Port Royal
Sumarry : Kota terkutuk itu kini telah tenggelam akibat gempa bumi. Namun tidak dengan cinta mereka, cinta antara pemimpin perompak dengan putri seorang gubernur yang berawal di dermaga Port Royal. Cinta memang dapat mengubah segalanya termasuk ketentuan dan katastrofa yang akan terjadi antara mereka. Don't like? Don't read ! I have warned you but review please ^^
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Firuri Ryuusuke
.
.
Warnings : AU , typo(s), OOC, LEMON(next chap), fic ini berlatar kehidupan dan kebudayaan inggris abad 17, etc
.
.
You don't like? So don't read!
.
Kita berbeda
Tentu saja kita berbeda
Namun bukankah perbedaan itu indah?
Perbedaan tak lagi menjadi penghalang justru membuat kita semakin yakin
Jika perbedaanlah yang menyatukan kita menjadi lebih abadi
Menjadi satu kata yang kita sebut
Cinta...
.
.
Proudly Present
Port Royal
.
"Ah...aw..." jerit seorang gadis berpegangan pada tiang ranjangnya, pelayan perempuan tua di belakangnya sedang menarik kencang tali korset yang ia pakai.
"Tenanglah Nona Sakura,"
"Tapi bi, jangan terlalu kencang nanti aku bisa sesak napas,"
"Nah selesai Nona," ujar pelayan tua tersebut setelah menyelesaikan simpul pada tali korset Nyonya mudanya. Gadis yang dipanggil Sakura mencoba mengatur napas yang sempat ia tahan saat pelayan membantu mengenakan korset untuk menyempurnakan bentuk tubuhnya. Tak lama pelayan tersebut kembali membantu Nona mudanya untuk memakai gaun pesta yang sangat indah. Gaun tersebut barwarna biru cerah dengan rok panjang yang mengembang dan aksen pita atau bunga-bunga kecil menghiasinya.
"Huh, Bibi tahu, mengenakan korset ini membuatku tersiksa. Mengapa para gadis bangsawan lain sangat menyukai ketika mengenakan korset seperti ini? Padahal bentuk tubuhku dan bentuk tubuh mereka akan terlihat lebih indah jika tak menggunakan korset," keluh gadis yang tadi dipanggil Nona Sakura oleh pelayannya.
"Bibi juga tidak tahu Nona, tapi jika menggunakan gaun pesta anda wajib menggunakan korset juga seperti para bangsawan lain lakukan,"
"Kalau begitu aku lebih memilih untuk tidak menjadi bangsawan bi," rintih Sakura sambil menyibak surai langkanya.
"Hus, Nona ini bicara apa? Ayah Nona 'kan gubernur kota ini,"
"Saya juga tahu bi, dan karena itu juga saya harus mengikuti upacara pelantikan pemimpin maritim di dekat dermaga hari ini."
Pasukan maritim kota ini memang memegang peranan penting karena letak kota ini di pesisir pantai, tempat pusat perdagangan dan perkapalan atau transit serta jalur perairan Eropa. Port royal.
"Iya Nona, anda adalah putri dari gubernur kota ini," jawab Chiyo –nama pelayan tersebut sambil menata rambut soft pink Sakura. Rambut soft pink itu digulung sebagian keatas dan sisanya diarahkan ke bahu kanan sang putri kemudian pelayan tersebut juga menyematkan topi lebar diatas kepala Sakura. Gadis itu melangkahkan dirinya ke cermin besar setelah pelayan tersebut menyudahi tugasnya.
"Anda sangat cantik Nona, seperti mendiang ibu anda,"
"Terima kasih bi, meski saya terlihat cantik mengenakan gaun ini tapi mungkin tidak ada yang mengetahui jika saya tersiksa memakainya,"
"Kecuali saya Nona,"
"Ah iya, Bibi bisa saja," Sakura berjalan keluar dari kamarnya setelah mengenakan sepatu hak tinggi miliknya. Ia lantas menuruni tangga karena kamarnya yang berada di lantai dua rumah megah keluarganya. Saat ia akan menginjak anak tangga terakhir seorang pemuda mengulurkan tangan sambil sedikit membungkukkan badan, mau tak mau Sakura harus menyambut tangan pemuda tersebut. Sakura meletakkan tangannya di atas telapak tangan sang pemuda yang menggunakan pakaian kolonel lengkap, lalu pemuda itu mengecup punggung telapak tangan Sakura.
