Apa kabar Mina-san? *teriak pakai toa*

Setelah sekian lama hiatus, cuma beberapa minggu sih-habisnya aku kangen untuk membuat fict lagi-

Aku kembali membuat satu fict, lagi-lagi bukan murni Ichiruki, habisnya aku membayangkan Rukia cocok dengan siapa saja*woo.. lemparin Nakki pake bakiak*

Tapi tenang saja *Nakki ambil bendera putih, tanda damai* dalam fict ini masih ada Ichiruki-nya kok, karena aku tetap mendukung mereka berdua sebagai pasangan paling romantic sejagad.

Fict ini aku buat singkat, hanya dalam tiga chapter, aku tidak ingin membuat Anda semua lelah membacanya.

Nah, selamat membaca… ^_^


Disclaimer: Bleach © Tite Kubo-Sensei *kalau saya minta sebagai hadiah ultah boleh ga ya...*- *dilempar panci sama Om Tite*


Title : Sebuah Pertukaran Permintaan

By : Nakki Desinta

Chapter 1


Ketika jiwa manusia yang bersih dikotori oleh kebencian, dendam dan rasa ingin memiliki yang berlebih, aku akan berada disana untuk memastikan jiwa mereka siap untuk aku lahap. Semakin jiwa manusia itu bersinar, maka semakin besar kekuatan yang akan aku miliki.

Aku, Ulquiorra Schiffer.

Peringkat empat dari seluruh Espada yang berada dalam naungan Aizen. Wajah stoic yang sering disebut-sebut sebagai Espada yang tidak memiliki belas kasih sama sekali, tapi Grimmjow pernah mengatakan padaku kalau mata hijau emerald milikku justru memberi kesan cengeng pada wajah kaku sempurna milikku.

Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Grimmjow, si pemilik rambut dan warna rambut biru menyala -jika kau lihat, kau akan mengira dia sudah jatuh dalam pewarna pakaian hingga rambut dan warna matanya bisa sama, sayang saja kulitnya tidak ikut berwarna biru-. Dia tidak pernah sungguh-sungguh mengejekku, sikapnya saja yang seperti gunung merapi, tapi sesungguhnya dia terlalu takut padaku karena berada dua tingkat dibawahku, dia hanya Espada nomor enam, dan tidak pernah bisa mengejar ketinggalannya dariku.

Masih banyak lagi Espada dibawah naungan Aizen, dan aku tidak pernah ribut seperrti Nnoitra atau Syazel yang selalu lakukan, hanya ribut untuk mengurusi peringkat, dan berlomba memamerkan kekuatan.

Aku hanya ingin lebih kuat, setiap waktu bertambah kuat.

Kami memakan jiwa-jiwa manusia, membujuk mereka untuk melakukan sebuah pertukaran permintaan, menghasut mereka hingga mereka meminta apapun yang mereka tidak bisa dapatkan dengan mudah, karena begitulah sifat manusia, menginginkan segalanya dengan cara singkat dan mudah, tanpa meneteskan keringat jika perlu.

Sedangkan kami, Espada, beberapa manusia mengira kami adalah jelamaan iblis, namun kami sama sekali bukan iblis. Kami malah mempermudah manusia untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah kami sangat baik?

Tapi tentu saja tidak ada yang cuma-cuma, kami menukar permintaan mereka dengan jiwa mereka, dengan kata lain membuat mereka menjual jiwa mereka pada Espada.

Aku sudah mendapatkan banyak sekali jiwa manusia yang tidak terlalu bersih, karena itu aku selalu merasa kekurangan sekalipun sudah ratusan jiwa yang aku telan.

Kami para Espada juga memiliki banyak sekali kemudahan untuk mendapatkan jiwa manusia, aku memiliki wajah yang cukup tampan untuk membuat manusia jatuh cinta padaku, dan mereka akan percaya dengan kekayaan yang bisa aku tunjukkan hanya dengan satu jentikan jari, bahkan membelikan mereka hadiah pembuka untuk membuat mereka percaya jika aku memang berniat baik.

Hati manusia yang lemah akan dengan mudah aku dapatkan, hanya perlu mengeluarkan beberapa pesona Espada milik ku, sedikit senyum menawan -tapi sayangnya aku tidak memilikinya- dan semua mata akan silau melihatnya.

Seperti hari ini, aku sudah mendapatkan dua jiwa yang terlalu hambar.

Yang satu adalah jiwa milik seorang perempuan bernama Tatsuki, seorang atlet taekwondo yang bermimpi untuk memenangkan turnamennya hari ini, terlalu berapi-api hingga mengiyakan syarat yang aku ajukan tanpa berpikir panjang lagi. Aku pikir tidak ada salahnya memberikan sedikit tetesan keringatku untuk membantunya, toh aku akan mendapatkan jiwanya, lumayan untuk menambah kekuatanku, walaupun hanya seperseribunya.

Dia menang dengan mudah, terlalu mudah, dan aku tepat mengambil jiwa saat ia turun dari podium, setelah menerima piala penghargaannya. Aku masih sedikit berbaik hati membiarkannya memegang pialanya.

Yang kedua adalah seorang perempuan berambut merah menyala, namanya Chizuru, dia tidak memiliki permintaan yang sulit, hanya ingin pacarnya, Keigo, dibunuh karena dia sudah dikhianati. Aku pun mengabulkannya, satu lagi jiwa yang menambah tabunganku.

Jadilah sekarang aku berjalan di tengah kota, mencari jiwa lain yang jauh lebih bersih. Membasuh dahaga yang masih aku rasakan, karena Aizen tidak pernah menutup matanya, dia akan mengubah angka yang tertato pada tubuh kami setiap kali ada yang memperoleh jiwa lebih banyak dari yang lain, aku juga tidak bisa membiarkan angka empat yang ada di dada kiriku akan berubah menjadi angka 5 tanpa aku sadari.

Mata dinginku bergerak lambat memindai setiap jiwa manusia yang setiap kali aku memindahkan perhatianku, yang aku lihat hanya jiwa manusia yang semakin kelam.

Barisan gedung pencakar langit yang terlalu tinggi, dan menghalangi sinar matahari menyapa mataku, bagus-karena aku tidak terlalu suka hal yang menyilaukan mata. Kakiku bergerak lambat menyusuri trotoar jalan, melihat lurus jalan yang aku tapaki dengan tangan tersimpan rapi dalam saku celana jeans berwarna biru terang.

Mataku terpaku pada sebuah toko buku berpapan nama "Toko Urahara", tidak ingin beranjak dari pancaran sinar yang kecil tapi terlalu terang, pancaran jiwa seorang manusia, jiwa yang bersih.

"Cari sesuatu, Espada?"

Suara shinigami yang sangat aku kenal, aku muak mendengarnya, bicara dibelakangku adalah kebiasaannya, karena dia selalu saja berada di dekatku seperti harimau yang siap menerkam kapanpun aku lengah. Kaien Shiba.

"Ada yang bisa aku bantu?" dia kembali bicara.

"Ku pikir kau tidak perlu mengikutiku, aku tidak akan mencari jiwa lain, disini hanya ada jiwa kelam," ucapku seraya berbalik dan melihatnya lurus. Berbohong dengan mata tanpa ekspresi sungguh bukan hal sulit bagiku.

Shinigami berwajah cerah itu memegang zanpaktounya dengan sangat erat, walaupun kelihatannya santai, dia sebenarnya bersiap untuk menyerangku jika tidak waspada.

Ada satu peraturan yang harus kami berdua patuhi, peraturan yang tidak tertulis namun sangat kuat. Shinigami tidak akan menyerang Espada, jika kami tidak melakukan kesalahan di depan mata mereka, hal sebaliknya juga berlaku untuk Espada. Bukankah peraturan itu sangat manis? Yah, walau bagaimanapun kami memang pintar membuat tak tik berperang, dan kami paling ahli dalam menghilangkan jejak kejahatan kami.

Sungguh ironis, kenapa harus menunggu melihat dengan mata sendiri? Aku bisa mendapatkan lebih banyak jiwa sekalipun tanpa menyentuh mereka.

"Lalu untuk apa kau berada disini, Espada?"

"Bukan urusanmu."

Aku berbalik dan meninggalkan shinigami itu. Dia masih berdiri disana, masih dengan posisi dan postur yang sama, namun matanya tidak mau lepas dariku, terus mengintai punggungku.

