Setidaknya dia ingin melihat dunia walaupun melalui sosial media. Sulit sekali rasanya untuk keluar dari negaranya.
Wonwoo mengganti bajunya. Ia bersiap untuk pergi ke kantor ayahnya. Wonwoo bosan diam dirumahnya yang bagaikan istana megah. Rumah Wonwoo sangat besar. Tentu saja, ayahnya adalah orang terhomat di Korea Utara. Wonwoo memiliki segalanya. Sebenarnya, Wonwoo tidak perlu pusing untuk memikirkan pekerjaan, karena ayahnya pasti mewariskan semua aset yang ada kepada Wonwoo, karena ia adalah anak satu-satunya.
Wonwoo sudah siap dengan jasnya. Ia mematut dirinya di depan cermin sambil membenarkan dasinya. Wonwoo menatap pantulan bayangannya di depan cermin. Ia menghela nafas. Ia kesal karena ia berakhir hanya menjadi seorang ahli waris. Wonwoo memejamkan matanya sejenak. Lalu segera pergi dari kamarnya.
.
.
Saat istirahat telah tiba, Wonwoo segera pergi ke sebuah restoran karena ayahnya memintanya untuk makan siang bersama dengan teman ayahnya juga yang seorang menteri luar negeri. Wonwoo senang karena bisa makan bersama dengan teman ayahnya itu, karena dia juga memiliki cita-cita menjadi menteri luar negeri.
Sesampainya disana, sudah ada ayahnya dengan temannya itu. Wonwoo segera berjalan menghampiri meja yang diduduki ayahnya itu. Wonwoo tersenyum ketika matanya bertemu dengan keduanya. Ia segera duduk di hadapan ayahnya dan temannya itu.
"Apa kabar Wonwoo-ya?" Tanya Park ahjussi, teman ayahnya.
"Baik. Bagaimana dengan ahjussi?" Tanya Wonwoo.
"Ya seperti yang kau lihat, aku sudah cukup tua sekarang." Ujarnya lalu tertawa.
"Aku akan menjadi penggantimu ahjussi." Ujar Wonwoo sambil tertawa juga.
"Aku rasa kau memang cocok menjadi seorang menteri luar negeri atau duta besar, kau sangat pintar dan kritis menghadapi masalah." Pernyataan yang diucapkan pria tua tersebut membuat mata Wonwoo membentuk bulat sabit. Ia terlihat sangat manis.
"Tidak. Dia akan menjadi seorang ahli waris." Bantah ayahnya secara halus. Wonwoo berdecak sebal.
"Kau tidak bisa mengekang kehidupan anakmu." Wonwoo mengangguk semangat.
"Sudahlah. Oh ya, aku dengar hubungan negara kita dengan Korsel mulai membaik?" Tanya ayah Wonwoo. Wonwoo yang memang menginginkan kedua Korea bersatu, langsung mengalihkan pandangannya dari makanan. Ia mencoba mendengar dengan seksama.
"Ya. Presiden Korsel ingin mencoba untuk berdamai dan menjalin suatu hubungan." Jelas Park ahjussi.
"Apakah Presiden kita menerima tawaran itu?" Tanya ayah Wonwoo. Tuan Park menggeleng.
"Kau tahu jika ia bukan orang yang mudah percaya, apalagi kepada musuh bebuyutan kita. Akan sangat lama untuk percaya kepada musuh bebuyutan." Jawab Tuan Park.
"Jangankan kepada musuh, kita tidak bisa langsung percaya kepada teman juga." Ucap Ayah Wonwoo. Tuan Park mengangguk setuju.
Menjelang sore, Wonwoo kembali ke rumah. Ayahnya pergi ke kantor kementrian. Wonwoo mengendarakan mobilnya. Sesampainya di rumah, Wonwoo membaringkan badannya. Ia tersenyum karena setidaknya sudah ada usaha untuk membuat kedua Korea berdamai, walaupun itu tidak ada campur tangannya. Wonwoo semakin menggebu-gebu untuk menjadi seorang duta besar Korut untuk Korsel, jika kedua negara benar-benar sudah berdamai.
Wonwoo membuka matanya. Sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela. Wonwoo bangun dari tidurnya. Ia melamun di ujung ranjang. Ia segera pergi menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah pasti sudah tersedia. Wonwoo melihat ayahnya sudah rapi menggunakan pakaian serba hitam.
