SECOND CHANCE
Harry Potter dan segala seluk beluknya adalah milik JK Rowling. Fanfic ini adalah hasil pemikiran saya.
No copy paste, no plagiarism!
Warning : femHarry, typho, banyak kesalahan penggunaan EYD, cerita tidak jelas dan membosankan, ooc, muncul oc, dll
Perang telah usai. Namun bagi gadis itu, inilah dari awal perang bagi kewarasannya. Tidak ada yang tersisa saat ia berhasil mengalahkan kegelapan. Harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan, itupun bukan kebebasannya secara pribadi.
Gadis itu memandang berkeliling. Menemukan kenyataan bahwa ia hanya tinggal sendirian di antara puluhan mayat sahabatnya yang kini telah tak bernyawa. Lututnya mendadak lemas, membuatnya tak kuasa bahkan untuk berdiri tegak. Pikirannya terlampau kosong, namun hatinya begitu perih. Ia memeluk lutut dan terisak dalam diam. Tak ada lagi yang bisa mendengarnya, tak ada lagi yang akan menjadi temannya untuk berbicara. Dia akan kesepian sepanjang sisa hidupnya, atau mungkin mati akan lebih baik daripada terkurung dalam keadaan fana namun tanpa jiwa.
"Ron … 'Mione …" panggilnya lirih, terisak putus-putus, matanya yang berair memandang hampa dan penuh kesedihan pada jasad kedua sahabat yang bahkan sudah ia anggap seperti bagian dari dirinya. Sekelebat memori tentang bagaimana keduanya bertarung dengan begitu berani laksana benteng baginya membuat gadis itu merasa begitu tak berguna.
"Bodoh … kenapa kalian harus mati untuk melindungi orang sepertiku …" ia kembali terisak, membenamkan wajahnya dalam-dalam. Sesak di dadanya kian lama kian menjadi, tubuhnya mulai menjadi kaku dan mati rasa oleh kesedihan yang menjalar menggerogoti perasaannya.
Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya saat pandangannya tiba-tiba menggelap, kepalanya menjadi semakin berat, dan ia limbung tergeletak di antara jasad-jasad tak bernyawa dari sahabat-sahabatnya tercinta. Gadis itu berharap ini adalah akhir dari hidupnya, saat ia bisa kembali bersama dengan sahabat—sahabatnya tercinta.
Namun nyatanya takdir berkata lain saat seorang pemuda tegap berkulit pucat dengan darah mengering di wajah dan pakaian yang dikenakan tengah berdiri terpaku di medan perang yang sama. Rambut pirangnya berkibar pelan saat angin berhembus lembut. Hawa terasa sejuk, namun hati pemuda itu sama sekali tak akan mampu tersejukkan. Tidak untuk saat ini. Saat ia dengan begitu pengecutnya melarikan diri dari medan perang dengan diiringi pengorbanan dari kedua orang tuanya.
Pemuda itu memang selamat, hanya dengan beberapa luka kecil yang sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan hebatnya perang yang berlangsung begitu kejam dan menakutkan. Perang Dunia Sihir. Bahkan dalam mimpinya tidak pernah terlintas akan berada dan menjadi saksi hidup untuk mengalaminya. Ia sebelumnya berpikir bahwa mendukung pihak terkuat meskipun mereka tidak berada pada jalan yang benar merupakan alternatif terbaik untuk bertahan hidup. Namun teori kedua orang tuanya itu ternyata terpatahkan.
Saat ini adalah kali pertama ia menyesali sikap pengecutnya. Bagaimanapun ia adalah seorang penyihir dari keluarga bangsawan terpandang, darah murni yang begitu disegani. Tapi bahkan kelakuannya jauh lebih rendah daripada para mudblood yang bahkan rela sampai mati dan mengorbankan hidupnya demi melindungi kebenaran yang sejati.