Shinigami adalah dewa kematian yang akan selalu menghalangi langkah kami menjerumuskan jiwa manusia, dan jumlah mereka jauh lebih banyak dari Espada, lawan yang tidak setimpal jika bicara tentang jumlah, tapi jangan salah menilai, kekuatan kami jauh diatas shinigami.

Sekalipun aku berjalan menjauh dari Kaien Shiba, tapi aku mendekat pada toko sederhana itu. Satu-satunya toko sederhana diantara jajaran gedung bertingkat, dan satu-satunya toko dengan aksen serba kayu.

Aku menyeberang trotoar, melewati lampu merah yang menyala secara otomatis karena jentikan jariku, aku tidak bisa menunggu, dan aku juga tidak bisa membuat diriku terbang didepan mata puluhan orang yang sedang lalu lalang di jalan ramai ini.

Semakin aku dekat dengan toko itu, semakin aku silau dengan cahaya itu, serta semakin dahagaku mendamba untuk dibasuh. Aku akan mendapatkan sebuah jiwa yang luar biasa bersih, dengan begini aku tidak perlu mencari mangsa dalam waktu lama sepertinya. Jiwa ini begitu kuat hingga aku bisa merasakannya jauh ke dalam jiwaku.

Bagaimana mungkin dalam putaran waktu seperti ini, dalam dunia yang sebegini kelam, masih ada jiwa semurni ini?

Pintu toko terbuat dari kaca buram, berlapis sticker 'selamat datang'. Deretan rak buku memenuhi jarak pandangku, tapi aku bisa melihat jelas seorang yang berdiri di meja kasir, seorang laki-laki dengan topi motif garis monoton, mengenakan yukata, dan mengibaskan kipasnya tanpa henti, padahal tokonya sudah cukup dingin dengan dua buah ac yang terpasang di dinding.

"Selamat datang, bisa kami bantu?" ucap pria itu dengan senyum lebar.

Aku mengangguk dan memindai sekeliling ruangan, mencari sinar jiwa itu lagi. Aku merasakan kehangatannya, berasal dari deretan rak di sebelah kanan, aku tidak bisa bersabar untuk merayu jiwa itu dan melahapnya dengan cepat. Melangkah dengan kaki manusia sungguh bukan keahlianku, bersabar menggerakkan kaki, dan melewati jalur yang rumit dari tumpukan buku di depan jalanku, aku harus tampil semanusia mungkin untuk meyakinkan siapapun pemilik jiwa itu.

Tumpukan buku disisiku setinggi tubuhku, sepertinya akan ditempatkan di rak yang masih kosong. Toko ini tidak memisahkan antara buku lama dengan buku baru, semua dijadikan satu dalam satu jajar, aku sempat melihat buku dengan sampul menyerupai buku prasejarah saking lusuh dan kotornya.

Aku berhenti melangkah saat melihat seorang perempuan dengan rambut hitam legam sebahu tengah memunggungiku, dia sedang melihat tumpukan buku di sebelahnya dan membacanya dengan seksama sebelum meletakkannya di rak yang sudah tersedia. Bajunya sederhana, hanya baju terusan selutut dengan warna kuning pastel, namun bukan itu yang membuatku kagum padanya, tapi cahaya jiwanya yang terpancar hingga mengena padaku.

"Permisi, Nona."

Aku berspekulasi sekarang, aku tidak tau siapa dan berapa usia perempuan yang aku sapa sekarang. Asal saja aku putuskan memanggilnya dengan sebutan nona.

Dia sepertinya tidak mendengarku karena tidak menoleh sedikitpun, tapi ku perhatikan dia tidak menggunakan headset atau earphone, aku pun memperpendek jarak diantara kami.

"Ehm, Nona!" kali ini nada suaraku lebih tinggi dari sebelumnya.

Jujur saja ini pertama kalinya aku bersikap sesopan ini pada seseorang, berhubung aku berurusan dengan jiwa murni yang jarang aku temui, aku harus bisa sedikit membuang ego yang biasa aku kobar-kobarkan di depan orang lain.

Tapi dia tidak juga menjawab, bahkan menolehpun tidak, seolah tidak mendengarku saja. Apa perempuan ini sedang meledekku?

"Hei, Nona! Apa kau tuli?" aku berteriak karena sudah tidak sabar mendapatkan pelecehan seperti ini, seorang Ulquiorra tidak selayaknya mendapat perlakuan seperti ini dari manusia.

Aku sudah hendak menepuk bahu perempuan itu keras-keras, tapi kipas yang tadi aku lihat berada di tangan orang yang berdiri dibelakang meja kasir, sekarang mendarat di pergelangan tanganku, menahan niatku.

"Tidak perlu berteriak, Tuan. Dia memang tidak bisa mendengar Anda."

Kepalaku berusaha mengartikan dengan baik ucapan orang yang tadi masih berdiri di belakang meja kasir ini, jadi perempuan ini tidak bisa mendengarku?

Aku tidak sengaja melihat kaki pemilik toko yang mengenakan sandal kayu saat aku mengalihkan pandanganku padanya. Orang ini benar-benar konvensional!

Tapi apa maksudnya perempuan di depan ku ini tidak bisa mendengarku?

"Dia tidak bisa mendengar sejak sepuluh tahun lalu, jadi, sekalipun Anda berteriak tidak akan membuatnya bisa mendengar dalam sekejap," jelas pengguna topi itu.

"Aku bisa membuatnya mendengar dalam sekejap," sahutku pelan.

"Apa maksud Anda?" dia mencondongkan tubuh untuk mendapatkan penjelasan dariku.

"Lupakan saja!" potongku seraya mengibaskan tangan.

Satu hal yang harus kami ingat sebagai Espada. Tidak ada satu keajaibanpun yang bisa kami lakukan untuk manusia jika mereka tidak melakukan pertukaran permintaan. Kami hanya bisa melakukan segala yang kami inginkan pada diri kami sendiri.

Tidak bisa aku membuatnya mendengar jika manusia itu tidak melakukan pertukara permintaan. Jadi aku akan memanfaatkan peluang ini.

Perhatianku kembali pada perempuan itu, dia masih asik dengan kegiatannya menyusun buku, dia bahkan bersenandung, suaranya merdu dan lembut. Untuk apa dia bersenandung jika tidak bisa mendengar suaranya sendiri? Manusia yang bodoh.

"Kenapa kau memperkerjakan orang tuli?"

Aku tau dia pemilik toko, tidak perlu diragukan lagi karena pemilik dan tokonya sama kunonya.

"Dia memang tidak bisa mendengar, tapi bisa membaca gerakan bibir orang lain. Anda mencari buku apa? Nanti saya carikan, Rukia sedang sibuk sekarang."

Jadi namanya Rukia.

Mataku memperhatikan tangan kecil miliknya yang mengangkat buku ensiklopedi setebal lima belas senti, tangan sekecil itupun terlihat sangat kuat mengangkat buku seberat itu.

"Aku belum tau, justru ingin bertanya padanya, tapi sepertinya aku harus mencari sendiri."

Gerakanku luwes seolah aku sangat tertarik pada barisan buku di hadapanku, melihat judul buku itu satu persatu, padahal ekor mataku terus memperhatikan perempuan itu. Karena aku tidak tertarik pada buku dan tidak mengingat sama sekali judulnya, disamping itu aku bisa membaca tanpa membuka buku.

Sang pemilik toko pun beranjak pergi, meninggalkanku dan perempuan dengan rambut sebahu itu dalam lot ruang rak buku, aku melihat buku yang ia susun dan dia masih membelakangiku, bersenandung tiada henti.

Ada sebuah buku music, instrument music Beethoven, saat aku menjulurkan tangan hendak mengambil buku itu tidak sengaja aku menyenggol buku di sebelahnya, menyebabkan buku yang sudah berbaris rapi itu berjatuhan, menimpa tumpukan buku yang belum sempat disusun perempuan itu, tumpukan buku sempat bergerak pelan, dan bodohnya aku malah berusaha menangkap semua buku itu dengan kedua tangan. Tindakan ku malah menyebabkan gunungan buku itu jatuh berserakan memenuhi lantai, lengkaplah, karena detik kemudian perempuan itu berbalik dan melihatku.

Lututku menekuk, berpura-pura sebaik mungkin agar terlihat berniat untuk merapikan semua buku itu.

"Biar saya saja," ucap perempuan yang berhenti bersenandung itu.

