Sekuel Hermione, My War Trophy ini didedikasikan untuk genevhyn, Moku-Chan, ochan malfoy, Delfoy, Prof. Editor Cat Miauz, Narumi Key Katsushika, cla99, puji . rahma. 121, Eichel Kurosaki dan para reviewer.


Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Rabastan Lestrange.

Warning: Harry Potter dan Orde Phoenix kalah. Dunia sihir berada dalam zaman kegelapan.

Rating: T


Sedari kecil, aku sudah menyadari kalau jalan hidupku sangat jauh berbeda dibandingkan teman-teman sebayaku. Selain memiliki rasa ingin tahu luar biasa serta kepintaran di atas rata-rata, aku juga punya talenta supranatural yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Bakat khusus itu tak ayal membuatku diasingkan oleh lingkungan sekitar karena dianggap aneh dan abnormal. Kemampuan ekstra tersebut juga sempat membuatku bertanya-tanya; jika aku tak diakui di dunia ini, di manakah seharusnya keberadaanku berada?

Jawaban pasti seputar keistimewaan itu baru terkuak saat aku menerima surat undangan masuk ke sekolah sihir paling terkenal, Sekolah Sihir Hogwarts.

Fakta bahwa diriku merupakan seorang penyihir sempat membuat orangtuaku terheran-heran. Mereka tak mengira kaum penyihir yang di Abad Pertengahan dianggap sebagai pelayan setan serta harus dibakar hidup-hidup ternyata memiliki komunitas, sekolah, bahkan Kementerian Sihir tersendiri.

Aku sendiri sangat antusias menanggapi undangan tersebut. Akhirnya, aku berkesempatan memulai petualangan di dunia sihir, dunia yang berada di luar batas imajinasi serta fantasi manusia. Bayangkan, perjalanan magis yang selama ini hanya bisa kubaca di buku dongeng Alice di Negeri Ajaib kini terjadi padaku.

Berbekal harapan muluk, dengan hati berbunga-bunga aku melangkahkan kaki di gerbang depan Hogwarts yang diapit patung babi bersayap. Saat itu, aku sama sekali tak mengira bahwa petualangan di rimba sihir akan menuntunku menuju lika-liku percintaan dengan suamiku sekarang.

Panglima Perang Pelahap Maut, Rabastan Lestrange...


"Ssst, tenang Little One. Jangan melawan."

Bujukan pelan bercampur hembusan napas hangat itu membuatku berjengit. Bertolak belakang dengan Pelahap Maut lain yang tak segan-segan menghajar serta memperlakukan sandera mereka dengan semena-mena, penyanderaku ini bersikap santun dan terhormat.

Kendati aku berontak mencoba melepaskan diri, ia ngotot bertahan dalam posisinya semula. Tetap memerangkapku dalam kelembutan yang sangat jelas terlihat. Todongan tongkat sihirnya di batang leherku juga terbilang longgar. Tak seperti Pelahap Maut lain yang tega menancapkan tongkat sihir mereka keras-keras ke tenggorokan teman-temanku.

Aku sedikit gemetar saat tangan kokoh yang melingkar di perutku memberi sedikit tekanan, membuat punggungku kian merapat ke dada bidangnya. Di telingaku, debur jantungnya terdengar tak beraturan, mengindikasikan pertarungan kuat antara hasrat dengan akal sehat.

Tindak-tanduk ganjil itu terus terang membuatku sangat penasaran. Memberanikan diri, aku menoleh ke belakang, memandang dengan sorot mata membangkang. Saat tatapan kami bertabrakan, aku melihat bola mata sehitam bulu gagaknya terbelalak. Lintasan keterkejutan, pemahaman dan tekad terpancar dari pupil tajam yang sekelam malam tak berbintang.

Belum sempat mencerna makna di balik penglihatan itu, aku terlonjak saat jari tangannya menyingkap rambut cokelat lebatku yang terurai berantakan. Sesaat kemudian, sapuan napas harumnya yang menderu berhembus di kupingku. Seakan belum cukup, bibirnya tanpa permisi menciumi serta membelai lekuk tulang pipiku.

Perlakuan mesra itu seharusnya membuatku terhina. Tapi anehnya, tak ada satupun rasa terlecehkan bersarang di benakku. Mungkin karena tindakannya lebih bersifat keintiman antar kekasih dibandingkan aksi pelampiasan syahwat semata.

Jika kuingat-ingat, keabnormalan perilaku Pelahap Maut ini sudah terjadi ketika aku bertempur melawan gerombolannya di deretan rak penyimpanan bola ramalan di Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris, beberapa saat lalu. Tatkala itu, ia seperti terhipnotis menonton pergerakanku hingga seolah-olah tanpa sadar mencopot topeng perak yang membungkus wajah menawannya.

Segala pikiranku yang bercabang-cabang terpangkas ketika teriakan gembira membelah udara. Lengkingan mencekam yang ternyata berasal dari mulut wanita berparas menakutkan yang sedari tadi menyekap sahabatku, si pelupa Neville Longbottom.

Menyodok ulu hati Neville kuat-kuat hingga terjerembab, penyihir gila tersebut berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut sekelebat cahaya putih yang memasuki arena pertempuran.

Menyaksikan kedatangan sinar putih keperakan itu, aku mengucap syukur tak terkira. Rupanya, anggota Orde Phoenix sudah tiba dan siap menolong kami keluar dari perangkap mimpi buruk ini.

Usapan lembut dan ciuman posesif di rambutku memupus kebahagiaan yang kunikmati. Mengerang marah, aku bergelut membebaskan diri dari sekapan si Pelahap Maut yang gemar bertingkah kurang ajar ini.

Pemberontakanku terhenti ketika tongkat sihirku yang tadi dirampasnya dijejalkan kembali ke dalam genggaman tanganku. Ekspresi terkejutku rupanya dianggap lucu olehnya. Terlihat ketika seutas senyuman geli terus terukir di wajahnya yang harus aku akui luar biasa menggoda dan menawan.

Mendorong perlahan tubuhku ke samping, Pelahap Maut berkostum serba hitam itu mengedipkan sebelah mata sebelum melesat maju ke gelanggang peperangan.

"Hermione, ayo segera menyelamatkan diri ke ujung dinding," Nymphadora Tonks, penyihir eksentrik yang gemar bergonta-ganti warna rambut sesuai cuaca hati menarik tanganku ke pojok ruangan. Usai memastikan aku dan dua teman perempuanku, Ginny Weasley dan Luna Lovegood aman terlindungi, Tonks kembali melawan sejumlah Pelahap Maut yang menjulang menantang di depannya.

Dengan hati berdebar-debar, aku mengawasi jalannya pertempuran. Seperti besi tertarik magnet, mataku tak pernah lepas mencermati gerak-gerik penyanderaku. Di balik ketenangan sikapnya, Pelahap Maut misterius itu rupanya memiliki kemampuan sihir yang sangat mengagumkan. Dengan mudahnya ia mematahkan pertahanan Kingsley Shacklebolt dan Profesor Alastor Mad Eye Moody; dua anggota senior Orde Phoenix yang paling kaya ilmu sihirnya.

Menahan napas, aku mencermati setiap pergerakan luwesnya yang mencerminkan sosok predator berpengalaman. Di setiap tebasan tongkat sihir, terpancar aura kekuasaan dan determinasi. Dominasi mutlak yang dalam waktu sekejap meluluhlantakkan selubung pertahanan Kingsley Shacklebolt dan kawan-kawan.

Untungnya, di momen rentan seperti itu, nasib mujur masih berpihak pada kami. Lucius Malfoy yang kuprediksi berperan sebagai Ketua Operasi bertindak ceroboh dengan menjatuhkan bola ramalan milik Harry.

Pecahnya bola ramalan Harry membuat situasi berubah total. Pelahap Maut yang lain menguik panik, tampak ngeri menghadapi ancaman kemurkaan yang akan disemburkan bos besar mereka.

Limbungnya semangat bertarung abdi setia Lord Voldemort itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh sejumlah personel Orde Phoenix yang tersisa. Dalam sekejap mata, Lucius Malfoy dan beberapa kompatriotnya berhasil ditundukkan.

Satu-satunya pihak yang belum menyadari bayangan kekalahan di depan mata hanyalah wanita maniak berpelupuk tebal yang tadi menyandera Neville. Menebah membabi-buta, Pelahap Maut berambut keriting itu meneriakkan kutukan mematikan ke sembarang arah.

"Dementor Azkaban rupanya membuat Bellatrix Lestrange makin sinting. Mungkin otak miringnya terserang wabah Wrackspurt di sana," Luna berbisik terkesima di sampingku. Wrackspurt sendiri merupakan makhluk tak terlihat yang mengapung di telinga seseorang dan membuatnya tak bisa berpikir jernih.

Bellatrix Lestrange...

Akhirnya aku ingat siapa sebenarnya penyihir kurang waras yang masih menjerit-jerit kesetanan itu. Bellatrix Lestrange, satu-satunya Pelahap Maut wanita yang empat belas tahun lalu ditawan di Penjara Sihir Azkaban karena terbukti menyiksa orangtua Neville, pasangan Auror andal, Frank dan Alice Longbottom.

Perlawanan tanpa akhir Bellatrix Lestrange terhenti saat tangannya direnggut Pelahap Maut yang sedari tadi menyita seluruh perhatianku. Melihat jemari mereka yang saling bertautan, getaran aneh mendadak menjalari relung hatiku.

Sepertinya, Pelahap Maut misterius itu punya hubungan khusus dengan Bellatrix Lestrange. Terbukti dengan perlindungan menggebu-gebu yang diperlihatkannya. Perlawanan brutal yang membuat Bellatrix Lestrange selamat dari kepungan Kingsley Shacklebolt dan kawan-kawan.

Tikaman perasaan asing itu membuatku tertunduk malu dan memejamkan mata rapat-rapat. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Mengapa aku sempat tak rela jika Bellatrix Lestrange memperoleh perhatian khusus darinya? Mengapa aku harus merasa kecewa jika ternyata mereka memiliki ikatan istimewa?

Padahal, wajar kiranya jika mereka mempunyai ikatan kuat yang tak terpisahkan. Biar bagaimanapun juga, mereka berdua merupakan anggota organisasi hitam yang sama. Sama-sama prajurit pembantai umat manusia yang memiliki prinsip ideologis serupa.

Gelombang pandangan intens dan menusuk membuat bulu kudukku tegak berdiri. Perlahan-lahan, aku mengangkat wajah, memandang lurus ke sumber keresahanku.

Sekali lagi, bola mata cokelat berkilatku bertatapan langsung dengan iris tengah malam yang berpijar menggelora. Melempar senyum penuh arti sebelum berkelebat menghilang, Pelahap Maut misterius itu dengan penuh percaya diri membisikkan kalimat 'kau milikku.'

Kalimat sarat kepemilikan yang sejak detik itu juga efektif menghantui suratan nasibku...


"Rabastan Lestrange, Panglima Perang kepercayaan Kau-Tahu-Siapa. Pria bengis yang bertanggung jawab atas ribuan pembantaian Muggle dan kaum penyihir non-darah murni. Lelaki keji yang terbukti sebagai dalang di balik tragedi malang yang menimpa pasangan Auror papan atas, Frank dan Alice Longbottom."

Ronald Bilius Weasley, salah satu teman laki-laki yang paling aku sayangi membaca cukilan harian Daily Prophet edisi lama dengan suara membahana. Tak menggubris cibiran sinis penjaga perpustakaan, Madam Irma Pince yang sangat membenci keributan sekecil apapun di area kekuasaannya, Ron meneruskan mengeja lembaran kuning yang rusak dan mengelupas.

Rabastan Lestrange...

Mataku tertumbuk pada foto hitam putih yang bergerak-gerak dinamis. Di dalam foto yang diambil di Pengadilan Sihir Wizengamot, Rabastan Lestrange duduk pongah di kursi pesakitan. Kilatan mengejek tampak di matanya. Belitan rantai besar di kaki dan tangannya sama sekali tak mengurangi pancaran supremasi yang melingkupi dirinya.

"Kenapa kau mendadak sangat tertarik pada bajingan ini, Hermione?"

Harry James Potter, satu-satunya harapan dunia sihir untuk terus hidup dalam ketentraman bertanya lambat-lambat. Jemari kurusnya memutar perlahan, memijat bekas luka berbentuk sambaran kilat yang tersamar di balik anak rambut. Akhir-akhir ini, Harry memang sering mengeluh sakit di pelipis. Kondisi tak menguntungkan yang membuatku cemas setengah mati.

"Aku hanya penasaran, Harry. Selain itu, menurut pengamatanku, ilmu hitam Rabastan Lestrange lebih tinggi dari Pelahap Maut lain. Siapa tahu kita bisa mengorek titik kelemahannya," aku memberi penjelasan logis, sengaja menyembunyikan latar belakang ketertarikanku yang sebenarnya.

Ya, bagaimana mungkin aku sampai hati membebani sahabatku dengan permasalahan sesungguhnya? Tentang mimpi-mimpiku yang berkutat seputar si penyihir haus darah?

Sejak insiden di Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris, aku selalu dibayangi bunga tidur tentang Rabastan Lestrange. Di mimpi-mimpi meresahkan itu, Rabastan Lestrange berulangkali memeluk dan menciumiku. Tanpa henti menggumamkan sumpah 'kau milikku'.

"Sihir hitam Rabastan Lestrange memang tak ada duanya," suara gemetar Neville memecah konsentrasiku yang terpusat ke mimpi tiada akhir.

"Nenekku bilang, menurut hasil investigasi Pengadilan Sihir Wizengamot, kerusakan permanen yang diidap orangtuaku lebih banyak disebabkan oleh kutukan tongkat sihir Rabastan Lestrange."

Aku hanya bisa manggut-manggut dan menyerap semua penjelasan Neville. Dari hasil penelitianku di berbagai koran serta tabloid usang, Rabastan Lestrange memang tersohor karena kebiadaban dan kekejaman sistematisnya. Saking brutal dan sadisnya, Lord Voldemort sendiri disebut-sebut selalu menyanjung dan menyebut pria berpostur flamboyan itu sebagai ahli waris sah kekuasaannya.

"Aha! Aku ingat sekarang," Ron menjentikkan jari, mata birunya menari-nari dengan pemahaman nyata.

"Sewaktu aku terkena detensi mengelap semua barang di Ruang Piala, aku melihat tumpukan trofi dan penghargaan yang diraih Rabastan Lestrange. Ternyata, dia merupakan Prefek termuda sepanjang sejarah Hogwarts. Bayangkan, ia menjadi Prefek di tahun keempat. Biasanya seperti yang kita tahu, Prefek hanya bisa dicapai di tahun kelima," Ron menggeleng-gelengkan kepala, lidahnya berdecak-decak tak percaya dalam nada yang berirama.

Mengerutkan dahinya yang nyeri, Harry mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi disimpannya. Selama berbicara, bibirnya terus mengulum ujung pena bulu yang berbentuk pentol korek api.

"Dengan semua keunggulannya, kenapa ia tak mengepalai serangan waktu itu? Mengapa Lucius Malfoy yang bertindak sebagai pimpinan?"

Pertanyaan Harry menghentak kesadaranku. Ya, kenapa Lucius Malfoy yang terpilih sebagai Ketua Operasi? Seandainya Rabastan Lestrange yang mengendalikan serbuan, mungkin kondisi akan jauh berbeda. Bisa jadi sekarang kami sudah mendekam di dalam kuburan.

"Astaga! Mau apa Draco Malfoy dan Theodore Nott ke sini?" Ron bersungut-sungut sebal. Manik Ron yang secerah langit musim panas memicing mengawasi dua siswa Slytherin yang mendekati meja kami. Dari ekor mata, kulihat bahu Ginny berubah tegang sekaku mayat diformalin.

Sesampainya di hadapan Harry, Malfoy tampaknya enggan berbasa-basi. Menghunjamkan tatapan membunuh, pemuda berambut pirang keperakan itu mendesis bengis, membuat dirinya seolah-olah berbicara dalam bahasa ular Parseltongue.

"Mati kau, Potter!"

Intimidasi Malfoy tak membuat Harry mengkerut ketakutan. Menaikkan sebelah alis hitamnya, Harry membalas pelototan tajam putra Lucius Malfoy itu.

"Oh ya? Sampai sekarang, aku lihat diriku masih hidup. Mungkin ayahmu yang akan mati perlahan-lahan di sel pengap Azkaban, Malfoy."

Menggeram berang, Malfoy menggebrak meja. Tak menghiraukan cicit ngeri Neville dan umpatan kotor Ron, Malfoy mengacungkan jari tengah tepat ke wajah Harry yang mendongak menantang.

"Lihat saja, jika Pangeran Kegelapan menang, kau akan mati menderita, Potter!"

Mengedarkan sorot benci ke arahku, Malfoy melanjutkan gertakan, "Kau juga, Darah Lumpur!"

"Jangan banyak omong, Malfoy. Pada akhirnya, kebenaran pasti akan menang," Ginny menyembur kalap. Tangannya terkepal kuat, pundaknya berguncang hebat membendung amarah.

Pernyataan keras Ginny rupanya memancing reaksi Theodore Nott yang sedari tadi bungkam membisu. Melengkungkan senyum mesum, Nott memandangi Ginny dengan tatapan cabul. Dari atas hingga bawah.

"Berhati-hatilah, Weasley. Jika Pangeran Kegelapan berjaya, Darah Pengkhianat sepertimu pasti lebih menderita. Untuk kaum murahan sepertimu, tak ada siksaan yang lebih tepat selain menjadi budak pemuas nafsu Pelahap Maut."

Komentar menjijikkan Nott tak urung membuat kami meraung marah. Ron yang tak terima adik perempuan satu-satunya direndahkan menerjang Nott dan meninju wajahnya. Harry di lain pihak melabrak Malfoy yang mencoba berbuat curang dengan mengutuk Ron di belakang punggungnya.

Menyaksikan perkelahian pecah di area teritorialnya, Madam Pince bergerak sigap. Mengacungkan ujung tongkat sihir, pustakawati yang digosipkan memiliki hubungan rahasia dengan penjaga sekolah Argus Filch itu mengunci pergerakan keempat remaja yang terlibat pertikaian. Usai melontarkan omelan panjang yang meledakkan telinga, Madam Pince menendang kami keluar ruangan.

Merapikan kerah jubah yang kusut dan terkoyak, Malfoy serta Nott mendelik geram. Memegangi hidung mancungnya yang patah dan berdarah-darah, Malfoy memasung kami dengan sorot dendam di mata kelabu pucat yang berkilat jahat.

"Ini semua belum berakhir, Sampah. Aku bersumpah akan membuat kalian mati menderita."

Menjulurkan lidah ke arah Malfoy, Ron mengibaskan tangan, berakting seakan-akan tengah mengusir anjing dekil penuh kurap.

"Sana pergi ngadu ke Daddy, Malfoy!"

Menggemeretakkan gigi, Malfoy mengambil ancang-ancang menyerang Ron dengan sapuan tongkat sihir. Hanya cekalan tangan Nott di lengannya-lah yang membuat pemuda bangsawan itu membatalkan niat jahatnya. Berkomunikasi tanpa suara, Nott mengajak Malfoy untuk kembali ke asrama mereka. Setelah terdiam beberapa saat, Malfoy akhirnya mengalah dan berbalik pergi menuju ruang bawah tanah Slytherin.

"Ugh, berkelahi dengan dua ular norak itu membuat tubuhku lengket dan kotor," Ron mengendus-ngendus jubah kumalnya yang berdebu. "Ayo Harry, kita mandi dulu di Menara Gryffindor sebelum masuk ke pelajaran berikutnya."

Mengangguk mengiyakan, Harry tanpa banyak tanya langsung membuntuti Ron. Hanya Neville yang masih berdiam di posisi semula. Wajah bulatnya yang memerah tampak mengilap dipenuhi keringat ketakutan.

"Hoi, Neville," Ron berteriak sambil melambaikan tangan. "Ngapain kau berdiri bengong di situ? Ayo ikut kami ke asrama."

Seakan-akan tersadar dari hipnotis, Neville langsung beringsut maju. Baru tiga langkah, Neville tiba-tiba mematung. Menolehkan muka bundarnya dari balik pundak, remaja pencinta pelajaran Herbologi itu berujar pelan, "Hermione, sebaiknya kau berbicara empat mata dengan Ginny."

Selesai mengutarakan permohonan yang aku anggap tak wajar, Neville berlari-lari kecil menghampiri Ron dan Harry yang menunggunya di ujung koridor.

"Aneh. Apa kau mengerti maksud perkataan Neville, Gin-"

Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku barusan. Semua yang ingin aku ucapkan terpotong setelah aku menyadari rapuhnya kondisi Ginny saat ini. Ginny, adik kelasku yang tegar dan tak pernah menangis kini terlihat berkaca-kaca. Mengerjap-ngerjapkan bulu mata lentiknya, Ginny menggigit bibir, berusaha meredam tangisan yang menyumbat di tenggorokan.

"Gin, apa yang terjadi?"

"Aku benci dia! Aku sangat membenci Nott dan ayahnya!"

Luapan kemarahan Ginny menyalakan alarm bahaya di kepalaku. Oh Tuhan, apa yang dilakukan ayah Nott sewaktu menyandera Ginny di Departemen Misteri? Mungkinkah hanya Neville satu-satunya pihak yang menyadari kemalangan Ginny?

"Apa ayah Nott melecehkanmu?" aku bertanya kalang-kabut, mataku bolak-balik meneliti keadaan di koridor, memastikan tak ada siapapun yang menguping pembicaraan kami.

Menghambur maju, Ginny memelukku erat-erat. Terbata-bata di sela derai tangis, Ginny membeberkan kembali semua perlakuan nista yang diterimanya dari ayah Nott sewaktu disandera di Departemen Misteri.

Tak hanya meraba-raba seluruh tubuhnya, ayah Nott juga meneror Ginny dengan ancaman bahwa ia harus bersiap-siap melayani seluruh laki-laki di keluarga Nott jika Lord Voldemort berkuasa nanti.

"Pria sakit jiwa," aku menggeram marah, mencatat dalam hati untuk mengebiri ayah Nott jika bertemu muka suatu saat nanti. Hanya pengidap kelainan seksual sajalah yang berminat melecehkan anak di bawah umur seperti Ginny. Meski untuk ukuran tubuh Ginny terbilang bongsor, jiwa juniorku itu belum tumbuh. Ia masih anak empat belas tahun yang tak berdosa.

Mengusap-usap rambut tebal Ginny yang terjurai, aku menggumamkan kata-kata penghiburan. Kata-kata yang walau terlihat jauh di awang-awang aku harap bisa segera menjadi kenyataan.

"Tenang, Gin. Sesuai perkataanmu tadi, kebenaran pasti menang. Kita pasti bisa mengalahkan kegelapan. Kebahagiaan akan menjadi milik kita seutuhnya..."


"Kebahagiaan akan menjadi milik kita seutuhnya..."

Menatap tak berdaya ke arah Ron dan Harry yang tengah adu mulut, aku mendesah lirih sewaktu mengingat janji yang kuutarakan pada Ginny, dua tahun lalu.

Kebahagiaan apanya? Dengan cekcok tak berujung pangkal seperti ini, bagaimana mungkin kami bisa menunaikan amanat mendiang Kepala Sekolah Hogwarts, Profesor Albus Dumbledore untuk mencari seluruh Horcrux Voldemort? Dengan keributan seperti anjing dan kucing ini, bagaimana kami bisa menghancurkan jimat jiwa abadi yang tak jelas keberadaannya itu?

Tadinya, aku mengira benang kusut permasalahan akan terurai begitu kami sukses merebut liontin Slytherin dari tangan Asisten Senior Menteri Kementerian Sihir Inggris, si kodok tua Dolores Jane Umbridge. Tapi, liontin milik ibu kandung Lord Voldemort; Merope Gaunt Riddle itu ternyata menjadi pemicu problem baru.

Ilmu hitam yang dimasukkan Lord Voldemort ke warisan keluarganya membuat pemakainya terbelenggu dalam kemarahan serta kesedihan. Untuk menghapus pertikaian, liontin emas berlambang ular berbentuk huruf S itu tentu harus dihancurkan. Sayangnya, hingga detik ini kami belum mampu membinasakan liontin bermasalah tersebut.

Tak tahan lagi mendengar keributan yang kian menggila, aku langsung berdiri di tengah-tengah Harry dan Ron yang masih berseteru menderu-deru.

"Sudah! Sudah! Hentikan perselisihan tak jelas ini! Harry, serahkan kalung itu padaku. Biar aku yang menyimpannya," aku mengulurkan tangan, mengawasi Harry yang merengut kecut.

Melepas rantai liontin dari batang leher, Harry mengangsurkan salah satu Horcrux terkutuk itu ke tanganku. Pandangan murkanya masih terkunci pada wajah Ron yang memerah marah.

"Hati-hati menyimpannya. Jangan sampai hilang, Hermione."

Mendesah berlebihan, aku mencoba menghitung, menambah, membagi dan mengalikan aneka bilangan. Apapun itu untuk memupus kemarahan membabi-buta yang mulai merajai benak.

"Kau tahu pasti kalau aku tak pernah bertindak serampangan, Harry. Aku pasti menjaga liontin ini."

"Ya, kau memang tak pernah lalai, Hermione," Ron menyela ucapanku. "Satu-satunya kelemahanmu adalah ketidakbecusanmu memasak!"

Cukup sudah! Emosi yang sejak lama kusimpan akhirnya meledak. Seperti Skrewt-Ujung-Meletup kurang makan, aku mencak-mencak tak karuan.

"Kalau begitu jangan dimakan, Ron! Kau tahu kondisi kita saat ini. Jangan berharap banyak untuk makan enak!"

Ron yang sudah uring-uringan sejak awal ekspedisi mencari Horcrux tak gentar menyambut kemarahanku. Membanting dirinya di kursi reyot, Ron meneruskan ejekan dan cemoohan.

"Semua ini tak akan terjadi kalau kau mau mencari tahu lebih banyak tentang benda brengsek itu, Harry!"

Berbalik garang, Harry memelototi Ron. Mata hijau zamrudnya menyala karena terluka.

"Jadi, ini semua salahku, begitu? Bukankah kau sudah tahu apa konsekuensinya ketika mengikutiku dalam petualangan ini?"

Menyilangkan tangan di dada, Ron meluapkan seluruh kekesalan yang dimilikinya. Kursi reyot yang ditungganginya hampir melesap jatuh sewaktu bentakan gahar terlontar dari mulutnya.

"Kau itu si Anak yang Terpilih, Harry. Seharusnya kau-"

Teriakan beroktaf tinggi yang melompat dari mulutku menghentikan ejekan Ron. Menatap gusar, aku membanting liontin hingga menancap di tanah berlumpur.

"Hentikan semua ini! Aku sudah muak dengan sikap kekanak-kanakan kalian!"

Menyibak tirai tenda, aku langsung berderap keluar, tak memedulikan peringatan khawatir Harry yang memintaku untuk segera kembali ke tenda. Ditempa kemarahan, tungkaiku bergerak kencang menerobos pepohonan. Setelah lima belas menit melesat cepat, kelelahan akhirnya menimpaku.

Beranjak ke bibir sungai kecil yang mengalir tenang, aku menghenyakkan diri di bebatuan. Menaikkan kedua kaki, aku melingkarkan tangan di lutut, mencoba sekuat mungkin tak bertingkah cengeng gara-gara hal sepele seperti ini.

"Satu-satunya kelemahanmu adalah ketidakbecusanmu memasak!"

Komentar miring Ron membuat hatiku mendidih panas. Melempar gumpalan batu ke sungai, aku bersungut-sungut pelan. Memangnya kenapa kalau aku bego dalam soal memasak? Memangnya kenapa kalau masakanku tak enak? Hanya tinggal melahap saja apa susahnya sih? Begitu saja kok repot!

"Hei, kau lihat riak air sungai itu, Greyback? Seperti ada seseorang yang melemparinya dengan kerikil."

Geraman berat disertai hembusan bau bangkai membuat tanganku terhenti di udara. Pelan-pelan, kuletakkan kembali onggokan kerikil kecil di tempatnya semula. Mendekap mulut dengan kedua tangan, aku berusaha untuk tak menjerit ketakutan. Tak jauh di hadapanku, segerombolan pria berbaju kotor berjalan mendekat. Beberapa di antara mereka membopong sejumlah tawanan yang menangis meronta-ronta.

Snatcher!

Aku mengutuki diriku sendiri karena mengendurkan pengawasan. Berharap semoga Mantra Perlindungan masih menaungi lokasi tempatku berdiam, aku bergidik ngeri menyaksikan kebrutalan kawanan pemburu penyihir kelahiran Muggle tersebut. Tanpa belas kasih, salah satu Snatcher menggampar wajah kuyu seorang gadis yang mengiba terisak-isak.

"Hoi, Scabior! Jangan kau tambah lagi luka-lukanya. Nanti Kementerian Sihir tak mau membayar mahal kalau fisik tawanan kita lecet-lecet."