"Kau cantik sekali Sakura," puji pemuda tersebut seraya menyematkan tangan Sakura dilengannya lalu keluar rumah menuju kereta kuda yang telah menunggu sang putri gubernur.
"Kau juga terlihat sangat tampan Kolonel Sasori," balas Sakura anggun lalu masuk ke dalam kereta kuda yang akan membawanya ke dermaga untuk upacara pelantikan hari ini. Jujur Sakura tak nyaman dengan sikap Sasori yang jelas-jelas memujanya, yah pemuda yang merupakan kolonel untuk prajurit maritim kota ini memang telah lama menyukai Sakura. Lain halnya dengan gadis tersebut yang tak memiliki perasaan istimewa terhadap Sasori.
**Port Royal**
"Sial bagaimana kita bisa lolos dari penjara busuk ini!" umpat seorang laki-laki yang berada dalam jeruji besi bersama kroni-kroninya.
"Tenanglah Sasuke, sebentar lagi bahan peledak yang aku rakit akan segera bekerja terkena sinar matahari bersabarlah!"
"Bagaimana bisa tenang Neji! hukuman pancung untuk kita tinggal beberapa jam lagi," ucap pemuda lain yang juga satu sel dengan mereka.
"Ini bukan kali pertama kita menghadapi situasi seperti ini bukan? Bersabarlah..."
Mungkin kalian bertanya mengapa mereka bisa berada di jeruji besi seperti ini? Mereka adalah kawanan perompak terkenal dan ditakuti yang telah meresahkan daratan Eropa akhir-akhir ini. Mereka tak hanya menjarah kapal-kapal mewah yang melintasi samudera terkadang mereka juga menjarah daerah pesisir pantai. Mereka bukan perompak biasa yang mengandalkan kekuatan, namun mereka juga menggunakan kecerdasan dan pemikiran dalam melancarkan aksinya.
BLAARRR
Seketika tembok batu penjara runtuh sebagian, membuat lubang yang cukup untuk meloloskan diri dari dalam. Sepuluh pemuda tersebut segera lari keluar penjara dari lubang yang telah mereka buat karena ledakan.
Ledakan yang cukup keras itu juga menarik sipir penjara yang sedang berjaga, mereka segera mengejar tahanan yang melarikan diri. Alhasil tercipta adegan kejar-kejaran antara kelompok perompak dengan beberapa sipir di belakangnya.
"Hh... bagaimana kita bisa lari dari kota ini Sasuke? Kapal kita pasti sudah dihancurkan," tanya Naruto menyusul Sasuke di depannya.
"Tch, kita bisa mendapatkan kapal lain yang lebih bagus Naruto!"
"Jangan pikirkan itu dulu, sekarang bagaimana kita bisa melarikan diri dari sipir-sipir tolol itu. Kita sudah tidak memiliki senjata apapun,"
Kelompok perompak itu terus berlari hingga mencapai dermaga akan melakukan rencana mereka, mendapatkan kapal baru yang lebih bagus.
Saat akan meneruskan langkah menuju tempat kapal maritim kota, kereta kuda menghalangi mereka. Terang saja karena jalan yang mereka lalui saat ini adalah jalur untuk kereta kuda yang akan menuju benteng utama dermaga di mana akan dilaksanakan upacara pelantikan pemimpin maritim.
Langkah mereka terhenti, Sasuke sebagai ketua kawanan peropak tersebut tak berniat sama sekali untuk mengalihkan arah pandangannya pada sosok gadis yang baru saja keluar dari kereta kuda yang menghalanginya. Membuat teman-temannya yang lain juga menghentikan langkahnya. Sasuke tetap memandang gadis itu, gadis aristokrat itu telah menyita perhatiannya yang tak pernah ia berikan pada gadis manapun. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna biru cerah dengan topi pita lebar yang melindungi wajah cantiknya dari sengatan matahari. Kulitnya putih bersih bak porselen, matanya berbinar dengan bulu mata lentik menghiasinya, bibirnya tipis merekah basah, tubuhnya kecil namun cukup indah menurutnya. Hal itulah yang ditangkap pengelihatan Sasuke mengerling pada gadis bangsawan di hadapannya. Gadis itu benar-benar cantik dan menawan menurutnya.