Wajahnya putih bersih, dengan dua bola mata besar berwarna ungu gelap, tapi senyum lebarnya membuat wajahnya terlihat jauh lebih manis sekalipun dia tidak terlalu cantik, dia memiliki pesona sendiri dalam dirinya, terlebih jiwanya sangat bersih, itu pesona yang lebih menyilaukan mataku.

"Aku yang menjatuhkan, biar aku saja," kataku. Dia memperhatikan wajahku lekat-lekat, tapi matanya tertuju pada bibir tipisku yang pucat dan berlekuk sempurna. Butuh waktu baginya melihat apa yang aku katakan.

"Tidak apa, biar saya saja. Anda silahkan kembali mencari buku yang Anda cari," ucapnya setelah beberapa saat.

"Apakah kau memiliki buku terbaru Dan Brown? Sepertinya tadi aku melihatnya dalam tumpukan bukumu, tapi semuanya hilang karena aku sudah menjatuhkan semuanya, mau kah kau membantuku?" kataku dengan nada lebih cepat, dan mata ungu gelap itu mengerjap kaget, pasti karena tidak bisa mengerti ucapanku yang terlalu cepat.

"Maaf, Tuan. Bisakah Anda mengulangi ucapan Anda, lebih lambat karena tadi kurang jelas."

Aku menarik sudut bibirku, senang dan menari-nari dalam diam. Perempuan dengan jiwa bersih ini memiliki kelemahan yang bisa aku manfaatkan hingga membuatnya berani menjual jiwanya padaku. Aku bisa membujuknya melakukan pertukaran permintaan dengan kemampuan mendengarnya, pasti bisa. Dia akan melakukan apapun agar bisa mendengar. Aku memang Espada paling beruntung.

"Maaf, apakah Anda memiliki gangguan pendengaran?" tanyaku dengan sorot mata merendahkan, aku sengaja melakukannya, ingin melihat wajah terluka perempuan ini.

Diluar perkiraanku, dia malah tersenyum sangat lebar, lebih lebar dari sebelumnya dan aku tidak merasakan perubahan cahaya sama sekali dalam jiwanya. Apa-apaan dia?

"Saya memang tidak bisa mendengar, tapi saya masih memiliki indra lain untuk membantu Anda." Dia menunjuk mata dan mengangkat kedua tangannya yang bebas ke udara, menunjukkan kemampuan yang masih dia miliki dan yang paling penting masih utuh.

"Bagaimana bisa kau membantu jika tidak bisa mendengar apa yang aku butuhkan?" aku masih belum puas memojokkan perempuan ini, aku tidak bisa terima seorang manusia yang tidak merasa terluka atau tersindir saat orang lain menyinggung ketidakberdayaan yang dimilikinya, padahal seharusnya membayangkannya saja sudah menakutkan.

"Anda bisa menulis kebutuhan Anda jika tidak bisa saya dengar. Silahkan."

Dia meraih sesuatu dalam saku baju terusannya, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan dan pulpen, menyodorkannya kepadaku.

Lama aku memperhatikan perempuan ini, dia memiliki postur tubuh sangat kecil, tidak sebanding dan tidak akan seimbang untuk hati sebesar itu. Haruskah aku melakukan strategi lain untuk mendapatkan jiwanya?

Aku tidak lantas meraih apa yang ia ingin berikan, aku berbalik dan melirik perempuan itu lewat sorot mata merendahkan, dan aku mendesis jijik padanya, tapi wajahnya tetap tersenyum. Jelas saja, untuk apa aku mendesis, dia kan tidak bisa mendengarku. Aku ini bodoh atau apa?

"Anda tidak jadi mencari buku, Tuan?"

Suara lembut dan penuh perhatian darinya kembali menyapa telingaku, didengar seperti apapun suaranya sangat menggambarkan cahaya dalam jiwanya, aku iri mendengarnya dan ingin secepatnya mengenyahkan suara itu, menelan tanpa sisa jiwa miliknya.

Aku berbalik dan memastikan dia tau apa yang aku katakan.

"Nona, apa yang terjadi padamu hingga kau tidak bisa mendengar?"

Bola matanya yang sudah besar bertambah lebar, dia menahan napas dan raut wajahnya menggelap. Apakah bertanya penyebab apa yang terjadi padanya telah menyinggung luka dalam hatinya?

Dia mengerjap sekali untuk mengembalikan raut wajahnya, tidak ada luka lagi dalam matanya.

"Boleh saya tau nama Anda?" ucapnya, menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi.

"Ulquiorra Schiffer." Aku menatap matanya tajam, memastikan dia mengingat dengan baik namaku.

"Ukuiora Sifer," ulangnya, aku menggeleng cepat, sudah ku duga tidak mudah melihat nama hanya lewat gerakan bibir. Aku mendekat padanya dan menarik dengan kasar buku yang sudah aku tolak tadi, dan menuliskan namaku pada bukunya.

"Ulquiorra Schiffer. Nama yang bagus," ucapnya saat membaca tulisanku.

Aku menaikkan alisku tinggi-tinggi, apanya yang bagus dari namaku? Tidak ada yang pernah memuji namaku, sekalipun si pemberi nama itu sendiri, Aizen.

"Aku tidak bisa menjelaskan penyebab aku tuli, tapi Anda bisa sering berkunjung ke sini jika ingin mendengar cerita panjang yang akan membuat Anda bosan," katanya perlahan.

Aku menghela napas. Apa perempuan ini sedang mencoba menggodaku?

"Jangan lupa untuk membeli buku juga, jangan hanya datang untuk mendengar cerita!"

Aku hampir meledak marah mendengarnya, jadi dia sedang merayu pelanggan. Memanfaatkan kelemahannya sebagai daya tarik untuk menarik pelanggan dan mendengar penjelasannya. Sungguh pelayan toko yang sangat pintar, dia cerdas, tidak seperti yang aku duga.

"Aku orang keberapa yang kau jadikan calon pelanggan?" tanyaku skeptic.

"Mmm…" dia membalik buku catatannya ke belakang, hingga dua lembar "Anda orang ke seribu. Selamat!" serunya kegirangan.

Sontak aku menarik buku catatannya, tidak suka karena perempuan ini sedang membual padaku, jadi aku harus membuktikan ucapannya dengan mataku sendiri. Aku melihat bukunya, dan benar saja, dia mencatat satu persatu barisan nama itu. Ada 999, dan aku menjadi urutan ke-1000. Perempuan ini benar-benar tidak bisa ditebak.

"Terima kasih, tapi aku tidak berniat menjadi pelanggan toko ini," kataku lagi.

"Kalau begitu, silahkan terima ini." Dia kembali memasukkan tangannya ke saku aju terusannya, dan mengeluarkan sebuah gantungan ponsel berbentuk kepala kelinci, kecil dan transparan dengan butiran berkilauan di dalamnya.

"Apa ini?"

"Hadiah sebagai orang ke-1000 yang peduli pada saya. Sekalipun Anda tidak pernah berniat mendengar cerita hidup saya atau pun kembali lagi ke toko ini."

Aku tidak merasa keberatan untuk menerima benda yang kelihatan sangat murahan itu, karena melihat wajahnya yang tersenyum sungguh memuakkan, kalaupun aku menolak pemberiannya, bahkan meludah di depannya, tidak akan menyinggung perasaannya. Kenapa ada manusia sebersih ini?

Jari-jari kurusku tengadah padanya, dan membiarkan dia meletakkan gantungan ponsel itu di atas telapak tanganku.

Aku tidak repot-repot untuk mengucapkan terima kasih, aku anti untuk mengucapkan terima kasih. Aku Espada dan semua yang aku peroleh karena kerja kerasku, jadi tidak ada ucapan terima kasih atas apapun yang aku terima.

"Hati-hati di jalan, Ulquiorra Schiffer!"

Aku sempat menoleh padanya, dan melihatnya melambaikan tangan dengan sangat antusias. Aku melangkah keluar dari deretan rak buku, dan meletakkan gantungan murahan itu dalam saku celanaku.

Pertemuan dengan Rukia sepertinya takdir agar aku bisa melampaui Harribel.

Jika aku bisa mendapatkan jiwanya, aku bisa menjadi urutan ketiga, dan menjadi jauh lebih kuat dari Baraggan sekalipun. Aku akan datang kembali setelah aku memiliki cara lain untuk membujuknya, saat ini aku sudah terlalu silau dengan jiwanya dan tidak bisa bertahan lama-lama berada didekatnya.


Las Noches sangat sepi saat aku sampai, bahkan selang beberapa jam kemudian masih sepi seperti sebelumnya, sepertinya semua Espada bekerja keras untuk memperkuat diri, tidak sepertiku yang bersantai dan duduk manis di kursi dalam ruangan milikku.