Kata 'seandainya' kemudian menghantui pikirannya. Matanya memandang nanar, dadanya begitu sesak akan rasa bersalah dan penyesalan. Perang memang sudah usai, pihaknya kalah, orang tua dan sahabat-sahabatnya sudah ikut menjadi korban, lalu dia harus bagaimana? Dia tak mungkin bisa bertahan hidup sendirian.
"Hiduplah untuk kami, Draco," terngiang kata dari Fathernya yang memandangnya sambil tersenyum serta pandangan sayang Mothernya yang tak terucapkan dengan kata-kata. Hati pemuda itu semakin pedih, merasa begitu bodoh karena mengikuti perintah orang tuanya untuk melarikan diri dan bersembunyi hingga perang usai.
'Seandainya aku tidak lari, mungkin semuanya akan lebih mudah bagiku, setidaknya aku akan mati dan tidak perlu hidup tak berguna seperti ini,' bathinnya tersayat. Tak kuasa menahan, akhirnya buliran air jatuh dari mata beriris abu-abunya. Mata kebanggannya selama ini.
Pelan ia melangkahkan kakinya tanpa minat dan tujuan yang tak jelas. Tampak wajah-wajah yang sebagian begitu dikenalnya tergeletak tanpa nyawa di sana. Hatinya semakin sakit karena ia sadar bahwa setelah ini ia tak mungkin akan dapat berinteraksi dengan mereka seperti dulu. Entah itu interaksi yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Bahkan wajah duo Gryffindor, bocah Weasel dan si mudblood pun membuat air matanya tak henti mengalir. Pemuda itu terus mencoba melangkahkan kakinya yang terasa semakin lemas. Ia tidak tahu apa yang ia cari, entahlah. Ia hanya ingin terus melangkah dan melangkah. Hingga matanya tak sengaja menangkap segurat wajah itu. Wajah gadis yang biasanya menjadi rivalnya beradu mantera. Dan ia juga terbaring di antara jasad-jasad tak bernyawa di sana.
"Potter …" panggilnya lemah. Dengan tak yakin ia melangkahkan kaki menuju tempat gadis itu tergeletak.
"Kenapa kau juga harus … mati," rintihnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Bukakah kau adalah 'gadis yang bertahan hidup'?" lanjutnya sambil semakin berjalan mendekat.
"Tapi bahkan kaupun tidak bertahan hidup lagi," tangisnya kembali terisak.
Pemuda itu berlutut tepat di hadapan gadis yang ia panggil dengan nama Potter. Memandang wajahnya dengan ekspresi bercampur aduk.
"Kalau kau hidup, setidaknya aku masih mempunyai seseorang untuk beradu mulut denganku," ucapnya getir.
Mendadak air mata meluncur dari sudut mata gadis itu. Sang pemuda memandangnya tak percaya.
"Potter, mungkinkah kau masih hidup?" pemuda itu memegang tangan sang gadis dan memeriksa denyut nadinya. Dan ia menemukannya meskipun terasa begitu lemah.
Pemuda itu berusaha menegakkan tubuh lemah sang gadis.
"Bangun … bangun Potter. Kau harus membuka mata," ia kemudian menggolekkan tubuh gadis itu perlahan. Sebuah gumaman tak jelas, membuat harapan pemuda itu menjadi tumbuh kembali. Hatinya bersyukur karena akhirnya ia menemukan seseorang yang dapat ia ajak berbicara, sekalipun itu adalah musuhnya.
"Aku akan memastikan kau hidup. Kau harus hidup Potter!" gumam sang pemuda, diangkatnya tubuh gadis itu dan ia membopongnya dengan hati-hati.
…
Ruangan serba putih menjadi hal pertama yang ditangkap oleh indera penglihatan gadis itu. Semuanya terasa asing, namun samar-samar ia mengenal tempat ini, meskipun ia tidak terlalu yakin.
