Um... Hai? Apa kabar? Sudah berapa abad kita ga ketemu? Maafkan saya. Karena meninggalkan tanggung jawab buat ngelanjutin fic-fic yang belum selesai. Karena adanya buanyak hal yang terjadi selama saya hiatus, jadi dengan sangat beraaaat hati, saya harus menghapus fic-fic yang belum selesai. Sekali lagi, maafkan saya. Saya cuma gak mau dianggep PHP sama readers. Saya tahu kok rasanya baca fic yang masih nggantung. Ngeselin emang. Dan untuk ngelanjutin lagi, rasanya udah ga nge-feel. Yang baca pun pasti udah lupa jalan ceritanya gimana. Jadi, daripada kita sama-sama ga enak, saya memutuskan untuk menghapus fic-fic lama yang belum selesai dan... mengganti yang baru! Yeeeyy... Siapa yang minat? Gak ada? Kelamaan hiatus sampai ditinggalin penghuni ini kayaknya.

Jadi, setelah memikirkannya matang-matang, saya mencoba untuk aktif lagi di dunia tulis menulis terutama FFn. Dan... Saya gak akan menulis fic yang menggantung lagi. Saya akan mencoba menjadi penulis bertanggung jawab supaya readers puas dan merasa enak (?) bacanya.

Dan inilah fic comeback saya setelah lama hiatus. Semoga berkenan. Ini ga gantung, kok, karena sebenarnya ini udah selesai. Dan file-nya udah ada di laptop saya. Sip? Oke?

Happy reading!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

[Sasuke POV]

Aku membuka pintu mobil dengan napas terburu dan dengan tangan agak gemetaran. Naruto masih berlari di belakangku dengan tangan kanan yang memegang bungkusan berukuran sedang dengan susah payah. Sedang tangan kirinya memegang rok yang dipakainya dan mengangkatnya tinggi-tinggi supaya bisa berlari menyusulku. Aku masuk mobil dan segera menyalakan mesin.

"Cepat!" Naruto akhirnya bisa menyusulku tepat pada waktunya. Aku segera banting setir dan menjalankan mobil secepat-cepatnya untuk pergi dari tempat itu.

Di belakangku, sirene polisi mulai memenuhi jalanan kota malam itu. Tapi aku tidak peduli. Aku terus menjalankan mobil dengan kecepatan penuh, harus segera sampai jalan tol supaya polisi tidak bisa mengejar kami.

"Ahh! Hampir saja," aku lihat Naruto melepas wig panjangnya dengan napas masih tersengal-sengal. Aku juga melakukan hal yang sama. Melepas segala peralatan menyamarku. Wig, kacamata bodoh ini, serta masker.

Aku menoleh ke arah Naruto dan langsung memukul kepalanya keras.

"Aduh! Kenapa memukulku?" tanyanya dengan nada protes sambil memegangi kepalanya.

"Bodoh! Gara-gara kamu kita hampir saja tertangkap," kataku kesal.

"Aku? Kenapa aku?"

"Tentu saja kau. Kau 'kan sedang menyamar jadi istriku. Kenapa malah memanggilku 'aneki'? Bodoh," omelku kesal.

"Aku 'kan kelepasan bicara. Lagipula sikapmu yang tidak tenang itu yang membuatku kelepasan bicara," elak Naruto. Aku mencibir.

"Hah! Masih saja bisa mengelak," ujarku sambil terus melihat ke depan.

"Wah, Sasuke! Tangkapan kita malam ini lumayan besar. Ini berkat otakmu itu. Kau berhasil memecahkan kode rahasia bank itu," Naruto membuka bungkusan di tangannya dengan mata berbinar-binar.

"Sembunyikan itu! Jangan dibuka di sini!" gertakku.

"Aku mengerti. Oh? Yang lain tadi bagaimana, ya?" tanya Naruto.

"Mereka sudah lari lebih dulu," jawabku.

"Ahh, untung saja kita juga bisa lari sebelum si menyebalkan Kakashi Hatake tadi datang," Naruto meletakkan bungkusan itu di jok belakang sambil berkali-kali menghela napas.

"Kau hampir terkejar. Larimu terlalu lambat," kataku kesal.

"Apa?! Coba saja kau berlari dengan rok begini. Aku mau lihat, apa kau masih bisa berlari secepat kuda seperti biasanya," kata Naruto dengan nada tak kalah kesal. Aku hanya mendesah keras.

"Ya sudah, kau harus lebih terbiasa menggunakan itu. Untung kita bisa mengelabui polisi malam ini," kataku.

"Kenapa kita harus terus berurusan dengan si rambut perak itu? Tidak ada yang lain? Dia benar-benar menyebalkan," Naruto mendengus kesal.

"Selama dia tidak tahu identitas kita yang sebenarnya, itu tidak masalah," sahutku.

"Tidak masalah bagimu karena kau berpacaran dengan adiknya. Coba dia tahu identitasmu yang sebenarnya," Naruto memberi gerakan isyarat dengan tangannya, seolah-olah ada pisau menggorok lehernya.