Aku bersantai bukan karena aku malas, tapi aku sudah memiliki kartu as di tanganku. Perempuan bernama Rukia akan menjadi makanan manis untukku, aku pastikan dia akan masuk dalam perutku hanya dalam beberapa hari, dan tidak ada Espada lain yang akan menyentuhnya, karena dia mangsaku.

Hamparan pasir diluar ruangan sangat monoton, hanya angin berhembus pelan yang menerbangkan butiran pasir yang bergelung-gelung di udara. Langit di Las Noches tidak pernah berubah, selalu bersih dan bercahaya, kebalikan dari eksistensi kami para Espada.

"Sedang melihat apa?"

Aku sontak berbalik begitu mendengar suara berat dan brandal milik Grimmjow. Malangnya aku karena aku harus satu ruangan dengannya, sudah dua bulan ini aku harus menarik urat untuk berdebat dengannya mengenai beberapa hal sepele, dari penentuan letak barang dan peraturan untuk tidak menyentuh barang siapapun, atau kami akan membuat tangan satu sama lain putus dalam sekejap.

"Bukan urusanmu."

"Uhh…, kau baru makan sampah? Berapi-api sekali! Kebetulan, aku juga sedang dalam kondisi baik. Kau mau berduel?"

Grimmjow menyeringai lebar, menunjukkan gigi putih yang bertaring tajam miliknya. Dia sang jaguar, jadi tidak heran jika memiliki taring yang bisa mengoyak apapun.

"Jika aku makan sampah, seharusnya kau sudah berada dalam perutku!" tandasku dengan suara datar.

Grimmjow kembali tertawa mendengar jawabanku, aku tidak ingin ambil pusing. Dia memang suka memancing pertarungan, dan dia masih sangat yakin akan memenangkan pertarungan jika harus melawanku sekalipun.

Aku merebahkan diri di ranjang, dan mencoba menghilangkan bayangan Rukia dari benakku, dan mulai memikirkan cara yang ampuh untuk menariknya agar mau memberikan jiwanya secara sukarela kepadaku. Dia tidak silau dengan ketampananku, karena dia terlihat sangat biasa saat aku muncul dihadapannya, mungkin dia sudah memiliki seorang yang khusus di hatinya sehingga aku pun tidak masuk dalam hitungan. Lalu bagaimana dengan kekayaan?

Terdengar suara Grimmjow menggeser kursi, dan menjatuhkan sesuatu hingga suaranya berdebam keras. Aku tidak membuka mata, dia hanya ingin mencari perhatian.

Kembali pada Rukia. Kekayaan yang mungkin akan ku tunjukkan tidak mungkin akan membuatnya silau. Buktinya dia malah sibuk mencari pelanggan toko, dan memanfaatkan cacat dirinya untuk menarik pelanggan agar mau datang kembali. Berarti sudah ratusan kali ia menceritakan pada orang lain mengenai dirinya, hebat sekali mulutnya.

"Apa ini?"

Aku sontak membuka mata, menoleh kearah Grimmjow, melihatnya sedang memegang gantungan ponsel yang tadi diberikan oleh Rukia. Aku sengaja meletakkan gantungan ponsel itu di atas meja, ku kira aku sudah cukup keras memperingatkan si jaguar untuk tidak menyentuh barang-barangku.

Segera saja ku tarik pedangku, dan ku hunuskan tepat ke lehernya.

"Letakkan atau kau akan kehilangan kepalamu," kataku tanpa intonasi, nada suara kaku yang biasa aku gunakan untuk menggertak siapapun yang berani menantangku.

"Oww..., santai Ulqui, aku tidak sedang ingin mencuri." Dia meletakkan kembali gantungan ponsel itu ke meja, dia tetap menunjukkan barisan giginya saat menarik turun ujung pedangku turun dari lehernya.

"Kenapa kau suka sekali benda-benda berbau manusia?" tanyanya seraya melirik mejaku, benda lain tergeletak disana. Ada ponel, cincin berbentuk tengkorak, kalung dan aksesories yang pernah aku gunakan untuk mendukung penampilanku di depan calon santapan.

"Bukankah sudah aku bilang jangan pernah menyentuh apapun?" aku kembali bicara dengan nada datar, membuat Grimmjow menaikkan alisnya tinggi-tinggi.

"Terserah, aku hanya tertarik benda kecil itu, kau tidak perlu mengancam seperti itu."

Grimmjow menjauh dari mejaku, melempar sorot mata tidak suka saat kembali ke ranjangnya dan rebahan disana.

Aku hanya tidak ingin dia mencium keberadaan jiwa Rukia lewat gantungan ponsel ini. Dia sang jaguar, tentu saja jaguar memiliki penciuman yang tajam, dan aku tidak akan membiarkan dia memangsa jiwa Rukia lebih dulu, aku akan gigit jari bila dia yang mendapatkan jiwa Rukia.

"Kalian bertengkar lagi?" suara Tia Harribel masuk ke ruanganku.

Grimmjow langsung berlari kegirangan menghampirinya, Grimmjow memang seperti anjing peliharannya saja, sejak dulu. Entah apa maksud Grimmjow mendekati Espada No. 3 itu, mungkin dia ingin mengemis kekuatan dari satu-satunya wanita dalam jajaran Espada milik Aizen.

"Ulqui hanya sedikit mengamuk karena aku menyentuh mainannya," bisik Grimmjow yang hampir dempet dengan tubuh berisi milik Harribel.

Harribel melirikku sesaat, tapi aku tidak menganggap tatapan tajam darinya. Dia akan memberikan tatapan tajam seperti itu pada siapapun, tidak terkecuali Aizen sendiri sebagai penciptanya.

"Aizen meminta kalian semua berkumpul sekarang," lanjut Harribel yang tidak ingin melanjutkan acara tatap menatapnya.

Aku bergerak cepat, dan dalam sekejap sudah berada di luar ruangan, mendahului Grimmjow dan Harribel yang masih memperhatikan ruanganku. Mereka tidak tau aku sudah mengantongi gantungan ponsel itu dalam saku jubah putihku.

Ratusan pilar berwarna putih bersih menjadi hiasan paling klasik dalam Las Noches, memberi kesan ruangan yang sangat besar untuk ukuran bangunan yang hanya dihuni oleh tiga belas makhluk. Sepuluh Espada, ditambah Aizen, Gin, danTousen.

Gin dan Tousen adalah tangan kanan Aizen untuk mengawasi kami para Espada, tidak ada celah sama sekali bagi kami untuk menyerang satu sama lain dari belakang, karena secara tidak langsung mata Aizen selalu tertuju pada kami, sekalipun lewat Gin dan Tousen.

"Ulquiorra, akhirnya kau tiba," sapa Aizen dengan suara berat namun sarat nada manis yang posesif.

Seluruh Espada tau dan mengerti dengan baik. Aku -sekalipun bukan nomor satu dalam urutan Espada- adalah kesayangan Aizen, aku mendapat perlakuan yang sama tetapi selalu diberikan tugas khusus oleh Aizen, sehingga banyak diantara para Espada menganggap aku menjadi kepercayaan Aizen. Padahal menurutku dia tidak pernah melihatku seperti itu, dia lebih melihat aku ini bisa dimanfaatkan dibanding Espada lain yang memiliki mulut besar.

Aku mengangguk perlahan dan duduk di kursi yang sudah seharusnya diduduki oleh Espada dengan urutan nomor empat.

"Bagaimana harimu?" tanya Aizen lagi, dan Gin langsung memusatkan perhatiannya padaku. Matanya yang hanya serupa garis lengkung sekarang sedikit terbuka.

Apakah dia melihat ada yang aneh padaku?

"Sepertinya dia mengalami hari yang cukup rumit," sahut Gin dengan senyum lebar hingga seperti terlihat terbentang dari telinga ke telinga.

"Benarkah, Ulquiorra?" tanya Aizen lagi, kali ini dia memicingkan matanya, mencoba menembus, membaca isi kepalaku. Aku sudah menutup semua pikiranku sejak kembali menjejak Las Noches, tidak ada yang bisa membaca pikiranku, sekalipun Aizen.

"Hanya mendapatkan dua jiwa yang tidak terlalu bagus," jawabku dengan menyibakkan jubah ke belakang, dan duduk dengan punggung tegak.

Tidak lama kemudian Harribel dan Grimmjow menyusul.