"Maaf Tuan, anda menghalangi jalan saya," ujar gadis itu lembut membuyarkan lamunan Sasuke dan beberapa teman-temannya.
"Hentikan! Angkat tangan kalian!" bentak pria dewasa yang diketahui adalah salah satu sipir yang mengejar kelompok perompak tersebut. Mendengar bentakan sipir tersebut, refleks Sasuke langsung menyambar lengan gadis yang ada di hadapannya, membuat gadis itu berada di depan tubuhnya. Sasuke mendekap tubuh putri gubernur kota ini dan meletakkan pisau tepat di urat leher sang gadis.
"Gadis ini akan mati jika kalian bergerak!" ancam Sasuke.
"Bajak laut sialan, jangan lukai putri gubernur!"
"Terserah kalian jika ingin putri gubernur yang cantik ini mendapat lubang di lehernya, sekarang lemparkan senjata kalian pada teman-temanku!"
"Ta-tapi..."
"Aw!" gadis itu menjerit katika ujung pisau mengenai kulit lehernya.
"Ba-iklah!" beberapa sipir penjara itu melemparkan senjata api yang mereka bawa pada teman-teman Sasuke.
"Bagus, sekarang kalian semua tiarap! Cepat!" untuk kedua kalinya sipir-sipir penjara itu mematuhi perintah Sasuke.
Sasuke segera mendorong tubuh gadis yang tadi ia jadikan tawanan, gadis itu jatuh terduduk di pasir pantai lantas menatap sendu pada pemuda yang baru saja menyakitinya. Sasuke sempat menatap iris zambrud sang gadis sebelum kembali melangkahkan kakinya seperti rencana awal.
"Nona Sakura, anda tidak apa-apa?" tanya salah satu sipir penjara yang ada di situ.
"Ayah..." pekik Sakura mengetahui Ayahnya bersama beberapa petinggi dan prajurit maritim berjalan cepat kerahnya. Sakura segera bangkit dibantu Ayahnya, lalu meringkuk di pelukan Obito Haruno.
"Apa yang kalian lakukan? Cepat kejar kawanan perompak tadi!" perintah Ayah Sakura lalu prajurit yang mengikutinya bergerak menyusul kawanan perompak yang dimaksud termasuk kolonel Sasori.
Sasori beserta pasukannya telah sampai di ujung dermaga tempat kapal-kapal milik kota berjajar disitu. Mereka melihat satu kapal berlayar tak jauh dari mereka, Mauretania. Kapal termewah kota ini yang biasa digunakan pejabat kota untuk pesiar.
"Kolonel, mereka menggunakan Mauretania,"
"Siapakan Interceptor, kita akan mengejar mereka,"
Tak lama Sasori beserta pasukannya telah berada diatas Interceptor, mengejar Mauretania yang dikemudikan oleh kelompok perompak. Interceptor adalah kapal tercepat yang dimiliki angkatan laut Port Royal. Dengan cepat Interceptor hampir menyusul Mauretania yang hampir melewati bantas pantai kota.
"Siapkan meriam!" perintah Sasori pada bawahannya.
"Apa kolonel akan menghancurkan kapal kita sendiri?"
"Aku lebih rela kapal kita hancur dari pada dikemudikan perompak!"
Interceptor mulai mendekati Mauretania, pihak angkatan laut menyiapkan tali untuk mengambil alih kapal mereka. Pihak angkatan laut melemparkan tali jangkar dan tangga saat Interceptor tepat berada di sebelah Mauretania lalu mereka berpidah untuk menghadapi perompak dalam pertempuran.
"Sasuke, sepertinya pihak angkatan laut akan mengambil alih kapal ini,"
"Cih, tak perlu hadapi mereka. Kita siapkan saja untuk pidah ke kapal sebelah,"
Sepuluh pemuda perompak tersebut mengendap untuk menggunakan tali dan tangga yang digunakan pihak angkatan laut untuk beralih ke Mauretania. Sebaliknya mereka akan berpindah ke Interceptor yang telah ditinggalkan pasukan angkatan laut.
Anggota perompak yang lain, Naruto, Kiba, dan Shino memotong tali dan melemparkan tangga ke laut lalu Sasuke mengemudikan Interceptor yang telah sepenuhnya ditinggalkan pihak angkatan laut yang berpidah di Mauretania.