Meludah ke tanah, pria berwajah pucat yang dipanggil Scabior menjambak rambut pirang si gadis, memaksa tawanannya untuk mengangkat muka. Tak hanya dipenuhi rembesan air mata, wajah cantik penyihir remaja itu juga dikotori memar, goresan dan luka cakaran. Menyipitkan mata mengamati paras ketakutan mangsanya, Scabior menggerutu tidak sabaran.

"Darah Lumpur seperti ini mana mungkin menghasilkan banyak Galleon emas. Dia pasti cuma dihargai murah seperti barang rongsokan lainnya."

Menendang si gadis malang hingga terseok-seok, Scabior kembali berkomentar. Pupil biru keabu-abuannya menyipit mengawasi belukar pakis dan pepohonan rimbun di sekelilingnya.

"Greyback, kenapa kita memfokuskan diri pada Darah Lumpur? Lebih baik kita memburu penyihir berdarah campuran. Harga mereka jauh lebih tinggi dan memuaskan."

Fenrir Greyback, siluman serigala pemangsa manusia yang rupanya didapuk sebagai pemimpin Snatcher, armada terbaru bentukan Lord Voldemort menghentikan langkahnya. Yang membuatku nyaris mati jantungan, Greyback bergerak seolah-olah hendak mendudukkan dirinya di bebatuan besar terdekat.

Oh Tuhan, jangan biarkan mereka duduk santai di sini. Jangan biarkan mereka mengendus keberadaanku di tempat ini, aku terus memanjatkan doa dan memejamkan mata rapat-rapat.

"Ada satu Darah Lumpur yang berharga fantastis, Scabior," Greyback mematahkan ranting pohon di dekatnya. Memutar batang pohon cedar di antara jemari, pria berwajah amburadul itu mencermati anggota kelompoknya yang tengah bersusah-payah mengendalikan perlawanan para tahanan.

"Jika kita bisa mendapatkan Hermione Jean Granger hidup-hidup, Panglima Tertinggi Pelahap Maut, Rabastan Lestrange berjanji memberikan posisi utama di kesatuannya."

Mataku seketika membuka mendengar kalimat barusan. Kupingku berdenging karena syok, bukan karena gemuruh sorak-sorai yang terdengar dari kumpulan bedebah busuk tersebut.

Merlin! Untuk apa Rabastan Lestrange menginginkanku? Mengapa ia rela memberikan bayaran tak terhingga hanya untuk mendapatkanku hidup-hidup?

Aku tahu bahwa diriku, Harry dan Ron telah menjadi buronan nomor satu semenjak Lord Voldemort menguasai Kementerian Sihir Inggris. Tapi, biasanya kepala kami hanya ditukar dengan uang emas, bukannya jabatan empuk di legiun prestisius bagi kalangan penyihir hitam.

"Bisa bergabung bersama Pelahap Maut tanpa kualifikasi dan tes kompetisi. Peluang emas seperti ini pasti tak akan terulang lagi," salah satu Snatcher bertubuh sekekar tank bertepuk gembira, tak mengacuhkan tawanannya yang terguling jatuh membentur batu akibat kehilangan pegangan di lengannya.

"Idiot! Lihat, satu lagi sandera kita mati karena kecerobohanmu," Greyback berdecak berang. Ujung sol sepatu penuh darah dan tanahnya menendang kepala penyihir pria yang remuk terhantam batu.

Berteriak menyuruh anak buahnya untuk segera meneruskan perjalanan, Greyback menunjuk jasad si penyihir dengan kuku runcing yang dipenuhi nanah dan tanah, "Hei, cepat bopong mayat itu! Lumayan untuk camilan ringanku malam ini."

Menahan mual yang menggerogoti perut, aku terduduk kaku. Tak berani bergerak satu senti pun hingga kerumunan bajingan itu menghilang dari pandangan.

"Hermione..."

Sapaan halus Harry membuatku terlompat dari batu. Memalingkan muka ke belakang, aku menghembuskan napas lega. Mengusapkan lengan baju ke dahi untuk memupus lelehan keringat, aku berkomentar gamang, "Harry, kau dengar apa yang mereka diskusikan barusan?"

Mengempaskan diri di batu datar di samping kiri, Harry memandang cemas. Usai menyisiri dan mengacak-acak rambut hitam kelamnya dengan kelima jari, Harry akhirnya menghembuskan napas berat sarat kebimbangan.

"Untunglah Mantra Perlindunganmu masih bereaksi sehingga kau selamat dari mereka."

"Harry," aku menggertak tak sabar. "Jangan pura-pura bodoh. Kau dengar bukan apa yang mereka bicarakan mengenai diriku?"

Memainkan kerikil yang berserakan dengan sudut alas kaki, Harry bergumam bimbang. Sorot mata buah badamnya tampak terpukul dan dipenuhi kekhawatiran mendalam.

"Iya, aku mendengarnya, Hermione. Yang tak bisa aku mengerti cuma satu hal. Mengapa Rabastan Lestrange sangat berhasrat memburumu?"

"Kau milikku..."

Tanpa diminta, ikrar posesif di Departemen Misteri menyeruak dari endapan ingatan. Oh Tuhan, apa maksud dari sumpah Pelahap Maut maniak itu? Apakah dia menginginkanku hanya untuk menyiksaku hidup-hidup seperti yang dilakukannya pada orangtua Neville?

Atau jangan-jangan...

Tubuhku menggigil risau ketika mengenang ancaman Theodore Nott tentang masa depan kami sebagai budak seks Pelahap Maut. Apa mungkin Rabastan Lestrange berniat menjadikanku target utama perdagangan manusia? Apa mungkin Rabastan Lestrange berniat mematahkan mental Harry dengan menjadikanku pelacur tanpa bayaran?

Mengamati matahari senja yang bergulir dengan tatapan kritis, Harry mendesah gelisah. Usai hening sejenak, teman pertamaku di Hogwarts itu bangkit dari posisi duduknya. Mengibas-ngibas bagian belakang celana hitamnya untuk menyapu tuntas semua kotoran, Harry berpaling ke arahku.

"Sebaiknya kita segera kembali ke tenda, Hermione. Ron pasti sangat kalut memikirkan keselamatan kita."

Menyambut uluran tangan Harry, aku memaksakan diri untuk tersenyum. Demi kepentingan dan kebaikan semua pihak, aku harus mengubur jauh-jauh segala kegundahan mengenai Rabastan Lestrange.

Tekadnya untuk menjadikanku miliknya pasti cuma gertak sambal belaka. Cuma pepesan kosong yang tak perlu aku pikirkan lebih dalam...


"Tentu saja masalah ini harus kita pikirkan sedalam mungkin."

Ron terlihat sangat geregetan setelah mengetahui niat Rabastan Lestrange untuk membarter diriku dengan kedudukan berpengaruh di skuat Pelahap Maut. Mengeraskan rahang hingga bergemeletuk nyaring, Ron mengetuk-ngetukkan telunjuk di atas bonggol pohon palem yang kami jadikan sebagai meja darurat.

"Secepat mungkin kita harus angkat kaki dari tempat ini. Kita harus bergerak segesit dan secerdik kancil untuk menemukan dan mengenyahkan semua Horcrux jahanam ini!"

Ketegasan tekad Ron tentu mengagetkanku dan Harry. Kami sama sekali tak menduga bahwa Ron yang sedari awal perjalanan sangat egois dan sukar diajak bekerja sama kini bisa diandalkan untuk berdiri tegak di garda depan.

Tak urung, perubahan drastis itu sempat membuatku berpikir apakah Ron kerasukan sesuatu saat menunggu sendirian di tenda tadi.

"Bukannya kau bilang tak bisa pergi karena lenganmu yang terpotong masih nyeri dan tak bisa dipaksa untuk berjalan jauh?" tanya Harry serba salah, mengingatkan kembali penolakan rekan sekamarnya di Hogwarts itu.

Memang, kemarin lusa saat kami berancang-ancang memulai penjelajahan, Ron langsung menolak mentah-mentah ide tersebut. Tak hanya itu, Ron juga menyalahkan ketidakbecusanku ber-Disapparate dari Kementerian Sihir Inggris sebagai biang kerok terhambatnya laju kami.

Padahal, aku sudah berulang kali menegaskan bahwa aku tak bisa sepenuhnya berkonsentrasi mendarat ke markas rahasia kami selama ini, Grimmauld Place Nomor Dua Belas karena tubuhku sudah dicekal Yaxley, salah satu Pelahap Maut berprofil kasar yang memergoki penyamaran kami di Kementerian Sihir Inggris.

Untuk menghindari tangkapan Yaxley itulah aku mengubah rute perjalanan secara mendadak. Perubahan tak terencana yang berimbas pada guncangan dan terpotongnya lengan kanan Ron.

"Hei, itu kan kemarin, Bung. Tolong dong, demi kelancaran misi, masa lalu jangan disenggol-senggol lagi," seru Ron sok bijak, tak menghiraukan ekspresi keheranan yang terpahat di wajahku.

"Baiklah Ron," ujar Harry sumringah, menepuk-nepuk pundak sahabat baiknya. "Kita akan segera pergi ke tempat baru. Aku yakin dalam waktu singkat kita bisa menghancurkan semua Horcrux yang tersisa," ujar Harry yakin, nada lega dan optimis terpancar dari setiap kalimat positif yang diucapkannya.

"Betul, Sobat," sambar Ron tak mau kalah. Menyunggingkan cengiran khasnya, Ron memeluk Harry sepintas lalu.

"Masa depan cerah pasti bisa kita dapatkan. Kau-Tahu-Siapa pasti berakhir di neraka jahanam tingkat ketujuh."

Menyeka ujung mata yang basah, aku memandangi Ron dengan segenap suka cita yang kuresapi. Rasa sayangku pada Ron yang sudah timbul sejak tahun kelimaku di Hogwarts makin bertambah besar saja.

Di lain pihak, Ron tampaknya memendam perasaan sama sepertiku. Seringkali kulihat Ron menatapku dalam-dalam di saat aku sedang membaca buku Kisah-Kisah Beedle si Juru Cerita, benda warisan yang kudapat dari almarhum Profesor Dumbledore.

Kadang-kadang, Ron juga menggenggam dan meremas lembut tanganku ketika aku tengah berdiskusi seru merancang aksi petualangan kami berikutnya. Pernah juga aku terbangun di tengah malam dan memergoki Ron mengigau sambil memanggil-manggil namaku.

Perhatian khusus Ron tak pelak membuatku tersanjung sekaligus terbantu sebab aku bisa melupakan ketertarikanku pada Rabastan Lestrange, Pelahap Maut genius yang selalu menghantui mimpi-mimpi malamku.

Menelan desahan, aku mengubur benih ketertarikan yang mulai tersemai di hati. Ketertarikan berbahaya yang jika dibiarkan tumbuh berpotensi mengacaukan seluruh perjalanan hidupku...


"Untung saja kau tak tertarik lebih jauh ke dalam kolam. Jika itu terjadi, bisa kacau perjalanan hidup kita," Ron terisak lemah, memeluk lutut dengan kedua lengan yang gemetaran.

Mengangsurkan kaleng soda bekas berisi Merica Mujarab ke tangan Harry dan Ron yang membiru kedinginan, aku menahan keinginan menari-nari seperti orang gila.

Akhirnya, setelah lama menanti, liontin Horcrux bisa kami musnahkan. Memang, pelenyapan Horcrux nyaris menumbalkan Harry, tapi syukurlah, insiden mengerikan itu bisa dicegah berkat campur tangan Ron.

Jelang larut malam tadi, untuk kesekian kalinya Harry dan Ron berdebat hebat. Pemicu kegemparan kali ini adalah nasib nahas yang menimpa Ginny. Adik bungsu Ron itu dijatuhi detensi kerja paksa di Hutan Terlarang karena tertangkap basah hendak mencuri pedang Godric Gryffindor di kantor Kepala Sekolah Hogwarts.

Menurut Ron, Harry memandang enteng sanksi tersebut karena tak pernah memiliki keluarga yang menyayanginya. Tuduhan zalim tak beralasan tersebut sudah pasti meledakkan amarah Harry.

Jika aku tak menengahi, hampir saja terjadi baku pukul mengerikan di dalam tenda sempit bau kencing kucing ini. Untungnya, di tengah suasana mendidih, Harry masih berkepala dingin dan segera berlari keluar untuk menenangkan diri.

Selama Harry bolak-balik mengelilingi tenda, aku membujuk Ron untuk meminta maaf. Bagaimanapun juga, kami adalah satu kesatuan. Pertikaian antar sesama hanya membuat kami gampang diburu dan dihancurkan.

Setelah lima belas menit berlalu, rayuanku akhirnya membuahkan hasil. Meski sedikit enggan, Ron bersedia menemui teman bermain Quidditch-nya itu. Sewaktu melihat Harry menerobos lebih jauh ke dalam hutan, Ron segera mengekor dengan maksud berbicara dan meminta maaf.

Ron mengaku sempat mengira Harry terjangkit depresi dan berniat bunuh diri ketika sahabat laki-lakinya itu terjun bebas ke sungai yang membeku. Tatkala Harry megap-megap meminta pertolongan, Ron buru-buru menembus lapisan es yang menggigit tulang.

Setelah menarik Harry ke atas permukaan air, Ron melihat pedang Godric Gryffindor terdampar di dasar sungai. Usai mengambil pusaka langka bertahtakan permata, Ron dengan gagah berani menusukkan ujung pedang ke liontin Horcrux.

Penjelasan Harry mengenai aksi pahlawan Ron membuatku terharu dan bangga. Tak sia-sia rasanya aku membuka pintu hatiku pada Ron mengingat selama ini aku hanya tertarik pada penyihir brilian dan berotak cerdas.

Seperti Rabastan Lestrange, misalnya?

Sekelumit kesadaran itu membuatku tersentak. Menggigit tepi pipi dalam, aku merutuk dalam diam. Menyadarkan diri untuk tak mengkhayalkan si penjagal berwajah tampan.

"Kenapa kau bisa tahu pedang Gryffindor berada di bawah sungai, Harry?" Ron bertanya penuh rasa ingin tahu sembari menyeruput larutan Merica Mujarab perlahan-lahan. Cairan penyembuh itu masih terbilang panas sebab baru kubuat setelah kedua sobat kentalku kembali ke tenda dalam kondisi merinding kedinginan.

Selama berdiam diri di suatu tempat, aku memang menyempatkan diri mencari tanaman obat untuk membuat ramuan herbal sederhana. Untungnya, semenjak tahun keempat bersekolah, aku sudah menghafal semua proses pembuatan eliksir penyembuh.

"Patronus rusa betina yang membimbingku ke sana," kata Harry, tersenyum samar mengamati roman muka kami yang menganga. Untuk menutup mulut kami yang terkuak lebar, Harry kembali berkisah melanjutkan cerita.

Katanya, saat sedang bersantai di batang pohon, secercah sinar putih keperakan muncul dari balik rumpun rerumputan beku. Usai bergoyang-goyang sebentar, Patronus rusa betina itu berlari ringan sembari menengok ke belakang, seakan-akan mendesak Harry untuk segera pergi membuntuti.

Didorong rasa penasaran, Harry buru-buru menguntit Patronus rusa betina hingga mencapai sungai kecil berlapis es. Di tengah sungai, sinar keperakan Patronus memudar dan menghilang ke dasar kolam. Berpendapat hal itu merupakan petunjuk penting, tanpa pikir panjang Harry menghancurkan tumpukan salju di sungai dengan jentikan tongkat sihir.

Setelah melepas celana panjang dan sweter biru muda yang membungkus tubuh, Harry berenang menuju dasar sungai. Tak dinyana, sebuah kekuatan maha-dahsyat berusaha menarik dan mencekiknya. Untungnya, sebelum tangan tak terlihat menenggelamkan Harry hidup-hidup, Ron datang dan menyelamatkan nyawanya.

"Mengapa ada Patronus rusa betina di hutan ini? Siapa yang mengirimnya?" tanyaku kebingungan, terus merajang batang valerian, tanaman penghilang nyeri hingga berbentuk cacahan kecil.

"Itu bukan hal penting, Hermione," Harry menyeringai lebar, mata hijau zamrudnya berkilau dengan harapan yang meluap-luap.

"Saat dijerumuskan ke dasar sungai, lintasan pikiran Kau-Tahu-Siapa berkelebat di otakku. Saat ini, dia sudah memindahkan Horcrux yang disimpan di lemari besi Bank Sihir Gringotts ke Hogwarts."

"Benarkah itu, Harry?" aku terengah terkesima, nyaris menjatuhkan anglo tanah liat yang berisi ramuan beraneka ukuran.

Harry mengangguk keras berkali-kali. Asa membara yang sangat kentara tercetus dari setiap ultimatum yang dilontarkannya.

"Malam ini, kita akan berkunjung ke Hogwarts. Kita harus menemukan Horcrux dan menghancurkannya agar kekuatan Kau-Tahu-Siapa segera menyusut."

Semangatku membubung ke angkasa mendengar rencana penyerbuan kami ke Hogwarts. Jika semua skenario mendadak ini berjalan lancar, mimpi buruk ini pasti segera berakhir.

Termasuk mimpi buruk tentang Rabastan Lestrange. Mimpi menggelisahkan yang selalu menemaniku setiap kali aku tertidur di malam hari...


Modus operandi yang tak tersusun matang serta kenaifan khas remaja membuat kami tak siap menghadapi bahaya di depan mata. Kami sama sekali tak menduga Pelahap Maut telah memagari satu-satunya kampung sihir di dunia itu dengan Mantra Caterwauling. Kurang dari sedetik setelah kami mendarat di Hogsmeade, jampi-jampi berbunyi angker seperti lengkingan kemarahan Lord Voldemort langsung bereaksi.

Sesaat setelah jampi-jampi terdeteksi, puluhan Pelahap Maut bertudung hitam meluap muncul, menyebar mengejar dari semua lubang persembunyian. Cepatnya isolasi membuat kami yang berada di bawah Jubah Gaib terkepung tak berdaya. Kekacauan kian bertambah setelah Pelahap Maut mengunci jalur Apparition, membuat kami tak bisa memakai jurus menghilangkan diri.

Situasi semakin genting ketika Pelahap Maut melepaskan Dementor untuk mencium jejak kami. Kehadiran Dementor membuat temperatur udara yang sudah dingin menjadi semakin menyesakkan. Napas berkeretak mereka yang lebih menyengat dari mayat nyaris membuatku pingsan seketika di tempat.

Harry yang tak mau inti kehidupan dan semangat kami dihisap Dementor mengeluarkan Patronus berbentuk rusa jantan. Patronus itu memang bisa menghalau kepungan Dementor tapi juga membuat Pelahap Maut mengetahui letak keberadaan kami secara lebih spesifik.

Untungnya, dewi keberuntungan masih mau tersenyum pada kami. Sesaat sebelum Pelahap Maut muncul di titik persembunyian, adik kandung almarhum Profesor Dumbledore, si pemilik bar butut Hog's Head, Aberforth Dumbledore berbaik hati menolong kami.

Selain memasukkan kami ke bar kumuh yang disesaki lusinan kambing jarang mandi, Aberforth juga mengusir Pelahap Maut yang berseliweran di sekitar rumah.

Setelah situasi terkendali dan perut kami sudah terisi roti lapis saus apel manis, Harry memberanikan diri menceritakan skema penyusupan ke Hogwarts termasuk rencana membumihanguskan jimat penyegel jiwa abadi Voldemort.

Pada mulanya, Aberforth menentang mati-matian gagasan Harry. Namun, semua ejekan dan hinaan tak bisa menyurutkan tekad kami. Kami tahu, gerakan ini terbilang modal nekat. Tapi, apapun yang terjadi, kami harus bertandang ke kastil Hogwarts malam ini juga.

Kebebalan sikap kami akhirnya mencairkan kepala batu Aberforth. Dengan berat hati, penyihir tua berambut kelabu itu menyetujui semua rencana darurat Harry. Berkat bantuan lukisan mendiang adik perempuannya, Ariana Dumbledore, Aberforth menyelundupkan kami ke Hogwarts melalui terowongan rahasia.

Dari keterangan Neville, yang turut datang bersama lukisan Ariana untuk menyambut kami, seluruh jalan masuk yang semula tercantum di Peta Perampok milik Harry telah disegel paksa. Tak hanya memblokir semua jalan tembus, Dementor siang dan malam berkeliaran tanpa henti di perbatasan dan pelataran Hogwarts. Untungnya, hanya Dementor yang diizinkan mengelilingi sekitar kastil.

Sesuai dengan kesepakatan Dewan Sekolah dan Rapat Orangtua Murid, selain petugas yang ditunjuk resmi, Pelahap Maut lainnya diharamkan masuk ke estat Skotlandia itu. Kebijakan tersebut diambil setelah para orangtua darah murni yang anaknya bersekolah di Hogwarts menuntut jaminan keamanan untuk anak-anak mereka mengingat Pelahap Maut dikenal gemar melakukan tindak kekerasan tanpa pandang bulu.

Di dalam sekolah sendiri, kondisi tak jauh lebih baik bahkan cenderung barbar. Patroli sekolah yang lalim rutin hilir-mudik dan tak sungkan-sungkan menghajar siswa yang melakukan kesalahan setipis debu sekalipun.

Wakil Kepala Sekolah, Amycus dan Alecto Carrow yang terkenal galak dan disiplin makin memperburuk situasi. Selain mempraktikkan hukuman kutukan Cruciatus pada pelajar tahun pertama yang dianggap membangkang, Carrow Bersaudara juga rajin merantai dan memukuli siapapun yang dikehendakinya.

"Dibandingkan kakak laki-lakinya, Alecto Carrow bahkan lebih sewenang-wenang," Neville mendesah pasrah, erangan lirihnya bergaung lemah di sepanjang lorong gelap dan sempit.

"Si cewek pendek jelek bersuara bebek itu mengajar Telaah Muggle. Di sepanjang jam pelajaran, ia terus memaksa kami mendengarkan semua cuap-cuap busuknya tentang kebiadaban kaum Muggle."

Melirikku sekilas dengan bola mata bulat bundar, Neville kembali meneruskan cerita. "Dia juga punya sentimen pribadi pada gadis berambut cokelat. Sejak awal tahun ajaran, tanpa memedulikan status darah murni korbannya, Alecto Carrow hobi menyiksa murid perempuan bersurai cokelat. Kebengisannya membuat seluruh siswi berambut cokelat berbondong-bondong mengganti warna rambut mereka."

"Yeakh!" Ron melenturkan mulut lebar-lebar, bertingkah seakan-akan dirinya tengah memuntahkan bergentong-gentong siput berlendir berukuran jumbo.

"Pasti dia dengki karena rambutnya kusam dan bercabang. Rambut cokelat itu manis. Semanis karamel. Apalagi rambut cokelat Hermio-"

Seperti terkena Mantra Silencio tak kasat mata, Ron tiba-tiba menghentikan ucapan. Rona merah tua yang identik dengan warna rambutnya menghiasi wajah berbintiknya, membuatnya nyaris tak bisa dibedakan dengan cabai berkaki dua.

Neville dan Harry terkikik geli menonton perubahan warna di wajah pemuda berhidung panjang itu. Aku sendiri hanya bisa geregetan menyaksikan tingkah Ron yang malu-malu kucing. Ya ampun, mengapa Ron tak berterus terang saja dan memintaku untuk menjadi pacarnya? Jika ia menyatakan cinta padaku, aku pasti menerimanya tanpa berpikir panjang.

"Kau milikku..."

Lagi-lagi, sumpah Rabastan Lestrange berdenging di otak, membuat jantungku bergemuruh seperti sepasukan monyet gila. Sebelum wajah pucat pasiku terdeteksi, aku segera membuang ingatan tentang sumpah keparat itu.

Undakan tinggi, lorong sempit dan jalan gelap yang berkelok-kelok menjadikan perjalanan kami serasa menembus gua tak berpenghuni di kedalaman perut bumi. Setelah melangkah cukup lama, Neville menunjuk pintu rahasia yang tersembunyi di balik lukisan Ariana. Rupanya, ada dua lukisan yang saling terkoneksi. Jika yang satu bertengger di Hogwarts, yang satunya lagi mendekam di kediaman Aberforth.

Ketika pintu terbuka, kami diserbu sorak-sorai dan teriakan gembira dari murid-murid yang memadati ruangan. Ruangan yang akhirnya aku kenali sebagai Kamar Kebutuhan itu didesain mirip kabin kapal raksasa. Ada banyak tempat tidur warna-warni yang bergelantungan dari langit-langit ruangan.

Dinding berpanel kayu hitam tanpa jendela dihiasi permadani bermotif cerah. Suasana semakin semarak dengan panji-panji setiap asrama. Hanya bendera hijau bergambar ular perak ciri khas rumah asrama Slytherin-lah yang tak berkibar di area bangsal.

Dalam keriuhan penyambutan, aku melihat banyak wajah-wajah familier yang amat kurindukan. Di antara barisan Hufflepuff dan Ravenclaw, terselip teman-teman seasramaku di Menara Gryffindor seperti penyihir Irlandia, Seamus Finnigan yang seluruh mukanya bengkak dan memar seperti habis dijadikan karung tinju Pelahap Maut.

Di samping Seamus, bercokol Cormac McLaggen, laki-laki tengil yang tahun lalu sangat bernafsu memasukkanku ke dalam daftar koleksi pacar-pacarnya. Di tengah ruangan, aku melihat Lavender Brown, si gadis super-ceria yang setahun lalu membuatku senewen karena terus-menerus menggelendoti Ron seperti anak monyet baru lahir.

Lavender yang melompat-lompat girang seperti bola bekel melambaikan tangan ketika menyadari dirinya tengah kuamati. Aku membalas sapaan ramah Lavender dengan senyum kecil. Rupanya, regulasi sekolah yang menakutkan tak mampu memadamkan kelincahan bekas teman sekamarku itu.

Pelan tapi pasti, mataku memindai seluruh ruangan, mencermati murid-murid asrama lain yang tengah mengerubuti Harry dan Ron. Agak jauh di belakang kerumunan, Cho Chang, Seeker Quidditch Ravenclaw yang sempat berpacaran singkat dengan Harry memandangi mantan kekasihnya dengan tatapan jinak-jinak merpati.

Tak mau membuang-buang waktu berharga lebih banyak lagi, Harry segera membeberkan alasan kedatangan kami di Hogwarts. Menurut Harry, kami tengah mencari dua Horcrux yang disimpan di dalam sekolah. Piala bergambar musang milik pendiri asrama Hufflepuff, Helga Hufflepuff dan mahkota berukiran burung elang, artefak kuno peninggalan pendiri asrama Ravenclaw, Rowena Ravenclaw.

Mengetahui tujuan kedatangan Harry, wajah-wajah penuh harap yang tadinya berbinar terang perlahan-lahan meredup. Aroma putus asa terasa menghiasi keheningan yang sekonyong-konyong tercipta.

"Kami sangat ingin menolongmu, Harry. Tapi, tak bisa malam ini," Michael Corner, siswa Ravenclaw yang pernah memacari Ginny berbisik muram. Kulit gelapnya tampak memucat di bawah tatapan sengitku yang menajam.

"Memangnya kenapa?" potong Harry tak sabar. Gurat kekesalan terbayang di wajahnya. Dari roman keruh yang memantul keluar, Harry terlihat seperti orang yang baru saja ditusuk dari belakang oleh sekutu kepercayaannya.

"Waktu kita terbatas. Kita harus sesegera mungkin menemukan Horcrux itu," ujar Ron tegas, kompak memberi dukungan penuh pada teman terdekatnya.

"Masalahnya, kita tak punya tongkat sihir," McLaggen yang duduk bersila di permadani tebal bergambar goblin bermain harpa mendadak angkat suara. Di samping kanan, Seamus mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui.

"Tak punya tongkat sihir?" aku membeo, mengulang pernyataan McLaggen yang kontroversial.

"Betul. Setiap hari, seusai makan malam, Carrow Bersaudara menyita dan menyimpan seluruh tongkat sihir murid-murid," urai Cho panjang lebar, mata sipitnya yang eksotis menyorot malu-malu ke arah kami.

Aku, Harry dan Ron terperangah mengetahui kenyataan menyedihkan ini. Bagi penyihir, tongkat sihir tak ubahnya inti sari kehidupan, barang penting yang sama berharganya dengan nyawa. Aku yakin, penyitaan tongkat sihir bertujuan memasung kebebasan sekaligus merontokkan ketegaran seluruh siswa Hogwarts.

"Lalu, apa kita harus menunggu sampai pa-"

Harry tak bisa menuntaskan kata-kata sebab pintu lukisan Ariana mendadak terentang lebar. Terengah-engah menata debur napas yang memburu, Ginny menancapkan mata cokelat emasnya ke sosok Harry yang tampak jelas tengah berjuang menahan desakan menarik Ginny ke dalam pelukan.

"Gawat! Snape tahu Harry tiba di Hogsmeade malam ini. Ia meminta kita semua segera berkumpul di Aula Besar."