"Wonwoo-ya, cepatlah mandi dan ganti bajumu." Wajah ayahnya terlihat sangat sedih. Entah apa yang membuat ayahnya sedih.
"Appa, ada apa? Mengapa kau menangis?" Tanya Wonwoo penasaran.
"Tuan Kim Min Soo…Dia.. Dia meninggal." Ujar ayahnya sambil menangis kembali. Wonwoo menjatuhkan rahangnya. Wonwoo benar-benar kaget.
"Karena apa?" Tanya Wonwoo.
"Jantung koroner." Jawab ayahnya singkat. Wonwoo segera mengambil satu slice roti, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai, Wonwoo segera mengganti bajunya menjadi serba hitam. Ia segera menemui ayahnya.
"Ayo appa.. " Wonwoo menuntun ayahnya yang terlihat sangat terpukul itu. Wonwoo segera masuk ke dalam mobil setelah ayahnya sudah masuk. Wonwoo segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Wonwoo merasakan kesedihan yang dirasakan ayahnya. Tuan Kim Min Soo merupakan teman ayahnya yang juga sudah dianggap paman oleh Wonwoo.
Sesampainya di pemakaman, Wonwoo kembali menuntun ayahnya. Terlihat suasana duka di ruangan tersebut. Semua keluarga Tuan Kim menangis meraung-raung. Bahkan Presiden saja sampai menangis, karena Tuan Kim memang sangat mengabdi dan berjasa kepada negara ini. Tuan Kim adalah duta besar Korut untuk Amerika Serikat. Tuan Kim telah membuat hubungan Korut dan AS menjadi baik. Tuan Kim benar-benar mengerahkan segala kemampuannya untuk Korut. Bahkan ayah Wonwoo menjadikan Tuan Kim sebagai panutan.
Sepulang dari pemakaman, Wonwoo mengajak ayahnya untuk makan siang bersama. Mereka berdua makan ke restauran yang cukup jauh dari tempat pemakaman tadi. Wonwoo masih melihat kesedihan dari raut wajah ayahnya. Tentu saja kehilangan teman baik adalah hal yang sangat menyakitkan.
"Appa… Kau mau pesan apa?" Tanya Wonwoo. Ayahnya hanya terdiam. Wonwoo menghela nafas. Ia merasa iba melihat ayahnya. Wonwoo memesankan makanan yang biasanya dipesan oleh ayahnya.
Sepulang dari restoran, Wonwoo menuntun ayahnya menuju kamar. Ia ingin ayahnya beristirahat untuk menenangkan fikirannya. Ayahnya pasti sedikit stress karena kehilangan teman baiknya. Wonwoo menyuruh ayahnya untuk tidur, lalu ia segera keluar dari kamar ayahnya.
.
.
Seperti biasa, pagi-pagi Wonwoo sudah rapi dengan jasnya. Ia menuruni anak tangga menuju dapur. Ia sudah melihat ayahnya yang sedang memakan roti panggang. Setelah seminggu kejadian Tuan Kim meninggal, kondisi ayahnya mulai membaik. Wonwoo bersyukur karena itu.
"Selamat pagi." Sapa Wonwoo kepada ayahnya.
"Kau akan ke kantor? Kau sangat rajin." Ujar ayahnya sambil tersenyum.
"Aku bosan hanya diam di dalam rumah, setidaknya dengan aku pergi ke kantor, aku bisa menghirup udara di luar sana." Tanggap Wonwoo.
"Kau sangat baik dalam urusan bisnis, saham kita meningkat dengan pesat berkat usaha kau." Puji ayahnya, tetapi tidak membuat Wonwoo senang.
"Aku tidak membutuhkan saham itu appa, aku hanya ingin seperti kau dan teman appa yang lain." Tentu saja Wonwoo masih menginginkan menjadi seorang politikus. Ekspresi ayahnya langsung berbeda.
"Dunia politik sangat kejam. Cukup appa yang merasakan kejamnya dunia politik." Ujar Ayahnya lalu membersihkan mulutnya dengan serbet.
"Appa berangkat." Ayahnya segera pergi. Wonwoo membuang nafasnya perlahan.