"Mereka terlalu bodoh untuk disebut angkatan laut." komentar Sasuke yang berada di depan kemudi Interceptor. Dengan cepat Interceptor meninggalkan Mauretania bersama pasukan angkatan laut yang mengutuk mereka dari jauh.
"Sial! Kenapa kalian semua malah meninggalkan Interceptor?" bentak Sasori mengetahui kapal andalannya menjauhi Mauretania dengan dikemudikan para perompak.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan kolonel?"
"Kita tak mungkin bisa mengejar Interceptor dengan kapal ini! Tak ada pilihan lain kita kembali ke kota!" perintah Sasori lantas berbalik arah menuju Port Royal kembali.
**Port Royal**
Sakura berdiri di pinggir benteng dermaga setelah acara pelantikan selesai. "laki-laki itu, ia... seorang perompak," gumam Sakura dengan angin laut lembut menerpa wajah cantiknya. "tapi dia sangat tampan."
"Sakura,"
"Ayah?"
"Maafkan Ayah Sakura, karena Ayah kau hampir menjadi korban,"
"Itu bukan salah Ayah, lagi pula tidak ada yang merencanakan hal itu terjadi padaku,"
"Kasus bajak laut memang semakin marak dan meresahkan akhir-akhir ini,"
"Apa laki-laki tadi benar bajak laut, Ayah?" Sakura memastikan.
"Iya Sakura dia adalah pemimpinnya, tapi mereka berbeda. Mereka sangat cerdas,"
"... Aku ingin bebas seperti mereka," gumam Sakura lirih.
"Apa anakku?"
"Ah, tidak Ayah hanya saja aku merasa sangat lelah saat ini,"
"Kalau begitu kita batalkan saja acara makan siang dengan keluarga Sasori, kau harus istirahat,"
"Baik Ayah,"
"Sasori adalah pria yang baik bahkan ia yang terbaik untukmu, untuk anak perempuan Ayah yang manis. Kau takkan mengecewakan Ayah 'kan sayang?"
"Tidak akan Ayah," Sakura kembali tersenyum.
"Lagi pula nanti malam Sasori bersama pasukan maritim akan mengejar kawanan perompak itu,"
"Apa Ayah akan pergi juga?"
"Tentu, mereka juga membawa kapal milik angkatan laut, Interceptor. Sebagai mantan laksamana tertinggi pasukan maritim Ayah harus ikut Sakura,"
"Tapi Ayah kan sudah..."
"Tua? Ayahmu ini masih berjiwa muda Sakura, jangan remehkan Ayah hanya karena umur! Ayah pasti kembali, jangan khawatir!"
"Aku tahu itu Ayah,"
Sakura bersama Ayahnya segera kembali menuju rumah mewah mereka. Ayah Sakura memang masih terlihat awet muda dengan umurnya yang hampir menginjak kepala lima, sedang Sakura sendiri baru berusia dua puluh tahun. Sakura berjalan ke kamarnya lantas merebahkan dirinya di atas ranjang.
"... laki-laki itu, kenapa aku selalu memikirkannya," Sakura mendudukkan tubuhnya. "apa istimewanya dia hingga membuatku seperti ini?"
"Aku harus mengetahui hal itu, harus!"
Sakura mengganti gaunnya dengan pakaian yang serupa dengan lingerie, pakaian tidur tipis dari sutra berwarna krem.
"Ayolah Sakura, kau tidak jatuh cinta pada pemimpin perompak itu 'kan?" Sakura terus meracau dan berbicara pada dirinya sendiri hingga rasa kantuk mulai menghampirinya. Membuat kelopaknya tertutup perlahan.
'Bahkan sampai saat ini aku belum mengetahui namanya.'
"Uchiha Sasuke,"
Sakura mengerjabkan mata, mencoba menyadarkan diri bahwa ia baru saja mendengar suara orang lain. "Hah?"
"Kau sudah bangun putri?"
"Hh? A-pa yang kau lakukan?" tanya Sakura setengah sadar pada laki-laki yang berada satu ranjang dengannya.
"..."