Pengumuman Ginny disambut dengungan panik seluruh penghuni Ruang Kebutuhan. Berlomba-lomba keluar melalui lubang pintu lukisan Ariana, murid pro pergerakan Harry melesat menuju Aula Besar, meninggalkan kami yang menegang siaga.

"Harry, apa yang harus kita lakukan?" Ron bertanya cemas. Iris biru langitnya mengawasi seisi Ruang Kebutuhan yang sunyi senyap.

"Aku akan menyelinap ke Aula Besar. Untuk sementara, kalian menetap dulu saja di sini," perintah Harry, pupil hijau risaunya bergerak bergantian memandangi kami.

"Tapi," elakku tajam, tak terima ditinggalkan begitu saja. "Bagaimana kalau kau ketahuan? Itu sangat riskan, Harry."

"Aku yang akan menyusupkanmu," sela Ginny mantap. "Harry bisa mengenakan jubah anak asrama lain. Pasti ada satu jubah bekas pakai yang tertinggal di sini."

Dengan gerakan setangkas ibunya saat membersihkan rumah, Ginny membongkar tumpukan jubah dan seragam yang dari bau tengiknya saja sudah ketahuan belum dicuci berhari-hari.

"Lalu, kita ngapain di sini? Duduk jongkok sambil main catur sihir?" Ron merengut suram, tak suka dengan proyeksi teronggok tak berguna seperti barang sisa.

Tersenyum sabar, Harry memasukkan lengan ke jubah Hufflepuff yang disodorkan Ginny. Kendati sedikit kebesaran, setidaknya mantel berlogo musang itu bisa menyamarkan fitur Harry yang sesungguhnya.

"Sebelum kita ke sini, aku telah meminta Aberforth untuk menghubungi anggota Orde Phoenix yang selama ini bersembunyi di Shell Cottage. Sebentar lagi, mereka pasti tiba di Ruang Kebutuhan."

Informasi Harry sungguh melegakan hatiku. Uluran tangan pasukan profesional seperti Orde Phoenix pasti bisa memuluskan langkah kami untuk menghancurkan diadem Ravenclaw serta piala Hufflepuff.

Meremas lembut tanganku, Harry menyambung instruksi, "Interogasi Snape ke seluruh siswa bisa jadi melemahkan pengawasan di Hogwarts. Jika Orde Phoenix sudah datang, kalian bisa pergi diam-diam ke Aula Besar."

Menggandeng tangan Ginny, Harry beranjak keluar meniti pintu lukisan Ariana. Dalam sesaat, pikiran buruk menghantamku. Aku merasa seakan-akan inilah malam terakhirku bersama Harry. Bersama teman terbaik yang sudah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri.

"Hati-hati, Harry."

Aku tersengat menyadari getaran ketakutan di suaraku. Ya Tuhan, firasat jelek apa yang tiba-tiba melanda diriku?

Menoleh melalui bahu, Harry melemparkan senyum penuh kasih ke arahku. Senyum hangat yang ternyata tak akan pernah bisa aku lihat lagi untuk selama-lamanya...


"Oh Tuhan, baru kali ini aku melihat tragedi seburuk ini..."

Terpisah lima meter dariku, Nymphadora Tonks, Auror muda tangguh yang terlahir dengan kemampuan Metamorphmagus; kemampuan untuk bergonta-ganti penampilan berdiri gontai. Bola matanya yang kali ini berwarna violet menatap hampa, tampak tak berselera menghadapi puluhan Pelahap Maut yang mengerumuninya.

Lengan kiri Tonks yang terbungkus jubah sutra hijau kumala terkoyak menganga. Rambutnya yang semula secerah kuning matahari kini dinodai semburat merah yang mengalir dari robekan menganga yang melingkari batok kepala.

Kesedihan luar biasa yang meruap dari pori-pori membuat tangan kanan Tonks yang mencengkeram tongkat sihir bergetar goyah. Getaran samar yang membuat Pelahap Maut di sekitarnya berlomba-lomba mengeluarkan gelak tawa menghina.

Membalas setiap kutukan dan mantra yang dialamatkan padaku, aku berusaha menjaga konsentrasi pada dua tugas dalam satu waktu. Mematahkan perlawanan tiga Pelahap Maut bertopeng yang mengepungku sekaligus memastikan keselamatan Tonks yang tengah berada dalam titik terlemah.

Rapuhnya ketahanan mental Tonks bisa dimengerti mengingat seniorku itu harus menyaksikan kematian suami tercintanya, Profesor Remus Lupin. Tepat di depan mata kepalanya, pria yang telah memberinya satu putra meledak berkeping-keping terhantam kutukan hitam yang dilayangkan seorang Pelahap Maut bertopeng perak.

Setelah membunuh Profesor Lupin, predator brutal itu langsung menghilang entah kemana. Meski begitu, aku sempat menangkap sekilas siluetnya. Profil tubuh dan gerakan prima yang amat identik dengan Panglima Tertinggi Pelahap Maut, Rabastan Lestrange.

Kendati psikisnya compang-camping usai menyaksikan kematian sang belahan jiwa, Tonks masih membuktikan kualitas sebagai pemburu penyihir hitam paling berprestasi. Terjepit dalam perlawanan tak seimbang, alumnus asrama Hufflepuff itu mati-matian bergulat melawan Pelahap Maut yang mengelilingi.

Setelah berhasil mencabut empat nyawa, kedigdayaan Tonks akhirnya berakhir juga. Kerabat dekat mendiang ayah baptis Harry, Sirius Black itu tewas meregang nyawa di tangan tantenya sendiri, Bellatrix Lestrange.

"Tidak! Tonks!"

Aku berteriak frustrasi ketika tubuh Tonks terbelah dua terhantam kutukan sihir hitam Bellatrix Lestrange. Wajah Bellatrix Lestrange yang sudah seperti orang sakit jiwa makin bertambah sinting, seringai puas menghiasi bibir tebal yang kehitaman.

Sejurus kemudian, rasa sakit tak tertahankan mendera tubuh. Rupanya, salah satu Pelahap Maut yang tadi menyerangku memanfaatkan kelengahanku dan menghujani tubuhku dengan Kutukan Cruciatus.

Terjatuh bersimpuh di lantai batu penuh darah, aku membendung keinginan untuk menjerit kesakitan. Meski tubuhku terasa seperti digergaji dan ditebas puluhan pedang, aku tak akan memekik histeris. Sampai mati pun aku tak akan pernah membiarkan Pelahap Maut sialan ini tertawa-tawa di atas penderitaanku.

Di saat aku merasa sudah tak tahan lagi menanggung derita tak berujung, tikaman rasa nyeri mendadak menghilang, disusul dengan jeritan membahana yang mendirikan bulu roma. Teriakan keras dan panjang yang hanya bisa keluar dari tenggorokan seseorang yang tengah mengalami penyiksaan terburuk dalam hidupnya.

Bunyi berdebam terdengar dari sisi kiri. Dari sudut mata yang berair karena menahan sakit, aku melihat Pelahap Maut yang tadi menyiksaku menggeliat-geliat seperti ikan kekurangan air.

Meraung perih, kedua tangan ramping Pelahap Maut itu menjambaki rambut pirang perak panjang. Kuatnya tarikan tangan itu membuat segenggam rambut halus tersebut terburai ke tegel batu. Lolongan penderitaannya bahkan hampir menyaingi debur pertempuran yang terjadi di koridor luar Aula Besar.

Walau wajah Pelahap Maut yang tengah meratap kesakitan tertutup topeng perak, aku sudah bisa menebak identitasnya hanya dengan melihat rambut yang berserakan. Rambut pirang panjang keperakan, ciri khas dari Lucius Malfoy; ayah dari musuh bebuyutan Harry di sekolah, Draco Malfoy.

"Rabastan! Hentikan sekarang juga!"

Rabastan...

Secepat kilat aku menengok ke belakang. Di sana, di antara kelebatan cahaya merah, Rabastan Lestrange menjulang mengancam seperti malaikat kematian. Meski wajah tampannya masih terbalut topeng perak, aku bisa merasakan aura kemarahan yang merembes keluar dari setiap senti kulitnya.

"Dia itu Lucius! Kenapa kau siksa dia? Hentikan sekarang juga!"

Jeritan Bellarix Lestrange yang biasanya bisa membangunkan mumi mati pun tak mampu menandingi raungan memilukan Lucius Malfoy. Dua Pelahap Maut bertubuh subur yang meringkuk di samping Lucius Malfoy hanya bisa meringis linglung, tampak gentar menyaksikan penderitaan rekannya.

"Kau tak bisa memerintahku, Bellatrix. Aku akan tetap menyiksa Lucius karena dosa-dosanya."

Suara serak Rabastan Lestrange sarat dengan nada benci dan permusuhan. Terus menancapkan tongkat sihir ke jantung Lucius Malfoy yang bergetar nelangsa, Rabastan Lestrange semakin menambah intensitas siksaan, terbukti dengan teriakan-teriakan pedih yang kian menggelegar.

"Stop! Stop!"

Menerkam secepat kucing, Bellatrix Lestrange menerjang adik iparnya. Menjulurkan tangan kerempengnya, ajudan wanita Lord Voldemort itu berusaha merebut tongkat sihir Rabastan Lestrange. Dengan gerak ringan, Rabastan Lestrange berhasil mendorong kakak iparnya hingga jatuh terjengkang.

"Sudah kubilang, Bellatrix! Aku tak menerima ultimatum dari siapapun. Kecuali dari Lord Voldemort dan..." Rabastan Lestrange memotong ucapannya, mata gelapnya yang bersinar menatapku lekat-lekat.

Pandangan lapar dan penuh dahaga itu membuatku tak bisa bernapas. Apa maksud dari perkataannya barusan? Apa Rabastan Lestrange ingin menegaskan bahwa selain mematuhi Tuan Besarnya, ia juga hanya mau tunduk padaku?

Mendelik ke arahku dengan sorot benci, Bellatrix Lestrange nekat merangsek maju. Sebelum wanita sosiopat itu sempat melabrakku, tangan kotornya yang berkuku runcing ditangkap oleh seorang Pelahap Maut bertopeng. Melepas kedok peraknya, memperlihatkan wajah yang mirip dengan Rabastan Lestrange, pria bertubuh sekokoh bata itu menghardik tegas.

"Hentikan, Bella! Jangan campuri urusan Rabastan."

Menyentak lepas tangannya, Bellatrix Lestrange memelototi suaminya dengan pandangan beracun. Sayangnya, tatapan membunuh itu tak bisa mematikan keinginan Rodolphus Lestrange untuk mundur dari konfrontasi. Tanpa ampun, pria tinggi besar itu menggeret istrinya yang menjerit-jerit marah untuk segera menjauhi arena penyiksaan Lucius Malfoy.

Menaikkan sebelah alis sempurnanya, Rabastan Lestrange kembali memfokuskan diri pada aktivitas menghancurkan tubuh Lucius Malfoy secara sihir. Telinganya seolah terkunci dan tak bisa mendengar ratapan Lucius Malfoy yang mengiba-ngiba.

Mencengkeram tongkat sihir kuat-kuat, aku memandang nanar. Rabastan Lestrange tak main-main dengan ancamannya. Ia berniat membunuh Lucius Malfoy secara perlahan-lahan.

Tidak! Tidak! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku yang berdenyut-denyut. Lantunan doa tak terucapkan bersenandung di batinku. Kumohon, jangan biarkan Lucius Malfoy mati mengenaskan di hadapanku. Jika itu terjadi, seumur hidup aku pasti akan diteror kejadian tragis ini.

Memandangi wajahku yang pias, Rabastan Lestrange mendesah pelan. Memasukkan tongkat sihir ke balik saku jubah hitam, Rabastan Lestrange melesat pergi, meninggalkan kalimat terakhir yang terus terngiang di kupingku.

"Sesuai keinginanmu, My Lady..."


"Ini bukan keinginanku. Bukan ini hasil yang aku harapkan."

Harry Potter, satu-satunya panduan dunia sihir untuk lepas dari ancaman dominasi rezim kegelapan terpaku memandangi dinding Ruang Kebutuhan. Rambut hitam jabriknya yang selalu kusut masai dipenuhi bercak darah dan tanah. Jubah Hufflepuff yang dikenakannya terkoyak setengah, memperlihatkan tubuh kurusnya yang terbalut kemeja sekolah.

"Kita semua juga tak mengharapkan hal ini terjadi."

Suara Profesor Severus Snape yang biasanya mengalun dingin dan licin kini terdengar hampa. Menggosok-gosok rambut berminyaknya yang lepek berantakan, Profesor Snape mengawasi sekeliling ruangan dengan saksama.

"Seharusnya aku tidak duduk-duduk santai di sini. Aku harus kembali ke Aula Besar dan menyelamatkan teman-temanku yang tertinggal di sana!"

Harry memberontak gila-gilaan, menepis tanganku yang melingkar di pundaknya. Kerasnya sentakan tangan Harry hampir membuatku terjatuh ke lantai karpet. Untungnya, sebelum tubuhku terjerembab, Profesor Snape bergerak cepat dan memegangi badanku yang bergoyang goyah.

"Jangan idiot, Potter. Buat apa kau kembali ke Aula Besar? Tempat itu sudah jadi ladang pembantaian massal!"

Mendudukkanku di kursi bulat, Profesor Snape kembali berhadapan dengan Harry. Mata legamnya tertumbuk pada manik hijau Harry. Memandangi Harry dengan sekejap lintasan kasih sayang, mantan guru Ramuan yang sempat kukira merupakan agen ganda Lord Voldemort itu memegangi kedua pundak Harry yang merosot.

"Aku harus mengeluarkanmu dari neraka ini. Kalau kau mati, pengorbanan Lily akan sia-sia."

Sewaktu Profesor Snape menyebut nama ibu Harry, terselip nada cinta tak terbantahkan. Nada penuh kasih yang membuatku curiga bahwa selama ini Profesor Snape menyimpan cinta bertepuk sebelah tangan pada mendiang ibunda Harry.

"Jangan sebut nama ibuku dengan lidah kotormu yang berbisa!"

"Harry!"

Aku terkesiap kaget, tak percaya Harry bisa merendahkan Profesor Snape seperti itu. Memang, selama bertahun-tahun, Profesor Snape selalu menyusahkan hidup Harry, tapi perlakuan sekasar itu tak layak diterimanya. Apalagi setelah usaha keras Profesor Snape untuk menyelamatkan nyawa kami berdua.

Di saat kedua penyihir di dekatku menggelar adu kontes tatapan membunuh, memoriku melayang ke insiden berdarah yang menimpa kubu kami.

Ketika personel Orde Phoenix berduyun-duyun tiba di Ruang Kebutuhan, asaku terbang jauh ke langit ketujuh. Bala bantuan akhirnya datang dan cepat atau lambat Hogwarts bisa kami susuri untuk menemukan serta menghancurkan Horcrux yang tersisa.

Setelah memastikan tak ada rekan-rekannya yang tertinggal di bar Hog's Head, Kingsley Shacklebolt, Auror multi-talenta yang mengambil alih pucuk pimpinan Orde Phoenix usai kematian tragis Profesor Alastor Mad Eye Moody memerintahkan kami untuk pergi ke Aula Besar.

Dekrit yang melarang Pelahap Maut beroperasi di lingkup sekolah serta Mantra Perlindungan yang diterapkan untuk menegakkan aturan itu sangat menguntungkan kami.

Fungsionaris resmi Pelahap Maut di Hogwarts yang cuma terdiri dari Kepala Sekolah Profesor Severus Snape dan Wakilnya, duo kakak beradik Carrow jelas bukan tandingan kami yang berjumlah lebih banyak dari mereka bertiga.

Dengan laju menggebu-gebu, aku dan kru Orde Phoenix lainnya segera berlari ke Aula Besar. Namun, belum sempat mendekati ruangan tempat kami biasa menyantap makanan, teriakan kematian dan ratapan putus asa bergaung memekakkan telinga.

Oh Tuhan, apa yang terjadi di dalam Aula Besar? Mengapa seluruh murid yang memenuhi tempat itu berteriak-teriak kesakitan seperti sedang dimutilasi massal?

Belum sempat otakku selesai mencerna apa yang terjadi, sekelompok Pelahap Maut bertopeng perak menghadang pergerakan kami. Kemunculan mendadak para begundal bejat itu tentu membuat kami terkejut bukan main.

Bagaimana bisa mereka menyerbu dan menembus beton padat Hogwarts? Bukankah seluruh sudut terkecil Hogwarts sudah dipasangi mantra untuk mencegah masuknya Pelahap Maut?

Berdiri di depan barisan, memamerkan senyum buas yang mengerikan, Bellatrix Lestrange tanpa aba-aba maupun seremoni membungkuk layaknya adu duel terhormat langsung melemparkan aneka kutukan dari ujung tongkat sihirnya.

"Protego Maxima."

Mantra Perlindungan Maksimum yang diteriakkan Kingsley setidaknya membuat kami terhindar dari serangan tiba-tiba. Namun, dahsyatnya kutukan yang dilesakkan Pelahap Maut menipiskan selubung perlindungan. Kurang dari sepuluh detik, perisai kami buyar, memaksa kami untuk menggempur balik dengan segenap keahlian yang dimiliki.

Celakanya, dari detik ke detik, dari menit ke menit, jumlah Pelahap Maut yang menghadang semakin banyak. Sebagian di antaranya melenggang menerobos ke Aula Besar, membuat jeritan para siswa yang ada di ruangan itu terdengar semakin memilukan.

Tak seimbangnya jumlah kekuatan membuat awak Orde Phoenix tumbang satu persatu seperti daun kering tersapu tsunami. Kami yang hanya berdua puluh orang tentu kalah kelas dibandingkan Pelahap Maut yang nyaris mencapai ratusan kepala.

Situasi makin tak terkendali setelah Pelahap Maut melepaskan gerombolan manusia serigala. Dalam satu kedipan mata, kerumunan kanibal kelaparan itu mencabik-cabik dan membantai habis seluruh personel Orde Phoenix.

Penyembelihan besar-besaran dan kengerian tak berujung langsung terpampang di depan mata, membuat lututku lemas tak bertulang. Aku, seorang remaja yang baru berusia tujuh belas tahun harus bergelimang air mata menyaksikan orang-orang terdekatku menjadi sajian santap malam hewan haus darah tersebut.

"Lari, Hermione! Lari!"

Teriakan Kingsley Shacklebolt yang berat dan terputus-putus merasuki indra pendengaran, menyadarkanku dari kondisi mati rasa yang melanda. Menyeretku dengan sebelah tangannya yang masih utuh, Kingsley menarikku terbang menjauh, mencari lokasi aman untuk berlindung.

"Kita tak bisa kabur seperti ini. Kita harus berjuang," seruku terbata-bata ketika Kingsley mendarat di ruang kelas kosong yang sudah lama tak terpakai.

Luka parah yang diderita membuat Kingsley tersuruk jatuh. Berjongkok dan menggenggam tangannya yang penuh darah, aku menitikkan air mata tatkala manik Kingsley terbuka lebar, memandangiku dengan sorot kebapakan. Bernapas terputus-putus, pria gundul berkulit gelap itu memberikan wasiat terakhir yang mengendap di lekuk benak.

"Jika kita semua terbunuh, semua akan berakhir percuma. Salah satu dari kita harus ada yang hidup untuk melanjutkan perjuangan. Dan orang itu pasti kamu, Hermione."

Aku hanya bisa menangis tanpa suara melihat Kingsley, penyihir berbakat yang amat kukagumi menghembuskan napas terakhir di pangkuanku.

Kingsley benar, perjuangan belum berakhir. Untuk situasi seperti ini, melarikan diri bukan berarti kalah atau pengecut melainkan sikap arif untuk menyimpan waktu dan tenaga demi langkah selanjutnya yang lebih baik dan terarah.

Meninggalkan jasad Kingsley dengan hati patah, aku bergegas menyusuri koridor Hogwarts. Targetku hanya satu, koridor lantai tujuh, tempat di mana Ruang Kebutuhan berada. Jika aku bisa memunculkan Ruang Datang dan Pergi itu, aku pasti bisa melarikan diri dari neraka ini.

Tapi, aku tak mau kabur seorang diri. Sebisa mungkin aku akan mengajak murid-murid Hogwarts atau anggota Orde Phoenix yang masih selamat untuk angkat kaki bersamaku.

Berbelok di sudut koridor, telingaku menangkap jeritan pilu Tonks yang syok menyaksikan suaminya tewas terbantai di tangan Rabastan Lestrange. Setelah meledakkan Profesor Lupin, Rabastan Lestrange memang kembali menghilang tapi ia kembali lagi tatkala aku disiksa Lucius Malfoy.

Usai insiden ala opera sabun yang melibatkan diriku, Lucius Malfoy dan klan Lestrange, aku terseok-seok meninggalkan Lucius Malfoy yang tengah dipapah oleh dua sobat gemuknya. Efek kutukan Cruciatus Lucius Malfoy membuatku tak bisa melangkah cepat dan terpaksa terduduk nyeri, tak sadar dengan bahaya lain yang menanti.

"Wah, wah, wah. Lihat apa yang kita dapat di sini. Gundukan Galleon emas dan posisi empuk di Pelahap Maut."

Suara gonggongan serak Fenrir Greyback memaksaku mendongakkan kepala. Menyeringai lebar mempertontonkan gigi taring yang penuh darah segar, wajah bengis Greyback berkilau licik. Bau tubuhnya yang lebih menyengat dari comberan; campuran mematikan antara keringat, tanah dan darah manusia membuatku terancam kehilangan nafsu makan sampai seratus tahun ke depan.

"Hermione Granger. Tiket utama menuju kemakmuran masa depan."

Buru-buru berdiri tegak dan mengambil posisi menyerang, aku mengacungkan tongkat sihir. Mataku memicing waspada mencermati Greyback dan rekan sejawatnya, Scabior yang bersandar malas di pilar selasar.

"Ck, ck, ck. Turunkan senjatamu, Manis," Scabior berdecak-decak kurang ajar. Menjilat bibir tebal berliur yang berair, sepasang mata culas binatang kejam itu mengawasiku dari atas hingga bawah.

"Percuma melawan, Sayang. Hogwarts sudah terkunci dari dalam dan luar. Kau tak bisa keluar dari sini sekeras apapun usahamu."

"Bohong!" bentakku keras seraya melambaikan tongkat sihir ke udara.

"Reducto!"

Luka dan memar yang kudapat akibat kutukan Cruciatus Lucius Malfoy membuat ayunan tongkat sihirku kurang mantap. Bermodal gerakan serigala mereka yang gesit, Scabior dan Greyback bisa menghindar dari Mantra Reduktor tepat di detik-detik terakhir.

Mengambil kuda-kuda untuk melompat ke arahku, Scabior menggeram senang. Taringnya yang berkilat menyembul dari balik senyum simpulnya yang mengerikan.

"Diamlah di situ, Mungil. Kami akan segera membawamu ke Rabastan Lestrange untuk memperoleh uang tebusan."

"Sectumsempra!"

Tubuh Scabior yang setengah berada di udara terkoyak-koyak seperti terkena sabetan ribuan pedang. Berdebam jatuh ke lantai batu, Scabior mendengking kesakitan. Darah berbau busuk mengalir dari raga kotornya yang tersayat-sayat.

Menggemeretakkan taring, Greyback berpaling menghadapi lawannya. Di sana, di tengah bayangan cahaya obor yang menari-nari, Profesor Severus Snape berdiri tegak, tongkat sihirnya terjalin erat di jemari tangannya.

Profesor Snape rupanya tak datang sendirian. Di atasnya, tubuh kaku Harry melayang di udara. Tampaknya, Harry telah dibekukan dengan Mantra Petrificus Totalus sebelum dibuat mengambang dengan jampi-jampi Locomotor.

"Brengsek kau Snape! Dasar pengkhianat busuk!"

Greyback mengaum gahar, memamerkan geligi runcing yang merah kekuningan. Melihat kemurkaan pemimpin Snatcher dan manusia serigala itu, ekspresi dingin Profesor Snape tetap tak berubah.

Memakai guna-guna non-verbal, Profesor Snape berhasil melumpuhkan Greyback dengan mantra andalan, Sectumsempra. Menendang tempurung Greyback, Profesor Snape meludah ke lantai batu. Greyback yang masih hidup kendati badannya tercabik-cabik menggeram-geram murka, manik serigalanya menatap benci sosok musuhnya yang menjulang di atas kepalanya.

"Sayang sekali aku tak punya banyak waktu untuk menghabisimu, Greyback," Profesor Snape mendesis sadis, mematahkan hidung manusia serigala itu dengan hantaman ujung sepatu bot. Mengarahkan perhatian ke arahku yang terpaku, Profesor Snape membentak keras.

"Ini perang, Miss Granger. Sudah saatnya kau membiasakan diri melihat genangan darah."

Mengibaskan tongkat sihir, Profesor Snape memaksa tubuh beku Harry melayang mengikutinya. Menaikkan hidung bengkoknya, tanpa berkata-kata Profesor Snape menuntutku untuk bergegas membuntutinya.

Sepanjang perjalanan menuju lokasi perlindungan, berulang kali tongkat sihir Profesor Snape terpuntir di udara, mematahkan perlawanan Pelahap Maut yang terus membanjir seperti cendawan di musim hujan.

"Pelahap Maut itu masuk melalui Lemari Pelenyap yang terkoneksi dengan toko Borgin and Burkes di Diagon Alley," jelas Profesor Snape tiba-tiba, seolah memahami kebingunganku mengapa pelayan utama Lord Voldemort itu cepat sekali menembus pertahanan Hogwarts.

"Profesor, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku tersengal-sengal, kewalahan mengikuti langkah kakinya yang panjang dan lebar.

Mengawasi sekelilingnya dengan cermat, Profesor Snape tak mengendurkan langkah cepatnya. Untungnya, tak ada lagi Pelahap Maut yang berkeliaran di sekitar kami. Sepertinya, gerombolan kriminal kelas kakap itu lebih memilih berkonsentrasi pada pertempuran yang berlangsung di Aula Besar.

"Seluruh murid Slytherin membelot," Profesor Snape mengeluarkan suara berdecit seperti kucing kejepit pintu. "Ketika Potter muncul dari barisan Hufflepuff, mereka beramai-ramai menyerang dengan tongkat sihir mereka."

Bahuku bergetar membayangkan serangan tak diduga itu. Kepalaku terasa berputar tatkala membayangkan posisi seluruh siswa asrama lain yang tersudut karena tak memegang tongkat sihir. Tanpa adanya tongkat sihir, mereka seperti mengantarkan nyawa secara cuma-cuma. Tak ada bedanya dengan kelinci lumpuh yang terperosok di mulut macan kelaparan.

Otakku yang sempat beku karena ketakutan mulai kembali beroperasi. Pasti sejak awal peraturan penyitaan tongkat sihir hanya akal-akalan semata. Hanya siasat untuk memerangkap dan memusnahkan seluruh murid.

"Aku tak menduga anak didikku melakukan kudeta seperti itu. Pasti ada yang menghasut mereka. Padahal selama ini, sebisa mungkin aku menjauhkan siswa asramaku dari pertempuran terbuka," geram Profesor Snape, mengepalkan buku jari hingga berbunyi.

Menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Profesor Snape berhenti dan memejamkan mata di depan tembok batu. Tak lama kemudian, sebuah pintu besar muncul di depan kami. Tanpa banyak basa-basi, Profesor Snape mendesakku untuk segera memasuki ruangan.

Aku tercengang ketika menyadari interior Ruang Kebutuhan yang didesain Profesor Snape yang sama persis dengan rancangan Neville. Rupanya selama ini Profesor Snape mengetahui seluk-beluk aktivitas rahasia Laskar Dumbledore.

Melepaskan Harry dari Mantra Pembeku Tubuh, Profesor Snape mondar-mandir tak tentu arah. Sesekali tangannya yang lebam keunguan mengucek kelopak matanya yang berkedut kelelahan.

Sekejap setelah dirinya bebas dari Mantra Petrificus Totalus, Harry langsung melabrak Profesor Snape, meraung-raung menuntut dikembalikan ke Aula Besar. Emosi Harry semakin meledak-ledak setelah nama ibu tercintanya diangkat dalam perdebatan.

Menelan desahan, aku mengakhiri lintasan kenangan. Menautkan tangan di lutut, aku mengawasi Harry dan Profesor Snape yang masih belum selesai menggelar turnamen adu pelototan. Tak berkedip memandangi Harry yang terus melebarkan mata hijau cerahnya, Profesor Snape berdeham pelan.

"Aku tak bisa melindungi Lily. Setidaknya, izinkan aku melindungimu, Potter."

Aku dan Harry sama-sama melongo mendengar janji tersebut. Apa benar yang berdiri di hadapan kami ini Profesor Snape, penyihir yang terlahir ke dunia hanya untuk menyulitkan hidup Harry? Atau jangan-jangan ini Profesor Snape gadungan alias seseorang yang meminum Ramuan Polijus?