'Apakah aku sudah mati,' hal pertama yang menggaung di pikirannya. Hatinya nyaris melonjak bahagia karena ia berharap dapat segera bertemu dengan orang-orang yang ia cintai. Hermione, Ron, Neville, Ginny, dan sahabat-sahabat baiknya, Proffesor Dumbledore, Proffesor Snape, dan terlebih kedua orang tuanya yang sudah sangat ingin ia temui semenjak dulu.
Namun satu wajah itu mengusiknya, menuntunnya pada sebuah kemustahilan mengenai semua bayangan yang terlintas di benaknya barusan. Pemuda itu, berambut pirang platinum, beriris mata abu-abu, berkulit sangat pucat, sangat familiar dalam hidupnya beberapa tahun ini. Ia orang yang sama yang sering menyulut permusuhan dengannya. Membuat hari-harinya selama bersekolah terkadang terasa memuakkan. Dia, Draco Lucius Malfoy. Pemuda yang secara tidak langsung telah mendeklarasikan diri sebagai musuhnya.
"Syukurlah kau sudah siuman, Potter," suara sang pemuda menyadarkan gadis itu bahwa ia masih berada di dunia fana dan sekaligus meruntuhkan semua ekspektasinya mengenai bertemu kembali dengan orang-orang yang sangat ia sayangi.
Gadis itu memandang sang pemuda tak berkedip. Ekspresi wajahnya terlihat sangat terpukul dan sangat jelas jiwanya begitu tertekan.
Draco, pemuda itu, bukannya tidak menyadari ekspresi gadis yang telah susah payah ia upayakan kesembuhannya, namun ia hanya tidak mau memperburuk suasana dan tidak ingin membuat gadis itu merasa semakin tidak baik.
"Aku akan memanggil dokter," ucap Draco tenang. Ia sudah membalikkan punggungnya sebelum suara lemah gadis itu menginterupsi langkahnya.
"Malfoy," suara lemah itu terdengar menahan berbagai gejolak emosi.
Draco berhenti berjalan saat ia sadar bahwa gadis itu memanggil namanya. Ia menghela nafas panjang dan berbalik menghadap gadis itu dengan begitu perlahan. Tidak berusara, ia hanya memandang wajah gadis itu dalam diam.
Harry memandang wajah Draco dengan tatatapan dingin namun sangat putus asa. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gemuruh emosi tak terdefinisi di wajahnya yang masih terlihat lemah.
"Brengsek," umpat gadis itu dengan suara lemahnya. Draco terlihat kaget mendengarnya, namun ia tidak berkomentar apa-apa.
"Seharusnya kau membunuhku, brengsek!" ulang gadis itu dengan tatapan dingin namun menyiratkan luka yang begitu dalam.
Sebuah isakan kecil jelas tertangkap di telinga sang pemuda. Alih-alih mendekat, Draco justru kembali berbalik melangkahkan kaki jenjangnya menuju pintu keluar dan meninggalkan ruangan dengan menahan sejumlah perasaan sesak yang mulai terakumulasi di dadanya. Ia bukannya berada dalam kondisi emosi yang lebih baik daripada gadis itu. Tidak. Emosinya tengah berada pada kondisi yang lebih terpuruk. Kehilangan orang yang ia cintai, menanggung dosa dan kesalahan karena keberpihakannya selama perang ditambah reaksi gadis yang sudah susah payah ia tolong, rasanya kombinasi itu begitu pas untuk membuatnya sekedar melompat dari lantai 4 gedung rumah sakit muggle itu.
Namun untungnya Draco masih punya akal sehat untuk menahan semua ketidakwarasannya hingga ia masih bisa melangkahkan kakinya dengan benar menuju ke tempat dokter berjaga. Ia berbicara sesopan dan setenang yang ia bisa, meminta salah satu dokter untuk memeriksa keadaan gadis itu dan memastikan kondisinya saat ini.
Draco dan dokter itu berjalan beriringan menuju ke kamar tempat sang gadis dirawat. Namun alih-alih mendampingi dokter itu sampai di dalam, Draco memilih untuk menunggu di luar hingga sang dokter terpaksa memasuki kamar pasien sendirian.