Sakura segera bangkit dari ranjang lantas mencoba membuka pintu kamar. Ia menggerakkan handle pintu berkali-kali, namun pintu sama sekali tak terbuka. Laki-laki itu pasti telah menguncinya. Sekarang ia berlari menuju balkon kamar, membuka jendela besar yang tertutup selambu. Jendela kamarnya juga sama, terkunci. Ia melihat keluar jendela, hari sudah petang. Ia pasti telah tertidur selama lima jam, lantas berapa lama pria itu berada dalam satu ruangan dengannya. Laki-laki itu tetap membaringkan tubuhnya di atas ranjang Sakura memandanginya dingin.
"Ayah? Bibi? Ka-kau?" tanya Sakura tersengal.
"Ayah anda telah pergi menyusul saya Nona, pelayan anda tetap berada di rumah ini. Hanya saja mereka tak akan mengganggu kita untuk saat ini,"
Sakura ingat tadi siang Ayahnya mengatakan bahwa akan mengejar kawanan perompak yang melarikan diri. Sekarang pemimpin dari perompak tersebut malah berada satu kamar dengannya. Ayahnya benar, mereka sangat cerdas. Sakura mematung memandangi pria yang merebahkan diri di ranjangnya. "apa yang kau lakukan di sini Tuan Sasuke?" tanya Sakura, ia kembali menjadi anggun.
"Menemuimu Nona, Sakura," jawab Sasuke seraya menarik lengan Sakura kembali seperti yang ia lakukan saat bertemu gadis itu pertama kali.
"Kau akan melukaiku lagi?"
Sasuke mengeratkan pelukannya di pinggang Sakura, namun kali ini lebih lembut dan hangat. "tidak, mungkin aku akan melakukan hal sama namun tidak untuk melukaimu,"
Sasuke mendekap Sakura dari belakang seperti tadi pagi, namun ia tak mengarahkan pisaunya di leher Sakura karena kali ini ia menggunakan bibirnya. Sasuke mencium leher Sakura dengan sangat lembut. Awalnya ia melakukan hal itu pada satu titik, namun lama-lama pemuda itu menikmati setiap inchi dari leher sang gadis. Ia menggeluti leher Sakura, menyesap dalam aroma dari tubuh gadis itu. Sasuke menggigit pelan satu titik dari leher Sakura sambil menjilat dan menghisapnya, meninggalkan tanda kemerahan disana.
"Hh... ah..." Sakura mendesah pelan, namun cukup terdengar di telinga Sasuke membuat pria itu semakin beringas. "lepaskan aku Tuan Sasuke, anda bisa melukai saya lagi jika hal ini diteruskan," Sakura melepaskan diri, melangkah menuju ranjangnya lalu membaringkan tubuhnya kembali.
Sasuke juga melakukan hal yang sama, membaringkan tubuhnya di samping Sakura. "aku takkan menyakitimu lagi, aku janji,"
"Apa yang anda katakan Tuan? Kita baru saja bertemu. Bahkan kita tak saling kenal, seharusnya anda dihukum dengan dua dakwaan,"
"Apa itu Nona?"
"Yang pertama anda telah melukai putri gubernur kota ini, kedua anda telah masuk tanpa izin ke tempat tinggal orang lain,"
"Hn? Benarkah?"
"Tentu saja,"
"Dan anda harus dihukum karena tertarik dengan pemimpin perompak, Nona putri gubernur,"
"Aku tak tertarik denganmu, karena kau yang awalnya menarikku Tuan pemimpin perompak,"
"Kau memang sangat menarik Nona Haruno Sakura," Sasuke kembali menggeluti leher Sakura, membuat gadis itu mendesah kembali. Pemuda itu menahan kepala Sakura dengan kedua tangannya, tak lama ia juga menahan tubuh Sakura yang mulai meronta dengan menindihnya. Sasuke mengarahkan lekatan bibirnya ke bawah, ke bawah leher Sakura hingga...
TOK TOK TOK
Sakura segera bangkit dari ranjang, berjalan menuju pintu kamar. Ia baru ingat bahwa pintu kamarnya terkunci dari dalam. Mengetahui hal itu Sasuke melemparkan kunci yang berada pada saku celananya dan bersembunyi di balik selimut tebal.
"Ada apa bi?"
"Saya hanya ingin mengantarkan makan malam untuk Nona dan menyampaikan pesan dari Tuan bahwa beliau tidak pulang untuk malam ini,"
"Oh begitu, terima kasih bi." Sahut Sakura sambil meraih nampan yang berisi makanan dari tangan pelayan lantas menutup pintu kamar kembali.