Menunjuk pintu lukisan Ariana, Profesor Snape berkata mantap, "Cepat kabur melalui lorong itu, Potter. Aberforth Dumbledore pasti bisa membantumu."

Seiring dengan selesainya instruksi, lukisan hidup Ariana mendadak dilalap si jago merah, menimbulkan jeritan panjang yang memilukan. Dari balik nyala api dan lungsuran abu Ariana yang menjerit-jerit kesakitan, dua Pelahap Maut tak bertopeng muncul sembari menyeringai liar.

"Sayang sekali, Snape. Si jompo Aberforth tak bisa menolong bocah sialan ini. Ia sudah kami kirim ke neraka dengan kereta pertama," Pelahap Maut pria bertubuh gendut tak berbentuk terkekeh menyeramkan, jemari bulatnya yang dipadati cincin batu jasper merah menepuk-nepuk jubah hitam legamnya yang dipenuhi abu suci Ariana.

"Wah, wah, wah. Terus terang aku sangat terkesan. Tumben Carrow Bersaudara yang terkenal lebih bloon dari Troll bisa berpikir. Rupanya, otak kalian yang cuma sebesar biji kuaci ada fungsinya juga," Profesor Snape mencemooh tenang, menarikku dan Harry untuk segera merapat ke belakang punggungnya.

Mendengus jijik, Alecto Carrow meludahi Snape dengan semburan air liur. Kejengkelan terpahat jelas di mata cokelat pudarnya yang menyala-nyala.

"Kami jelas lebih pintar dari kau, Snape. Bodoh sekali kau memilih berpihak pada pihak yang kalah," Alecto meringkik geli. Cekikikan seramnya mengingatkanku pada Banshee, hantu kuntilanak Skotlandia dan Irlandia.

"Serahkan dua bocah itu, Snape. Kami berjanji tak akan melaporkan pengkhianatanmu pada Pangeran Kegelapan."

"Sectumsempra!"

Profesor Snape melemparkan mantra favoritnya sebagai jawaban atas rengekan Amycus Carrow. Sayangnya, meski bodoh dan kelebihan bobot, kakak beradik itu cukup lincah bergerak dalam memblokir serangan tak terduga tersebut.

Meski dihadang di kiri dan kanan, tanpa kenal lelah Profesor Snape silih berganti menyemburkan mantra yang dikuasainya. Lambaian tongkat sihirku dan Harry ternyata tak banyak membantu. Di luar dugaan, Carrow Bersaudara ternyata lihai juga dalam memainkan sihir hitam.

Pergerakan Profesor Snape terkunci total ketika sekodi Pelahap Maut lain berbondong-bondong menyeruak dari lorong lukisan Ariana. Total jenderal, ada dua puluh dua Pelahap Maut yang mengepung kami dari berbagai sudut.

"Cepat lari!"

Profesor Snape mendorongku dan Harry ke pintu yang mendadak muncul dari balik dinding. Secara diam-diam, Profesor Snape rupanya berhasil memunculkan kembali pintu masuk yang tadi kami pakai untuk meretas ke Ruang Kebutuhan.

"Kejar mereka! Jangan sampai lolos!"

Gema teriakan Alecto bergetar di dinding Ruang Kebutuhan, membuat seluruh permadani hias copot dari tempatnya. Secepat kuda terbang, aku dan Harry menerobos pintu yang makin lama makin mengecil. Untunglah, kami berhasil keluar sebelum pintu itu menyusut dan lenyap, meninggalkan raungan benci Carrow Bersaudara yang teredam dinding batu.

"Harry! Apa yang harus kita perbuat sekarang? Semua jalan keluar telah tersegel dan tak ada yang bisa menembusnya kecuali..."

Rasa panikku berganti menjadi harapan ketika secuil pemahaman merasuk ke otak. Menarik tangan Harry, aku berderap mencari jalan tembus menuju Dapur Hogwarts yang terletak di bawah Aula Besar.

"Harry, kita harus minta bantuan Dobby. Hanya peri rumah yang punya kemampuan ekstra menembus mantra seketat apapun," seruku tersengal-sengal.

Mata hijau Harry yang tadi sempat redup kembali bergairah dengan harapan. Mencegat langkahku dengan remasan tangan, Harry memaksaku untuk menatap ke arahnya.

"Aku akan memanggil Dobby dari sini. Mungkin kita bisa meminta bantuan peri rumah lain yang bekerja di Dapur Hogwarts. Setelah itu, kita bisa menyelamatkan teman-teman kita yang lain."

Mengangguk sepakat, aku berdebar-debar menonton Harry menggumamkan nama Dobby. Kesetiaan Dobby pada Harry patut diacungi empat jempol. Hanya dengan sekali rapalan, bekas peri rumah keluarga Malfoy itu langsung muncul di hadapan kami.

"Harry Potter... Sir..." Dobby mencicit campur aduk, antara senang, haru dan takut. Meneliti keadaan di sekitar kami dengan bola mata bundar yang berputar-putar, Dobby mendadak menggamit lenganku dan Harry.

"Untunglah Harry Potter selamat. Dobby cemas bukan main sedari tadi, Sir," menolehkan tatapan jelinya ke arahku, Dobby kembali memohon-mohon.

"Ayo, Miss. Kita segera bawa Harry Potter pergi dari sini."

"Tunggu, Dobby," aku dan Harry menyela bersamaan.

"Kita harus berkeliling sebentar untuk menyelamatkan yang lain."

Dobby menggeleng-gelengkan kepala sekencang mungkin mendengar permintaan tersebut. Kuatnya gelengan itu menjadikan kuping kelelawarnya membentur-bentur pinggiran pelipisnya.

"Tak bisa, Sir. Hogwarts sudah tamat. Anda harus segera melarikan diri dari sini," ratap Dobby khawatir.

"Kami tak akan pergi tanpa sahabat-sahabat kami!" Lagi-lagi aku dan Harry berteriak kompak. Menunduk memandangi Dobby yang memberengut tak setuju, Harry mengulangi permintaannya.

"Kumohon, Dobby. Tolong bantu kami menemukan dan menyelamatkan teman-teman kami yang lain."

Mengusap sudut mata dengan lengan baju hangat yang sewarna bianglala, mata berair Dobby mengawasi kami dengan pandangan memuja.

"Dobby... hikss... tak akan bisa... hiks... menolak permintaan Harry Potter... Sir..."

Setelah Dobby menyanggupi keinginan Harry, kami bergegas mencari anggota Orde Phoenix maupun murid-murid lain yang masih hidup. Untuk mengantisipasi banyaknya muatan, aku meminta Dobby memanggil koleganya, sesama peri rumah yang mengabdi di Hogwarts.

Sayangnya, tak ada satu peri rumah pun yang mau menolong kami, termasuk Winky, peri rumah yang pernah berbakti pada keluarga Kepala Departemen Kerjasama Sihir Internasional, Bartemius Barty Crouch. Peri rumah perempuan yang selama ini aku perlakukan dengan penuh rasa hormat.

Sikap penakut Winky dan kawan-kawan tentu membuatku mencak-mencak. Namun, berhubung waktu kian sempit, aku membatalkan adu argumentasi. Tanpa permisi, aku berbalik pergi meninggalkan kerumunan peri rumah yang memilih bermain aman di balik hangatnya tungku Hogwarts.

Meski tak didampingi peri lain, jasa Dobby pada pergerakan kami sangat berharga. Dengan kemampuan menghilang dan menembus ke berbagai sudut, kami bisa menemukan Ginny, Ron, Luna, Dean Thomas serta guru Ramuan, Profesor Horace Slughorn yang terkapar letih di sudut ruangan berdebu.

Ketika kami bersiap pergi menghilang, Cho Chang, senior Ravenclaw yang pernah berpacaran singkat dengan Harry muncul dari sudut koridor. Menggandeng teman karibnya, Marietta Edgecombe yang terluka parah di wajah, Cho berteriak memanggil kami.

"Harry!"

Menengok ke arah Cho, Harry mendesak bekas pacarnya itu untuk segera bergegas menghampiri kami. Di tengah perjalanan, Marietta yang di tahun kelima lalu pernah membocorkan latihan rahasia Laskar Dumbledore mendadak mogok melangkah.

Menggeliat melepaskan diri, Marietta berupaya menyentak lepas tangan Cho yang membelit pundaknya.

"Lepaskan aku! Aku tak mau kabur! Biarkan aku kembali ke Aula Besar!"

Kekuatan lengan Cho sebagai Seeker Quidditch tentu lebih kuat dibandingkan tangan ceking Marietta yang manja. Terus menggelandang Marietta tanpa ampun, Cho mengomeli penyihir keriting kemerahan yang merengek di sampingnya.

"Apa kau gila? Untuk apa kita kembali ke sana? Kita akan mati konyol, Marietta!"

"Apa kau tak dengar apa yang dikatakan Lestrange Bersaudara di Aula Besar tadi? Kalau kita menyerah, kita bisa dibiarkan hidup," tangis Marietta semakin menjadi-jadi, jemari penuh lukanya mencakar-cakar udara, berjuang membebaskan diri dari jepitan lengan Cho di tulang pundaknya.

"Sudah, tinggalkan saja dia di sana!" Ron menghardik gusar, tampangnya yang coreng-moreng berkerut jijik, tampak tak sudi membayangkan bakal membopong penyihir yang berniat menyembah setan neraka.

"Sir, cepatlah, Sir. Kita tak punya waktu lagi," rintih Dobby lirih.

Prediksi Dobby bahwa waktu yang kami miliki amat terbatas terbukti. Seperti hantu Jelangkung yang datang tak diundang, pulang tak diantar, seorang Pelahap Maut berkedok perak tiba-tiba muncul tepat di hadapan kami.

"Expelliarmus!"

Bagi Pelahap Maut tersebut, Mantra Pelucutan Senjata Harry tak ubahnya permainan anak-anak. Dalam waktu sekaligus, seakan-akan dirinya memiliki dua tongkat sihir di tangan, Pelahap Maut itu memantulkan mantra Harry sekaligus membombardirnya dengan mantra-mantra pembunuh.

Menarik tangan Cho dan Marietta serta mendorong kami semua merapat ke sisi Dobby, Harry melompat menjauh sembari menghindari semburan kutukan yang ditujukan padanya. Menengok dari balik bahu, Harry memerintahkan Dobby untuk segera pergi.

Betapapun kerasnya usaha kami membujuk Harry untuk kabur bersama-sama, Harry menolak permintaan itu. Teman pertamaku di Hogwarts yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku itu memilih menyambut akhir nasib yang menanti.

Memilih untuk menyambut takdir kematian yang dibawa Pelahap Maut di hadapannya. Pelahap Maut yang dengan tegas melepas topeng perak untuk memperlihatkan seraut wajah yang sangat aku hafal. Wajah yang selama ini selalu menghantui alam tidur di malam hari.

Rabastan Lestrange...


"Salvio Hexia. Repello Muggletum. Cave Inimicum."

Usai merapalkan berlapis-lapis Mantra Perlindungan di sekitar ladang, aku menatap teman-temanku yang terduduk kuyu. Ginny yang bersandar di bahu Ron menangis sesenggukan memikirkan nasib Harry, kekasih yang sangat dicintainya. Di tengah ladang, Profesor Slughorn dibantu Dean Thomas berjibaku mengobati Cho dan Marietta yang terluka parah dengan Sari Dittany buatanku.

Luka menganga yang menimpa kedua siswi Ravenclaw itu terjadi karena sikap bandel Marietta yang menolak diajak menghilang. Keengganan ber-Disapparate itu berujung pada Splinching atau terpisah-pisahnya anggota tubuh saat ber-Apparition.

Tangisan penyesalan Dobby karena gagal menyelamatkan Harry turut menambah duka cita. Pikiranku berputar-putar mengenang kejadian buruk yang menghantam kami.

Malam ini, kami benar-benar gegabah dan tak berpikir masak-masak saat memutuskan pergi ke Hogwarts untuk mencari Horcrux yang tersisa. Harry yang menduga rencana perburuan Horcrux telah menggiring anggota Orde Phoenix ke zona genosida pasti dihinggapi rasa bersalah. Aku yakin, perasaan berdosa itulah yang membuat Harry menolak angkat kaki bersama kami.

Sekarang kami benar-benar terdampar dan tak memiliki jalan keluar. Setelah pergi dari Hogwarts, Dobby berusaha membawa kami pergi sejauh mungkin ke luar negeri. Tapi, semua pintu, alat maupun sistem transportasi telah diblokir secara sempurna.

Hijrah memakai proses manual juga tak mungkin sebab dengan memakai sihir, Pelahap Maut berhasil mengobrak-abrik sistem transportasi di seluruh Inggris. Kondisi kacau-balau itu membuat seluruh penerbangan ditunda. Selain itu, kami juga tak memiliki paspor maupun uang sepeser pun untuk membeli tiket pesawat. Tanpa tiket maupun dokumen resmi, kepergian ke luar negeri merupakan hal yang mustahil terjadi.

Pelan tapi pasti, kegelapan malam berganti fajar. Mencakung di pinggir ladang jagung, aku mencermati lautan uap air yang menggantung di angkasa. Di ujung cakrawala, cahaya mentari bersinar redup, tertutup kabut yang bisa jadi merupakan penjelmaan Dementor yang berseliweran mencari kami.

Mengajak seluruh penghuni tenda kecuali Cho dan Marietta yang belum sadar dari pingsannya untuk membuat Patronus, aku mengeluarkan sebungkus biskuit tawar dari dalam tas manik-manik yang sudah diberi Mantra Perluasan Tak Terdeteksi. Membagi-bagikan biskuit minim rasa itu secara adil, aku memulai diskusi mengenai rencana kami selanjutnya.

"Secara teknis, kita terkurung untuk selamanya di Inggris. Sekarang, ada yang punya rencana untuk menghadapi masa depan?" tanyaku pelan sembari menggigit kudapan garing tersebut.

"Kami sepakat menyerahkan semua kendali padamu, Miss Granger," tandas Profesor Slughorn. Jemari tangannya yang gemuk dengan gugup memilin-milin kumis anjing lautnya. Jubah besar yang dipakainya terlihat lusuh walau sudah dibersihkan berkali-kali dengan Mantra Scourgify.

Mengedarkan mata ke sekeliling tenda, aku menangkap sorot berharap yang terpancar dari enam pasang mata yang mengelilingiku. Melihat pandangan sarat optimisme itu, hatiku serasa diganduli batu.

Oh Merlin, bagaimana bisa mereka memercayakan nyawa mereka padaku? Bagaimanapun juga, aku juga masih remaja bau kencur seperti mereka. Anak kemarin sore yang tak akan mampu mengemban tugas dan tanggung jawab berat seperti ini.

"Salah satu dari kita harus ada yang hidup untuk melanjutkan perjuangan. Dan orang itu pasti kamu, Hermione."

Kata-kata terakhir Kingsley Shacklebolt berdengung kembali di telinga. Aku menutup mata rapat-rapat menghayati pesan kematian tersebut. Jikalau itu benar, bahwa akulah yang layak untuk memimpin mereka, bagaimana aku bisa bertahan menghadapi pertempuran berdarah-darah yang pasti akan berlangsung di masa depan?

"Ini perang, Miss Granger. Sudah saatnya kau membiasakan diri melihat genangan darah."

Lintasan peringatan dari Profesor Snape yang mungkin sudah tewas terbantai di Ruang Kebutuhan menghapus kegalauanku. Ya, ini perang yang bisa jadi tak mampu kami menangkan seutuhnya. Tapi, kami adalah tunas muda Orde Phoenix yang pantang menyerah sebelum mencoba.

Membuka mata perlahan-lahan, aku menghembuskan napas singkat sebelum mengeluarkan keputusan final. Keputusan terakhir yang disambut desahan setuju seluruh penghuni tenda.

"Mulai detik ini kita akan memulai perang gerilya melawan rezim kegelapan..."


Seperti yang sudah kuprediksi, perjuangan melawan setan tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi semenjak Lord Voldemort meluaskan jajahannya ke dunia Muggle Inggris dengan melumpuhkan kerajaan dan parlemen Inggris.

Dari luar, dengan manipulasi sihir, Inggris terlihat normal dan biasa-biasa saja, tak menunjukkan adanya pergolakan maupun peperangan. Tipu daya magis itu membuat Inggris lepas dari pengawasan maupun bantuan-bantuan negara lain.

Sejak jatuh dalam dominasi Lord Voldemort, Inggris yang aku kenal berubah total. Tanpa belas kasih, Pelahap Maut memburu, menyiksa, membunuh dan memperkosa Muggle-Muggle tak berdosa.

Sebelum disembelih seperti binatang, para Muggle malang ditampung dan disiksa di penjara bawah tanah Hogwarts. Memang, setelah hancur-lebur akibat perang melawan Orde Phoenix, Hogwarts dipugar ulang dan disulap menjadi istana sekaligus markas utama Pelahap Maut di Inggris Raya.

Nasib penyihir kelahiran Muggle bahkan lebih menyakitkan. Jika tertangkap, mereka dijadikan asahan pedang atau target mantra-mantra sihir hitam terbaru. Banyak juga penyihir cantik kelahiran Muggle yang terperosok di kamp kerja paksa maupun barak pelacuran Pelahap Maut.

Semua kabar mengenai praktik kekejaman itu bisa kudapat dengan mudah berkat akses berita yang dikucurkan Pelahap Maut. Setiap beberapa jam sekali, Pelahap Maut mencetak dan menyebarkan propaganda tentang keberhasilan mereka dalam menaklukkan daerah lain di Inggris.

Dari sekian banyak selebaran memuakkan, hanya ada satu warta yang sukses mengguncang mentalku. Berita mengenai tewasnya Harry Potter dan seluruh personel Orde Phoenix. Berita penuh kata-kata hiperbola itu dilengkapi dengan foto tulang belulang Harry yang dipajang di Atrium Kementerian Sihir Inggris.

Selain dari brosur yang diguyur Pelahap Maut melalui udara, aku juga bisa mengetahui kejatuhan dunia Muggle Inggris dari kehancuran kota maupun desa yang kami singgahi dalam masa pelarian.

London, contohnya. Distrik metropolitan yang dulu gemerlap dan penuh cahaya kini berubah mencekam. Gedung-gedung pencakar langit dirobohkan dan diganti bangunan berbatu yang angker dan suram.

Bangkai-bangkai gosong mobil dan kendaraan lain bertumpuk-tumpuk di sudut kota. Penyihir berdarah campuran miskin yang tak beruntung teronggok seperti gembel di sudut kota yang bobrok, mengemis-ngemis rezeki dari kalangan elit darah murni yang datang dan pergi untuk membeli budak.

Yang paling menyakitkan, transaksi perdagangan budak dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Sistem pelelangan tak beradab itu jelas mengusik nuraniku. Tak mau berpangku tangan, aku mengusulkan gagasan membebaskan para budak yang terkurung di berbagai kamp pelacuran.

Seperti biasa, tambahan misi itu ditepis habis-habisan oleh Marietta Edgecombe. Sedari awal, Marietta memang malas-malasan bekerja. Setiap kali diminta mengganggu konvoi Pelahap Maut, dara berwajah penuh luka itu selalu menolak dengan berbagai alasan. Selain sering mengganggu pergerakan, gadis lemah kemauan dan tak berpendirian itu selalu menyalahkanku atas kesialan yang diterimanya.

Kata Marietta, dengan status darah murni sekaligus posisi tinggi ibunya di Kementerian Sihir Inggris, dirinya pasti selamat dari kekejaman tiran kegelapan. Tapi, gara-gara dipaksa kabur bersama kami, ia harus luntang-lantung mengembara seperti gelandangan.

Rengekan remaja labil seperti Marietta terkadang membuat kepalaku serasa hendak pecah. Apalagi jika Marietta terlibat cekcok dengan Ginny. Ginny yang membenci Marietta karena gerakan lambannya saat kabur dari Hogwarts berimbas pada tewasnya Harry sering menendang dan mengusir seniornya itu dari tenda.

Hiruk-pikuk makin seru ketika Cho Chang ikut ambil bagian. Letupan kecemburuan antara Cho dan Ginny mengingat status mereka sebagai salah satu perempuan yang pernah lengket dengan Harry membuat pertengkaran makin merajalela.

Jika ketiga gadis itu sudah menggelar perang besar, aku memilih mengasingkan diri bersama Luna dan Profesor Slughorn. Walau sering bersikap aneh dan melamunkan ayahnya, Xenophilius Lovegood yang dibantai Pelahap Maut, Luna sangat bisa diandalkan.

Bersama-sama kami rutin mencari dan mengumpulkan aneka tanaman obat. Pengetahuan genius Profesor Slughorn mengenai ramuan dan tumbuhan herbal memungkinkan kami untuk meracik racun yang bisa mematikan pergerakan Pelahap Maut jika disebar melalui air dan udara.

Jika tak memiliki daya tahan mental yang kuat, aku mungkin sudah gila menghadapi amanat berat maupun keributan antar teman yang sering terjadi di dalam tenda. Apalagi dengan masalah lain yang harus kupikirkan, yakni hubungan cintaku dengan Ron yang semakin hambar dan merenggang.

Ron yang semula kukira bisa menjadi penopang ternyata tak mampu menjalankan peran dengan baik. Kami sering berselisih hanya karena masalah sepele seperti asupan makanan yang semakin menyusut.

Aku tak mengira perjalanan asmaraku dengan Ron akan menemui banyak batu sandungan seperti ini. Padahal dulu aku sangat bahagia ketika Ron menyatakan cinta padaku, sesaat sebelum kami meninggalkan Ruang Kebutuhan menuju Aula Besar.

Pertengkaran demi pertengkaran serta aneka ragam keegoisan itu membuat perasaan istimewa yang kusimpan pada pemuda berambut merah tersebut memudar.

Oh ya, aku memang masih menyayangi Ron tapi hanya dalam kapasitas sahabat dan saudara. Akhirnya, demi kebaikan dan ketenangan batin masing-masing pihak, kami memilih putus secara baik-baik.

Selama berbulan-bulan bergerilya mengacaukan kinerja Pelahap Maut, aku sangat bergantung pada jasa Dobby. Peri bermata hijau itu bisa membawa kami kabur secepat kilat seusai menyerang sekelompok patroli Pelahap Maut. Talenta yang membuat pemberontakan kami jadi lebih sukar untuk dihentikan.

Ternyata, perang sembunyi-sembunyi melawan Pelahap Maut tak hanya membutuhkan stamina, talenta maupun rencana, tapi juga mental setebal baja. Bagaimana tidak, kami harus mampu mengendalikan perasaan dan meredam kegetiran ketika menyelundup ke kamp kerja paksa dan barak pelacuran Pelahap Maut.

Kedua tempat terkutuk itu disesaki dengan ratapan dan isakan berkepanjangan yang menggetarkan bulu roma. Amunisi yang terbatas membuat kami tak bisa menyelamatkan banyak nyawa. Jikalau ada yang berhasil kabur bersama kami, banyak di antara mereka yang berperilaku seperti orang gila atau meninggal perlahan-lahan.

Meski Marietta kerap mencemooh tindakan membebaskan budak sebagai gerakan tak efektif, aku tetap pantang menyerah. Kendati tak sesering dulu, aku masih menggelar operasi penyelamatan jiwa tak berdosa. Perjuangan tersebut tentu membuat namaku dimasukkan ke dalam daftar buronan paling dicari.

Meski kelompokku tercatat sebagai buruan paling top abad ini, kadang-kadang aku merasa heran mengapa Pelahap Maut lamban sekali merespon pemberontakan yang kami lakukan. Jika dipikir dengan cermat, kekuatan Pelahap Maut yang berlipat-lipat tentu bisa melumat kami dalam sekejap.

Namun, selama tiga tahun aku bergerilya, kawanan pelayan setan itu tak pernah sekalipun menindak secara drastis. Sikap lembek itulah yang membuatku terus bertanya-tanya. Terus mengira-ngira sampai akhirnya jawabannya bisa kutemukan di sini.

Di kamp Brighton ini...


"Menyerahlah, Darah Lumpur. Kau sudah tak bisa lari lagi."

Mata abu-abu keperakan Draco Malfoy berkilat licik di tengah keremangan senja. Jemari pucatnya memuntir tongkat sihirku yang tadi dirampasnya.

Terduduk dan memegangi tulang rusuk yang patah akibat hantaman kutukan beruntun, aku memandang garang Malfoy yang menyeringai girang. Mengerjapkan mata meredam rasa sakit yang tak terhingga, aku berdoa dalam hati semoga Dobby bisa membawa lari sahabat-sahabatku yang lain.

Aku tak menyangka rencana penyerangan ke barak kerja paksa di Brighton yang sudah kurancang matang-matang bisa bocor. Saat tiba di lokasi, kami langsung disambut berondongan kutukan dari Pelahap Maut yang bersembunyi di sekitar bunker.

Sadar situasi sudah terjepit, aku sengaja memisahkan diri dari yang lain. Aku berharap sasaran tembak dialihkan padaku seorang sehingga Dobby bisa leluasa ber-Disapparate. Bagiku, tak apa-apa jika aku tak selamat asalkan teman-temanku yang lain bisa hidup dan melanjutkan perjuangan.

Mendongakkan dagu tinggi-tinggi, aku menatap Malfoy dengan pandangan yang mampu melelehkan besi. Terpaut lima langkah dari Malfoy, Theodore Nott bersandar tegang di sebatang pohon. Mengacungkan tongkat sihir dalam posisi siaga, sepasang mata hijau kejam Nott terus mengawasiku tanpa berkedip.

"Jangan harap aku mau tunduk di bawah kakimu, Malfoy."

Jika Malfoy hanya tergelak menghina, Nott menanggapi dengan provokasi blak-blakan. Melangkah maju, bajingan berambut cokelat kehitaman itu meliukkan senyum melecehkan.

"Siapa juga yang mau disembah oleh makhluk kampungan sepertimu," menjalin tongkat sihir di antara jemari indahnya, Nott meneruskan sindiran pedasnya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya si cantik Ginevra Weasley? Jika tertangkap, aku pastikan ia segera menjadi salah satu pelacur pribadiku."

Komentar seenak jidat itu kontan menaikkan emosiku yang menggelegak seperti minyak panas. Mengambil lempengan batu granit yang kebetulan berada di dekat tangan, aku melempar batu padat itu sekuat-kuatnya ke dahi Nott yang terkekeh mesum. Hasil lemparanku sangat memuaskan. Pelipis Nott yang ketimpuk langsung dihiasi benjol seukuran telur naga.

Mendesis berang, tampak tak terima dianiaya oleh penyihir sekaliber diriku, Nott membidikkan ujung tongkat sihirnya tepat ke jantungku.

"Dasar jalang! Crucio!"

"Protego Maxima!"

Aku yang sudah bersiap menerima terjangan siksaan Cruciatus terperangah ketika Daphne Greengrass yang sedari tadi berdiri membisu di belakang Malfoy mengirimkan Mantra Pelindung untuk menyelubungi tubuhku.

"Daph! Kau sinting ya? Untuk apa kau membela wanita gua berkasta rendah seperti dia?" Nott membentak teman seangkatannya yang menjulang berang dengan kegarangan terang-terangan. Mendorong rambut panjang ke belakang, Daphne balas memelototi Nott dengan sepasang mata cokelat tajam yang bersinar menakutkan.

"Justru kau yang gila, Theo. Bukankah kita diperintahkan untuk menangkap Granger tanpa segores pun luka di tubuhnya?"

Melayangkan kuku jari telunjuk yang dicat dengan motif ular Slytherin, putri sulung keluarga ningrat Greengrass itu melanjutkan omelan.

"Sekarang lihat apa yang kalian lakukan! Meremukkan tulang rusuk dan berusaha menyiksanya dengan Cruciatus? Merlin!" Daphne menghentakkan hak sepatu bot tinggi berujung runcing ke rumput berbatu.

"Apa kalian lupa nasib seperti apa yang akan menimpa siapapun yang berusaha menghujani Granger dengan kutukan Cruciatus?"

Lucius Malfoy...

Ingatanku kembali memutar balik kejadian tiga tahun lalu di Perang Besar Hogwarts. Ketika itu, kepala keluarga Malfoy nyaris mati sekarat dihajar Rabastan Lestrange karena berani melakukan kutukan Cruciatus padaku.

Draco Malfoy tampaknya juga mengingat hal serupa sebab si pirang platina yang mengaku-aku sebagai Pangeran Slytherin itu kembali menusukku dengan tatapan penuh dendam yang sarat janji-janji mematikan.

"Petrificus Totalus."

Tubuhku mendadak sekaku papan setrikaan seusai terkena mantra yang melesat keluar dari ujung tongkat sihir Malfoy. Merapatkan kedua alis, wajah elok Daphne bersinar galak, menuntut diberi penjelasan selengkap mungkin mengenai alasan di balik tindakan membekukan tubuhku.

"Itu untuk mencegah si Darah Lumpur kabur selama kita mendiskusikan masalah ini," Malfoy mengedikkan bahu dan menyelipkan tongkat sihirku ke dalam kantung jubah hitam Pelahap Maut.