Menunggu beberapa saat membuat Draco tenggelam dalam lamunan dan emosinya sendiri. Sebulir dua bulir air mata menetes menerjang. Ia berjongkok sambil memegangi wajahnya sendiri, sedikit tersengal karena ia memaksakan untuk menahan agar tidak ada seorangpun yang mendengarkan suaranya menangis.
Sebuah sentuhan ringan menyadarkan Draco. Ternyata dokter itu sudah selesai memeriksa. Draco bangkit dan menyeka kasar air matanya.
"Anda kenapa, Master?" tanya dokter wanita setengah baya itu dengan lembut. Memaksakan sebuah senyuman, Draco menggelengkan kepalanya lemah sambil menghirup oksigen dalam-dalam.
"Kondisi Miss Potter secara fisik sudah stabil, namun kurasa emosinya masih labil. Namun secara umum kondisinya sudah baik dan ia sudah boleh pulang hari ini," dokter itu kembali tersenyum dengan sorot keibuan yang memancar hangat, mengingatkan Draco akan seseorang, Mothernya.
Draco terdiam mendengar kata 'pulang ' yang diucapkan dokter itu. Pulang ke mana? Ke manornya? Ia tidak yakin jika ia masih bisa mempertahankan kewarasannya jika memutuskan untuk tinggal di manornya. Dan juga, ia sudah bertekad untuk tidak kembali di dunia sihir selama-lamanya. Ia ingin melupakan semua masa lalu dan trauma yang begitu menyiksa. Memulai sebuah kehidupan baru di dunia muggle yang dulu sangat membuatnya alergi. Namun sekarang ia tak punya pilihan lain. Hanya dunia muggle yang bisa menjadi tempat tertoleransi baginya.
Hanya saja ia begitu asing dengan semuanya. Banyak hal yang sangat tidak ia mengerti. Serta tempat tinggal. Hell, dia belum sempat berpikir sejauh itu. Dia bahkan kini tidak membawa apapun. Hanya pakaian lusuh yang ia kenakan dan uang muggle yang sempat ia tukarkan di Gringgots sesaat sebelum ia meninggalkan dunia sihir sehari yang lalu.
Draco masih termenung di posisinya, membuat dokter itu menatapnya iba.
"Nampaknya kau punya masalah berat, Master. Jika anda tidak keberatan, aku ingin mentraktirmu minum kopi. Miss Potter kulihat kembali tidur, jadi kupikir meninggalkannya sebentar tidak jadi masalah."
"Terima kasih Dokter … tapi aku …"
"Panggil saja Sarah … ayo, waktu luangku tidak terlalu banyak," dokter itu tersenyum kemudian berjalan memimpin di depan, sementara Draco mengurungkan niat penolakannya dan hanya mengekor di belakang dokter itu dalam diam.
….
Tentu saja hampir setengah cerita yang Draco beberkan kepada Dokter Sarah hanyalah hasil bualannya. Tidak mungkin ia bercerita bahwa dirinya dan Harry adalah seorang penyihir yang selamat dari peperangan. Itu sama saja menggadaikan kepercayaan seorang muggle dengan sia-sia.
"Jadi Miss Potter kehilangan sahabat dan orang-orang yang ia cintai, begitu juga kau," Dokter Sarah menghela nafas panjang.
"Kecelakaan sebesar itu, mengapa aku tidak pernah mendengarnya di berita manapun?" ucap Dokter itu kembali, lebih seperti gumaman.
"Saya tidak tahu Dokter, mungkin karena lokasinya terlalu pelosok, jadi …"
"Aku tidak peduli, yang penting nasip kalian sekarang,"
" Kau punya tempat tinggal?" tanya dokter itu kembali, Draco hanya menggeleng pelan.
"Aku punya sebuah apartemen kecil, mungkin kau bisa menggunakannya sementara. Juga untuk menyembuhkan trauma Miss Potter. Kurasa kau bisa menggunakannya cuma-cuma," papar Dokter itu panjang.