"Mungkin kau perlu mata hijau yang lain agar jiwa manusia terlihat jelas olehmu!" seru Nnoitra.

Aku meliriknya sesaat, tajam dan sinis tapi tetap dingin hingga dia kembali membungkam mulut besarnya. Jika kalian ingin tau, mulutnya memang besar, ini bukan kiasan.

"Baiklah, semua sudah berkumpul."

Aizen mengedarkan pandangan ke seluruh Espada yang duduk di kursi masing-masing, duduk mengelilingi meja besar yang warnanya sama putih dengan warna dominan jubah kami.

"Aku hanya ingin mengumumkan satu hal," katanya, memberi jeda pada ucapannya sambil menatap kami semua para Espada satu demi satu, "peringkat kalian akan dievaluasi kembali dalam dua minggu ini, jadi terserah kalian yang ingin memakan lebih banyak jiwa manusia. Gin dan Tousen akan membantuku untuk mengawasi kalian semua, Espada kesayanganku."

Melihat senyum Aizen sama seperti melihat mata pedang yang terhunus ke leher sendiri. Senyum di wajah Aizen adalah wujud lain dari niat licik yang sudah ia tentukan, dan kami semua hanya boneka yang akan memberikan dia kesenangan yang lebih, menjadikan kami saling membunuh kalau perlu, semua itu hanya untuk mengemis keberadaan kami.

Tapi bagi kami para Espada, Aizen seperti Tuhan yang akan memberikan kebaikan dan keburukan serta siksaan yang teramat pedih, semua tergantung Aizen, dia pemilik maha kekuatan, dia pencipta kami dan sudah sewajarnya kami patuh padanya, bukan begitu?

"Bagi siapapun yang turun peringkat, akan mendapatkan hadiah indah dariku langsung," tambahnya tanpa mengurangi sedikitpun senyum di wajahnya.

"Apakah ada hal yang ingin kalian tanyakan?" tanya Aizen dengan tangan berada diatas meja, bertopang dagu dengan sangat santai sementara kami sudah melempar sorot mata mengancam satu sama lain.

Aura persaingan sudah sangat kental sekalipun kompetisi belum dimulai.

"Apa hadiah bagi yang berhasil naik peringkat?" kali ini Stark buka suara, dia menatap Aizen dengan berani.

"Kekuatan satu tingkat," jawab Aizen sambil mengacungkan telunjuknya di udara.

Grimmjow bersiul senang mendengar hadiah ekstra yang mungkin bisa ia dapatkan, tapi lihat saja bagaimana aku akan memblokir seluruh jalannya untuk mendahuluiku, lagipula dia masih harus mengalahkan Nnoitra jika ingin melampauiku.

"Pertemuan selesai!"

Aizen, Gin dan Tousen langsung menghilang saat semua mulai berdebat. Sedangkan aku memilih untuk pergi secepatnya dari tempat gaduh ini, aku ingin memikirkan rencana lain untuk membujuk Rukia melakukan pertukaran permintaan.

Langkah kakiku menciptakan suara bergema di sepanjang lorong yang aku lewati untuk mencapai ruanganku, namun tiba-tiba aku merasakan tekanan roh yang sangat kuat, dan tidak bisa dipungkiri hanya Aizen yang memiliki tekanan roh sekuat ini.

"Kau tidak ikut pesta ini, Ulquiorra?"

Aku berbalik dan melihat Aizen berdiri hanya berjarak dua langkah dariku, di sampingnya Gin dan Tousen setia menemani seperti sepasang pengawal, atau malah lebih menyerupai anjing penjaga?

"Sepertinya sang Quatro sedang mengalami saat-saat sulit. Apa kau menemui jiwa yang sulit ditaklukkan?"

Wajahku langsung terasa kaku, mata ku menatap Gin dengan tajam, aku tidak suka melihatnya yang tersenyum lebar saat mengucapkan kalimatnya. Benarkah dia tau semua yang aku lakukan di dunia manusia?

"Sekalipun sulit aku akan menyelesaikannya sendiri!" jawabku dengan percaya diri yang amat sangat. Gin sang ular harus tau bahwa aku juga mengetahui akal bulus dan ide licik yang selalu bergeliat di benaknya, karena sejak kedatangannya ke Las Noches aku sudah sangat tidak menyukainya. Wajahnya dipenuhi bisa beracun untuk siapa saja.

"Selalu sombong seperti biasa. Tetaplah seperti itu Ulquiorra tersayang," gumam Aizen seraya melangkah pergi, dan dalam satu gerakan dia sudah menghilang dari pandangan.

Aku harus mendapatkan jiwa Rukia, HARUS.


Hari sangat cerah, sinar matahari menghujani semua permukaan dengan cahaya yang terlalu hangat, menggantikan embun dengan kehangatannya, dan disanalah aku melihat Rukia, baru keluar dari salah satu apartemen kecil yang berderet dalam satu lantai, dia mengunci pintu apartemennya dengan cekatan, dan kembali bersenandung lagu yang sama.

Dia menyapa siapapun yang berpapasan dengannya, tersenyum hingga pipinya menonjol, menunjukkan pada semua betapa manis dirinya, dan betapa bahagianya dia. Seketika cahaya jiwanya terlihat jauh lebih terang dari kemarin, dan waktuku mulai terbatas, hanya menghitung waktu selama empat belas hari dari sekarang.

"Rukia, jangan lupa pertandingan basket satu lawan satu nanti sore!" seseorang bicara seraya menepuk bahu Rukia.

Rukia berhenti melangkah dan menoleh pada seorang remaja yang memiliki rambut berwarna putih bersih, tapi tampangnya tegas hingga ia terlihat jauh lebih dewasa dari yang seharusnya. Aku yakin Rukia tidak tau apa yang diucapkan remaja berambut putih itu, tapi lalu Rukia tersenyum lebar.

"Hitsugaya," dia terdiam sejenak, "nanti sore!" lanjutnya dengan gerakan tangan men-dribble bola.

Aku terperangah, bagaimana mungkin dia tau, padahal tadi remaja itu bicara di belakangnya, dia bahkan tidak bisa melihat gerakan bibirnya kan?

Remaja dengan rambut putih itu melambai dan pergi menjauh dari Rukia setelah mendapatkan jawaban.

Rukia kembali melangkah, menyeberang jalan yang mengantarnya ke halte bus. Aku memperhatikannya dari udara, melayang sesuka hatiku tanpa perlu takut dilihat oleh manusia lain, karena aku tidak sedang menyamar, aku masih mengenakan jubah kebanggaan lengkap dengan pedang yang ada di pinggangku.

Dia sampai di toko, dan mengenakan sebuah kain yang ia lilitkan di sekitar pinggangnya, menunjukkan logo toko. Pemilik toko ini memang pelit, seragam saja hanya berupa celemek seperti itu.

"Rukia, tolong kau carikan buku-buku ini. Nanti akan ada yang ambil, order besar dan aku akan siapkan kardus untuk mengemasnya," kata si pemilik toko, dia masih menggunakan yukata, topi, bahkan kipas yang sama. Mungkinkah dia tidak memiliki baju lain?

Rukia menerima selembar kertas yang diberikan oleh pemilik toko, membaca barisan puluhan judul buku yang tertera disana dan dia mengangkat tangannya ke kepala, memberi hormat sebagai tanda dia mengerti dengan perintah yang diberikan dan akan melaksanakannya dengan segera.

Aku terus memperhatikannya, tidak ada keanehan dalam dirinya, dia hanya perempuan biasa yang melakukan semua pekerjaan dengan lapang dada.

Hari beranjak siang dan dia sudah mendapatkan semua buku yang ia cari, meletakkannya dalam kardus yang diberikan pemilik toko, dia menumpuk buku sesuai dengan urutan dalam daftar yang diterimanya, dan menempelkan sticker sesuai nomor urutnya, dia pintar, dia bisa berinisiatif seperti itu tanpa diperintah oleh pemilik toko.

Udara di sekitar ku tiba-tiba saja berubah pekat, sebuah tekanan roh yang sangat kuat menyesakkanku, aku melihat Gin melangkah mendekati toko buku itu, dia mengenakan celana jeans belel dengan aksyen robek di lutut, dan dipadu dengan kaos hitam yang sangat kontras dengan warna rambutnya.

Apa yang ia lakukan?

Dia sempat mendongak kearahku yang berdiri tegak beberapa meter dari toko, dia masih tersenyum lebar dan aku tidak bisa membaca raut wajahnya, karena dia selalu menunjukkan wajah yang sama. Tapi yang pasti dia sedang menyindirku, dia tau siapa yang aku incar dan dengan sengaja berada di dekat mangsaku.