Setelah selesai, Wonwoo segera bergegas pergi ke kantor. Sebenarnya, dimanapun Wonwoo berada, ia merasa kesepian. Ia tidak memiliki teman sama sekali. Wonwoo tidak memiliki tempat untuk berbagi. Bahkan, ia belum pernah merasakan jatuh cinta. Tetapi hal itu tidak membuat Wonwoo pusing. Ia cukup menjadi seorang duta besar, maka ia merasa semua tujuan hidupnya sudah cukup.
Sesampainya di kantor, Wonwoo hanya duduk di kursi sambil memeriksa dokumen lalu menanda tanganinya. Itu adalah kehidupan Wonwoo untuk saat ini. Entahlah, dia akan melakukan hal itu sampai kapan.
Dua jam berkutat dengan dokumen-dokumen, Wonwoo sudah selesai dengan semuanya. Ia menanggalkan kacamata dari hidungnya. Ia melihat arlojinya, lalu segera keluar dari kantor. Ia ingin mencari makan siang diluar kantor. Wonwoo segera mengendarai mobilnya, lalu pergi membelah jalanan Pyongyang. Wonwoo berhenti di sebuah restoran tempat makanan tradisional yang dekat dengan taman kota. Ia memasuki restoran itu. Sambil menunggu makanan, Wonwoomenatap keluar jendela. Sudah memasuki musim gugur. Dedaunan mulai berganti menjadi kuning. Berguguran di tepi jalan, membuat suasana menjadi romantis. Wonwoo hanya menatap datar keluar sana. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang berjalan bergandengan dengan pasangannya. Saat Wonwoo sedang melamun, dering ponselnya membuat lamunannya buyar. Wonwoo merogoh saku celananya lalu mengangkat telfon dari ayahnya.
Setelah selesai makan, Wonwoo segera pulang karena panggilan ayahnya tadi. Wonwoo mendengar nada ayahnya sedikit ketus dari biasanya. Ayahnya memang tegas, tetapi ayahnya juga sangat penyayang. Apalagi karena ibunya meninggal setelah melahirkan Wonwoo. Itu hal yang membuat Wonwoo respect kepada ayahnya.
Sepulangnya Wonwoo, ia melihat ayahnya yang sedang berkutat dengan laptop, memeriksa saham perusahaan mereka akhir-akhir ini. Wonwoo segera mendekati ayahnya yang terlihat sangat serius itu. Ia tidak ingin membuat ayahnya terganggu.
"Appa…" Ujar Wonwoo pelan, namun masih bisa di dengar ayahnya. Pria paruh baya itu menyadari kehadiran anak manisnya itu.
"Kau sudah pulang." Wonwoo hanya mengangguk. Ia yakin sekali ada yang ingin ayahnya bicarakan.
"Appa ada apa? Mengapa kau menyuruhku cepat pulang?" Tanya Wonwoo penasaran.
"Aku hanya merindukan anakku." Jawaban ayahnya membuat Wonwoo tertawa geli. Tidak mungkin itu alasan ayahnya menyuruh ia pulang.
"Jika appa akan mengucapkan sesuatu, panggil saja aku." Ujar Wonwoo lalu segera naik tangga menuju kamarnya. Ayahnya menatap punggung anaknya itu dengan sedih.
.
.
"Cepat makan, dan ikut appa ke kementrian." Titah ayahnya. Wonwoo mengerutkan dahinya tetapi ia tetap melakukan apa yang disuruh oleh ayahnya. Setelah selsai makan, Wonwoo dan ayahnya segera pergi ke kantor kementrian. Wonwoo tidak banyak bicara, ia hanya menunggu waktu sampai ia tahu apa yang akan terjadi.
Sesampainya disana, Wonwoo dan ayahnya memasuki ruangan besar. Saat memasuki ruangan itu, Wonwoo sedikit kaget karena ada orang nomor satu di Korut. Ya, Wonwoo baru kali ini bertemu langsung dengan Presiden. Wonwoo segera membungkukkan badannya dalam-dalam. Ia terlihat sangat gugup. Pria dihadapannya hanya tersenyum lalu menyuruh Wonwoo dan ayahnya duduk.
"Anakmu sangat sopan." Puji Presiden itu.
"Terimakasih." Ujar Wonwoo.