Draco melotot tidak percaya pada apa yang didengarnya. Ia akhirnya mendapatkan tempat tinggal di dunia muggle. Dengan cuma-cuma.
"Terima kasih, Dokter…"
"Sudah berapa kali kuminta memanggilku Sarah saja. Oiya, aku mungkin bisa mengusulkan kepada suamiku untuk mencarikanmu pekerjaan. Kebetulan suamiku mengelola sebuah supermarket. Semoga ada formasi untuk pramuniaga," tambah dokter itu. Draco semakin bersyukur mendengar ucapannya.
…
"Aku tak masalah jika kau mati, Potter. Tapi apakah kau pernah memikirkan orang-orang yang sudah mengorbankan hidupnya demi mempertahankanmu?" ucap Draco jengah setelah hampir puluhan kali mendengar gadis itu, Harriet Joana Potter, gadis yang bertahan hidup, sang pahlawan dunia sihir berbicara tentang ketidakinginannya untuk hidup saat ini.
Harry, gadis itu terdiam selama beberapa saat. Namun kemudian isakan kecil lolos dari bibirnya.
Draco menghentikan aktivitas merapikan baju ganti milik Harry yang dibelinya di supermarket tak jauh dari rumah sakit.
"Jangan merasa menjadi orang yang paling menderita, Potter. Kau membuatku tidak seperti tengah melihat dirimu," Draco memasukkan baju beserta beberapa bungkus biscuit yang masih tersisa ke dalam sebuah tas gendong sedang. Jangan tanya mengapa pemuda itu mau bersusah payah untuk tidak berurusan dengan sihir sama sekali. Boleh dibilang ini adalah salah satu usahanya untuk bisa melepaskan diri dari semua memorinya di masa lalu.
Sementara Harry sudah tidak terisak lagi, namun sekarang wajahnya berganti dengan ekspresi kosong. Ia hanya menatap tanpa berkedip pada jendela kamarnya yang terbuka, menghembuskan angin yang sejuk menerpa wajahnya.
Draco memandang Harry dan menghela nafas dalam.
"Bukan hanya kau yang kehilangan orang-orang, Potter," Draco berhenti sejenak saat ia tidak menemukan reaksi berarti pada diri Harry atas ucapannya barusan.
"Kau mungkin cukup dengan perasaan kehilanganmu saja. Itu sangat berbeda denganku," lanjut Draco sambil berjalan mendekat ke ranjang Harry. Sementara gadis itu tetap pada posisinya, tanpa berpaling sedikitpun.
"Potter …. Aku menyesal menjadi pengecut bodoh yang hanya bisa lari dari perang. Tapi mungkin takdir yang memilihku untuk tetap meneruskan hidup. Kita sama, Potter. Aku juga sempat ingin meloncat dari lantai 4. Tapi kalau semuanya berarkhir seperti itu, aku tidak akan menebus kesalahanku," hening dan Draco perlahan mendudukkan dirinya di samping Harry, turut memandangi jendela dan merasakan hembusan sejuk dari sana.
"Kau dan aku. Aku tidak tahu siapa lagi yang mungkin masih hidup di sana. Tapi aku tidak mampu lagi melakukan pencarian saat aku menemukanmu. Aku sudah begitu putus asa saat melihat dirimu yang bahkan seorang …"
"Hentikan, Malfoy! Aku tidak mau mendengar omong kosong dari orang brengsek sepertimu," ucap Harry sambil memandang Draco dingin. Emosinya terhadap Draco nampaknya kembali meningkat dengan drastis.
Draco kembali hanya bisa menghela nafas dalam. Ia menunduk menyembunyikan sakit hati dan air mata yang siap meluncur.
"Kita harus segera meninggalkan kamar ini. Aku sudah mengurus semua akomodasinya. Setengah jam lagi kamar ini akan ditempati pasien lain," beringsut dari ranjang, Draco meraih tas gendongnya , menyampirkan di bahu sambil membenarkan letak kemeja putih sederhana yang juga baru dibelinya bersama dengan baju ganti Harry.