"Hallo, Rukia!"

Dia melambai dengan santai pada Rukia, sengaja melakukannya agar perhatian Rukia terpusat padanya. Dia berhasil, Rukia berdiri tegak dari kardus yang masih ia perhatikan isinya.

"Gin? Apakah kau datang untuk mengambil buku yang aku pinjam?"

Jadi dia sudah mengenal Rukia jauh sebelum aku menemukannya. Gin memiliki mata yang bagus, sementara Espada yang lain belum tau keberadaan Rukia, dia justru sudah berada sedekat ini dengan Rukia. Aku harus lebih hati-hati dengannya, dia mengancam keberhasilanku.

Gin menggeleng, dan menunjuk kardus yang ada diantara mereka.

"Jadi ini pesananmu?" tanya Rukia riang, senyumnya mengembang lebar.

Gin mengangguk, membuat rambut lembutnya bergerak dengan sangat indah. Dia sedang tebar pesona pada Rukia, aku kesal melihatnya.

"Apakah kau memiliki toko lain?" Rukia kembali memasukkan buku ditangannya. Setelah Rukia meletakkan buku Gin baru menjawab pertanyaannya, Gin seperti sangat mengerti kapan ia harus menjawab dan kapan harus diam.

"Tidak, aku ingin membaca semua buku ini. Ngomong-ngomong, apakah kau ada waktu makan siang ini?"

Dia melancarkan langkah kedua. Apa maksudnya mendekati Rukia? Bukankah dia bukan Espada dan tidak memiliki kepentingan untuk menaikkan peringkat, karena tidak akan berpengaruh apapun jika ia mendapatkan jiwa Rukia. Mungkinkah dia ingin menghadang langkahku saja?

"Maaf, aku tidak bisa. Ada tamu yang harus aku temui," jawab Rukia cepat, tapi tetap mengakhirinya dengan senyum.

"Apakah kau ingin membuatku patah hati?" kata Gin dengan senyum menggoda.

"Tentu saja, kau kan playboy nomor satu!" sahut Rukia riang.

"Kau ini!" Gin mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Rukia, membuat Rukia menggeliat bak anak kucing dibawah sentuhannya.

Mereka terlihat sangat akrab, terlalu natural sebagai orang yang baru saling mengenal, aku semakin tidak mengerti.

Gin membantu Rukia, sambil sesekali bercanda. Jadi harus menjadi pelanggan toko ini jika ingin mendekati Rukia. Baik, aku akan mendapatkan jiwanya sebelum tenggat waktu yang ditentukan oleh Aizen.

Aku datang menyamar dengan satu jentikan jari, mengenakan kemeja lengan panjang yang di gulung hingga batas siku, dan celana jeans hitam, lengkap dengan sepatu sport.

"Selamat datang!" si pemilik toko menyapa ku lagi.

Dia tersenyum melihatku, senang karena melihat sumber uang sudah masuk ke tokonya.

Ekor mata ku diam-diam memperhatikan gerak gerik Gin, setelah mendapatkan satu kardus yang berisi penuh buku, dia keluar dari toko dan sempat melambai pada Rukia.

"Jangan lupa janjimu," serunya keras. Sepertinya ia lupa kalau Rukia tidak bisa mendengar.

"Iya, aku akan datang!" sahut Rukia.

Gin menoleh padaku, memberikan senyum liciknya padaku, aku tetap memasang wajah yang sama untuknya. Kekelaman tekanan roh berputar diantara kami, Gin hampir sama kuatnya dengan Aizen dan aku tidak akan bisa mengalahkannya, sekalipun hanya lewat besarnya tekanan roh yang kami miliki.

Dia pun pergi tanpa sepatah katapun, aku tetap berdiri di depan sebuah rak buku, membaca satu judul buku yang menarik perhatianku. Buku karangan Dan Brown, akhirnya aku menemukan buku yang sering disebut-sebut manusia ini, aku menariknya dan memerhatikan sampul bagian depan, karena buku itu masih terbungkus rapi.

"Benar, kan? Anda datang lagi, Ulquiorra Schiffer?"

Aku mendengar suaranya yang terdengar sangat akrab itu, suara yang hanya dengan mendengarnya saja sudah tergambar dengan jelas sosoknya. Tubuhku berbalik dengan reflek, menatapnya, melihat pancaran jiwanya yang menyilaukan mata.

"Saya sudah menduga Anda akan datang lagi, karena itu saya menolak ajakan Gin. Jadi, Anda ingin mencari buku apa?" tanyanya yang mencondongkan badan dan melihat buku yang aku pegang.

Perempuan ini seperti memiliki kemampuan meramal, bagaimana mungkin dia tau aku akan datang lagi?

"Dan Brown? Anda menyukai Dan Brown?" dia bicara sambil mendongakkan wajah padaku.

"Tidak," jawabku seraya meletakkan kembali buku di tangan ku ke tempatnya semula.

Seketika Rukia menegakkan tubuhnya yang hanya setinggi dadaku, hingga ia harus mendongak untuk menatap wajahku. Mata itu mengirim binar yang aku tidak mengerti, binar mata cerah yang sangat terang.

"Aku mencari buku yang menceritakan semua tentang dirimu," kataku akhirnya, nada bicaraku masih sangat datar dan kaku. Tapi itu semua cukup untuk membuatnya terbelalak kaget, dia seharusnya melihat bahwa aku mengatakannya asal, tidak sungguh-sungguh, aku hanya ingin sedikit menebar kata-kata gombal yang bisa membuatnya tersanjung, tapi sepertinya tidak begitu baginya.

"Sayangnya tidak ada buku seperti itu," jawabnya dengan nada suara sama datarnya denganku, dan dia berbalik dan meninggalkanku, seolah aku ini pelanggan yang tidak layak untuk ia layani.

Dia menarik sebuah kursi kayu dengan empat kaki dari samping rak dekat aku berdiri, dan membawanya ke jajaran rak lain yang berada di sisi lain. Saat aku tengah memerhatikannya, tidak sengaja aku melihat pemilik toko sedang memerhatikan kami, dia tersenyum sambil mengibaskan kipas di tangannya.

Rukia berdiri di atas kursi warna cokelat tua itu, inilah kekurangan seseorang yang memiliki tinggi tubuh terbatas, kalau aku hanya perlu mengulurkan tangan untuk mengambil buku yang ia tuju. Dia berhasil meraih buku dengan judul Princess Academy setelah berjinjit habis-habisan, siapa juga orang bodoh yang meletakkan buku setinggi itu, sementara tau Rukia tidak mampu mengambilnya.

"Dapat!" seru Rukia lega, dia langsung menapakkan kakinya tapi lupa kalau ujung kakinya berada di pinggir kursi, seketika kursi yang ia pijak bergoyang pelan karena tidak bisa mengimbangi bobot tubuhnya yang tidak berpusat pada tengah kursi, bahkan kursi hampir oleng.

"A.. a.. " dia berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya, tapi dia malah terus bergoyang, tidak juga berhasil berdiri tegak. Aku hanya menjadi penonton, sementara pemilik toko juga masih berdiri santai di belakang meja kasir.

Apa dia akan membiarkan Rukia jatuh?

Benar saja, Rukia limbung.

"Argh…"

Aku bergerak secepat kilat, menangkap tubuh Rukia, tapi sepertinya ini kesempatan untukku membuat Rukia tertarik padaku, ya.. dia pasti akan jatuh hati padaku. Semua seperti gerak lambat dalam mataku, tanganku memeluk pinggang Rukia, tidak erat tapi cukup untuk menahan tubuhnya. Dia terbelalak saat melihat ku yang tiba-tiba ada di hadapannya.

Kami berdua jatuh berdebam ke lantai, aku sengaja memosisikan diriku di bawah dan menimpa lantai, sementara Rukia berada di atasku, dia menutup matanya rapat karena terlalu takut, tapi untukku tidak ada apa-apanya jatuh seperti ini.

"Akh!" aku sengaja mengerang sedikit untuk menunjukkan sakit yang tidak aku rasakan, aku kan harus tampil semanusia mungkin.

Rukia meletakkan kedua tangannya di atas dadaku yang kurus, masih menyembunyikan wajahnya dibahuku.

"Maaf, saya.." dia bergerak bangun, menggeser wajahnya dari bahuku, dan tidak sengaja bibir kami bersentuhan, hanya sentuhan tipis yang seharusnya tidak berarti.