"Itu tidak akan terjadi," kataku.

"Aku peringatkan, ya? Kau harus berhati-hati dengan keputusanmu. Memacari adik seorang polisi yang selalu mengincar kita? Apa yang kau pikirkan? Kau gila?"

Aku menutup mulut Naruto dengan paksa dengan bantal yang ada di belakangku.

"Kau pikir gara-gara siapa kita terjebak dalam organisasi ini? Kau pikir siapa yang maniak game sampai mempunyai hutang sebanyak ini? Hah! Kau pikir, gara-gara siapa kita harus susah payah mencari uang untuk menebus hutang-hutang ini? Bodoh!" saking kesalnya, aku kembali memukul kepala Naruto keras.

"Baiklah, baiklah, semua ini salahku. Tapi jangan memukulku terus seperti ini!"

Aku diam saja sambil terus menyetir. Sebentar lagi sampai jalan tol. Aku harus waspada. Jangan-jangan polisi juga sudah memblokir jalan tol untuk memeriksa penumpang mobil yang akan memasuki tol.

Dan sesaat sebelum aku masuk ke wilayah tol, kekhawatiranku yang beberapa saat lalu sempat bisa aku redam, sekarang malah terwujud. Di depanku, tepatnya di pintu masuk tol, dua mobil polisi sudah menunggu dan tiga polisi sedang memeriksa beberapa mobil yang akan memasuki area tol.

"Naruto! Cepat sembunyikan! Cepat!" aku memberi isyarat pada Naruto. Naruto langsung bereaksi dengan cepat. Dia segera meringkasi pakaian samaran kami tadi serta bungkusan berisi uang yang baru saja kami ambil dari bank tadi. Dengan posisi agak berdiri dia membuka jok mobil yang didudukinya dan memasukkan semuanya ke bawah jok yang memang sudah dirancang untuk hal seperti ini. Menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin dilihat orang lain.

"Hah? Si Hatake itu kenapa ada di sini?! Benar-benar membuat kesal saja. Sepertinya kita ditakdirkan untuk berurusan dengannya seumur hidup," Naruto berdecak kesal seraya menutup jok dengan agak keras.

"Sudahlah, kau diam saja! Cepat hapus riasan konyolmu itu sebelum dia ke sini," aku membuka dasbor mobil dan melemparkan make up remover pada Naruto. Naruto segera menghapus riasan tipis di wajahnya dengan buru-buru. Aku melihat ke depan. Ada dua mobil di depan kami yang sedang diperiksa. Aku melihat seorang pria yang mengenakan jaket hitam sedang menanyai pengemudi mobil yang ada di depan kami. Pria yang disebut-sebut Naruto sebagai si Rambut Perak Menyebalkan. Pria dari kepolisian divisi I bagian kriminal yang sering turun lapangan saat kami sedang "bekerja" seperti malam ini.

"Dia ke sini," aku mendesis pelan pada Naruto saat aku lihat polisi itu melambaikan tangan pada pengemudi mobil di depan kami dan mulai berjalan ke arah kami.

"Selamat malam. Maaf mengganggu ketenangan Anda malam ini. Kami terpaksa harus memeriksa mobil yang Anda tumpangi, berkaitan dengan kasus perampokan bank di kota malam ini," polisi bernama Kakashi Hatake itu berdiri di samping mobil kami dan agak menundukkan kepala saat mengatakan itu pada kami. Dia tersenyum lebar pada kami.

"Oh, begitu? Tidak masalah. Kalau boleh tahu, apa perampoknya lari lewat jalan ini?" tanyaku dengan nada yang aku buat sewajar mungkin.

"Hanya berjaga-jaga saja. Boleh kami memeriksanya sekarang?"

"Tentu saja. Silakan saja."

"Baiklah kalau begitu."

Aku membiarkan polisi memeriksa mobil kami. Selama para polisi ini memeriksa mobil kami, aku dan Naruto saling mengerling satu sama lain dengan pandangan yang sama. Semoga para polisi ini tidak menyadari ada ruang lain di jok yang diduduki Naruto. Kami sudah merasa menyembunyikannya dengan baik. Tidak mungkin polisi-polisi ini bisa menemukannya.

Dan aku segera bernapas lega sesaat setelah polisi menyatakan kalau mobil kami aman dan kami boleh meneruskan perjalanan. Fiuuuhhh...

"Maaf mengganggu perjalanan Anda. Semoga perjalanan Anda berjalan lancar," salah seorang polisi melambaikan tangan padaku saat aku mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil memasuki tol.

"Dasar polisi-polisi bodoh. Hei, Sasuke. Kita berhasil mengelabui mereka," Naruto berseru senang saat kami sudah berada di tengah tol, jauh dari para polisi itu.

"Tapi tidak dengan Hatake itu. Dia terus melihat kita dengan pandangan curiga," kataku.

"Ah, sudahlah. Yang penting kita ke markas dulu dan menyerahkan tangkapan kita pada Tuan Besar. Lalu kita dapat jatah kita. Oke?"