"Aku tahu aku brengsek, tapi kuharap kau mau menuruti kata-kataku kali ini. Nanti kau bisa memakiku sepuasnya setelah kita keluar dari rumah sakit," ucap Draco, Harry kembali menatap pemuda itu penuh kebencian.
"Aku tidak sudi, Malfoy!" satu kalimat meluncur dengan lancar dari bibir gadis itu.
"Apa kau mau pulang ke rumah keluarga mugglemu?" Draco masih mencoba bersabar dan menahan diri.
"Tidak," jawab Harry singkat.
"Potter, kau jangan semakin mempersulit semuanya,"
"Aku ingin pulang ke Hogwarts, aku akan menolong Ron, 'Mione, Ginny, Neville, Seamus, …"
"Sadarlah, bodoh!" bentak Draco tak kuat menahan emosinya.
"Aku tidak tahu kalau jiwa hero complexmu itu begitu mendarah daging, tapi aku yakin kalau itu adalah usaha bunuh diri yang paling efektif untuk segera mengakhiri hidupmu, karena meskipun kau berhasil mengalahkan Dark Lord, tapi tidak ada jaminan para pengikutnya, death eater yang tersisa akan melepaskanmu! Camkan itu Potter!" Draco berjalan menuju pintu dan membantingnya dengan keras. Pikiran pemuda itu sangat kusut. Ia saat ini tidak mampu berpikir jernih, sangat tidak mampu.
Berbicara dengan Potter membuat emosinya semakin meledak. Dia tahu bahwa pemikirannya dan pemikiran Potter selalu berseberangan. Tapi kali ini Potter begitu keterlaluan.
Draco bersandar di dinding lorong rumah sakit dan berusaha menenangkan ledakan emosinya. Entah mengapa keinginannya untuk terjun dari lantai 4 kembali muncul dan jauh lebih besar dari sebelumnya, seakan rasa ini bisa menghimpitnya dalam ruang keputusasaan.
Pemuda itu terdiam beberapa saat, mengacak rambutnya frustasi kemudian berdiri untuk kembali memasuki ruang tempat Harry dirawat.
'Persetan dengan pemikiran Potter sialan itu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga dia tetap hidup, dengan cara apapun,' Draco masuk ke kamar itu dan langsung menghampiri Harry yang masih duduk termenung. Gadis itu nampak begitu kaget, terlebih saat Draco menarik kasar tangannya hingga ia tersentak dan hampir jatuh.
"Tidak ada sihir, Potter! Ingat, kita di dunia muggle. Lawan aku dengan kekuatan fisikmu!" ucap Malfoy mengintimidasi.
"Lepaskan brengsek. Pengecut gila. Jangan pegang tanganku, pecundang!" teriak Harry histeris, sementara Draco sama sekali tidak bergeming dan tetap menyeret gadis itu tanpa kata.
"Tolong …" teriak Harry membuat beberapa petugas dan security mendekati keduanya. Draco nyaris menjadi bulan-bulanan massa, namun secara kebetulan Dokter Sarah melintas dan ia memberikan pejelasan kepada semua orang. Dokter Sarah juga menasehati Draco agar lebih sabar menghadapi Harry.
….
Segila-gilanya Harry ia masih bisa mengendalikan dirinya untuk tidak menggunakan sihir di dunia muggle. Ia tidak ingin menjadi bahan perhatian muggle yang tidak tahu apa-apa tentang sihir miliknya.
Karena itu Harry hanya bisa diam saat Draco tetap menggandeng tangannya erat. Pemuda itu sempat kebingungan melihat kendaraan yang berseliweran di jalan raya padat pagi itu. Namun ia sudah mulai terbiasa dengan semua benda ganjil muggle yang terlihat sangat aneh di matanya. Sejak ia memutuskan untuk hidup di sana, Draco sudah memutuskan untuk melakukan adaptasi besar-besaran.