"Jelaskan, Daph. Kenapa kita tak boleh melukai Darah Lumpur sialan ini?" Nott melotot ke arahku, jemari tangannya yang penuh dosa nista meraba kening idiotnya yang masih berdenyut-denyut. Mendaraskan Mantra Penciut, berandalan berhati kering itu mengempiskan benjol majal yang dideritanya.

"Karena dia calon Ratu kita di Inggris ini."

Suara cempreng Pansy Parkinson mengalun dari belakang tubuhku. Tak bisa bergerak sesenti pun karena Mantra Pembeku Tubuh, aku hanya terpaku ketika seteru nomor satuku di Hogwarts itu menundukkan tubuh. Mendecakkan lidah, menirukan suara ular derik yang mendirikan bulu kuduk, gadis jahat bertampang mirip anjing pesek itu menyusuri lekuk wajahku dengan sapuan tongkat sihir.

"Apa? Calon Ratu kita?"

Nott tampak seperti mau muntah dan mati suri saking kagetnya. Memutar bola mata bulan purnama yang berkilat galak, Malfoy menepuk-nepuk pundak Nott yang nyaris terhuyung limbung.

"Oh iya, aku baru ingat kalau kau tak ada ketika kita menghabisi si pengkhianat Marietta Edgecombe."

Mendesah lamat-lamat untuk mendramatisir suasana, Malfoy mengerling penuh arti. Iris kelabu perak sepucat lapisan es-nya menyipit mengamati Pansy yang bergerak-gerak gelisah.

"Saat itu, Pansy disiksa habis-habisan karena menyebut Darah Lumpur ini sebagai perempuan goblok. Kata Paman Rabastan, mulut Pansy harus dicuci sebab ia berani menghina tunangannya. Calon Ratu kita di Inggris ini."

Sejuta macam pertanyaan yang wajib dikupas tuntas menggantung di serabut otak. Apa maksudnya dengan Marietta Edgecombe si pengkhianat? Apa itu tunangan Rabastan Lestrange? Calon Ratu di Inggris? Merlin, apa arti dari semua omong kosong ini?

"Astaganaga! Apa jadinya jika penghuni selokan dan Darah Lumpur kampungan seperti dia berdiri di samping Lord Rabastan?" rutuk Nott histeris, mengacak-acak rambut mengilap yang melapisi batok kepala dengan kedua tangan.

"Jangan terbiasa dengan julukan itu, Theo. Harap diingat, kau hanya bisa memanggilnya dengan julukan Darah Lumpur cuma di sini saja."

Astoria Greengrass, adik kandung Daphne yang sedari tadi memandangiku dengan sorot dengki akhirnya ikut umbar pendapat. Mendendangkan suara merdu yang mendayu-dayu, junior Slytherin itu kembali berceloteh. Selama berbicara, manik karamel-nya tetap mengunciku dengan pandangan iri.

"Kau tak bisa lagi menyebutnya Darah Lumpur jika ia sudah dibawa ke Hogwarts. Setibanya di Hogwarts, kita semua harus memanggilnya My Lady," jelas Astoria lugas, membungkuk sempurna seperti memberi hormat pada seorang permaisuri.

"Demi gigi Nagini yang tak pernah dicuci! Mana mungkin aku menyembah-nyembah perempuan kampung sejelek dia," Nott meludah ke arahku, tindakan yang pasti langsung kubalas dengan lemparan dua truk batu kali seandainya tubuhku tak membeku seperti sekarang ini.

"Mau bagaimana lagi, Theo," Astoria mendesah dengan nada pasrah yang dibuat-buat. Menegapkan punggung, gadis cantik yang dua tahun lebih muda dariku itu menghunuskan tatapan cemburu ke sosokku yang membatu.

"Kita harus tahu di mana posisi kita berada. Saat ini, posisi Granger ada di atas kita. Dia sudah terpilih untuk bersanding di samping Lord Rabastan sebagai istri dan Ratu-nya..."


"Aku bukan istri dan Ratu siapapun juga!"

Auman murka yang meloncat dari mulutku menggetarkan dinding kamar ukuran raksasa yang dilengkapi perabotan antik nomor wahid tersebut. Mengerjap-ngerjapkan mata, Winky meremas-remas jari pendek buntek di keliman jubah rombeng yang membalut rapat tubuh ringkihnya. Tak memedulikan rintihan ngeri Winky, aku terus memelototi wajah peri rumah perempuan yang menolak membantuku sewaktu Perang Besar Hogwarts lalu.

"Tapi My Lady, Anda akan menikah dengan Lord Rabastan. Jadi-"

"Sekali lagi aku bilang ya! Aku bukan Ratu! Bukan Dark Lady, My Lady atau apapun sebutannya itu!" aku menyembur panas, berkomat-kamit geram memuntahkan semua umpatan yang tertahan di bibir. Ya Tuhanku, siapa juga yang mau menikahi Rabastan Lestrange; pria bengis yang telah banyak menumpahkan darah manusia tanpa merasa bersalah.

Menyepak-nyepakkan kaki kencang-kencang ke lantai berselimutkan permadani beludru tebal, mataku mengawasi seisi kamar dengan teliti. Selain dibekali tempat tidur raksasa bertiang empat yang kokoh, kamar megah yang dirancang untuk kemesraan pengantin baru ini juga dilengkapi meja rias yang dipenuhi peralatan kosmetik, parfum mahal dan tumpukan kotak perhiasan.

Lemari baju dan sepatu yang terisi penuh diletakkan di ruang sebelah kanan, berbatasan dengan kamar mandi super-luks yang mampu menampung satu peleton pasukan berkuda sekaligus.

Dengan melihat pemandangan di luar jendela serta jalan koridor berbatu yang sangat familier karena selalu kutelusuri semasa bersekolah, aku yakin kamar ini berada di sayap timur kastil. Area yang dulunya merupakan wilayah asramaku di Hogwarts, Gryffindor.

"Kamar siapa ini?"

Menyusutkan lendir yang mengalir di hidung tomat dengan lengan baju kumal, Winky berkata terbata-bata, "Ini kamar Anda, My Lady."

Penjelasan Winky membuat kepalaku berdengap marah. Saat ditangkap tadi, aku sudah berharap terkungkung di dalam penjara bawah tanah atau langsung dieksekusi mati. Aku tak pernah mengira disuruh bersantai-santai di ruangan super-besar ini.

"Aku tak mau tidur di sini. Kurung saja aku di penjara bawah tanah Hogwarts yang fenomenal. Atau gantung terbalik saja aku di batang pohon Dedalu Perkasa," aku meracau bertubi-tubi, tak sudi memikirkan kemungkinan beristirahat di kamar yang disiapkan oleh iblis nista seperti Rabastan Lestrange.

Amarahku makin menyala tatkala Winky memintaku untuk mengenakan gaun sutra putih bertahtakan intan permata. Dengan emosi memuncak, aku menepis gaun mewah yang jelas-jelas dirancang untuk calon pengantin yang berbahagia.

Pembangkanganku untuk menolak segala pemberian Pelahap Maut runtuh ketika Winky mengiba-iba dan mengatakan dirinya bakal disiksa jika gagal melaksanakan tugasnya.

Mau tak mau, aku terpaksa menyanggupi semua permintaan Winky. Semuanya! Termasuk menemui Rabastan Lestrange, bajingan yang disebut-sebut Pansy Parkinson dan Astoria Greengrass sebagai calon suamiku.

Pertemuanku dengan Rabastan Lestrange di Aula Besar Hogwarts yang ditata habis-habisan seperti pesta perayaan berlangsung horor dan berdarah-darah. Di depan mataku, Rabastan Lestrange menghabisi Ron dan Viktor Krum hanya karena di masa lalu dua pemuda itu pernah menjadi kekasihku.

Kegilaan yang kualami semakin bertambah saat tiga teman perempuanku, Luna, Ginny dan Cho Chang diseret ke tengah ruangan. Dalam kondisi luka dan baju compang-camping, mental mereka dirusak dengan ancaman dipekerjakan sebagai budak seks Pelahap Maut.

Tak bisa membelenggu emosi, aku menghambur maju dan menyerang Rabastan Lestrange dengan semua kemampuan yang ada pada diriku. Tanpa kenal lelah aku mencakar, menendang, meninju dan menghardik. Oh, betapa aku berharap pernah mendalami ilmu bela diri agar bisa melumpuhkan pria kejam itu dalam satu gebrakan.

Sayangnya, perlawanan sengitku sia-sia belaka. Aku tak bisa mengelak dari tuntutan pernikahan ketika orangtua yang sangat aku cintai dibawa paksa ke dalam konfrontasi. Wajah pucat mereka bertambah pias sewaktu mendengar gemuruh teriakan lancang yang menuntut pencabutan nyawa mereka.

Di saat diriku dihadapkan dengan pilihan sulit seperti memakan buah simalakama, layakkah keputusan final yang aku ambil? Tanpa bisa dihentikan, air mataku menetes jatuh saat bayangan tentang kerangka Harry yang terbaring di Atrium Kementerian Sihir Inggris merayap di benak.

Oh Harry, maafkan aku karena mengkhianati janjiku sendiri. Maafkan aku karena tak bisa teguh berdiri melawan setan-setan kegelapan ini. Maafkan aku karena bersedia mengucapkan sumpah setia untuk mendampingi seorang Pelahap Maut sampai akhir hayat nanti...


Memandangi wajahku dengan intens, Rabastan Lestrange mengucapkan janji pernikahan dengan lantang dan mantap. Air mataku nyaris menggenang ketika ia menyelipkan cincin pusaka keluarganya di jari manisku. Tubuhku hampir merosot pingsan ketika ia menyegel ikatan kami dengan ciuman membara di bibirku.

Menggandeng dan meremas lembut tanganku yang menggigil, kami berjalan menuju Meja Tinggi, diiringi tepuk tangan riuh dari ratusan Pelahap Maut yang memadati ruangan. Menempatkanku dengan lembut di salah satu singgasana, Rabastan Lestrange mengusap mesra pipiku yang dibasahi keringat dan sisa air mata.

Melengos cepat, aku memantau seisi ruangan. Dari sekian banyak tamu, orangtua dan tiga teman perempuanku tak terlihat batang hidungnya. Sebelum upacara pernikahan digelar, aku meminta orangtuaku menenangkan diri mereka di tempat aman. Proses penangkapan dan pengembalian kembali ingatan mereka tentu sangat melelahkan jiwa dan raga.

Sedangkan untuk Ginny, Luna dan Cho, aku tak sanggup jika pernikahanku disaksikan oleh mereka bertiga. Aku tak akan tahan jika nantinya mereka merendahkanku karena rela menjadi pendamping Pelahap Maut. Untuk mencegah pandangan hina itu, aku memohon kepada Rabastan Lestrange untuk memberi tiga teman terdekatku kesempatan beristirahat di sektor barat Hogwarts.

Bertolak belakang dengan mendung di mukaku, wajah Rabastan Lestrange bersinar cerah seakan-akan seisi dunia ada dalam genggamannya. Setelah resmi menjadi suami-istri, ia juga tak ragu-ragu lagi mengumbar kemesraan di depan umum.

Tangan perkasanya terus memeluk dan mengusap halus punggungku. Sesekali ia menarikku merapat dan menciumi puncak kepalaku dengan perlahan. Tak jarang ia menangkupkan wajahku dengan dua tangannya dan memandangiku dalam-dalam tanpa berkedip.

Semua perhatian dan keintiman itu tak membuatku bisa menikmati semua rangkaian acara yang berlangsung, baik secara sihir maupun gaya biasa. Jika prosesi pernikahan kami dilakukan dengan metode sihir kuno yang membuat ikatan kami tak bisa diganggu gugat kecuali oleh kematian, pesta perayaan dilakukan selayaknya pasangan Muggle lainnya.

Dengan bersemangat, Rabastan Lestrange mengajakku bersulang dan memotong kue pengantin putih yang berukuran setinggi Menara Astronomi. Ia juga tanpa ragu membimbingku untuk berdansa pertama kali sebagai suami-istri.

Ya Tuhan, mengapa ia melakukan semua hal yang selama ini kuidam-idamkan? Aktivitas yang dulu pernah kubayangkan akan terjadi dalam pesta pernikahanku suatu saat nanti? Darimana ia tahu apa yang aku inginkan? Bagaimana ia bisa dengan mudahnya mengabulkan semua yang aku impikan?

"Aku mencintaimu, Hermione. Sangat mencintaimu."

Rabastan Lestrange berulang-ulang membisikkan kalimat itu di kupingku, tak menghiraukan penolakan kasar yang kutampilkan. Setiap kali bibirnya bergumam lembut di telingaku, aku memejamkan mata rapat-rapat, menahan tangis dan seribu satu macam emosi yang bergolak di dada. Pundakku bergidik jijik setiap kali mulutnya menciumi seluruh bagian wajahku.

Genggaman erotis lengannya di pinggangku membuat pikiranku menerawang tak tentu arah. Oh Tuhan, bagaimana bisa aku menghadapi hari-hariku selanjutnya? Sanggupkah aku menolak jika ia memaksakan kehendaknya pada tubuhku malam nanti?


"Nah Little One, mulai sekarang ini akan menjadi kamar kita."

Tersenyum mesra, Rabastan Lestrange menurunkanku dari gendongan. Mendudukkanku di ranjang besar yang sudah dihiasi banyak kelopak mawar, jemari hangat Rabastan Lestrange menyusuri lekuk pipi dan garis rahangku.

Menundukkan kepala, Rabastan Lestrange mencium dan memagut bibirku dengan bernafsu. Di saat jemari laparnya mencoba membuka kaitan gaun, aku berontak sejadi-jadinya.

"Tidak! Lepaskan aku!"

Aku berteriak, mendorong dan meninju dada bidangnya yang terbalut tuksedo mahal. Melompat ke sudut kamar, aku berdiri ketakutan seperti lalat yang terjerat di jaring laba-laba pemangsa.

Manik hitam arang Rabastan Lestrange tercengang memandangi tubuhku yang bergetar ketakutan. Menghembuskan napas pendek, Rabastan Lestrange bangkit dan beranjak mendekatiku.

"Jangan dekati aku! Jangan coba-coba menyentuhku!" aku berteriak sekencang-kencangnya, mengamuk dan melempari semua barang yang ada di dalam jangkauan tangan.

Menghindari semua benda yang meluncur ke arahnya dengan mulus, dalam jeda singkat Rabastan Lestrange sudah menjulang di hadapanku. Tak menggubris tinju di dadanya, Rabastan Lestrange menarikku ke dalam pelukan. Mengelus-elus tulang punggungku yang bergetar, Rabastan Lestrange menenangkan kekalutanku dengan kata-kata dan janji lembut.

"Ssst, tenang Little One. Aku janji tak akan memaksamu."

Aku menggeleng-gelengkan kepala sekuat-kuatnya, tak memercayai semua janji yang keluar dari mulutnya. Aku tak yakin bandit licik dan gemar menghalalkan segala cara seperti Rabastan Lestrange mampu mematuhi semua janji-janjinya.

"Bohong! Dasar pembohong!"

Terkekeh pelan dan makin merapatkan tubuhku dalam dekapan eratnya, Rabastan Lestrange mengecup ubun-ubunku. Selama ia memanjatkan janji-janji, jemarinya merayap perlahan, menenangkan getar kecemasan yang merajai pundakku.

"Aku janji, Little One. Semua keinginanmu adalah perintah bagiku."

Mendongakkan kepala secepat mungkin, aku bersiap membuka mulut. Namun, sebelum tenggorokan terkuak, Rabastan Lestrange menempelkan jarinya di bibirku.

"Tapi jangan minta aku untuk melepaskanmu. Apapun akan aku lakukan selain itu."

Memberengut gusar, aku membuang muka. Percuma saja jika aku tak bisa memintanya untuk melakukan hal itu. Percuma saja jika aku tak bisa memaksanya untuk membebaskanku dari ikatan pernikahan ini untuk selama-lamanya.

Menghela napas samar, Rabastan memegang daguku dan mendesakku untuk menatap wajahnya. Aku tercekat menyaksikan kesungguhan yang bersinar di kedua bola mata hitam yang berkilat-kilat penuh pengharapan.

"Jangan memintaku untuk melepasmu atau berhenti mencintaimu, Little One. Aku benar-benar mencintaimu dan hidupku tak akan sempurna tanpamu."

Menahan keinginan meludahi pahatan sempurna wajah tampan yang menggetarkan, aku menggeram sebal. Dengan sengaja, kuluapkan semua kebencian dan kemarahan sewaktu mengeluarkan isi hati yang sesungguhnya.

"Aku tidak mencintaimu!"

Entah terbuat dari bahan material apa hati pria yang ada di depanku ini. Semua hardikanku yang menyengat tak membuatnya kesal atau menciut. Ia malah menatapku dengan sorot memuja yang lebih membara dari sebelumnya.

"Tak apa-apa jika kau tak mencintaiku, Hermione. Cintaku padamu sangat besar sehingga cukup untuk kita berdua. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengizinkanku untuk mencintaimu selamanya."

Aku hanya mencibir sinis menanggapi perkataan berbunga-bunga barusan. Rabastan Lestrange ternyata tak hanya pintar dalam merancang strategi perang maupun skema genosida. Ia juga piawai merangkai rayuan gombal yang mungkin bisa melelehkan hati wanita lain, tapi tidak untukku.

Sampai akhir zaman pun aku tak mungkin bisa mencintainya. Aku tak mungkin bisa jatuh hati pada penyihir yang bertanggung jawab pada kematian tragis teman-teman terkasihku!


Aku tak mungkin bisa mencintainya. Aku tak mungkin bisa jatuh hati pada penyihir yang bertanggung jawab pada kematian tragis teman-teman terkasihku!

Bersandar di kursi berlengan yang empuk, aku mendesah dan memandangi gumpalan awan kumulus yang meluncur mulus, berarak-arak menjauh menuju hutan landai luas yang beraroma tajam. Dari hari ke hari, sumpah yang kutanamkan dalam hati sepertinya sulit terealisasi.

Sesuai janjinya, Rabastan Lestrange sepakat menunda aktivitas suami-istri kami sampai waktu yang tak ditentukan atau setidaknya sampai aku mengizinkannya.

Meski kami tak berhubungan intim, ia selalu tidur di sampingku. Masih nekat memelukku dari belakang kendati berulangkali tubuhnya aku tendang-tendang.

Setiap malam saat kami berbaring di peraduan, ia juga tak pernah jemu merangkul sembari menggumamkan kata-kata cintanya padaku. Kalimat manis yang lambat-laun menjadi alunan nina bobo yang sudah seperti dongeng pengantar tidur. Sumpah setia dan ikrar cinta yang tanpa bisa aku hindari selalu kunanti-nantikan sebelum terlelap di alam mimpi.

Membolak-balik buku Jurus Jitu Menghadapi Tipuan Seru tanpa tujuan yang jelas, aku menguap lebar-lebar. Mengambil secangkir kopi susu di atas meja, aku menyesap pelan-pelan untuk menjernihkan pikiran sekaligus menghilangkan kantuk yang mendera.

Bagaimana mungkin aku bisa bersikeras membencinya jika mengingat semua perlakuan romantisnya padaku? Rabastan Lestrange tak pernah mengomeli sikap dinginku padanya, atau kebiasaanku yang selalu memanggilnya dengan nama lengkap.

Ia juga tak pelit memberikan akses bagiku untuk meneliti literatur tua maupun pustaka di Seksi Terlarang Perpustakaan Hogwarts yang masih rapi terawat.

Bahkan, jika aku tertidur kelelahan karena membaca semalaman, Rabastan Lestrange tak pernah bosan-bosannya menggendongku ke kamar. Membaringkanku dengan hati-hati sebelum memulai ritual malamnya. Memelukku dari belakang dan membisikkan kalimat cinta padaku.

Tak hanya menyediakan banyak buku untuk memuaskan rasa ingin tahu dan nafsu menuntut ilmu, Rabastan Lestrange juga menyediakan masa depan yang lebih baik bagi orangtua dan teman-temanku.

Untuk orangtuaku, Rabastan Lestrange menyediakan paviliun khusus untuk mereka, di sayap barat Hogwarts. Zona bekas asrama Ravenclaw yang menyajikan pemandangan fantastis ke seluruh penjuru mata angin. Demi memastikan keamanan orangtuaku, Rabastan Lestrange juga memberikan penjagaan penuh satu kali dua puluh empat jam.

Sedangkan untuk ketiga sahabatku...

Aku nyaris terkikik membayangkan reaksi si preman cabul Theodore Nott ketika mengetahui rencana Rabastan Lestrange menikahkan Ginny dengan Yaxley; salah satu petinggi Pelahap Maut dan Kementerian Sihir Inggris.

Ha! Nott pasti tak mengira penjahat perang sekaliber Rabastan Lestrange mau-maunya memikirkan keselamatan teman-temanku.

Sejak upacara pernikahan itu, Nott tak berani memandangku sama sekali. Ia pasti cemas aku akan mengadukan semua tingkah kurang ajarnya. Untung saja, aku tak berselera jadi biang gosip. Kalau tidak, setan bermental mesum itu pasti sudah jadi santapan mayat hidup Inferi di Danau Hitam.

Ginny Yaxley. Luna Travers. Cho Dolohov.

Menatap nanar jajaran rumpun bunga lilac yang berbaris rapi di pinggir taman, aku mendesahkan ketiga nama baru teman-temanku. Seminggu setelah pernikahan kami, Rabastan Lestrange menikahkan ketiga sahabat perjuanganku dengan Pelahap Maut kepercayaannya.

Jika Ginny dengan Yaxley, Luna Lovegood dinikahkan dengan Travers, Pelahap Maut yang di masa lalu pernah memutilasi ayah Luna, Xenophilius Lovegood karena memberi dukungan moril untuk perjuangan Harry melalui tabloid terbitannya, The Quibbler.

Jika Luna dijodohkan dengan pembunuh ayah kandungnya sendiri, Cho menjadi pendamping Antonin Dolohov, Pelahap Maut yang punya andil dalam pembantaian personel Orde Phoenix generasi pertama, Fabian dan Gideon Prewett.

Ketika aku meributkan masa lalu kelam ketiga Pelahap Maut itu, Rabastan Lestrange menenangkan diriku dengan mengatakan bahwa ia sudah mengikat tiga bawahannya dengan Sumpah Tak Terlanggar. Janji yang berisi ancaman kematian mengenaskan jika mereka berani menyakiti ketiga temanku secara fisik dan mental.

Dengan kata lain, aku tak perlu khawatir jika teman-temanku terluka meskipun kami tak bisa bertemu sesering mungkin. Sejak menikah, sahabat-sahabatku langsung diboyong suami mereka masing-masing ke tempat yang berbeda-beda. Jika Cho menetap di Australia, Luna dibopong ke Afrika Selatan. Ginny sendiri dibawa Yaxley tinggal di Amerika.

Menggoyang-goyangkan kaki yang terbalut sepatu kulit rusa, aku menopangkan wajah dengan dagu, dengan lesu memikirkan semua peristiwa yang terjadi seusai pernikahanku yang fenomenal.

Bellatrix Lestrange, kakak ipar Rabastan Lestrange tentu merupakan pihak yang paling menentang ikatan ini. Tapi, bisa apa nenek sihir teler itu jika Tuan Besar-nya yang Terhormat, si Lord Voldemort merestui perkawinan kami?

Keluarga darah murni lainnya juga tak kalah kaget mengetahui aku menjadi penguasa mereka. Saat sesi minum teh sore bersama grup Nyonya-Nyonya Sosialita Dunia Sihir Inggris beberapa minggu lalu, misalnya.

Ibu Draco Malfoy, Narcissa Malfoy yang sering merendahkanku semasa aku bersekolah hampir tak berkutik ketika aku memasuki ruangan. Jari-jari ramping lentiknya terus-menerus gemetar ketika menggenggam cangkir teh. Dari roman wajah yang pucat seperti mayat saking ketakutannya, Narcissa Malfoy pastilah mengira riwayatnya akan tamat kapanpun aku menghendakinya.

Kecemasan yang menaungi kumpulan Madam elit itu sempat membuatku tersinggung. Tenang saja ibu-ibu, aku bukan perempuan aji mumpung. Aku tak berhasrat membalas dendam atas tingkah laku menjijikkan kalian di masa lalu.

Biar bagaimanapun juga, aku bukan tikus pengecut seperti Marietta Edgecombe yang tega mengadu dan mengumpankan teman-temannya sendiri. Yang aku pikirkan hanyalah cara untuk memperbaiki kondisi di sekitarku.

Memperbaiki kondisi...

Ya, itu juga salah satu aspek yang membuat kebencianku pada Rabastan Lestrange memudar. Saat aku menuntut tak ingin melihat satupun Dementor melintas di sekitarku, Rabastan Lestrange mengharamkan Dementor memasuki pekarangan Hogwarts. Penghisap jiwa berbau menyengat itu hanya diperbolehkan gentayangan di tapal batas perbatasan.

Ketika aku meraung melarang praktik perbudakan di Hogwarts, Rabastan Lestrange melepaskan semua budak Muggle yang semula diperdayagunakan di sana.

Keputusan yang kutahu menimbulkan gelora kebencian di kalangan Pelahap Maut lajang yang menetap di benteng Hogwarts mengingat selama ini mereka kerap melampiaskan depresi mereka dengan menganiaya para Muggle. Tapi, seberat apapun kejengkelan mereka padaku, para Pelahap Maut kacangan itu tak bisa mengganggu gugat semua wewenang yang aku miliki.

Meski membebaskan Muggle, Rabastan Lestrange tetap menyekap penyihir pembelot yang nekat melawan rezim lalimnya. Keputusan sepihak yang meskipun kubenci terpaksa aku terima dengan setengah hati.

Selain itu, kendati aku menolak didampingi dayang, budak atau pembantu, Rabastan Lestrange tak mau membiarkanku berkeliaran di Hogwarts sendirian. Sebagai gantinya, Rabastan Lestrange meminta Winky untuk menjadi asisten setiaku.

Jika ia bertandang ke luar Hogwarts atau keluar negeri, Rabastan Lestrange selalu mengajakku untuk pergi bersamanya. Pada awalnya, aku berniat menepis keinginannya, tapi pemikiran bahwa aku bisa merehab kondisi di benteng persinggahannya membuatku terpaksa mengikuti kemanapun kakinya melangkah. Rencana perombakan yang lagi-lagi didukung sepenuhnya oleh dirinya.

Memijat-mijat jidatku yang berkerut pening, aku menghela napas tak percaya. Apa mungkin aku terkena Sindrom Stockholm? Sindrom di mana seorang tawanan jatuh cinta pada penyanderanya sendiri?

Merlin!

Aku terlonjak dari kursi dengan kecepatan ekstra. Aku tak boleh membiarkan perasaan berbahaya ini berkembang. Aku tak bisa mengkhianati pengorbanan mendiang teman-temanku dengan mencintai pembantai mereka. Untuk memastikan hal itu tak pernah terjadi, aku harus melakukan satu cara.

Dan cara itu akan aku lakukan detik ini juga!


Menopangkan tubuh ke tembok dingin berlumut, aku menutup mata lekat-lekat. Mungkin gagasan pergi ke penjara bawah tanah ini merupakan rencana terburuk yang pernah kupikirkan.

Baru sampai di dekat tangga menuju pintu sel saja hatiku sudah mencelos. Teriakan memilukan dan jeritan kesakitan para tahanan menyiksa gendang telingaku. Sanggupkah aku jika terus melangkah dan menyaksikan penderitaan mereka dengan mata kepala sendiri?

Meneguhkan hati, aku memberanikan diri beranjak maju. Jangan jadi penakut, Hermione, mata batinku berbisik keras. Ini satu-satunya taktik untuk membangkitkan amarah Rabastan Lestrange.

Sedari awal, Rabastan Lestrange memang sudah melarangku untuk mendekati penjara bawah tanah. Jika aku tertangkap basah, aku yakin dia pasti mengamuk dan bertindak kasar. Mungkin saja aku bisa memupus semua ketertarikan jika ia berani memukuli tubuhku dengan tangannya yang berlumuran dosa.

Ketika tanganku bersiap memutar selot pintu yang dibelit rantai tebal, pintu mendadak menjeblak terbuka. Untung saja aku bergerak tangkas sehingga daun pintu itu tak sempat membentur wajahku.

"My Lady? Apa yang kau lakukan di sini?"

Cormac McLaggen, bekas teman seasramaku di Hogwarts memandangiku keheranan. Melihat arah tatapan mataku yang sarat rasa penasaran, McLaggen buru-buru menutup pintu di belakangnya, memblokir pemandangan dan penyiksaan tak berperikemanusiaan yang berlangsung di sana.

Memelototi wajah McLaggen yang gugup dan kikuk, aku melipat kedua tangan di dada. Aku benar-benar sakit hati mengetahui pria yang pernah berbagi suka dan duka bersamaku tega menyakiti sesama manusia.

Menarik jubah McLaggen dan memelototi lengan kirinya yang distempel tato Tanda Kegelapan, aku menghardik kasar.

