Hanya fic iseng untuk memulihkan WB akut saya. Maaf kalau ada kesalahanan karena saya baru ngikutin animenya saja, belum sampai ke manganya.

Warning : Fem!Midoriya. Midoriya Female ver tetapi saya tidak merubah namanya. Krn mnrt saya, nama Midoriya Izuku terasa sedikit feminim. Karena saya msh ada digaris keras straight pairing tetapi baca juga BL sih. Eh tumben gue pake "saya". Wkwk.

.

.

.

CHANGE

©Boku No Hero Academia by Horikoshi Kouhei.

CHANGE by Usei.

Chapter I : Responsibility

.

.

.

Midoriya Izuku's POV.

.

.

.

"Sisi kirimu kadang terlihat mengerikan, Ibuku berkata seraya menyiramkan air mendidih kepadaku."

"Aku tidak akan menggunakan sisi kiriku dalam pertempuran. Itu adalah deklarasi bahwa aku menolak keberadaan Ayahku."

Dia bagaikan tokoh utama sebuah komik dengan latar belakang seperti itu. Hanya seorang aku yang mendengarnya dengan jelas. Seorang aku, seorang Midoriya Izuku yang bahkan tak memiliki bakat murni. Apa yang dapat aku katakan mengenai semua kenyataan ini ? Hanya sebuah gumaman pernyataan perang kepadanya entah dalam arti seperti apa, aku pun tak mengerti.

Semenjak kejadian itu pula, dilema diantara aku dan dia mulai menerpa bagai hujan es yang dibuatnya.

.

.

.

.

.

.

"Pertandingan babak kedua dimulai!"

Gemuruh suara penonton festival olahraga Yuuei saat itu menambah adrenalin para peserta yang lolos di babak seperempat final. Dibandingkan dengan kegemparan yang terjadi tersebut, kepalaku terus terisi dengan pembicaraanku dengan Todoroki-kun. Beberapa saat lalu, aku berpapasan dengan Endeavor, sang Ayah pemilik quirk half-cold-half-hot itu. Sang pahlawan no 2 tersebut berkata bahwa pertarungan antara aku dan Todoroki-kun adalah sebuah ujian yang bagus untuk anaknya.

Aku tidak akan kalah darimu, Todoroki-kun. Dalam hati kubergumam seraya berjalan menyusuri lorong menuju area pertandingan sesaat setelah namaku dipanggil oleh si MC nyentrik berquirk suara itu. Kumendengar nama kami disebut lantang disertai excitement akan ekspektasi tinggi hiburan yang mereka akan tonton sesaat lagi. Sesampainya di arena, aku memandangnya dengan jeli. Menatap tajam tanpa gentar. Begitu pula dirinya kepadaku.

Todoroki Shouto-kun. Berulang kali. Beruntun. Semakin kuat dan kuat. Aku berusaha menahannya dengan memfokuskan kekuatan One for All pada jari-jariku disetiap serangannya. Sebagai seorang wanita, fisikku mungkin memang lemah tetapi tekadku tak akan kalah darinya meskipun motivasiku dibandingkan dirinya berbeda bagai langit dan bumi. Tak ada satupun serangan lalai darinya. Ia serius. Sangat. Kemarahan jelas terasa ditatapan matanya ketika kuberkata bahwa ia harus bertarung mengerahkan seluruh kekuatannya. Semakin jelas amarahnya ketika tubuhnya mulai gemetar akibat kekuatan esnya sendiri. Tubuhnya mulai membeku dan melambat. Ia mengira aku telah diperbudak oleh Ayahnya hanya karena aku mengungkap kenyataan tentang apa yang terjadi pada pertarungan ini.

Aku kesal. Sesak rasanya. Apalagi ketika mengetahui bahwa ia bermain-main disini. Semuanya, teman-teman, bertarung dengan sekuat tenaga! Tetapi dia berkata dengan seenaknya ingin menang hanya dengan mengandalkan sebagian kekuatannya ? Jangan bercanda, hei, Todoroki-kun! Apapun masalah yang kau hadapi sampai saat ini, kau tak berhak menodai perjuangan kuat teman-teman! Demi semua orang yang telah mendukungku selama ini, aku akan membuatmu sadar apa yang baru saja kau katakan adalah kesalahan besar!

Ia berseru dengan amarah pada suaranya yang redam, "Seluruh kekuatanku, katamu!? Jangan bercanda. Pasti ayahku sudah menyuapmu dengan uang atau semacamnya. Menyebalkan sekali. Aku akan mengakhiri semua ini secepat mungkin."