Draco bertanya kepada seorang gadis muggle yang terlihat jelas tidak dapat menyembunyikan kekaguman pada sosoknya. Namun Draco tidak sempat berpikir ke sana. Fokusnya adalah mendapatkan sesuatu yang dapat membawanya dan Harry menuju ke alamat yang dituliskan oleh Dokter Sarah. Gadis itu sendiri sempat merasa aneh dan berpikir bahwa Draco berasal dari planet lain karena ketidaktahuannya tentang mendapatkan taksi, cara membayar dan sebagainya.
….
Apartemen yang dimaksud berada di lantai 8, tidak terlalu luas dan masih sangat kotor. Beruntung Draco sudah banyak belajar tentang fungsi lift saat berada di rumah sakit, sehingga kondisinya sekarang tidak terlalu memalukan. Masih menggandeng tangan Harry, Draco memeriksa seluruh ruangan dan perabot yang ada di tempat itu dengan jelas. Dua kamar tidur lengkap dengan kasur single yang spreinya nampak begitu kumal dan berdebu, satu dapur lengkap dengan instalasi gas dan beberapa perabot makan, satu kamar mandi dengan satu closet duduk dan shower namun minus bathtub, ruang tamu yang tidak terlalu luas dengan satu set sofa hitam yang juga begitu berdebu, dan ruang makan yang hanya dilengkapi dengan meja dan dua kursi berhadapan.
Draco menghela nafas dalam. Batinnya tengah membandingkan kondisi apartemen itu dengan manor miliknya. Sungguh tidak ada apa-apanya.
Draco berbalik dan menemukan Harry tengah memandang kosong pada keseluruhan isi apartemen itu.
"Ini menjadi tempat tinggal kita sementara, Potter," gumam Draco kemudian melepaskan gandengan tangan mereka. Harry tersentak saat kehangatan tangan Draco meninggalkannya. Gadis itu tetap berada di posisinya. Nampak enggan sekali untuk beranjak.
Melihat kondisi itu Draco berinisiatif mencari kemoceng, sapu, maupun lap yang bisa ia gunakan untuk memulai proses pembersihan. Ini sungguh memalukan karena seumur hidup ia belum pernah memegang benda-benda yang baginya sangat menjijikkan itu. Tapi apa boleh buat, bukankah tekadnya sudah bulat? Maka satu pesatu kata-kata keramatnya dulu mulai ia hapus dari pikiran, termasuk kata 'menjijikkan'. Baginya sekarang, kehidupan itu lebih penting dari hanya sekedar mematok pada tampilan luar. Sungguh tidak masuk pada logika sehatnya.
Pemuda itu mulai membersihkan satu space di sekitar sofa. Tangannya bergerak lincah untuk mengelap debu yang menempel pada sofa kulit itu dengan air bersih yang berhasil ia dapatkan. Entah membersihkan sofa yang terbuat dari kulit menggunakan air adalah tindakan yang benar atau bukan, tapi yang jelas Draco merasa puas karena metodenya itu ia rasa cukup efektif menyingkirkan semua debu secara permanen. Beberapa kali ia harus mengganti air, namun ia tak merasa berat.
"Selesai!" kata Draco seraya memandangi hasil kerjanya. Ternyata begitu memuaskan saat bisa menyaksikan hasil kerjamu secara langsung.
'Aku baru menyadarinya,' gumam Draco dalam hati.
"Potter, kau duduklah di sana sembari menungguku membersihkan apartemen ini," Harry tidak menjawab, tapi langkahnya terlihat patuh dan ia segera duduk di salah satu sofa, kemudian kembali memandangi jedenla kaca yang terlihat begitu luas saat korden di buka.
Draco tidak mengeluarkan komentar apapun. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu untuk memulai misinya secara keseluruhan.
(mungkin) TBC
Mohon Review.
Terima kasih.