"Dasar pengkhianat! Aku tak menyangka kau membelot ke kubu Voldemort. Bukankah kau sudah tahu kalau menjadi Pelahap Maut itu berarti kau menjual jiwamu kepada iblis?"

Melepas tangan dari cengkeramanku, McLaggen menundukkan wajah, tak berani menatap mataku yang berkilat tajam. Berkata lirih dan terputus-putus, bangsawan darah biru yang pernah mati-matian berjuang mengajakku berkencan di tahun keenam itu menjelaskan bahwa dirinya terpaksa bergabung demi menyelamatkan keluarga besarnya.

Menurut McLaggen, ketika Hogwarts ditundukkan, Lord Voldemort memerintahkan sandera yang tersisa, terutama siswa berdarah murni untuk bersujud di bawah kakinya. Jika para tahanan menolak, iblis bermuka reptil itu memastikan akan memusnahkan semua keturunan mereka tanpa sisa.

Begitu juga halnya dengan Seamus Finnigan. Kendati dirinya berdarah campuran, Lord Voldemort yang membutuhkan banyak prajurit untuk menginvansi negara lain mau menerimanya bergabung. Dengan berat hati, untuk bertahan hidup sekaligus menyelamatkan keluarganya, Seamus merelakan kulit lengan kirinya dibakar dengan cap Tanda Kegelapan.

Penjelasan McLaggen menjadikan kemarahanku yang ada di batas maksimum menyusut. Aku tak mungkin menyalahkan McLaggen atas keputusan yang ditempuhnya. Bukankah aku juga sama sepertinya? Mau menikahi Panglima Tertinggi Pelahap Maut demi menolong orangtua dan teman-temanku?

Menggenggam tangan McLaggen yang berkeringat dingin, aku melempar senyum ironis. Tampak tak nyaman dengan kedekatan kami, mantan Kiper tim Quidditch Gryffindor itu bersusah-payah melepaskan tangannya. Semakin kuat ia mencoba membuka cekalan tanganku, semakin sengit aku menahan. Aku belum mau membebaskannya sebelum menyatakan isi hati sampai tuntas.

"Aku mungkin belum memaafkanmu sepenuhnya. Tapi, aku masih menganggapmu sebagai temanku. Jadi, mulai sekarang jangan panggil aku My Lady. Panggil saja aku Hermione seperti biasanya kau menyapaku."

Paras McLaggen yang sudah pucat makin seputih kertas ketika mendengar permintaanku. Bergumam berat, pria berambut kawat itu berkata terpatah-patah.

"Tak mungkin, My Lady. Saya harus sadar di mana posisi saya sebenarnya."

Dengusan hidungku bergema lantang di sekitar koridor lembap yang remang-remang. Ada apa sih dengan kata posisi? Mengapa kalimat itu mendadak jadi topik terhangat abad ini? Setelah Astoria Greengrass, kini Cormac McLaggen yang membawa-bawa kata posisi ketika berhadapan denganku.

Masih menggenggam tangan McLaggen, aku berusaha menyampaikan pendapat mengenai posisi kami.

"Dengar, aku-"

"Wah, sepertinya aku mengganggu reuni kalian."

Suara dingin yang kental dengan emosi tertahan mengusik pembicaraanku dengan McLaggen. Berpaling ke belakang, aku melihat Rabastan Lestrange bersandar di dekat tembok, diapit pengawal-pengawalnya yang berbaris rapi. Melengkungkan alis hitamnya yang tebal, mata Rabastan Lestrange menyipit mengawasi tanganku yang terjalin dengan tangan McLaggen.

Sadar akan arah tatapan Panglima Tertinggi-nya, McLaggen menyentak lepas tangannya. Tubuh jangkungnya yang selalu terlihat kekar tampak merunduk dan menggigil takut. Melihat perubahan atmosfer di sekitar kami, otakku langsung bisa memahaminya.

Oh Merlin! Aku memang berkehendak Rabastan Lestrange marah padaku karena nekat menyusup ke sel bawah tanah, tapi aku tak menginginkan McLaggen terseret-seret dalam masalah ini. Rabastan Lestrange pasti mengira ada pertemuan rahasia antara aku dengan McLaggen.

Menilik sikap posesifnya selama ini, terbukti dengan aksi pembunuhan brutal yang dilakukannya pada dua mantan kekasihku, Ron dan Viktor Krum, bisa dipastikan McLaggen bakal bernasib serupa. Mengutuki diriku sendiri karena ketololan dan kecerobohanku, aku berusaha menetralisir salah paham yang terjadi.

"Dengar, aku sama sekali tidak ada-"

Aku tak bisa menuntaskan penjelasan karena Rabastan Lestrange sudah menarik dan menekan tubuhku ke dinding batu. Menopangkan tangan kokohnya di belakang kepalaku, Rabastan melumat bibirku dalam satu ciuman panjang yang kuat dan menuntut.

Aku terengah-engah menerima ciumannya yang rakus dan penuh gairah. Melepaskan mulutku untuk memberiku kesempatan menghirup udara, Rabastan Lestrange mengarahkan perhatiannya ke leherku. Bibirnya dengan lapar menjelajahi tempat di mana titik nadiku berdenyut kencang.

Meskipun ciuman panasnya membuatku jengah karena dilakukan di depan banyak pasang mata, aku tak kuasa menolak mengingat janji yang kami sepakati. Di awal pernikahan, aku memang mengharamkan Rabastan Lestrange untuk menyempurnakan pernikahan kami dengan hubungan suami-istri.

Rabastan menyetujui hal itu asalkan ia diberi dispensasi untuk bisa memeluk, membelai dan menciumi tubuhku kapanpun ia mau. Katanya, itu merupakan bentuk tanda cinta padaku dan berhubung aku tak bisa melarangnya untuk berhenti mencintaiku, aku harus bersedia menerima persyaratan itu. Ketika itu, semua syarat yang diajukan Rabastan langsung aku sepakati selama ia tak memintaku untuk berhubungan intim di tempat tidur.

Menempelkan kening ke pelipisku, Rabastan Lestrange menggeram kasar, memerintahkan ajudan-ajudan setianya untuk menyeret McLaggen ke dalam terali besi. Ultimatum itu membuatku tersentak. Perkiraanku benar, McLaggen akan dieksekusi mati karena keegoisan dan kebodohanku.

"Tidak, tidak! Tolong, jangan hukum McLaggen. Dia tak bersalah," pintaku memelas, mendongakkan wajah untuk menatap mata hitam Rabastan Lestrange yang menatapku dalam-dalam.

Di saat Rabastan Lestrange tetap bergeming, aku menyusupkan wajah ke dada berotot yang terbungkus jubah Pelahap Maut. Tindakan yang untuk pertama kali aku lakukan mengingat selama ini aku melarang Rabastan Lestrange untuk mendekati jika ia masih berkostum Pelahap Maut. Di mataku, jubah Pelahap Maut telah dinodai banyak darah manusia tak bersalah dan aku tak mau terkontaminasi kekejaman yang masih terekam di dalam serat-serat benang itu.

"Kumohon, Rabastan..."

Mencium puncak kepalaku sekilas, Rabastan Lestrange meletakkan jari di daguku, memintaku untuk kembali menatap lekat-lekat.

"Ini pertama kalinya kau memanggil namaku tanpa embel-embel Lestrange. Apa nyawa bajingan busuk itu begitu berharga sehingga kau mau berkorban sejauh itu?"

Kendati wajah rupawannya tetap bersinar lembut dan mata pekatnya tetap mengawasiku dengan sorot memuja, aura kemarahan Rabastan Lestrange tetap terlihat dari nada suara yang membekukan tulang.

Meremas kelepak jubah Pelahap Maut, aku menatap balik wajah pria yang sudah menikahiku selama enam bulan terakhir. Ini saatnya menguji semua perkataan Rabastan Lestrange padaku. Katanya, ia bersedia mengabulkan semua keinginanku tanpa banyak bantahan kecuali permintaan agar ia berhenti mencintaiku.

Jika ia mampu membebaskan McLaggen, aku mungkin bisa bersikap sedikit baik padanya. Tapi, jika ia dikalahkan oleh api kecemburuan yang tak beralasan, di mataku Rabastan Lestrange akan berubah menjadi sosok serigala berbulu domba. Iblis neraka yang berpura-pura menjadi malaikat sementara.

"Kumohon, Rabastan. Jangan hukum McLaggen. Bebaskan dia. Kumohon."

Rangkulan lengan Rabastan di pinggangku semakin erat. Membelai rambut dan punggungku dengan penuh kasih sayang, Rabastan Lestrange akhirnya mengeluarkan keputusan terakhir.

"Sesuai keinginanmu, My Lady..."


"Sesuai keinginanmu, My Lady..."

Membasuh bersih tubuh dari busa sabun beraroma mawar, aku mendesah mengenang perkataan yang sudah seringkali aku dengar. Jika melihat statistik, Rabastan tak pernah ingkar janji dari semua perkataan. Ia selalu memenuhi aneka ragam keinginanku yang terkadang aneh dan tak masuk akal.

"Sesuai keinginanmu, My Lady..."

Ya, sesuai keinginanku, McLaggen akhirnya dibebaskan tanpa siksaan setitikpun. Meski begitu, Rabastan menempatkan salah satu idola Gryffindor itu di benteng Pelahap Maut yang baru di Benua Antarktika. Untuk yang satu itu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Permintaanku hanya membebaskan McLaggen dari hukuman, bukannya menentukan di daerah mana ia ditugaskan berpatroli.

Mengeringkan tubuh dengan handuk tebal dan lembut yang disodorkan Winky, aku segera memakai gaun tidur berenda yang halus dan nyaman. Memerintahkan Winky untuk kembali ke ruangan peri rumah karena malam ini pekerjaannya sudah selesai, aku segera membuka pintu kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi, aku melihat Rabastan sedang tekun membaca di atas ranjang. Mendengar pintu berderit, suamiku mengangkat muka dari kamus tebal yang tengah dibaca. Memandangiku dari atas sampai bawah dengan pandangan penuh damba, Rabastan mengirimkan senyum sensual memabukkan ke arahku.

Walau senyuman seksinya sangat menggoda, aku tetap tak bisa menggerakkan bibir untuk balas tersenyum, meski setipis atau sekecil apapun. Tidak, aku belum bisa seperti itu. Saat ini aku hanya mampu bersikap baik dengan memanggilnya Rabastan atau mengakuinya sebagai suamiku.

Ketika aku mendudukkan diri di bangku depan meja rias bertatah permata, pandangan Rabastan tak pernah lepas dariku. Sewaktu aku mengambil sisir bergagang berlian, Rabastan sekonyong-konyong bangkit dari tempat tidur.

Menatap dari cermin, mataku terus terkesima memandangi pergerakan kakinya yang kuat dan mantap. Aku tak bisa memungkiri bahwa sebagai pria, Rabastan sangatlah sempurna. Tak heran jika dari kasak-kusuk yang kudengar, suamiku dikenal memiliki banyak teman tidur selama bersekolah di Hogwarts.

Teman tidur...

Aku meringis perih memikirkan kata-kata barusan. Apa sampai detik ini Rabastan masih memiliki banyak kekasih di luar sana? Sebagai pria sehat yang masih aktif, Rabastan tentu butuh penyaluran biologis bukan? Apakah selama aku menolak berhubungan badan ia melampiaskan hasratnya dengan wanita lain?

Semua praduga itu membuat hatiku bagaikan disayat-sayat sembilu. Apakah ini tandanya aku cemburu? Bukankah cemburu itu pertanda cinta? Apakah perlahan-lahan aku mulai menyimpan perasaan khusus padanya?

Usapan halus tangan Rabastan di jemariku yang mencengkeram pangkal sisir berlian membuyarkan lamunanku. Mengambil sisir dari tanganku yang terkepal, Rabastan menatap bayanganku yang terpantul di cermin.

Sudut bibirnya terangkat ke atas melihat bibirku yang merengut. Mengecup mesra ubun-ubunku, Rabastan mulai menyisiri rambut cokelat lebatku yang kusut dan lembap sehabis keramas. Memperlakukan mahkota kepalaku seperti untaian benang emas yang wajib diperlakukan hati-hati, Rabastan menyisiri rambutku dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Batinku tercekat merasakan luapan perasaannya yang tertuang melalui gerakan sederhana itu. Ya Tuhan, jika ia senantiasa memperlakukanku seperti ini, tak lama lagi aku pasti bertekuk lutut di kakinya. Bukankah seperti kata pepatah, batu sekeras apapun bisa runtuh jika terus-menerus ditetesi air?

Setelah rambutku rapi dan tak lagi berantakan, Rabastan meletakkan kembali sisir bergagang berlian di meja rias. Memandangi pantulan bayangan kami di cermin, Rabastan menundukkan wajahnya ke kupingku dan berbisik lembut.

"Aku mencintaimu, Hermione. Benar-benar mencintaimu..."


Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, Rabastan membuktikan bahwa ia benar-benar mencintaiku. Ia juga tak sungkan-sungkan mengumbar kemesraan di muka umum. Tindakan romantis yang sangat langka dalam kehidupan pernikahan pasangan penyihir berdarah murni.

Selama berabad-abad, suami berdarah murni tak pernah memperlakukan istrinya dengan penuh kehangatan jika mereka berada di depan publik. Hal yang bisa dimengerti mengingat pernikahan di kalangan mereka biasanya sudah diatur melalui perjodohan.

Pernikahan paksa itu membuat mayoritas pria darah biru menganggap istri mereka sebagai trofi pajangan semata. Kehangatan dan kemesraan mereka biasanya dialihkan ke wanita lain yang diam-diam dicintai ataupun untuk para kekasih gelap yang bertebaran di setiap sudut jalan.

Kekasih gelap dan wanita simpanan...

Jika aku masih ragu pada bukti cinta Rabastan padaku, mungkin keterangan Winky bisa mematahkan hal itu. Dari investigasi Winky, aku mengetahui bahwa selama kami menikah, Rabastan tak pernah melirik wanita lain atau menyimpan gundik seperti yang biasa dilakukan teman sejawatnya.

Kesetiaan Rabastan juga dibocorkan oleh Rodolphus Lestrange. Kakak iparku itu memang belum mau berakrab-akrab ria padaku, tapi setidaknya ia masih bersikap sopan, tak seperti istri sintingnya yang tampak jelas ingin mengulitiku bulat-bulat setiap kali bertandang ke Hogwarts.

Dalam suatu kesempatan, Rodolphus menyanjungku karena berhasil menghentikan hobi mesum Rabastan. Kata Rodolphus, sejak melihatku di Departemen Misteri lima tahun lalu, Rabastan berhenti meniduri banyak wanita. Rodolphus bahkan berani menggaransi kalau satu-satunya wanita yang diinginkan adiknya hanyalah diriku seorang.

Kehangatan cinta kasih Rabastan lambat laun membuat aku merasa aman dan terlindungi. Di waktu-waktu awal menetap di Hogwarts, sekelompok Pelahap Maut terutama bekas siswa Slytherin seperti Theodore Nott, Blaise Zabini dan Draco Malfoy memang sempat membuatku terancam dengan pandangan membunuh mereka.

Tapi, pelan tapi pasti, ketidaksukaan itu memudar. Seperti yang dikatakan Blaise Zabini padaku tempo lalu. Roda nasib sudah berubah dan membuat mereka harus menyadari posisi mereka saat ini yang berada di bawah telapak kakiku.

Walau tatapan kebencian yang melingkupiku mulai menyusut, bulu kudukku masih sering meremang saat berpapasan dengan Astoria Greengrass dan Alecto Carrow. Jika Alecto Carrow memelototiku dengan sorot dendam kesumat, Astoria Greengrass memandangiku dengan tatapan cemburu.

Cemburu?

Apa ia diam-diam menyukai suamiku? Bukankah seharusnya Astoria menikah dengan Draco Malfoy? Sejauh yang aku ketahui, sewaktu bersekolah dulu Astoria selalu membangga-banggakan pertunangannya dengan Pangeran Slytherin itu.

Sebagai bekas murid Gryffindor yang pantang main belakang, aku tak tahan menghadapi permusuhan terselubung ini. Untuk menjernihkan situasi, aku harus mencari tahu pokok permasalahan sebenarnya dari mulut Astoria sendiri.

Dari mulut Pelahap Maut wanita yang tengah berdiri terdiam di hadapanku...

Mengamati wajah jelita Astoria, aku menegapkan punggung. Tersenyum sekilas, aku memulai basa-basi pergaulan, berharap bisa melumerkan ketegangan tak biasa di antara kami berdua.

"Silahkan duduk, Astoria Greengrass," aku menunjuk bangku berlapis beledu yang kosong di samping kiriku.

Membungkukkan tubuh dalam-dalam seperti pelayan, gadis tinggi ramping itu menepis halus permintaanku. Lagi-lagi dengan kalimat kesayangannya. Kalimat yang selama enam bulan ini setia meluncur dari rekah bibirnya.

"Terima kasih, My Lady. Tapi, sebagai bawahan, saya tak boleh duduk di samping Anda. Sebagai kaum rendahan, saya tak bisa bersikap seakan-akan posisi kita sejajar dan sederajat."

Memutar bola mata, aku menyeruput teh melati yang suam-suam kuku. Sebaiknya aku melupakan sesi basa-basi ini. Buang-buang waktu saja membujuknya untuk duduk di sampingku selayaknya seorang teman. Sekeras apapun rayuanku, Astoria pasti lebih memilih menaati aturan Pelahap Maut yang dipegangnya.

Mengunyah sepotong pastel labu yang tersusun apik di piring segi empat, aku mulai meluncurkan proses interogasi.

"Baiklah, kita tak usah bertele-tele. Aku tahu kau tak suka padaku dan aku ingin tahu apa alasannya."

Mimik muka Astoria tak berubah mendengar pertanyaanku itu. Ekspresi dingin tak berperasaan yang sudah menjadi ciri khas serdadu Pelahap Maut tetap terukir di wajah aristokratnya. Hanya pancaran rasa dengki di iris cokelat karamel yang menjadi indikator isi hatinya yang sebenarnya.

Menelan habis gigitan terakhir pastel labu, aku menyilangkan kaki. Mengetuk-ngetukkan buku jari di meja bundar berbalut taplak berbordir sulur-sulur mawar keemasan, aku menghardik pelan.

"Jawab pertanyaanku, Astoria Greengrass!"

Perintah itu membuat bahu Astoria bergidik, sebelum kembali tegap sekaku pilar marmer. Tak bisa dipungkiri, terkadang aku menikmati otoritas yang kumiliki sebagai istri penguasa Pelahap Maut.

Memang, sekejap setelah kami dinyatakan sah menjadi suami-istri, Rabastan sudah menyatakan bahwa aku mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang sama dengannya. Dengan kata lain, semua ultimatumku; suka atau tidak suka harus ditaati oleh semua awak Pelahap Maut tanpa terkecuali.

Kelopak mata Astoria yang dihiasi bulu mata tebal menutup perlahan-lahan. Helaan napas samar terdengar dari sela-sela bibir ranumnya yang terkatup rapat.

Aku tersenyum ironis mencermati reaksi bekas juniorku di Hogwarts itu. Kentara sekali ia tengah berperang dengan dirinya sendiri. Sisi Pelahap Maut-nya mendesaknya untuk segera menjawab pertanyaanku. Sedangkan kasta darah murninya menolak menyanggupi semua perintah yang terlontar dari mulut penyihir kelahiran Muggle seperti diriku ini.

"Astoria Greengrass," tegurku tajam, mulai kehilangan kesabaran setelah bermenit-menit berlalu tanpa tanggapan responsif darinya.

"Aku membencimu karena kau tak tahu diri!"

Pelupuk Astoria yang tadi terpejam rapat kini membelalak lebar sebesar panci tembaga. Bola mata cokelatnya berpijar dalam kemarahan dan sakit hati.

"Tori!"

Teriakan syok Daphne Greengrass yang mendadak muncul entah dari mana membuatku menoleh ke ambang pintu. Berdiri waspada dalam balutan jubah hitam Pelahap Maut, Daphne menyerbu masuk dan menggamit lengan adiknya yang masih terus melotot murka.

"Tori, kau keterlaluan! Ayo, minta maaf sekarang juga!"

Astoria menghentak lepas pergelangan tangan kakaknya. Kedua lengan langsingnya langsung memeluk pundaknya yang bergetar, seolah-olah berusaha melindungi dirinya dari serangan belati imajiner.

"Tori," ujar Daphne geram, mengguncang-guncang bahu adiknya hingga bergoyang-goyang kencang.

"Hentikan! Biarkan dia bicara!"

Instruksiku membuat Daphne secepat kilat mengentikan aksi kalapnya. Mengawasi adiknya dengan pandangan memperingatkan, salah satu Pelahap Maut wanita paling ditakuti itu tersenyum canggung sembari membungkuk hormat.

"Maafkan dia, My Lady. Adik saya sedang tak enak badan jadi ia bicara melantur seperti ini."

Melambaikan tangan sebagai isyarat agar Daphne berhenti berkicau, aku memaksa Astoria untuk menumpahkan seluruh unek-unek yang terpendam.

"Kau itu tak tahu diuntung, My Lady. Kau punya suami yang sangat memujamu tapi kau tak bersyukur. Tak sekalipun kau berterima kasih atas semua karunia yang kau miliki!" Astoria memekik lantang. Kemarahan yang memercik membuat napasnya menderu-deru tak teratur seperti kuda pacuan.

Bibir Daphne berkomat-kamit tanpa suara. Aku paham, meski sangat ingin menggembok rapat mulut adiknya, ia tak bisa berbuat apapun sebab aku sudah memberinya perintah untuk tak ikut campur.

Mengusap air mata yang meleleh dengan lengan jubah, Astoria mendelik, menatap jijik ke tato Tanda Kegelapan yang terpahat di lengan kirinya.

"Aku tak pernah menginginkan ini. Aku tak pernah mau bergabung dengan Pelahap Maut! Yang aku inginkan adalah pernikahan bahagia dengan seorang suami yang sangat mencintaiku!"

Dari sudut mata, kulihat Daphne nyaris mati sekarat mendengar curahan hati saudara kandungnya. Berdecak-decak kelu, Daphne menutupi wajah dengan kedua tangan, tak sanggup membayangkan malapetaka apa yang akan menimpa adiknya atas ucapannya yang ugal-ugalan.

Aku tersengat mengetahui perasaan Astoria yang sesungguhnya. Jadi ia mendambakan pernikahan? Tapi, mengapa ia tak segera menikah dengan tunangannya, si pirang albino Draco Malfoy? Sepanjang yang aku ketahui, tak ada larangan bagi personel Pelahap Maut untuk menikah dan membentuk sebuah keluarga.

"Jika itu yang kau mau, kenapa kau tak meminta Draco Malfoy untuk menikahimu?"

"Draco tidak mau menikahiku! Dia membuangku! Dia mencampakkanku!" ratap Astoria histeris. Bersimpuh di depanku, isak tangisnya yang memilukan semakin menjadi-jadi.

"Dia tetap membatalkan pertunangan kami meski aku bersujud-sujud mengemis padanya..."

Menengadah, sepasang mata basah milik Astoria menatapku dengan penuh rasa iri. Wajah pualam dinginnya yang tak bercela dihiasi ekspresi liar dan terluka, roman muka yang membuat rasa ibaku memuncak tak terkira.

"Sejak kecil aku berangan-angan menikahi Draco dan hidup dalam ketenangan. Sedari kanak-kanak aku bermimpi dicintai setiap hari, seperti yang kau alami sekarang ini. Sekarang kau tahu, My Lady... aku membencimu karena kau perempuan jalang tak tahu diuntung!"

Menyeka ujung hidung mancung yang basah dengan sekenanya, Astoria menundukkan wajah dan berkeluh lirih.

"Seandainya saja Draco mencintaiku sebesar Lord Rabastan mencintaimu. Seandainya saja aku ada di posisimu, aku-"

"Cukup sudah, Tori!"

Daphne rupanya sudah tak tahan lagi berdiam diri. Menyeret adiknya yang lunglai ke ambang pintu, salah satu musuh bebuyutanku semasa bersekolah di Hogwarts itu menoleh pasrah. Tanpa perlu diucapkan dengan kata-kata pun aku sudah tahu makna di balik pandangan memelas yang mengiba.

"Kalian tak usah cemas. Aku tak akan mengadukan insiden hari ini ke suamiku."

"Terima kasih, My Lady," desah Daphne lega. Membungkuk rendah untuk terakhir kali, gadis cantik yang pernah dijuluki sebagai Ratu Jalang Slytherin itu menggiring adiknya yang masih sesenggukan menghilang dari pandangan.

Sepeninggal kakak beradik itu, aku tertegun menatap cangkir teh melati yang sudah mendingin. Menyandarkan punggung lelah ke bantal sofa yang empuk, aku menerawang memandangi seisi ruang minum teh yang didekorasi sesuai seleraku.

Sekarang aku sudah mengetahui mengapa Astoria memusuhiku. Dia membenciku karena aku memiliki hal yang sangat diidam-idamkannya selama ini.

Semua harapan dan mimpi indah yang tercerabut sejak stempel Tanda Kegelapan bertengger di lengan kirinya...


"Aku sangat membencinya! Kalau saja aku bisa membunuh anjing buduk terkutuk itu seperti kutu tak berguna!"

Amycus Carrow mendesah berat, mengawasi adik perempuannya yang mengamuk seperti raksasa terluka. Menuangkan sebotol bir ke dalam gelas besar, Alecto menenggak minuman beralkohol tersebut dalam satu tegukan. Mengelap bibir tebal yang basah dengan telapak tangan, wanita jahat bersuara mirip unggas itu cegukan dan bersendawa keras.

Astaga! Amycus menggerutu dalam hati. Sebentar lagi adik satu-satunya itu pasti mengajak adu panco, bertingkah layaknya preman teler di tanggal tua.

"Aku tak mengerti apa yang dilihat Lord Rabastan dari Darah Lumpur gembel itu!" sungut Alecto kesal, memutar-mutar botol bir yang kosong melompong dengan jari-jari pendek yang sekisut apel busuk.

Meletakkan tangan di perut berlemak yang dihiasi gesper perak berkilat, Amycus merebah ke kursi kerja yang berderit-derit menyangga bobot tubuhnya yang membengkak.

Untung saja saat ini mereka ada di kamp Pelahap Maut di Budapest, Hungaria sehingga tak ada masalah jika mencaci-maki Hermione Lestrange dengan julukan Darah Lumpur. Jika saat ini mereka berdiam di Hogwarts, lidah Alecto pasti sudah dimutilasi karena berani menghina permaisurinya sendiri.

"Aku juga tak memahaminya. Setahuku Lord Rabastan hanya tertarik dengan perempuan berparas sempurna," ucap Amycus parau, mencoba mendinginkan kemurkaan adiknya yang sibuk menyeruput botol bir kedua.

"Ya, wanita sempurna seperti aku ini misalnya," kekeh Alecto ngawur, sisa-sisa bir mengalir deras dari sela-sela gigi patah yang berlumut.

Amycus memutar bola mata menanggapi omong kosong saudara sedarahnya. Oh ya, adiknya memang pernah tidur dengan Lord Rabastan di tahun keenam mereka bersekolah, tapi itu cuma karena Lord Rabastan mabuk berat di perayaan Halloween. Lagipula, esok harinya Lord Rabastan sama sekali tak ingat pernah menyentuh atau meniduri cewek sejelek Alecto.

"Kenapa Lord Rabastan bisa tergila-gila padanya? Mau melakukan apapun untuk si brengsek itu termasuk menikahkan ketiga jalang pengkhianat dengan punggawa-punggawa terbaik Pelahap Maut?" Alecto bersendawa panjang, menenggak habis seluruh isi botol bir kedua dengan sekali suapan.

Menautkan alis tipis yang berderet tak teratur, Amycus memutar-mutar kursi lengan yang beroda. Tak tahan menyangga berat badan sang empunya, kursi kokoh itu berderak memprotes. Decitan lirihnya bergema di ruangan apak berbau asap rokok yang selama ini dipakai Amycus untuk menodai dan mencabuli para budak-budak malang, gadis-gadis belia keturunan Muggle yang ditangkap dan ditawan karena dianggap meracuni peradaban murni dunia sihir.

Jika mau jujur, Amycus juga tak paham mengapa Lord Rabastan mau menjamin kesejahteraan Ginny Weasley, Luna Lovegood dan Cho Chang; tiga gadis darah murni pengkhianat yang semula diperkirakan akan menghuni kamp prostitusi Pelahap Maut jika mereka berhasil tertangkap.

Saat Lord Rabastan mengumumkan rencana menikahkan tiga dara itu, Pelahap Maut baik tua maupun muda berlomba-lomba mengajukan lamaran. Besarnya animo bisa dimengerti sebab selain berdarah murni, ketiga penyihir itu juga pintar, cantik dan seksi.

Antusiasme Pelahap Maut menyusut setelah Lord Rabastan mengajukan syarat Sumpah Tak Terlanggar sebagai mahar pernikahan. Sumpah untuk tak boleh menyakiti secara fisik masih bisa ditaati tapi kalau janji setia seumur hidup, nanti dulu Bung!