"Anda tidak lapar Tuan?" tanya Sakura seraya mendudukkan diri di sisi ranjang.
"Tidak, apa anda lapar Nona?"
"Iya, kenyataanya," Sakura duduk di kursi meja rias, melahap makan malam yang diantar pelayan barusan. Sasuke tetap memandang dingin Sakura yang memasukkan makanan dan mengunyahnya perlahan, menunggu hingga gadis itu menyelesaikan acara makan malamnya. Sasuke menatap Sakura lekat, menganalisanya. Keindahan gadis itu di saat melenggok berjalan meninggalkan aroma wewangian khas bangsawan, pesonanya dalam senyuman, kekuatannya dalam tatapan, buasnya dalam perkataan.
"Ehm, baiklah Tuan Uchiha Sasuke, saya ingin mengetahui maksud dan tujuan anda kemari,"
"Pentingkah?"
"Tentu saja, tak mungkin pemimpin perompak datang ke kamar putri gubernur jika tanpa tujuan,"
"Saya ingin memenuhi keinginan anda Nona, untuk bertemu dengan saya kembali,"
"Kalau begitu terima kasih Tuan,"
Sasuke bangkit dari ranjang menghampiri Sakura yang duduk di kursi meja rias, "anda tahu saya bosan bersikap sopan seperti ini," ia melilitkan lengannya di pinggang ramping Sakura. "Apa termasuk tindak kejahatan jika saya menginginkan anda, Nona putri gubernur?"
Sakura termangu mendengar perkataan Sasuke, laki-laki ini benar-benar berani menyentuhnya. Jika ia merasa tak nyaman menerima perlakukan dari kolonel Sasori yang memujanya namun mengapa ia tak menolak saat pemimpin perompak ini menginginkannya. "Ini bukan soal keinginan dan kejahatan Tuan,"
"Hm?"
Sakura menyentuh rambut raven Sasuke mengelusnya pelan. "Namun ketentuan, pergilah Tuan! Jika ketentuan membenarkan keinginan anda maka kita akan bertemu lagi,"
"Baiklah, setidaknya anda telah mengetahui nama saya seperti tujuan anda." Sasuke melangkah keluar kamar dari balkon kamar Sakura seperti saat ia masuk kedalamnya.
"Berjanjilah Tuan akan membawa saya keliling samudera, jika ketentuan mendukung anda."
Sasuke membalikkan badan, menatap iris zambrud Sakura sesaat lantas berkata, "aku berjanji seperti perintahmu Nona Sakura." Lalu ia membungkukkan badan dan menghilang dari pandangan Sakura.
"Darimana ia belajar sopan santun?" tanya Sakura pada dirinya sendiri.
**Port Royal**
Sakura berjalan menyusuri kios-kios pedagang di pasar dekat pantai, ia memang tak berniat belanja apapun namun hanya untuk menyegarkan kembali pikirannya. Ia terus berjalan hingga mencapai bibir pantai. Angin pantai pagi yang lembut membelai mahkota soft pink Sakura yang menjadi bingkai indah wajahnya. Gadis bangsawan itu memandang liquid biru tanpa batas yang terbentang di hadapan. Ia ingin sekali mengarunginya menikmati hamparan air laut, hingga umurnya yang menginjak dua puluh tahun Sakura tak pernah sekalipun belayar. Ayahnya selalu bilang bahwa laut itu berbahaya dan kejam, ia justru ingin membuktikan. Sakura merentangkan tangan bersiap menerima terpaan angin laut yang memeluknya, hingga...
"Apa yang anda lakukan Nona?"
Sakura berbalik mengikuti arah suara yang didengar. "Hh? Tuan Sasuke? Ternyata ketentuan mempertemukan kita kembali,"
"Sepertinya begitu Nona,"
"Apa anda tidak ada kegiatan lain Tuan pemimpin perompak?"
"Entahlah Nona, saya hanya ingin melihat anda lagi. Dan lagi..."
"Benarkah? Betapa beruntungnya saya mendengar anda mengucapkan kalimat itu,"
"Anda pasti sering mendengarnya,"
"Sejujurnya iya, tapi kali ini terdengar lain. Apa anda sering mengucapkan hal itu Tuan?"