"Aku dengar, kau lulusan Universitas Kim Il Sung dari jurusan Hubungan Internasional. Benarkah?" Tanya pria nomor satu di Korut itu. Wonwoo mengangguk. Ia takut salah berbicara di depan Presiden.
"Kau tidak perlu takut, karena kau adalah anak dari sahabatku, tenang saja." Ujar pria itu sambil tersenyum.
Ketiga orang itu terus berbincang-bincang. Mereka membicarakan semua topic yang luas. Mulai dari masalah perekonomian, politik, social, budaya sampai kemanan negara. Untung saja Wonwoo merupakan keluaran dari hubungan internasional, sehingga topic itu bisa dengan mudah ia tanggapi.
"Anakmu sangat pintar." Puji Presiden.
"Terimakasih." Ucap ayah Wonwoo.
"Wonwoo-ya…" Wonwoo hanya melihat kearah Presiden.
"Maukah kau menjadi pengganti dari Kim Min Soo?" Tawar Presiden. Wonwoo masih terdiam. Ia masih memproses apa yang diucapkan oleh pria nomor satu di Korut itu. Ayahnya melirik kepadanya, lalu menyikut lengan Wonwoo.
"Maaf, apa yang tadi bapak presiden tanyakan?" Wonwoo sebenarnya mendengar apa yang ditawarkan presiden, hanya saja Wonwoo takut pendengarannya bermasalah. Presiden Kim hanya tertawa, memaklumi tingkah Wonwoo.
"Kau mau jadi duta besar Korut untuk AS?" ulang Presiden Kim.
"Aku? Menjadi duta besar?" Mata Wonwoo membulat. Ia masih tidak percaya. Presiden Kim hanya mengangguk. Wonwoo menatap kepada ayahnya. Ayahnya mengangguk walaupun ada raut kecewa di wajahnya. Tetapi karena ia seorang komunis yang setia, ia membolehkan Wonwoo untuk menerima tawaran Presiden Kim. Wonwoo tersenyum, lalu mengangguk dengan semangat.
.
.
Wonwoo mengecek semua peralatan yang ia akan bawa untuk pergi ke AS. Wonwoo sudah resmi menjadi dubes Korut untuk AS. Ia memasuki bandara dengan berseri-seri. Wonwoo diantar oleh ayahnya dan Presiden Kim. Wonwoo sangat senang karena akhirnya ia bisa mewujudkan cita-citanya. Setelah berpamitan, Wonwoo segera menaiki pesawat yang sudah tiba disana. Wonwoo melambaikan tangannya kepada ayahnya dan Presiden Kim.
.
.
Sudah sejak seminggu resmi menjadi dubes di AS, berarti sudah seminggu pula Wonwoo tinggal di AS. Wonwoo menjalani harinya dengan baik. Ia terlihat sangat bahagia, walaupun ia tidak memiliki teman. Wonwoo berhasil menjadi duta besar termuda sepanjang sejarah. Bayangkan saja, umur Wonwoo saat ini baru menginjak dua puluh empat tahun, dan dia sudah menjadi orang Korut nomor satu di AS. Wonwoo sangat senang bisa melihat dunia luar. Ia bisa merasakan hawa yang berbeda di AS. Wonwoo menjalankan tugasnya dengan baik, karena memang ini yang ia inginkan. Tetapi Wonwoo juga tidak lupa untuk berkeliling untuk melihat bagaimana kehidupan ala barat.
.
.
Wonwoo bersiap-siap untuk pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan. Ia sudah kehabisan stok makanan. Ia hanya menggunakan celana training dan hoodie. Wonwoo segera menuju parkiran dan segera pergi ke supermarket.
Sesampainya disana, Wonwoo segera mengambil trolley belanjaan. Ia segera pergi ke rak yang terdapat mie disana. Ia juga memasukkan daging kedalam keranjang. Karena memang terhitung masih muda, Wonwoo menghampiri rak untuk cemilan. Wonwoo melihat-lihat makanan yang ada di rak sana. Wonwoo kagum melihatnya, karena cemilan disana bervariasi. Ia belum pernah melihat seperti itu sebelumnya. Saat Wonwoo sudah selesai memilih cemilan, Wonwoo segera bergegas untuk membayar. Sebelumnya, Wonwoo mendengar suara bising disana, tetapi ia tidak peduli. Wonwoo segera menuju kasir. Saat tiba di kasir, Wonwoo lupa, jika ia harus membeli buah-buahan. Wonwoo kembali untuk mengambil beberapa anggur dan jeruk. Saat Wonwoo sedang tidak memperhatikan jalan, seseorang menabraknya.