Tapi…

Rukia terdiam dengan ujung bibirnya masih bersentuhan dengan bibirku, matanya yang berwarna ungu gelap membesar, dan aku bisa merasakan debaran jantungnya di atas dadaku, menghentak dengan sangat keras. Sementara aku sendiri ikut terdiam, seperti tidak ingin beranjak darinya, sedang menikmati wajahnya yang perlahan merona. Sangat cantik.

Dari bibirnya aku merasakan kehangatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya dari semua jiwa yang pernah aku dekati. Hanya jiwanya yang memancarkan kehangatan seperti ini, dan aku bersumpah tidak akan melepas jiwanya.

Aku sengaja terdiam, menatap matanya langsung, emerald bertemu dengan ungu gelap, aku hanya melihat wajahku di bola matanya. Hanya aku, hingga aku yakin dia sudah mulai jatuh hati padaku.

Saat tanganku terangkat dan hendak menyusup ke rambutnya, dia malah tersentak bangun, wajahnya jauh lebih merah dari sebelumnya.

"Maaf, saya tidak bermaksud…"

Dia menekap mulutnya, mungkin malu karena bibir kami baru saja bersentuhan, atau lebih tepatnya berciuman?

Kami berdua sama-sama bangun dan menegakkan tubuh, aku membersihkan celana dan kemejaku yang tidak bernoda sama sekali, dan perhatianku tertuju lagi pada Rukia yang berdiri gelisah. Rukia sangat kikuk. Belum sempat aku bicara, dia malah membungkuk dalam dan berlari dariku, dan menghilang di pintu yang berada dekat meja kasir.

"Sepertinya dia sangat malu," kata si pemilik toko yang masih berkipas ria.

Aku tetap diam dengan tangan tersimpan dalam saku celana, melihat kepergian Rukia.

"Itu hanya kecelakaan, untuk apa dia bersikap seperti itu?" ucapku seraya kembali menyusuri jajaran buku kuno.

Si pemilik toko tersenyum mendengar jawabanku, dan dia melangkah mendekatiku. Membuat yukatanya yang berwarna hijau usang bergerak perlahan, dan suara sandal kayunya berdentum terus ke lantai.

"Rukia tidak pernah dekat dengan seorang pria pun setelah kecelakaan itu, jadi wajar saja dia malu seperti itu."

Aku menoleh pada pemilik toko, sedari tadi aku tidak memerhatikannya, namun setelah mendengar sesuatu tentang Rukia, telingaku langsung mengirim gelombang agar aku memerhatikan apa yang diucapkan orang kuno ini.

"Kecelakaan?" ulangku, berharap dia akan menjelaskan semuanya hingga detail terakhir.

"Rukia sendiri yang harus menjelaskannya padamu, nah, sekarang kau harus pulang jika tidak ingin membeli buku. Aku tidak mau Rukia seharian berada di kamar mandi dan menelantarkan pelanggan lain," lanjut manusia dengan rambut berwarna rambut jagung itu.

Aku menilai sejenak manusia di hadapanku ini, dia tidak memiliki jiwa yang bersih, tapi tidak terlalu kelam juga, mungkin ada baiknya bila aku mangsa sekalian orang cerewet ini. Tapi jika aku membuatnya hilang dari muka bumi ini, mungkinkah Rukia akan baik-baik saja? Jangan-jangan nanti jiwanya malah jadi sekelam anggur.

"Baik, aku ambil buku ini!" aku mengambil satu buku di dekatku dengan asal, dan memberikan padanya.

"Wah, kau memilih buku yang tepat. Rukia juga suka dengan buku ini, biografi Beethoven," katanya dengan senyum yang jauh lebih lebar.

Aku hanya mengambilnya dengan asal, agar si pemilik toko menutup mulut dan tidak menerorku untuk membeli.

Buku itu tidak terlalu tebal, tapi cukup usang untuk ukuran buku lama, terlalu sering dibaca, dan mataku kembali beralih pada pintu dimana Rukia menghilang, dia sepertinya tidak akan cepat keluar, aku jadi tidak bisa menanyakan topic mengenai buku kesukaannya, karena mungkin saja aku bisa membuatnya melakukan satu pertukaran permintaan, meminta bertemu Beethoven mungkin.

Aku harus bersabar lagi kali ini.

Aku membayar buku itu setelah mendengar harga yang disebut pemilik toko.

Langkah kakiku lunglai keluar dari toko, dan sebuah tas kertas berada di tanganku. Aku memutuskan tidak kembali ke Las Noches atau Espada yang lain akan menanyakan sikap santaiku. Aku berjalan kearah sebuah taman, disana ada banyak manusia yang bolak-balik, dan mataku tertuju pada seorang yang terduduk di bangku taman, seperti orang yang hendak bunuh diri saja, karena wajahnya pucat dan hampir putih seluruhnya.

"Menunggu siapa?" tanyaku pada perempuan yang memiliki rambut berwarna pirang itu, cantik namun tidak ada harapan kehidupan darinya.

"Aku menunggu kematianku," jawab wanita paruh baya itu.

"Kenapa kau menunggu kematianmu?"

"Karena anak laki-lakiku pergi meninggalkanku sepuluh tahun lalu, dan aku tidak memiliki harapan lain untuk tetap hidup, kanker yang ku derita hanya akan membuatku menyusul anakku."

Dia menatap langit yang berwarna biru cerah, sangat cerah dengan awan putih yang berarak perlahan. Warna rambut wanita itu terlihat indah saat tertimpa cahaya matahari, pirang menyala dengan gelombang yang tak kalah indahnya.

"Siapa nama mu?" tanya ku yang mulai menjurus pada tujuan.

"Kurosaki Masaki, dan beberapa hari lagi aku hanya tinggal nama, menyusul anakku, Ichigo," ucapnya dengan senyum dipaksakan.

"Apakah kau ingin meminta sesuatu?" Akan sangat mudah bagiku membuat wanita ini melakukan pertukaran permintaan, selain itu nyawanya hanya tinggal beberapa hari lagi bukan?

"Aku ingin kembali pada saat Ichigo bercerita tentang seorang perempuan yang ia sukai, saat itu wajahnya sangat cerah, mencintai perempuan untuk pertama kalinya saat ia berumur 16 tahun. Ichigo yang lugu, Ichigo yang manis. Sudah sepuluh tahun, dan aku tidak menyadari waktu berlalu begitu cepat, jika ia masih hidup mungkin dia akan setampan dirimu," ucapnya dengan mata berbinar membayangkan masa-masa itu.

Aku mendengar dengan baik, dan dia sudah mengucapkan satu kata kunci untuk sebuah pertukaran permintaan.

"Apakah kau mau keinginanmu terwujud?" aku mencondongkan tubuh kearahnya, membuatnya menaikkan alis tanda tidak percaya dengan tawaranku.

"Tapi ada satu syarat, kau akan kehilangan jiwamu," jelasku dengan hati menari senang. Jiwa wanita ini tidak buruk juga, bahkan terbilang lumayan untuk orang sekarat, cukup untuk menopang napasku hingga berhasil mendapatkan jiwa Rukia.

"Benarkah? Kembali ke waktu itu adalah kebahagiaan terakhir untukku, aku akan pergi dengan tenang jika bisa kembali melihat wajah Ichigo," jawabnya tanpa ragu sedikitpun.

"Baiklah, keinginanmu terkabul."

Aku mengangkat tanganku ke udara dan menjentikkan jari sekali, segalanya di sekeliling kami berputar dengan sangat cepat, kilatan waktu yang mundur sepuluh tahun. Kami berdua mendarat di lantai sebuah kamar, seketika wanita di sebelahku terisak.

Di hadapan kami sekarang berdiri seorang laki-laki yang berumur belasan, tinggi tegap dengan rambut orange menyala, tersenyum cerah seperti Rukia. Dia sedang memegang sebuah foto di tangannya, membelakangi kami hingga kami tidak bisa melihat foto yang tengah ia pandang.

"Ichigo, sarapan sudah siap!"

Suara wanita yang sama dengan wanita yang berdiri disampingku memenuhi ruangan, hanya saja kali ini terdengar jauh lebih segar dan muda.

"Iya," jawab pemuda itu, masih menatap foto yang ia pegang.

"Ichigo!" Pintu kamar pemuda itu terbuka lebar, menunjukkan sosok Masaki yang masih sangat muda dengan celemek melilit pinggangnya.