Persyaratan dilarang menyeleweng membuat Pelahap Maut muda ramai-ramai mundur teratur. Bagi pria berdarah merah dalam usia prima serta kaum berlibido tinggi seperti mereka, bergonta-ganti wanita merupakan hal lumrah yang sudah mendarah daging. Tak heran jika peraturan larangan berselingkuh mengendurkan semangat juang mereka.

Setelah menyeleksi ketat calon potensial yang tersisa, Lord Rabastan akhirnya menjatuhkan pilihan pada Yaxley, Antonin Dolohov dan Travers. Pernikahan tersebut langsung menaikkan derajat Yaxley dan kawan-kawan sebab sesuai janji, Lord Rabastan langsung memberikan posisi berpengaruh di koloni baru Lord Voldemort.

Lord Voldemort sendiri tak pernah mempertanyakan gebrakan Lord Rabastan yang tergolong janggal. Kinerja memuaskan serta otak brilian dalam merancang strategi menaklukkan seluruh isi bumi membuat posisi tinggi Lord Rabastan tetap aman terkendali.

"Seharusnya aku yang menjadi istri Lord Rabastan. Aku sudah banyak membantu selama ini," Alecto bersendawa nyaring, memuntahkan dahak kental yang membasahi karpet antik bersulamkan benang emas.

Mengangkat tongkat sihir, Alecto menerbangkan sebotol vodka yang tersimpan di lemari minuman. Membuka sumbat botol dan menuangkan seluruh isi ke dalam gelas berdesain eklektik, wanita mengerikan berambut cokelat kusam itu menghirup larutan bening favoritnya dalam satu kedipan.

"Aku pernah jadi Prefek Slytherin bersamanya. Berkat bakatku sebagai Beater, tim Quidditch Slytherin yang dipimpinnya selalu menjuarai setiap pertandingan," racau Alecto parau, suara bebek jeleknya timbul tenggelam dalam cegukan menjijikkan.

"Berkat hasutan manisku, seluruh siswa Slytherin mau berperang langsung dan membunuh teman-teman mereka sendiri. Dengan kata lain, Lord Rabastan bisa memenangkan Perang Besar Hogwarts berkat bantuanku."

Menelungkupkan kepala ke atas meja kayu, Alecto menggedor-gedor meja dengan kepalan tinju. Kerasnya hantaman tangan mantan Beater itu membuat kaca halus tersebut hancur berkeping-keping.

"Aku harus menemukan jalan untuk membunuhnya. Harus! Posisi Madam Lestrange seharusnya jadi milikku."

Amycus mengernyit tegang mendengar ucapan ngaco saudari termudanya. Alecto pasti sudah mabuk berat sebab ia salah mengucapkan gelar. Madam Lestrange itu panggilan kehormatan untuk Bellatrix Lestrange. Apa jadinya bila kebetulan Bellatrix Lestrange numpang lewat dan mendengar ucapan itu? Dalam sekejap adiknya itu pasti sudah berubah jadi bubur manusia.

"Percuma saja, Alecto. Tak ada yang bisa meracuni maupun mengutuk Lady Lestrange. Penjagaan dan Mantra Perlindungan di sekelilingnya sangat ketat."

Menggebrak meja dengan sundulan kepala, Alecto meraung buas. Amycus hanya bisa meringkik-ringkik ngeri menyaksikan permukaan meja kayu ek amblas ke bawah.

"Aku pasti bisa membunuh Darah Lumpur itu. Akulah seharusnya yang dipanggil semua orang dengan julukan My Lady!"

"Ya, sesukamu-lah," keluh Amycus sedih, mengusap-ngusap meja kesayangan yang sekarang sudah jadi barang rongsokan. Mudah-mudahan saja, Mantra Reparo bisa memperbaiki kerusakan maha-dahsyat seperti ini.

"Lihat saja apa yang bisa dilakukan oleh penyihir secantik aku," kikik Alecto genit sebelum tumbang karena mabuk berat dan luka menganga di kepala...


"Lihat, cantik bukan? Aku langsung jatuh cinta begitu pertama kali melihatnya."

Menyeringai berseri-seri, Cho Dolohov memamerkan bayi perempuan mungil yang tertidur pulas. Bayi yang baru dilahirkan beberapa hari lalu itu memang mewarisi kecantikan murni ibunya. Tak ada satupun tanda-tanda keberadaan fisik gahar sang ayah, Antonin Dolohov di diri malaikat kecil tersebut.

"Iya, dia lebih cantik dari bayi babon milikku," Luna tersenyum polos, menelengkan kepala pirang yang dihiasi topi gabus Butterbeer. Tak menghiraukan pelototan judes Cho yang sebal putri cantiknya disamakan dengan bayi monyet, Luna dengan bersemangat menggoyangkan mainan kuda-kudaan yang dipasang di atas buaian.

Berdiri di tengah ruangan, aku mencermati Cho mulai dari ujung kaki yang terbungkus selop datar sampai ujung rambut hitam yang tersanggul rapi. Dilihat secara kasat mata, bekas siswi Ravenclaw itu tampak bahagia dengan kehidupan mewahnya saat ini.

Wajah oriental Cho yang unik dan berkelas makin tampak eksotis dalam balutan gaun berkerah tinggi berharga selangit. Gerak-gerik angkuhnya juga mencerminkan identitas istri pejabat kelas atas yang kelebihan duit. Tumpukan mutiara mahal bertaburan di leher dan di jemari, termasuk jepit antik yang berjuntai-juntai di sanggul kecil yang ditata rapi.

Selesai mengamati penampilan modis Cho, mataku mengerling mengamati Luna Travers yang tengah menyenandungkan lagu berirama aneh. Melodi sengau tak beraturan yang selalu dinyanyikan Luna untuk menidurkan sekawanan bayi jerapah, kuda nil dan puma yang dirawatnya.

Tinggal di Afrika Selatan sepertinya sukses mengubah gaya busana Luna. Kali ini, adik kelasku di Hogwarts itu mengenakan pakaian ala Indiana Jones, lengkap dengan jaket kulit dan topi bulat fedora cokelat.

Untung saja Luna tak latah menyuruh suaminya memakai cawat bermotif macan tutul, kostum yang identik dengan tokoh kartun penguasa hutan, Tarzan. Sejauh yang kulihat tadi, Travers datang dengan berbaju lengkap. Memakai jas, kemeja, dasi dan terima kasih Tuhan, celana panjang hitam.

"Aku benar-benar bahagia menjadi seorang ibu. Sebentar lagi kau akan merasakan hal sama, Gin," seru Cho sumringah, melirik Ginny yang bermuram durja di dekat jendela lengkung anggun.

"Aku tak mau melahirkan bayi ini."

Desisan marah Ginny membuat kami terhenyak. Menghentikan paduan suara anehnya, paduan suara yang untungnya tak membuat si bayi menangis ketakutan, mata bundar Luna yang sewarna lavender mengerjap-ngerjap keheranan.

"Kenapa? Apakah karena kau tahu wajah calon bayimu ternyata lebih jelek dari bayi monyetku?"

Ginny tak terusik dengan tanggapan konyol tersebut. Menunduk memandangi perut yang membuncit, Ginny mendengus sengit.

"Bayi ini bukan milik Harry. Bayi ini tak akan memiliki mata hijau dan rambut hitam Harry."

Ratapan nestapa Ginny membuat otot jantungku nyeri. Oh Merlin, jika nostalgiaku bersama Harry mulai terhapus seiring dengan berlalunya waktu, Ginny rupanya tetap mencintai sang belahan jiwa sampai detik ini.

Merenggut lengan Ginny, Cho berderap keluar dari kamar bayi setelah sebelumnya menginstruksikan beberapa peri rumah untuk menjaga baik-baik putrinya yang tertidur nyenyak. Tanpa banyak kata, aku dan Luna segera membuntuti Cho menuju ruangan luas yang dipenuhi berbagai alat musik. Setibanya di bangsal besar yang berisi harpa, piano dan Guzheng, alat musik petik dari Tiongkok, Cho mendamprat tanpa tedeng aling-aling.

"Ginevra Yaxley! Jangan bicara seperti itu terhadap darah dagingmu sendiri. Bayi itu tak bersalah!"

Menggigit bibir bawah keras-keras, Ginny mulai terisak. Kelihatannya emosinya yang sudah naik turun semenjak kematian Harry kian labil gara-gara perubahan hormon di masa kehamilan.

"Tapi dia bukan bayi Harry. Selama ini aku memimpikan menimang anak Harry. Bayi mungil bermata hijau dan berambut hitam."

"Oh sudahlah, Gin! Jangan terlalu sentimentil. Biarkan Harry beristirahat dengan tenang di surga. Yang paling penting sekarang adalah kau masih hidup dan sebentar lagi akan menjadi calon mama," hardik Cho seraya berkacak pinggang, mengingatkanku pada kebiasaan mendiang ibu Ginny, Molly Weasley jika sedang marah-marah.

"Sadarlah, Gin," suara Cho berubah lembut. "Bayimu memerlukanmu. Dia butuh cinta kasih dan penerimaan tulus dari ibu kandungnya sendiri."

Aku terperangah menyadari betapa berubahnya Cho yang selama ini kukenal. Hilang sudah Cho remaja yang manja dan gemar mengobral air mata. Cho kini lebih dewasa, matang dan bijak dalam bersikap.

Luna juga takjub melihat perubahan sikap Cho. Berkali-kali Luna menggumamkan kata-kata 'mungkin Cho berubah karena over-dosis menyantap sup Plimpy Air Tawar'. Sup Plimpy Air tawar sendiri merupakan makanan favorit Luna; kudapan yang bertahun-tahun lalu sempat membuat pegawai Departemen Keracunan Rumah Sakit Saint Mungo pusing tujuh keliling.

Nasihat Cho tampaknya mengena di hati Ginny. Menyeka mata yang bengkak dan sembap, jemari Ginny mengusap perut yang membulat dengan perlahan. Bibir merah muda pucat Ginny tersenyum tipis ketika merasakan gerakan samar di dalam perut.

"Hermione, sudah saatnya kita pulang."

Suara beraksen Rabastan membuatku terkesiap. Alis Rabastan naik ke atas melihat keterkejutanku. Mendekatiku dengan gerakan luwes dan mantap, Rabastan merangkul pinggangku erat-erat.

"Maaf jika aku membuatmu kaget, Little One."

Aku mati-matian menahan senyum haru atas perhatian Rabastan yang begitu besar. Hari ini, contohnya. Begitu tahu aku berencana membesuk Cho yang baru melahirkan, Rabastan langsung membatalkan agenda rapat mingguan hanya untuk menemaniku terbang ke Australia.

Selama kami menikah, Rabastan juga tak pernah marah atau bersikap kasar padaku. Tingkah yang terbilang ajaib sebab selama ini ia dikenal sangat angker dan galak pada semua bawahan-bawahannya. Meski aku sering merusak rencana dan memancing amarah, seperti insiden dengan Cormac McLaggen di sel pengap bawah tanah, Rabastan tak pernah sekalipun mengangkat nada suara.

Begitu juga responnya atas kebandelan yang lain. Di masa-masa awal pernikahan kami, misalnya. Begitu mengetahui bahwa Rabastan tak akan bangkit dari tempat tidur selama aku belum membuka mata, aku sengaja tak mau bangun jelang rapat besar dengan Lord Voldemort.

Aku bersandiwara masih tidur mendengkur sampai siang karena aku tahu pertemuan penting itu diselenggarakan usai sarapan. Walau tahu dirinya bisa terlambat datang ke pertemuan jika tak segera bangun dan bersiap-siap, Rabastan tetap memeluk diriku dari belakang. Berusaha tak mengusik waktu istirahatku kendati bibirnya terus membelai dan menciumi rambut kusutku.

Ketika lonceng jam dua belas siang berdentang, aku baru membuka mata. Melihat aku terbangun, Rabastan langsung mencumbu dan menciumiku habis-habisan, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali kami bangun tidur.

Usai membisikkan kata-kata cinta, Rabastan baru bersiap-siap pergi ke acara rapat yang sudah setengah jalan berlangsung. Aku akui, sempat terbersit perasaan berdosa ketika melihat Rabastan kembali malam itu dengan tubuh lemah dan penuh luka. Aku yakin, keterlambatan datang ke rapat penting itulah yang membuat Lord Voldemort menghukum dan menyiksanya dengan begitu keji.

Tapi, meski sekujur tubuh nyeri luar biasa, tak sedikitpun Rabastan menyalahkanku atas sanksi mengerikan yang menghantam. Setelah mengobati sendiri luka-luka yang menganga terbuka, Rabastan membersihkan diri dan menyusulku yang meringkuk di ujung tempat tidur.

Selama ia mendekap dan menggumamkan kalimat penuh cinta; ritual yang selalu dilakoni sebelum dan sesudah tidur, Rabastan tak pernah menyinggung-nyinggung kenakalanku yang sengaja menolak bangun tadi pagi.

Kebaikannya itu tak urung melelehkan tembok pembangkangan. Setidaknya sejak hari itu, aku tak lagi memutar permainan mengecoh dan berpura-pura. Setidaknya sejak hari itu, aku tak lagi berkeberatan bangun pagi bersama dirinya...

"Ginevra, wajahmu pucat sekali. Apa kau tak enak badan?"

Suara Yaxley yang berat dan sarat kecemasan membuyarkan lamunan akan masa lalu. Memegang bahu Ginny, Yaxley mengawasi istrinya dengan tatapan bertanya-tanya. Hanya dengan melihat gelagat cemas Yaxley, aku tahu bahwa penyihir paruh baya berambut pirang itu sangat menyayangi Ginny walau istrinya itu sering bersikap acuh tak acuh padanya.

Begitu juga dengan Travers yang kusaksikan sedang manggut-manggut mendengarkan semua ocehan monoton Luna mengenai kawanan bayi binatang Afrika yang diasuhnya. Tak sekalipun lelaki kurus berambut kelabu itu menampakkan raut bosan atau kesal sewaktu mendengar obrolan Luna yang sangat abnormal.

Antonin Dolohov tak usah ditanya lagi. Pria matang dan dewasa berdarah Rusia itu menampilkan sosok pria, suami dan ayah yang bahagia. Menggendong putri cantik mungil yang berdeguk riang, mata pekat Dolohov berbinar-binar cerah ketika Cho tersenyum menghampiri.

"Kau punya suami yang sangat memujamu tapi kau tak bersyukur. Tak sekalipun kau berterima kasih atas semua karunia yang kau miliki!"

Sindiran Astoria menggema di tengkorak kepala. Ya, Astoria mungkin benar, aku ini penyihir beruntung yang tak tahu diuntung. Jika dibandingkan dengan nasib yang menimpa junior Slytherin itu, bisa dibilang aku benar-benar mujur.

Dari informasi yang kuperoleh melalui pengamatan Winky, Astoria yang sejak lama mencintai Draco Malfoy harus gigit jari ketika tunangannya itu resmi bergabung dengan Pelahap Maut. Memang, sesuai aturan Lord Voldemort, semua murid Slytherin yang terlibat dalam perang di Hogwarts harus menjadi pesuruh abadi rezim kegelapan tanpa terkecuali.

Berbeda dengan Daphne Greengrass dan Pansy Parkinson yang sangat antusias menjadi tentara pencabut nyawa, Astoria sering merasa tersiksa setiap kali ikut dalam operasi penyerbuan maupun pembantaian Muggle. Sebagai gadis rapuh, feminin dan sangat memuja kesempurnaan penampilan, Astoria selalu menginginkan kehidupan glamor seperti wanita kalangan atas lainnya.

Kendati ogah-ogahan berperang, Astoria masih memendam harapan bisa hidup tenang jika ia menikah dengan Draco Malfoy. Asa untuk menjadi Madam Malfoy sekaligus pensiun dari laskar Pelahap Maut musnah ketika Malfoy membatalkan pertunangan mereka.

Malfoy yang ingin memperkokoh posisi di Pelahap Maut tak mau menikah di usia belia. Selain itu, Malfoy yang sedari remaja dikenal sebagai buaya darat tak bisa memenuhi tuntutan Astoria untuk selalu setia.

Rusaknya mental Lucius Malfoy juga menjadi tameng bagi Malfoy untuk memutus tali pertunangan. Lucius Malfoy yang tak waras usai disiksa Rabastan karena nekat menghajarku dengan kutukan Cruciatus tak bisa lagi memegang peranan sebagai kepala keluarga. Hal itu membuat Malfoy leluasa menentukan sendiri jalan hidupnya.

Pandanganku kembali terpusat ke wajah tampan Rabastan yang masih memandang lahap, menatap lekat-lekat dengan ketertarikan dan pemujaan optimal yang tak dibuat-buat. Mungkin sudah saatnya aku berterima kasih atas semua pengorbanan, cinta dan kesetiaan yang diperlihatkannya selama ini. Mungkin sudah waktunya aku mengabulkan keinginannya yang tertunda.

Menyempurnakan ikatan pernikahan kami dengan hubungan suami-istri...

Menangkap daguku dengan jarinya, Rabastan menciumi bintik-bintik yang bertebaran di sekitar hidungku. Napas hangatnya yang seharum hujan musim semi berhembus menembus pori-pori.

"Ayo kita segera pulang, Little One. Masih ada pesta yang harus kita datangi."

Terus memajang wajah hambar, aku berusaha bersikap se-menyebalkan mungkin. Meski sudah memutuskan untuk mengibarkan bendera putih, aku masih didera keinginan menguji kekuatan cinta suamiku.

"Aku tidak mau pergi ke perayaan memuakkan seperti itu."

Aku nyengir di dalam hati menanti respon Rabastan. Pesta tengah malam nanti sangat penting baginya. Jauh-jauh hari ia sudah merancang rencana untuk memperkenalkanku pada seluruh tamu undangan yang terdiri dari kumpulan penyihir hitam dari benua dan negara lain.

Tak butuh waktu lama bagi Rabastan untuk menentukan pilihan. Melilitkan ikal rambutku di sela-sela jari, bibir Rabastan melengkung membentuk senyum memukau.

"Sesuai keinginanmu, My Lady."

"Apa kau tak menyesal? Kau bisa pergi sendirian ke sana, ke perayaan besar-besaran yang sangat berarti bagimu itu," aku berkata datar, mencoba melepaskan diri dari belitan protektifnya. Melingkarkan tangannya makin erat, Rabastan menatapku dengan sorot posesif. Tatapan kepemilikan yang membuat seluruh saraf tubuh bergetar penuh antisipasi.

"Tidak, Little One. Aku tidak akan mau pergi ke manapun tanpa dirimu. Bagiku kau lebih penting dari apapun. Lebih berharga dari siapapun."

Hatiku mengembang mendengar perkataan yang seharusnya sudah bisa kuprediksi. Jawaban yang membuatku makin yakin untuk menuntaskan rencanaku malam ini.

Menelan ludah, aku berjinjit dan mendekatkan bibir ke kupingnya. Membisikkan gagasanku untuk malam ini. Gagasan panas yang langsung disambut Rabastan dengan ciuman ganas dan antusias.

Rencana penyerahan diri yang membuat Rabastan langsung berkelebat membawaku menghilang sebelum aku sempat mengucapkan salam perpisahan pada teman-temanku yang celangap keheranan...


"Ukh..."

Rasa mual hebat membuat cangkir teh yang aku pegang bergoyang oleng. Menutup mulut dengan sebelah tangan, aku meletakkan cawan hangat yang belum sempat kuminum di atas tatakan.

"Hermione, apa kau baik-baik saja?"

Melempar rajutan yang tengah digeluti, ibuku menghambur ke arahku. Duduk di sampingku, wanita yang melahirkanku itu langsung menempelkan tangan penuh kasih di dahiku yang mulai dirambati peluh.

Ayahku yang sedari tadi sibuk mengutak-atik teka-teki silang dalam bahasa Rune Kuno mendongak dan beranjak mendekat. Manik cokelatnya yang dibingkai kacamata bergagang perak menyorot khawatir.

"Entahlah, Mom. Sejak seminggu lalu aku selalu muntah-muntah di pagi hari," ujarku lemah. Untungnya, keanehan di perutku selalu terjadi sesudah Rabastan keluar kamar. Bagaimanapun juga, aku sedang tak berminat menghadapi berondongan pertanyaan dan kekhawatiran yang bisa dipastikan tak akan pernah berkesudahan.

Seraut pemahaman bekelebat di wajah anggun ibuku. Netra matanya yang identik dengan bola mataku mengedip gembira.

"Hermione, jika perkiraan Mom benar, kau sedang mengandung."

"Hamil? Aku hamil?" tanyaku terbata-bata, tanpa sadar mengusap perut yang masih rata.

"Gejala yang kau alami merupakan tanda-tanda morning sickness yang umum terjadi di bulan-bulan awal kehamilan," tutur ibuku bersemangat, tampak antusias membayangkan bisa menimang cucu di dalam gendongan.

Mencemati wajahku yang masih ternganga, ayahku ikut angkat bicara. Menjatuhkan diri di bantalan kursi sebelah, ayahku meremas lembut bahuku yang setegang senar gitar.

"Tak usah kaget begitu, Sayang. Kehamilan pasti terjadi pada seorang wanita yang sudah menikah. Apalagi dengan pasangan yang aktif dan bergairah seperti suamimu," ujar ayahku malu-malu, tampak rikuh membicarakan hasrat seksual suamiku yang memang tak ada batasnya.

Mulutku membuka dan menutup tanpa suara, tak bisa menyanggah semua hal yang diungkapkan ayahku. Memang, semenjak aku menyerahkan diri seutuhnya, Rabastan memang tak pernah bosan-bosannya meniduriku. Gairah kekuatan erotis tak terbatas yang sepertinya sudah jadi pergunjingan hangat di antara penghuni benteng Hogwarts.

"Sayang, apa kau tak senang menjadi calon bunda?" tanya ibuku hati-hati, menganggap reaksi defensifku sebagai bentuk ketidaksukaan menjadi seorang ibu di usia relatif muda.

"Bukan itu, Mom," aku buru-buru menyela. "Aku sangat gembira jika ternyata aku benar-benar berbadan dua. Tapi, Rabastan..." ujarku tercekat, tak tahan memikirkan reaksi yang akan diperlihatkan suamiku.

Apakah Rabastan sudah siap untuk menjadi seorang ayah? Bukankah ia sangat posesif dan pencemburu? Bukankah ia bersumpah tak akan pernah mau berbagi diriku dengan orang lain? Bagaimana jika ia menganggap janin ini sebagai ancaman baginya? Bagaimana jika saat ini ia tak menginginkan kehadiran seorang anak?

Memahami kekusutan pikiranku, ayah dan ibuku merangkulku dalam buaian lembut mereka. Dekapan hangat yang sejak dulu efektif melunturkan semua kekalutan dan kegundahan.

"Jangan cemas, Sayang. Semua pasti baik-baik saja. Kami bisa melihat bahwa suamimu sangat mencintaimu," bisik ibuku pasti, mengusap-usap rambut megar bergelombangku dengan penuh kasih sayang.

"Meski kadang-kadang kami merasa terintimidasi dengan aura kekuasaan yang berbahaya, kami yakin ia tak akan pernah menyakitimu," timpal ayahku, mencium sekilas puncak kepalaku yang merunduk.

Aku mengangguk lemah dan makin merapatkan tubuh dalam rengkuhan kasih orangtuaku. Ya, jika Rabastan benar-benar mencintaiku, dia harus membiasakan diri untuk berbagi dengan pihak lain. Berbagi dengan darah dagingnya sendiri...


"Tentu saja aku tak bisa berbagi. Bukankah sejak dulu kau sudah mengetahui sikapku yang suka memonopoli?"

Hatiku menciut menguping pembicaraan antara Rabastan dengan kakaknya, Rodolphus Lestrange. Tadinya, aku berpikir untuk berbicara empat mata dengan Rabastan di ruang kerja. Tapi, rupanya kakak iparku yang menetap di benua Asia tengah datang berkunjung.

"Tentu saja aku tak bisa berbagi. Bukankah sejak dulu kau sudah mengetahui sikapku yang suka memonopoli?"

Meski aku tak tahu arah diskusi mereka, komentar sinis Rabastan tak ubahnya ledakan petir di siang bolong. Apakah itu jawaban yang akan diutarakannya nanti saat aku akhirnya memberitahukan kondisi kehamilan yang telah menginjak usia enam minggu?

Seolah memiliki mata di belakang kepala, Rabastan tampaknya mengetahui keberadaanku yang mengintip di balik pintu. Beranjak dari kursi, satu-satunya jenderal besar kesayangan Lord Voldemort itu langsung mendekatiku yang gelagapan karena ketahuan menguping.

Mengayunku ke dalam gendongan, Rabastan membawaku masuk ke ruang kerja. Membaringkanku di meja kerja, Rabastan menciumi wajah dan leherku, tak menggubris siulan provokatif yang mencuat dari mulut kakaknya.

"Tepat di saat aku kangen padamu, kau muncul di depanku. Aku benar-benar suami yang beruntung," gumam Rabastan lembut di sela-sela pagutan ringan yang semakin memanas.

"Ehm, itu... aku ingin bicara," ujarku jengah, melirik Rodolphus yang tersenyum-senyum sendiri. Meski dia merupakan saudara kandung Rabastan, aku tetap merasa tak nyaman dijadikan bahan tontonan gratis seperti ini.

"Shuh. Pergi sana, Kak. Jangan ganggu kami," usir Rabastan selintas lalu, melambaikan tangan yang tak menggerayangi tubuhku.

Berdecak dibuat-buat, Rodolphus meneguk habis vodka polos dalam sekali regukan. Tanpa banyak mengumbar kata-kata, pemimpin armada Pelahap Maut di dataran Asia itu langsung menghilang dengan bunyi pop pelan.

Kepergian kakaknya membuat aksi nakal Rabastan makin menggila. Hujan ciuman keras dan basah yang lembut, emosional dan penuh cinta kasih membuatku harus bersusah-payah membebaskan diri dari ancaman kehabisan pasokan udara.

"Tunggu. Aku mau bicara..."

Melepaskan pagutan menuntut yang memabukkan, Rabastan menempelkan kening di pelipisku yang bergetar. Ujung ibu jarinya membelai mesra lekuk pipiku yang merona nyata.

"Katakan saja, Little One. Apa yang mau kau bahas denganku?"

Memberanikan diri, aku mencoba mengorek informasi mengenai prinsip tak mau berbagi yang tertanam kuat di dalam diri. Prinsip memonopoli yang katanya identik dengan dirinya.

"Kenapa tadi kau mengatakan pada kakakmu kalau kau tak mau berbagi? Apa yang kalian bicarakan?"

Terkekeh pelan, Rabastan menjentik hidungku dengan belaian lidah yang terampil. Jemarinya dengan perlahan menyusuri garis rahang dan belakang telingaku.

"Rodolphus menginginkan kawasan elit di Eropa Timur yang baru diberikan Pangeran Kegelapan padaku. Tentu saja aku menolaknya. Sejak dulu aku terbiasa menjadi penguasa tunggal."

"Lalu bagaimana jika aku yang memintamu untuk berbagi? Bagaimana jika aku memintamu untuk rela membagi diriku dengan orang lain?"

Pijar amarah menyala dalam iris hitam Rabastan. Di antara helaan napas, sebelah tangannya yang tak menyentuhku mengepal erat sampai buku jarinya memucat.

"Hermione, kau tahu kalau kau adalah milikku seorang. Tak ada orang lain yang berhak menguasai perhatianmu selain aku."

"Jadi, kau tetap tak mau berbagi dengan orang lain?" tanyaku terisak, merasa patah hati dan putus asa. Ya Tuhan, bagaimana caranya agar ia bisa menerima kondisiku saat ini?

Wajah Rabastan tampak tersiksa menyaksikan air mataku yang mengalir turun. Menyeka tetesan cairan kesedihan dengan jemari, Rabastan bergumam lirih.

"Little One, kumohon jangan menangis. Aku lebih baik disiksa ribuan kali ketimbang melihatmu berduka."

"Kalau begitu, izinkan aku untuk berbagi perhatian," aku meratap pelan, berbicara lemah dengan nada suara yang ditahan. Mataku makin mengabur tatkala kulihat Rabastan mengencangkan rahang, menyatakan ketidaksetujuan melalui bahasa tubuh.

Rileks, Hermione, aku berusaha menenangkan diri sendiri. Mungkin Rabastan tak mengerti karena kau berbicara sepotong-potong. Ayo, kubur semua keraguan dan jelaskan keadaan yang sebenarnya.

Memejamkan mata, aku bersiap untuk berterus terang. Sekarang atau tidak sama sekali. Meremas kemeja putih Rabastan, aku mendongak menatap wajah sempurna yang tampak terluka.

"Izinkan aku berbagi perhatian dengan darah dagingmu sendiri."