Beberapa kali, aku berhasil mendaratkan pukulan pada tubuhnya hingga terlempar jauh dari hadapanku. Ekspresi wajahnya semakin membingungkan di setiap langkahnya. Aku menyerukan konfrontasi tentang dirinya di hadapannya. Bongkahan-bongkahan es itu seakan membekukan hatinya selama ini, hingga tubuh dan pikirannya tak menerima kenyataan. Kebencian pada sang Ayah membakar pandangannya ke depan hingga tertutup kabut asap tebal.

"Semua itu! Bukankah semua itu kekuatan milikmu sendiri!?

Kedua matanya membelalak, terkejut, saat mendengar ucapanku. Pandangan matanya menyusuri masa lalu dan menemukan jati diri. Sesaat itu pula, kobaran api menyatu dengan sebagian dirinya. Panas dan cahaya terangnya begitu indah hingga membuatku terpana. Tubuhnya yang sebagian membeku, kini, telah mencapai keseimbangan. Ia menjadi sesempurna Todoroki Shouto yang seharusnya.

"Terima kasih, Midoriya."

Setelahnya, hanya pandangan berbayang yang terlihat. Gelap dan dingin.

.

.

.

.

.

Setelah festival olahraga Yuuei, proses belajar diliburkan beberapa hari. Aku memanfaatkannya untuk memulihkan diri sehabis pertandingan melawan Todoroki-kun. Recovery girl berkata aku tidak boleh bertarung sembrono lagi karena tubuhku mungkin tidak akan sanggup untuk memulihkan diri jika terjadi luka yang sangat parah seperti kemarin. Di tanganku terdapat bekas luka yang begitu nyata sebagai tanda pertarungan menyakitkan melawan Todoroki-kun.

"Terima kasih, Midoriya."

Todoroki-kun...

Kenapa kau mengucapkan terima kasih saat itu? Kau.. Kau tidak mengerti...

Drrrt drrrt.

Ponselku bergetar di atas meja belajarku. Aku meraihnya dan menatap layar ponsel.

"Eh?"

Sebuah email masuk dari alamat email yang tidak diketahui. Sebuah nama tertera di akhir email tersebut.

From : (Address tidak dikenal)

Subject : (none)

Ada yang ingin aku bicarakan denganmu saat masuk sekolah nanti.

Todoroki Shouto.

Apa? Todoroki-kun? Kenapa? Hal apa lagi yang ingin dibicarakannya?

.

.

.

.

.

Hari ini kami hanya sibuk memikirkan code name hero kami untuk dipergunakan di panggung profesional. Aku sendiri memilih code name "Deku" seperti yang selalu Kacchan serukan kepadaku. Namun, bukan "Deku" yang tidak bisa apa-apa, tetapi "Deku" yang penuh semangat! Meskipun begitu, deku yang penuh semangat ini tetap saja merasa risih, apalagi ketika kedua bola mata hetero itu menatapku dari kejauhan. Aku tak dapat menebak apa yang ingin dibicarakannya. Sama seperti ketika ia mengajakku bicara setelah calvary battle usai. Satu hal yang kuketahui, ia ingin berbicara denganku berdua, sepulang sekolah.

Selesai masa belajar hari ini, Iida-kun dan Uraraka-san mengajakku pulang bersama tetapi aku menolak dengan alasan ada urusan di ruangan guru. Aku terdiam di kelas hingga semua temanku menghilang dari pandangan kecuali orang itu. Beberapa menit terlewati dengan hanya berdua saja, duduk berjauhan tanpa saling menyapa. Suara geseran bangkunya terdengar jelas sesaat sebelum ia tiba di hadapan mejaku. Aku memandangnya gusar, risih.

"A-Apa lagi yang ingin kau bicarakan, Todoroki-kun?"

Aku ingat, aku sama sekali tak membalas email yang ia kirim kepadaku beberapa hari lalu. Sebabnya? Aku pun tak tau. Aku hanya merasa gelisah pada diriku sendiri.

Pandangan matanya tak setajam dulu. Bola matanya sedikit lebih sendu tetapi sinarnya lebih tenang dan dalam. Berbeda sekali. Bertolak belakang dengan saat ia menantangku bahkan ketika ia mengintimidasi saat menginterogasi apakah aku terlibat hubungan khusus dengan All Might. Pandangan matanya terasa... damai. Meskipun begitu, sikap kalemnya tetap kental.