"Foto siapa itu?"

Ichigo meletakkan foto yang ia tatap diatas meja, membaliknya agar tidak dilihat ibunya.

"Bu.. bukan siapa-siapa!" jawab Ichigo gugup.

"Pasti foto perempuan, iya kan?"

Masaki mencoba meraih foto itu tapi dicegah Ichigo.

"Kenapa harus malu? Kau suka padanya kan? Siapa? Katakan pada Ibu, siapa?" Masaki muda melirik jahil.

"Aku belum tau namanya, teman-teman memanggil nama keluarganya. Nama keluarganya Kuchiki, dan aku baru berpikir akan mengajaknya pergi sepulang sekolah nanti," jelas Ichigo dengan pipi merona. Pemuda yang sedang jatuh cinta malah terlihat seperti anak kecil bagiku.

"Ichigo…, ibu ingin memelukmu," bisik wanita yang berdiri di sampingku, tapi sepertinya dia cukup mengerti untuk tidak berlari dan memeluk sosok Ichigo di hadapannya.

"Seperti apa orangnya?"

"Pendek, dan aku selalu memanggilnya begitu. Dia memiliki warna mata yang indah, karena itu aku selalu ingin mengejeknya."

"Jangan mengejek anak perempuan, atau dia akan membencimu," bisik Masaki lagi.

"Benarkah?"

Seketika waktu mengembalikan kami ke masa kini, kami kembali ke dunia nyata, kembali ke taman dan duduk di bangku.

"Ichigo yang malang, aku akan selalu mengingat wajah cerahnya hari itu, karena itu adalah hari terakhir aku melihat wajah cerahnya. Dua hari kemudian dia menghilang dalam sebuah kecelakaan kereta, tidak ada yang bisa menemukan jasadnya, seperti apapun aku berpikir dia tidak mati, tetap saja kenyataannya dia telah hilang dari sisiku. Ichigoku.. Ichigo sayang…" Masaki kembali meratap hebat.

Tangisnya seolah adalah tenaga terakhir yang ia miliki karena kemudia dia terduduk lemah dengan tubuh bersandar di bangku.

"Aku sudah melihat Ichigo lagi. Aku rela sekalipun harus mati sekarang," ucap Masaki dengan suara bergetar.

Aku tidak memperpanjang waktu lagi, tanganku yang berwarna pucat terangkat ke atas kepala Masaki, dan aku membuat kami berdua tidak terlihat mata manusia saat perlahan aku menarik jiwanya keluar dari tubuhnya dengan kekuatanku, dan perlahan sulur-sulur berwarna kebiruan itu mengalir masuk lewat tanganku, meresap ke kulitku, memberikan sensasi yang luar biasa. Aku mendapatkan jiwa manusia yang lumayan bagus, dan perlahan aku merasakan kekuatanku seperti bertambah dengan cepat.

Setelah aku selesai menghisap seluruh jiwanya, tubuh Masaki terkulai tak bernyawa, dalam hitungan detik tubuhnya menjadi serpihan pasir yang terbawa angin. Musnah sama sekali dari pandangan mata, entah aku sedang bernasib baik atau apa, tapi aku sudah mendapatkan satu jiwa hari ini, meskipun bukan milik Rukia.

"Kau!"

Sebuah zanpaktou tertuju ke dadaku, Kaien Shiba sedang mengancamku.

"Kenapa kau membuatnya melakukan pertukaran permintaan?"

"Dia yang meminta, aku hanya membantu," jawabku santai.

"Kau memang…" dia menggeram kesal karena tidak bisa mencegah tindakanku. Aku justru senang bisa membuat shinigami ini kehilangan satu jiwa yang harus ia cabut dalam beberapa hari ke depan.

"Urus saja urusanmu sendiri, aku sedang tidak ingin berdebat!" kataku seraya mengambil kantong kertas dari sisiku, mengeluarkan buku yang terbungkus kotak berwarna ungu tua.

"Aku akan benar-benar mengawasimu, Espada!" serunya sebelum benar-benar menghilang dari hadapanku.

"Terserah!"

Aku membuka lembar demi lembar buku yang hendak aku baca. Rukia tidak sedikitpun bisa ditebak, dia malah menyukai buku biografi Beethoven, bukan roman yang sering dibaca perempuan pada umumnya. Kenapa harus Beethoven?

Buku itu benar-benar menceritakan tentang kehidupan Beethoven, aku membacanya dengan sabar layaknya seorang manusia yang membaca buku. Aku seperti bukan diriku saja. Tapi aku hanya ingin mengerti dengan jelas apa yang membuat Rukia tertarik, mungkin saja aku bisa mendekatinya dengan cara klasik, seperti membahas buku.

Aku terus membaca, membiarkan angin sore berhembus, menerbangkan helaian daun yang berguguran ke tanah. Sinar matahari sudah meredup dan hampir berganti dengan malam. Lampu-lampu taman mulai menyala satu persatu, mengganti penerangan untukku membaca buku yang masih tersisa banyak lembar yang belum aku baca.

"Aku berdo'a agar kau bahagia, dimanapun kau berada sekarang."

Aku tersentak, menutup buku yang tengah ku baca dan berdiri tegak dari bangku taman. Aku baru saja mendengar suara Rukia, apakah dia berada didekat sini? Atau hanya ilusiku saja?

Aku melihat sekeliling, dan pancaran jiwanya terasa hingga aku langsung mengetahui keberadaannya. Rukia ada beberapa meter dariku, berdiri di dekat pohon besar, menatap pohon itu dengan sorot mata sedih, dan perlahan tangannya menyentuh batang pohon besar itu.

Dia mengatupkan kedua telapak tangannya dan menunduk, tengah berdo'a untuk siapapun yang tadi ia sebut.

Aku melangkah mendekat padanya, sengaja tidak membuatnya melihatku, aku berdiri dibelakangnya, berjarak dua langkah.

Pohon rindang itu memiliki daun berbentuk seperti semanggi runcing, rantingnya melepaskan beberapa daun yang sudah berwarna kekuningan, dan dibawa terbang angin sore, mewarnai udara yang sudah berubah jingga karena cahaya matahari terbenam.

Rukia meletakkan sebatang bunga krisan di dekat akar pohon itu, sekujur tubuhnya gemetar menahan gelombang kesedihan yang menderanya. Tangannya lalu memegang kalung dengan liontin berbentuk kelinci dengan warna orange menyala, dia seperti sangat takut kehilangan benda itu.

Aku harus bicara dengannya, maka aku putuskan merubah wujudku menjadi manusia.

"Aku akan selalu mengingatmu, sekalipun pertemuan kita sangat singkat," bisik Rukia seraya berbalik, dan dia hampir pingsan saat melihatku yang berdiri tegak di hadapannya, menatapnya tajam dan dingin.

Dia seperti akan kembali kikuk, tapi secepat kilat ia mengendalikan diri. Sepertinya kecelakaan kecil di toko buku masih mengusik benaknya.

"Apa temanmu dimakamkan di bawah pohon ini?" tanyaku dengan nada suara tak sopan.

Dia menggeleng. "Disini pertama kali kami bertemu, aku tidak pernah tau dimana makamnya, karena itu aku mengenangnya disini," jawab Rukia.

"Pacarmu?"

Rukia menggeleng cepat.

"Sahabat?"

Lagi-lagi dia menggeleng.

"Lalu?"

Rukia menenglengkan kepalanya, dan senyum jahil muncul di wajahnya yang detik tadi masih menunjukkan kesedihan.

"Apakah Anda begitu ingin tau tentang kehidupan saya?"

Aku mengerutkan alis. Apa-apaan perempuan ini? Sebegitu percaya dirinyakah dia?

"Bagaimana jika aku jawab 'ya'?" tembakku ingin melihat reaksinya.


To Be Continue


A/N :

Bagaimana dengan chapter 1? Masih gaje-kah? Aku memang terlalu banyak berkhayal sepertinya *makanya cepet bangun! Atau mau disiram pakai air tujuh sumur?*

Ya mohon maaf jika masih jauh dari harapan *bungkuk2 minta dimaafin*

Terima kasih sudah bersedia membaca fict ini. Silahkan dan mohon untuk review ya, aku tunggu selalu lho! *pasang puppy eyes*

Sampai ketemu lagi di chap 2….

Mina-gomen aku salah ketik nama Oka-san Ichigo, jadi aku revisi ya... thanks sudah diingatkan *love u all*

Keep The Spirit On ^0^