Jika tak mengingat kondisi riskan yang kuhadapi, pergantian ekspresi Rabastan pasti kuanggap sangat komikal. Wajahnya yang keras berganti raut terpana sebelum berubah lagi menjadi ekspresi secerah mentari pagi.

"Darah dagingku? Hermione, itu artinya..."

Rabastan tak merasa perlu menuntaskan kalimat. Memelukku makin kencang, ia mencurahkan kegembiraan dalam bisikan bertubi-tubi.

"Tentu saja aku mau berbagi dirimu dengan anak-anak kita. Sejak dulu aku ingin memiliki anak darimu, Hermione."

"Benarkah?" tanyaku tercekat, tak percaya Rabastan menginginkanku sebesar ini. Mengusap bekas air mata di pipiku, Rabastan mengangguk serius. Matanya bercahaya oleh gairah sewaktu meraup wajahku ke dalam rengkuhan tangan.

"Aku mengerti kau belum bisa memercayaiku sepenuhnya. Tapi, suatu saat nanti kau pasti akan mengerti bahwa aku benar-benar mencintaimu," Rabastan bertutur sehalus bisikan angin. Nada suaranya terdengar intim dan menggoda, membuatku terpaku dan tak bisa mengatakan apa-apa.

Tersenyum tenang, tampak tak terusik dengan respon dingin yang aku perlihatkan, Rabastan memandangiku dalam-dalam. Kelembutan dan cinta memenuhi tatapan yang memuja sewaktu ia mengulang kembali semua perkataan.

"Aku mencintaimu tanpa syarat, Little One. Aku selalu mencintaimu. Sekarang dan untuk selamanya..."


Sesuai sumpah dan janji, Rabastan kembali membuktikan diri sebagai pria sekaligus suami yang bisa dipercaya dan diandalkan. Selama masa kehamilan, pria berkarakter maskulin itu tak pernah lalai mendampingi.

Tak pernah sekalipun Rabastan mengeluhkan emosi dan perubahan hormon yang melonjak-lonjak. Tak pernah sedetikpun Rabastan kehilangan cinta dan gairah kendati perutku membengkak seukuran gajah Afrika. Perut yang untungnya bisa kembali ke ukuran normal setelah aku melahirkan dua bayi kembar yang mewarisi ketampanan ayahnya.

Tak bisa dipungkiri, kesetiaan dan pengabdian yang diperlihatkan mulai mempengaruhi jiwa. Pelan tapi pasti, aku mulai merasakan tunas cinta bermunculan di hati.

Aku memang belum bisa tersenyum di hadapannya, apalagi jika mengingat semua kebiadaban yang dilakukannya dulu terhadap mendiang sahabat-sahabatku. Tapi setidaknya aku mulai membuka diri dan tak lagi meragukan kadar cintanya padaku.

"Mommy, kapan Daddy pulang?"

Suara menggemaskan putra sulungku membangunkanku dari memori masa silam. Membungkuk dan mengangkat si sulung ke pangkuan, aku menciumi pipi montok yang tembam dan berbau harum. Di sampingku, putra bungsuku sibuk menggoyang-goyangkan kaki, bertepuk tangan sembari bernyanyi bersama kedua orangtuaku.

Belum sempat aku menjawab kapan Rabastan yang sudah seminggu ini pergi ke pertemuan tahunan Pelahap Maut di Budapest, Hungaria pulang, putra sulungku langsung melompat turun dari pangkuan, diikuti si bungsu yang menjerit kegirangan.

"Daddy pulang... Daddy pulang..."

Aku tersenyum dalam hati menyaksikan keriangan putra kembarku menyambut kepulangan ayah mereka. Sejak mereka lahir, Rabastan memang sangat memanjakan dua buah hatinya.

Untung saja ada diriku dan orangtuaku yang bisa mengimbangi Rabastan yang tak tanggung-tanggung dalam memanjakan anak. Setidaknya, berkat pengaruhku, dua putra kembarku tak berubah menjadi diktator cilik.

Orangtuaku hanya menyeringai kecil mengamati kehangatan yang merebak dari interaksi ayah dan anak itu. Meski Rabastan tak pernah bertindak kasar pada mereka, sampai detik ini Mom dan Dad memang masih agak takut jika berdekatan dengan suamiku.

Ketakutan yang bukan hal aneh mengingat aku sempat mengalami perasaan serupa. Perasaan ngeri dan benci yang pelan tapi pasti menghilang, terhapus benih cinta yang mulai bersemi di hati.

Perasaan cinta yang aku rasakan makin mekar setelah Rabastan menciumi jari-jariku dengan penuh kerinduan. Tatapannya yang penuh damba hampir membuatku jatuh bersimpuh meneteskan air mata.

Perlakuan penuh cinta itu membuat diriku tak sanggup lagi mempertahankan topeng dingin penuh kepura-puraan. Senyuman singkat pun tersungging di bibir, senyuman tipis yang membuat wajah Rabastan makin bersinar cerah seperti keping emas Galleon yang baru digosok bersih.

"Aku sangat memujamu. Ya Tuhan, Hermione, aku benar-benar mencintaimu."

Selama empat tahun menikah, aku sudah sering mendengar perkataan Rabastan tersebut. Tapi kali ini, kata-kata cintanya meresap dan membekas di dasar hati, menimbulkan perasaan tertawan yang mengusik sanubari.

Merangkulkan lengan, aku balas mendekap erat-erat. Pelukan lekat yang merupakan tanda penyerahan diri. Pelukan yang kuharap bisa membuatnya mengerti bahwa aku sudah jatuh hati padanya.

Sudah terlanjur mencintainya meski perasaan istimewa itu belum berani aku ungkapkan melalui kata-kata...


"Aku sudah tak tahan lagi! Kali ini dia pasti tamat!"

Raungan nyaring Alecto Carrow membuat kuping Amycus Carrow berdenging. Memasukkan ujung jari telunjuk ke lubang telinga, Amycus memandang galak adiknya yang tengah meracau dan membanting-banting isi koper.

"Ya ampun, Alecto. Sampai kapan kau seperti ini? Menyerah sajalah, kau tak akan bisa mengambil alih posisi Lady Lestrange."

Melotot lebar-lebar sehingga bola mata buramnya nyaris melompat ke luar, Alecto mendesis-desis seperti angsa marah.

"Dulu kupikir Lord Rabastan pasti cepat bosan menghadapi sikap membangkang penyihir tak tahu diri itu. Aku yakin cepat atau lambat Lord Rabastan akan mencari wanita lain. Ular biarpun berganti kulit tetap saja ular. Mata keranjang tetap saja mata keranjang. Tapi, lihat apa hasilnya? Anak! Anak kembar yang lahir dari rahim hina itu," sembur Alecto garang, melontarkan semua omelan dalam satu tarikan napas panjang.

Merengut muram, Amycus tak menanggapi keluh kesah adiknya. Melambaikan tongkat sihirnya, Amycus membuat baju, gaun dan jubah Pelahap Maut milik Alecto yang tadi berserakan di lantai tersusun rapi kembali di dalam koper.

Sejak kecil Alecto memang kerap kehilangan kendali jika sedang marah. Untung saja saat ini ia tak bersikap tolol dengan memanggil Hermione Lestrange si Darah Lumpur. Bagaimanapun juga, mereka jauh-jauh datang dari Budapest ke Hogwarts bukan untuk menyetor nyawa secara sukarela.

"Ingat, Alecto. Jangan macam-macam dan membahayakan posisi kita. Kau tahu kalau kita cuma menetap sementara di sini. Hanya sampai kita tahu di negara mana kita akan bertugas," tegur Amycus, membalikkan tubuh untuk menatap adiknya. Jeritan berang hampir terlepas dari kerongkongan berdahaknya ketika melihat bayangan sesosok pria yang berdiam di sudut ranjang.

"Apa yang kau lakukan di sini, Granger?"

Senyuman miring yang terlukis di wajah pria berkacamata gagang perak itulah yang membuat Amycus menyadari identitas sesungguhnya dari Muggle kotor yang hampir saja dikutuknya.

"Alecto? Apa yang kau perbuat?"

"Ramuan Polijus, abangku tersayang," kekeh Alecto sinting, menggoyang-goyangkan botol kecil berisi cairan gelap menggumpal dan bergelembung-gelembung.

"Dengan wujud Dad, aku pasti bisa menyusup ke kamar Lady sialan itu. Di sana, aku akan menyekapnya dan meminum Polijus lagi untuk berubah jadi dirinya."

"Tapi, bagaimana?" tanya Amycus tergagap-gagap. Ekspresi heran, ngeri, terkesima dan tak percaya menumpuk jadi satu di muka bulat telurnya yang berminyak.

"Bagaimana aku mendapatkan rambut si Dad? Tentu saja dari bangku taman, tempat di mana adegan peluk-pelukan antara Lord Rabastan dengan istri udiknya terjadi tadi sore," semprot Amycus jijik.

Menatap balik pantulan sosoknya di cermin panjang, Alecto mendesah puas. Meletakkan tongkat sihir di batang leher, Alecto menggumamkan Mantra Pengubah Suara. Jampi-jampi untuk mengganti suara bebeknya yang meleter dengan nada berat berkharisma Mr Granger.

"Tunggu, Alecto. Bagaimana jika kau ketahuan?"

Memelototi tubuh gempal kakaknya yang bergetar takut, Alecto menaikkan kedua alis tebalnya.

"Polijus yang kukembangkan ini sangat sempurna dalam membuat tiruan seseorang. Malam ini, aku akan menjadi Hermione Lestrange. Malam ini dan seterusnya, Lord Rabastan akan menjadi milikku..."


"Tapi ini bukan milikku, Dad," ujarku bingung, seraya mengamati jepit rambut dekil yang tampak asing di telapak tanganku. Sebenarnya, aku sedikit bingung tatkala Winky melapor kalau ayahku menunggu di luar koridor kamar, bersikeras ingin bertemu denganku.

Selama kami menetap di Hogwarts, tak pernah sekalipun ayahku mengunjungiku di kamar. Ayahku tahu bahwa kamarku disegel dengan Mantra Pelindung. Hanya aku, Rabastan, Winky dan dua putra kembar kami yang bisa masuk ke ruangan.

Tapi, dari luar kamar, ayahku memohon untuk diizinkan masuk dan bicara langsung padaku. Didorong rasa ingin tahu sekaligus iba karena tak ingin menyaksikan ayahku mengemis-ngemis di depan kamar, aku membuka tirai pelindung dan mempersilahkan ayahku untuk masuk.

"Memang bukan, Granger. Itu jepit rambut milikku, yang dilepas Lord Rabastan tatkala kami bermesraan di pesta Halloween, puluhan tahun lalu."

Aku terperangah mendengar suara bariton ayahku mengumandangkan pengakuan sensasional seperti itu. Otakku langsung aktif menganalisa. Ya Tuhan, pria di depanku ini bukan ayahku. Pasti dia seseorang yang menyamar memakai Ramuan Polijus.

"Accio tongkat sihir."

Kekagetanku makin berlipat ketika ayah gadunganku merampas tongkat sihir kayu anggur yang tergeletak di atas meja rias dengan Mantra Panggil.

Idiot, Hermione, kau idiot, aku merutuk gusar dalam hati. Selama empat tahun ini aku memang jarang memakai tongkat sihir dengan alasan tak mau mempelajari sihir hitam. Tapi, lihat hasilnya sekarang. Gerak refleks yang semakin memudar dan tumpul.

Belum lagi dengan kecerobohanku yang lain, tak mau berganti tongkat sihir. Sejak tongkat sihirku direbut Draco Malfoy di kamp Brighton beberapa tahun lalu, tongkat sihir itu tak lagi mau mematuhi perintahku. Aku yang tak merasa perlu mengganti tongkat membiarkan senjata kesayanganku itu seperti apa adanya. Kemalasan dan kelengahan yang ternyata berujung petaka seperti ini.

Memantrai kamar dengan guna-guna hitam yang belum pernah kudengar, mata cokelat ayah jadi-jadianku bersinar dalam kebencian. Perlahan-lahan, wujud imitasi memudar, memperlihatkan sosok asli yang sesungguhnya. Sesosok wanita yang selalu memandangiku penuh dendam.

"Alecto Carrow!"

"Terkejut, Granger? Astaga, astaga, astaga, aku benci sekali tak bisa memakai julukan favorit untukmu selama aku berada di Hogwarts ini," sungut Alecto kasar, meludah ke karpet beludru antik bertepian emas yang tadi pagi baru saja dibersihkan Winky.

Secepat macan kumbang, Alecto menjambak rambutku, menarik sejumput rambut ikal panjang yang bergelombang berantakan dengan kegarangan berlebihan. Secara bersamaan, dengan mantra non-verbal, psikopat akut itu melumpuhkanku, membuat tubuhku lunglai tak berenergi.

Tersenyum licik, Alecto memasukkan helaian rambut ke dalam botol yang berisi cairan gelap. Tak makan waktu lama, larutan gelap menggelegak itu berubah menjadi sebening minyak kelapa murni. Aku hanya bisa terpaku membeku ketika Alecto menenggak ramuan yang dalam sesaat mengubah wujud kucel morat-maritnya menjadi diriku; Hermione Lestrange.

Menarik tangan kiriku, Alecto mati-matian berjuang mencopot cincin pusaka keluarga Lestrange yang tersemat di jari manis. Cincin pernikahan yang dipasang Rabastan saat mengucapkan janji sehidup semati di hari pernikahan kami.

Sekeras apapun perbuatannya, Alecto tak bisa membuat cincin itu terlepas dari jari manis. Berkotek ribut tak punya banyak waktu untuk memotong jariku, wanita gila dan emosional itu merobek kain putih dan melilitkan tekstil halus itu di jari manisnya.

"Aku bisa berdalih jari manisku terluka dan harus menutupi cincin itu. Nanti, kalau waktunya memungkinkan, akan kupotong jari sialanmu itu, Pelacur."

Melemparku ke dalam kotak berlapis-lapis yang langsung tersegel dan menyusut seketika berkat Mantra Penciut, Alecto tertawa membahana. Tawa bebek yang lambat laun berubah menjadi gelak khas berirama. Menggoyang-goyangkan kotak hingga tubuh kecilku terlonjak-lonjak, Alecto menggumamkan kalimat yang membuat darahku meletup naik ke ubun-ubun.

"Malam ini, Lord Rabastan akan menjadi milikku. Malam ini dan malam-malam selanjutnya, akulah yang akan mendampinginya..."


Menatap pantulan wajah di cermin, Alecto tersenyum puas, meresapi kehalusan gaun sutra burgundy yang membalut tubuh dengan usapan jemari.

Mengutuk benci di dalam hati, kepala Alecto berputar mengamati sekeliling kamar luas berperabot mahal itu. Manik cokelat datarnya memicing iri melihat tumpukan kotak berlian, perhiasan dan peralatan kecantikan yang tumpah ruah di laci meja rias.

Menggenggam kencang pintu lemari bermuatan gaun mewah yang jumlahnya bisa dipakai untuk mengisi stok lima ratus toko serba ada terkemuka, Alecto menyeringai lebar.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun bersabar dan menanti, ia bisa menyingkirkan rival abadinya.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun menunggu, ia bisa mendapatkan pria yang paling dicintainya.

Menyembunyikan jari manis yang terbalut kain putih di lipatan gaun, Alecto memasang mimik muka semirip mungkin dengan Hermione tatkala Rabastan memasuki kamar. Senyum kecil di wajahnya pupus seketika tatkala kilat kemarahan berkobar di iris hitam Rabastan.

"Crucio!"

Jeritan kesakitan Alecto membahana menembus dinding batu Hogwarts. Lolongan pilu penuh penderitaan itu otomatis mengundang rasa ingin tahu para Pelahap Maut yang berdiam di kastil penuh menara tersebut, termasuk orangtua Hermione yang menetap di sayap barat Hogwarts.

Dalam sekejap, ratusan Pelahap Maut menyemut di depan kamar, mencoba menonton huru-hara heboh apa yang terjadi di ruangan pribadi penguasa mereka.

Begitu melihat apa yang sesungguhnya terjadi, mayoritas Pelahap Maut bertepuk tangan menyemangati. Gema persetujuan dan keheranan silih berganti berdengung, berbaur dengan cicit permohonan orangtua Hermione yang memohon-mohon agar penyiksaan brutal terhadap putri mereka dihentikan.

"Apa yang terjadi?" Astoria Greengrass mendengking tinggi, bolak-balik memandangi Rabastan yang menjulang murka dan wanita bergaun merah keunguan yang menggelepar di atas permadani. Di antara jeritan membahana, darah segar mulai mengalir dari tubuh si wanita yang terpotong-potong akibat hantaman kutukan.

"Akhirnya Lord Rabastan kembali berkiblat pada akal sehat. Bagus! Bagus! Ayo, terus siksa jalang kampungan itu," Theodore Nott tergelak bersemangat, menyilangkan kaki dengan malas di pilar depan kamar. Mata licik dan congkaknya memicing, tampak puas menonton penderitaan wanita berambut belukar yang terus menjerit-jerit meminta pengampunan.

"Itu Lady Lestrange? Kita harus menolongnya," sergah Astoria kelimpungan, berancang-ancang menerobos kerumunan Pelahap Maut yang maju berdesakan menghalangi jalan.

"Mommy? Kenapa Mommy menjerit?"

Pertanyaan yang terlontar dari suara mengantuk itu menghentikan langkah Astoria. Memalingkan wajah pucatnya ke belakang, Astoria langsung berhadapan dengan dua bocah cilik yang menguap panjang. Winky, si peri rumah sekaligus sang pengasuh berdiri gemetaran di samping anak kembar yang mulai menggosok-gosok kelopak mata mereka.

"Oh Tuhan," sembur Astoria cepat, buru-buru mengangkat dan menggendong kedua balita mungil yang masih menguap mengantuk. Mengusap punggung kecil mereka dengan penuh kasih, Astoria berbisik menenangkan, tak menggubris pandangan mencemooh yang dilayangkan Pelahap Maut yang memadati selasar.

"Tidak ada apa-apa, Anak Manis. Mommy Hermione sedang main adu teriakan," ucap Astoria halus, berjuang menyelipkan segaris senyum penghiburan.

"Kalau begitu, aku juga mau ikut main adu teriakan, Tante Tori," si sulung berseru antusias. Mata hitam pekatnya yang identik dengan manik ayahnya berkilap gembira.

Menggelengkan kepala seanggun mungkin, Astoria tersenyum sabar. Mengecup pipi montok dua balita yang sudah dianggap sebagai keponakannya, Astoria melanjutkan bujukannya.

"Tidak, Sayang. Kalian tak boleh ikut bermain. Ini sudah larut malam dan kalian harus tidur. Ayo, kita kembali ke kamar biar Tante Tori bacakan dongeng untuk kalian," bujuk Astoria kalem, bergegas kembali ke kamar anak yang terletak di sebelah kamar utama.

"Ya ampun! Tori benar-benar menikmati sandiwaranya sebagai Tante Tori yang cantik dan baik hati," Pansy Parkinson mencibir pedas, memelototi pintu kamar si kembar yang sudah tertutup dan tersegel Mantra Kedap Suara.

Menghela napas singkat, Daphne Greengrass melangkah menuju jendela koridor yang diterangi cahaya obor. Mengusir seorang Pelahap Maut junior yang berdiri di dekat jendela, Daphne menyandarkan kedua tangan di beton pembatas. Mata cokelat tajamnya berputar memandangi pelataran Hogwarts yang gelap gulita.

Sebagai seorang kakak yang sangat mengenal adiknya, Daphne tahu bahwa kasih sayang Astoria pada dua putra kembar Hermione bukanlah sandiwara pura-pura seperti yang disangka Pansy selama ini.

Sejak dulu, adiknya yang rapuh dan manis sangat menyukai anak kecil yang imut-imut. Semenjak Hermione berbadan dua, Astoria tak lagi menggelar perang dingin. Gencatan senjata resmi dikibarkan adiknya setelah Hermione melahirkan dua bayi kembar laki-laki.

Persahabatan antara Astoria dengan wanita yang dulu dimusuhinya mulai terjalin ketika Hermione meminta suaminya untuk menempatkan Astoria sebagai staf pengajar di Institut Sihir Durmstrang.

Memang, sejak Sekolah Sihir Hogwarts diambil-alih sebagai benteng dan istana Pelahap Maut di Inggris Raya, pusat pendidikan untuk anak-anak penyihir dipusatkan di Institut Sihir Durmstrang yang terletak di kawasan bersalju Norwegia dan Swedia.

Dipekerjakan sebagai staf pengajar tak ubahnya durian runtuh bagi Astoria. Ia tak lagi harus bolak-balik menggempur maupun berpartisipasi dalam penyiksaan budak Muggle. Dengan menjadi guru, Astoria bisa menyalurkan kecintaannya pada dunia anak-anak.

Jika cuti mengajar, Astoria rutin mengunjungi Hogwarts untuk menengok dua putra kembar Hermione. Sesekali, adiknya juga bertandang ke Australia dan Amerika untuk mengunjungi keponakan tercintanya yang lain; putri-putri Cho Dolohov dan Ginevra Yaxley.

Pikiran Daphne tentang kiprah adiknya terputus ketika bentakan Rabastan bergaung ke sepenjuru kastil.

"Katakan di mana istriku berada? Apa yang kau lakukan padanya?"

Dampratan murka itu membuat seluruh Pelahap Maut terhenyak dan berdesis-desis paham. Rupanya, wanita yang tercincang-cincang di hadapan mereka bukanlah Hermione Lestrange. Rupanya, ada penyihir sinting tak berotak yang nekat menyamar menjadi istri Panglima Perang Pelahap Maut.

Dalam wujud dan suara Hermione, Alecto melengking kesakitan. Otaknya menjerit-jerit mempertanyakan mengapa rencana besarnya bisa terbongkar dalam waktu singkat. Alecto sama sekali tak mengira siasat agungnya yang direncanakan matang-matang bisa terkoyak secepat ini.

Padahal, secara kasat mata, perawakan dan suaranya sangat mirip dengan Hermione. Selain itu, jari manisnya yang terbalut kain putih juga belum terdeteksi. Lalu, mengapa kedoknya terkuak hanya dalam waktu kurang dari lima detik?

"Legillimens!"

Sesaat setelah Mantra Pembuka Pikiran itu terlontar, gelombang sakit tak tertahankan merasuki serabut otak Alecto. Mengerahkan kekuatannya yang tersisa, bekas Wakil Kepala Sekolah Hogwarts itu mati-matian menutup pikirannya.

Perjuangan sengit Alecto berakhir sia-sia setelah Rabastan yang tersohor sebagai ahli pembaca pikiran terbaik kedua setelah Lord Voldemort berhasil menembus alam pikirannya. Hanya dalam waktu kurang dari satu detak jantung, Rabastan berhasil menyadap semua rencana maupun kebrutalan yang dilakukannya pada Hermione.

Raungan berang Rabastan membuat penonton yang berbisik-bisik terdiam tak berkutik. Keheningan pekat menjadikan setiap ultimatum yang keluar dari mulut Rabastan bergema sampai ke ujung dunia.

"Sudah kubilang siapapun yang berani menyentuh sehelai rambut istriku akan mati perlahan-lahan. Dan karena kau telah mencabut segenggam rambut Hermione, itu berarti kau akan mati menderita berkali-kali!"

Berderap menghampiri meja rias yang disesaki gundukan boks perhiasan, Rabastan mengambil sebuah kotak hijau bergambar Ular Basilisk. Tangan maskulinnya gemetar tatkala mengusir semua segel hitam yang menaungi wadah tempat istrinya disekap.

Disaksikan ratusan pasang mata yang terbelalak penasaran, kotak itu perlahan-lahan membesar. Tanpa membuang waktu, Rabastan membuka boks sembari berkali-kali memanggil nama istrinya. Nama belahan jiwanya yang terbujur sekarat di tengah-tengah kotak...


Sihir hitam yang intens menyelubungi membuat tubuhku melemah. Kendati raga dan jiwaku terseret dalam kegelapan pekat yang mencekam, aku berusaha menjaga konsentrasi dan kewarasan pikiran.

Keinginan membalas dendam-lah yang membuatku mati-matian membendung santet hitam yang menerjangku. Jika si bebek jelek Alecto Carrow itu berani menyentuh suami dan menyakiti anak-anakku, aku bersumpah akan menghabisinya dengan tanganku sendiri.

"Hermione... Hermione..."

Suara parau Rabastan membuat jiwaku yang tenggelam dalam kegelapan tersentak. Melawan kegelapan yang memayungi, aku berusaha mencari-cari suara penuh kasih yang sangat kurindukan.

Setitik cahaya kecil yang terlihat di ujung kegelapan memaksaku mempercepat langkah. Tertatih-tatih, aku bersusah payah menuju pijar redup tersebut. Sinar yang semakin membesar tatkala mataku perlahan-lahan membuka.

"Rabastan..."

Aku tersedak lemah, berusaha menghalau mual yang mencakar isi perut. Hanya pelukan kencang Rabastan-lah yang memupus semua dampak negatif sihir ilmu hitam yang melesap di inti nadi.

Menyaksikan kami saling berangkulan, tanpa dikomando, satu persatu anggota Pelahap Maut menyingkir. Dari sudut mata, kulihat beberapa di antara mereka menyeret tubuh rusak Alecto Carrow yang sudah kembali ke wujud aslinya.

Kedua orangtuaku yang tadi syok tak terkira berubah lega setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Setelah memastikan diriku tak kurang satu apapun, orangtuaku beringsut kembali ke paviliun mereka.

"Hermione... Hermione... Hermione..."

Merapalkan namaku dengan takzim dan penuh cinta, bibir Rabastan terus menciumi setiap senti kulit wajahku. Bahu kekarnya yang seteguh batu karang bergoyang gemetar menahan emosi. Mata legamnya terlihat berkaca-kaca, berkedip-kedip memblokir jatuhnya air mata haru.

"Untung kau selamat, Litte One. Syukurlah kau tak terlalu lama terperdaya sihir hitam di kotak itu."

Mengangkat kepala, aku menatap wajah Rabastan yang rupawan. Benakku bertanya-tanya bagaimana ia bisa membongkar penyamaran sempurna Alecto hanya dalam tempo singkat. Mengusapkan jemariku di tulang pipinya yang tegas dan berkarakter, aku mendesah lirih.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau dia bukan aku? Apa karena kau melihat jarinya yang tak memakai cincin pernikahan kita?"

Membawa jemariku yang tadi bergerilya di pipi ke bibirnya, Rabastan menciumi setiap ujung jariku dengan khidmat. Iris hitam pekatnya memandangiku lekat-lekat.

"Bukan karena itu, Little One. Tapi karena hatiku tak bergetar saat melihatnya. Padahal selama ini, setiap kali melihatmu hatiku pasti bergetar karena rasa cinta."

Mataku membulat terpana, tak menyangka bahwa alasan itulah yang membuatnya bisa mengetahui identitas palsu Alecto. Tanpa bisa kutahan, aku menangis terisak-isak, sangat terharu bisa dicintai dan dipuja sedalam ini.

Melihatku merengek sesenggukan, Rabastan semakin mengencangkan dekapan. Memijat pelan punggungku, Rabastan membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkanku.

"Jangan menangis, Little One. Aku bersumpah insiden terkutuk seperti ini tak akan terulang lagi."

Menempelkan pipiku yang basah di dada maskulinnya, aku membalas rengkuhan erat Rabastan. Meresapi detak jantungnya yang berdenyut penuh cinta dan panas tubuhnya yang membuai raga, aku mengambil satu keputusan penting yang sangat bermakna.

Sudah saatnya aku bersikap jujur pada perasaanku sendiri. Sudah waktunya aku membuang ego dan mengubur bayangan masa lalu. Sudah saatnya aku menyatakan cinta melalui kata-kata. Dan yang terpenting, sudah saatnya aku memahami di mana posisiku yang sebenarnya berada.

"Aku mencintaimu, Rabastan."

Tak menyangka mendengar pernyataan cintaku, jemari Rabastan yang mengusap punggungku berhenti mendadak. Memandangi wajahku yang tersipu malu, mata Rabastan bersinar seterang lampu kristal. Sadar bahwa aku bersungguh-sungguh, sudut bibir Rabastan terangkat membentuk senyum menggoda.

"Aku lebih mencintaimu, Hermione."

Mengalungkan tanganku di lehernya, aku memandangi Rabastan yang balik menatapku dengan sorot penuh cinta. Menyapukan bibirnya di wajahku yang merona, Rabastan mengulangi salah satu janji pernikahan yang dulu diucapkannya di altar Aula Besar.

"Dengan cincin ini aku mengawinimu, dengan tubuhku aku memujamu dan dengan barang-barang duniawiku aku menganugerahimu..."

Menenggelamkan diri dalam rengkuhan lengan Rabastan, lapisan bening di mataku bergulir perlahan-lahan. Ya, setelah menjalani tahun-tahun penuh penyangkalan dan pengingkaran, akhirnya aku, Hermione Lestrange tahu di mana sesungguhnya tempatku berada.

Di dalam pelukan suamiku tercinta...

TAMAT