"Ish…" dengus Wonwoo kesal. Orang yang menabraknya meminta maaf.
"Tunggu sebentar, kau orang Korea?" Tanya orang yang menabraknya tadi menggunakan bahasa Korea. Wonwoo melihat wajah orang yang menabraknya tadi. Wonwoo hanya menatapnya datar.
"Sudah pasti kau orang Korea, wajahmu tidak ada wajah barat sama sekali." Ucap lelaki tadi.
"Kau sudah selesai berbicara?" ujar Wonwoo datar. Orang tadi mengkerutkan keningnya.
"Tunggu dulu. Kau tidak mengenalku?" Tanya lelaki itu. Wonwoo memperhatikan orang itu dari ujung rambut hingga kaki.
"Tidak." Jawabnya singkat. Orang itu tertawa.
"Hei… Semua orang mengetahuiku, bahkan orang Amerika saja tahu siapa aku, dan kau orang lokal dari Korea tidak mengenaliku?" Ucap orang itu dengan nada yang mengejek. Wonwoo hanya memutarkan bola matanya malas. Memangnya siapa dia?
"Kau tidak mengetahui Kim Mingyu?" orang itu bertanya sekali lagi. Wonwoo menggeleng malas. Orang itu tertawa.
"Kau tidak mempunyai televise?" ejek orang tadi.
"Aku Kim Mingyu." Ujar orang yang ternyata bernama Mingyu itu. Wonwoo menatapnya datar.
"Lalu?" Orang itu tertawa. Ia merasa lucu ada orang yang tidak mengenalnya.
"Kau benar-benar tidak tahu aku? Wahh… Apakah aku kurang terkenal?" Orang bernama Mingyu tadi masih tidak percaya.
"Kau orang utara?" ujar Mingyu asal.
"Ya." Balas Wonwoo singkat. Lelaki bernama Mingyu itu tersedak ludahnya sendiri.
"Maaf aku harus membayar ini semua, dan satu lagi aku tidak mengenalmu, dan tidak pernah melihatmu dimanapun." Setelah berbicara, Wonwoo segera melangkah meninggalkan lelaki tinggi itu. Lelaki bernama Mingyu itu menjatuhkan rahangnya.
"Pantas saja orang itu tidak mengenalku." Ucap Mingyu pada dirinya sendiri.
Setelah semua belanjaan Wonwoo dimasukkan kedalam kantong keresek, Wonwoo mencari dompetnya. Ia meraba-raba semua kantong, tetapi nihil, ia tidak membawa dompetnya. Wonwoo menghela nafas kesal.
"Aku membayar untuk semua belanjaan di keresek itu dan juga ini." Seorang lelaki yang sedang memegang kopi kalengan memberikan kartu kredit kepada kasir. Wonwoo menatap lelaki tersebut. Setelah selesai membayar, Wonwoo mengejar lelaki tadi.
"Excuse me…" Ujar Wonwoo dengan bahasa inggris. Lelaki tadi menoleh.
"Wae?" Ujar lelaki tadi saat Wonwoo memegang lengannya.
"Ahh kau orang Korea." Gumam Wonwoo.
"Jika kau ingin membayar hutangmu, kau bisa temui aku disini." Lelaki tadi memberikan Wonwoo kartu nama. Hong Jisoo. Nama lelaki tersebut. Ternyata lelaki itu seorang CEO dari sebuah perusahaan di Korea Selatan.
"Aku pergi." Lelaki itu segera pergi meninggalkan Wonwoo. Sepertinya ia tergesa-gesa.
"Aku sudah dua kali bertemu orang Selatan hari ini. Apakah orang-orang Korea Selatan semuanya memiliki paras yang tampan?" Ujar Wonwoo yang sebenarnya adalah sebuah gumaman. Wonwoo mengedikan bahunya, lalu segera menuju parkiran dan pulang menuju apartement nya.
TBC.
Next gak? Jangan lupa review nya yaaa readernim…
Kalo next, author bakal lanjut, kalo nggak yaudah nggak hehe
Happy weekend…
I love meanie3