"Terima kasih atas dukunganmu saat aku melawan Bakugou," ucapnya cepat, tanpa berbasa-basi. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku begitu mendukungnya saat itu. Apakah karena aku dapat melihat kesedihan yang ia alami, beserta keinginan dalam dirinya? Kurasa bukan hanya itu. Tetapi juga karena aku merasa bersalah pada dirinya.

"Seharusnya kau tak perlu berterima kasih padaku, Todoroki-kun. Aku.."

"-tetapi maaf," potongnya, sebelum aku menyelesaikan kalimatku, "...aku tak dapat mengerahkan seluruh kekuatanku saat itu. Pasti Bakugou... merasa kesal.."

Aku juga tak menyangka pada detik terakhir sebelum Kacchan mengeluarkan serangan pamungkasnya, Todoroki-kun memadamkan quirk apinya. Sungguh mengejutkan.

"... Apimu.. sungguh indah, Todoroki-kun. Maaf jika kau merasa tersinggung. Saat melihatnya, aku merasakan bahwa.. ya, mungkin, aku sudah salah mengambil langkah. Aku memikirkan diriku sendiri. Aku merasa kesal karena melihatmu seperti itu. Aku minta maaf karena telah menginjakkan kaki ke wilayah yang seharusnya tak kuinjak. Tak seharusnya kau berterima kasih padaku," jelas aku tanpa helaan nafas. Aku memandang mejaku. Mengepalkan kedua tanganku. Rasanya sesak.

"Dalam ingatanku, ibuku selalu menangis."

Ucapannya itu menjadi tombak penyesalan yang aku rasakan.

Ia hanya memandangku dalam diam. Entah apa yang ia pikirkan saat aku mengatakan semua itu. Pasti ia merasa aku orang yang plin plan. Nyatanya, aku pun bingung harus bagaimana. Karena seharusnya aku tak berhak ikut campur. Tetapi melihat sosok menyedihkannya, aku merasa tidak dapat tinggal diam. Keegoisan ini sudah merajalela.

"Sudahlah," ucapnya singkat. Apa maksud ucapannya?

Ia memandangi tanganku yang mengepal diatas meja. Ia mengerutkan dahi.

"-Aku minta maaf soal itu," bola matanya masih mengarah ke tanganku, menegaskan pandangannya pada luka-luka tangan yang kualami.

"A-Ah, ini.. bukan salahmu kok. Aku saja yang belum cukup kuat. Masih tak bisa mengendalikan kekuatanku. Pada akhirnya, hanya menghancurkan tubuhku sendiri. Padahal aku ini kan wanita ya! Bagaimana nasibku di masa depan, ahahaha."

Tawa yang dibuat-buat untuk mencairkan suasana. Namun dirinya bergeming. Masih memfokuskan diri pada ekspresi wajahku yang mungkin terlihat aneh di matanya.

Ia menghela nafas singkat.

"Aku akan bertanggung jawab."

Ha?

"A-Apa maksudmu dengan bertanggung jawab?"

Kenapa ekspresi wajahnya itu tak pernah berubah? Apa yang sebenarnya ia pikirkan?

"Bertanggung jawab atas dirimu."

Lagi, aku tak mengerti apa sebenarnya tujuan ia mengajakku bicara. Aku rasa aku terlalu banyak berpikir sehingga tak menyadari sesuatu telah berubah dari diri seorang Todoroki Shouto.

.

.

.

TBC.

.

.

.

.

Next chapter.

"Midoriya. Bisakah kau sedikit lebih mendekat?"

"Dasar hanbun-yaro! Jangan macam-macam denganku! Aku akan menjadi nomor satu dan mengalahkanmu!"

"Maksudnya, mengalahkan Todoroki dari hati Midoriya? Hahaha. Kau mana bisa, Bakugou!"

"Uruseee! Bukan itu! Aku tidak peduli dengan kuso-onna-deku!"

"Hahahaha, kenapa kau tidak mengaku saja sih kalau sebenarnya kau cemburu gara-gara Todoroki yang mulai mendekati Midoriya?"

"Kubilang bukan itu! Tutup mulutmu atau kubunuh kau, Kirishima!"

.

.

.

Ceritanya ini diawali dr pertandingan midoriya vs todoroki. gue suka bgt part itu, jd gue masukkan sbg ide utama. Maaf kalau banyak kekurangan. Untuk fic gue yang lain, masih diusahakan. Gue lg menggebu BnHA sih. hahaha. Jaa mata ne.