"Mm," sahutku seraya mempercepat laju mobil.

.

.

.

.

.

.

.

[Author POV]

"Aku pulang!"

Kakashi Hatake melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu yang disediakan di depan pintu dan berjalan memasuki rumah. Aroma ikan tuna langsung menggelitik hidungnya saat pria tinggi berjalan memasuki ruang tamu.

"Nii-san! Sudah pulang?" seorang gadis menyambutku dengan celemek kotor masih menggantung di lehernya serta sendok sayur di tangannya. Rambut sebahunya yang berwarna merah muda diikat ke belakang dengan asal. Dia adalah Sakura, adik perempuan satu-satunya.

"Emm. Kau masak apa hari ini?" tanya Kakashi seraya melepas jaket dan merebahkan diri di sofa.

"Kau pasti menyukainya. Eh, nii-san, bagaimana pekerjaan hari ini?" Sakura duduk di sampingnya, seraya menatapnya dengan kedua matanya yang berwarna hijau emerald itu.

Kakashi menghela napas panjang.

"Seperti biasanya. Tidak ada hasil," sahutnya lelah.

"Oh? Perampok-perampok itu lagi, ya?" tanya Sakura antusias.

"Iya," Kakashi menyahut pendek.

"Nii-san, apa mereka juga berhasil mengelabui polisi lagi? Apa mereka begitu cerdas sampai kau bahkan tidak bisa menangkapnya?" Sakura bertanya dengan penuh ingin tahu.

"Entahlah. Mereka sepertinya ingin sekali membuat kacau kepolisian. Uang yang mereka ambil juga tidak pernah dalam jumlah yang banyak sekali. Hanya beberapa, dan tidak semua mereka ambil," jelas Kakashi seraya menyalakan mengambil remote dan menyalakan televisi di depannya.

"Jadi motif mereka bukan uang?" tanya Sakura dengan penuh minat.

"Kesimpulanku begitu. Uang itu hanya kamuflase, seolah-olah kejahatan ini hanya semata-mata karena uang. Tapi sepertinya bukan itu," jelas Kakashi seraya mengganti channel televisi tanpa minat.

"Apa bisa dipastikan kalau mereka adalah orang yang sama?" tanya Sakura lagi.

"Mungkin. Cara kerja mereka sama. Membobol bank dengan memecahkan kode rahasia bank itu," jawab Kakashi dengan lesu.

Sakura terdiam beberapa saat.

"Nii-san, aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Dan aku juga sudah membuatkan teh mawar untukmu. Kau suka 'kan?" Sakura membuka celemeknya.

"Kau, bagaimana kuliahmu?" tanya Kakashi.

"Aku? Baik-baik saja. Sedang banyak laporan dan tugas yang harus aku penuhi minggu ini," jawab Sakura dengan raut muka tertekuk.

"Makanya kau belajar yang rajin. Kau bilang mau jadi psikolog forensik. Kau harus belajar dengan giat dan nanti membantu kepolisian. Tapi akhir-akhir ini sepertinya kau disibukkan dengan pacarmu itu," Kakashi berkata dengan nada menyindir. Sakura terperangah melihatnya.

"Apa? Siapa yang pacaran?" Sakura protes, tapi mukanya mulai memerah menahan malu.

"Masih mau mengelak? Kau pikir aku tidak tahu? Siapa yang setiap malam menelponmu itu?" tanya Kakashi dengan nada menyelidik.

"Itu... temanku tentu saja. Siapa lagi?" elak Sakura, tapi wajahnya malah semakin memerah.

Kakashi tertawa geli melihat Sakura jadi salah tingkah seperti itu. Dia lalu berdiri dari tempatnya sambil membawa barang-barangnya.

"Adikku sudah dewasa rupanya. Tidak masalah kalau kau tidak mau mengaku, nanti juga aku akan tahu. Benar 'kan?" Kakashi tersenyum menggoda pada Sakura. Tapi gadis itu malah memukul lengan laki-laki itu dengan keras seraya kembali ke dapur tanpa bilang apa-apa.

Setelah orangtua mereka meninggal saat Kakashi berusia 15 tahun, dia tinggal sendirian dengan Sakura. Umurnya dan Sakura brelisih 6 tahun. Karena Sakura adalah adiknya satu-satunya, kadang Kakashi agak overprotective terhadapnya. Dia juga agak mencemaskannya. Sikapnya yang dingin itu. Kakashi khawatir kalau Sakura tidak punya teman. Tapi mengetahuinya sudah memiliki pacar, membuat Kakashi lega sekaligus khawatir. Entahlah, lagi-lagi kekhawatiran yang tidak beralasan menurutnya.

Dia meletakkan barang-barangnya di kamar dan berjalan ke kamar mandi. Berendam air hangat mungkin bisa meleburkan segala kepenatan malam ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

Lanjut tidak, ya?

Oh, ya.. Selain SasuSaku, fic apa yang kalian suka baca?