"Tidak Nona,"
Sakura mendongak memandang onyx Sasuke yang tetap terlihat dingin, ia berjalan mendekati wajah laki-laki itu. "Anda begitu dingin Tuan, apa laut yang membuat anda seperti ini?" gadis itu menyentuh pipi Sasuke, mengusapnya pelan.
"Anda terlalu berani menyentuh pemimpin perompak Nona," Sasuke balik menatap tajam emerald Sakura.
Sakura menghela napas lalu tersenyum manis, "anda yang memulainya Tuan." Mereka saling bertatapan hingga beberapa menit, hingga sang gadis mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mereka sadar perasaan lain berkembang semakin luas dan dalam diantara mereka, seiring hal itu terjadi mereka juga mengetahui relung untuk mereka berdua akan semakin sempit dan dangkal. Mengapa? Tentu saja karena mereka sangat berbeda.
Dua makhluk berbeda jenis itu duduk di tepi pantai mengamati riak yang datang mendekati mereka dengan buih putih yang menghiasi. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan satu sama lain, mereka hanya memandang lurus ke depan meski duduk bersebelahan.
"Tuan, apa yang membuat anda menjadi seorang bajak laut?"
"..."
"Maaf jika pertanyaan saya..."
"Apa yang yang membuat anda menjadi bangsawan, Nona?"
"... keluarga saya keturunan bangsawan," jawabnya enteng sembari memainkan butiran pasir putih.
"Maka jawaban pertanyaan anda barusan sama dengan jawaban yang anda berikan,"
Sakura menyunggingkan senyum manisnya lagi, ia tak mengira laki-laki di sampingnya sangat dingin dan minim ekspresi bahkan untuk tersenyum sekalipun.
"Apa suatu saat nanti anda akan berhenti untuk menjadi seorang perompak?"
Sasuke tak menjawab ia menatap tajam emerald Sakura seperti yang ia lakukan sebelumnya, mengetahui hal itu Sakura menyimpulkan. "Saya rasa jawabannya tidak,"
"Apa anda akan meminta saya untuk berhenti untuk menjadi seorang perompak Nona?"
"Tidak jika itu memang ketentuan untukmu Tuan, jika anda bukan perompak mungkin kita tak akan duduk berdua seperti ini,"
"Itulah yang ingin saya dengar Nona,"
Sakura bangkit, ia harus kembali ke rumah megahnya. Jika kebersamaan ini dilanjutkan maka kemungkinan terburuk ia takkan bertemu dengan laki-laki di sampingnya untuk kesekian kali.
"Saya harus kembali Tuan, saya harap hubungan kita akan lebih baik dari ini." Sakura melangkah menjauh, sedang Sasuke hanya diam tak menyahut hanya helaan napas berat yang terdengar.
**Port Royal**
Sasuke memutuskan untuk kembali ke penginapan dekat bar yang ia tempati selama tinggal di Port Royal, ia memang selalu menggunakan penginapan itu setiap singgah di kota ini. Penginapan itu tak terlalu besar dan jangan bayangkan terdapat barang-barang mewah di dalamnya. Hanya penginapan kayu yang menjadi andalan para bajak laut.
"Sasuke, habis darimana saja kau?"
"Bukan urusanmu," Sasuke meneruskan langkah menuju kamar yang ia sewa di penginapan, tak peduli dengan ucapan salah satu sahabat yang ditangkap pendengaran.
"Sasuke pasti menemui putri gubernur itu,"
"Sudahlah Naruto, kau jangan suka mencampuri urusan Sasuke,"
"Kita bersenang-senang saja selagi di sini." Port Royal memang sarang bajak laut yang ingin menyimpan dan menghabiskan harta rampasan mereka.
Sasuke masuk ke kamarnya memikirkan segala ucapan Sakura, semuanya. Ketentuan, yah kata itu terucap berkali-kali dari bibirnya. Ketentuan? Ketentuan diantara mereka jelas berbeda. Ia tak mungkin melibatkan Sakura dalam kehidupannya atau ia tak mungkin terlibat dengan kehidupan Sakura sebagai seorang aristokrat. Sasuke duduk di sisi ranjang mengacak rambut ravennya, ia kembali berpikir. Ketentuan bisa diubah bukan? Ia dan Sakura bisa mengubah ketentuan mereka. Sasuke berencana menemui Sakura kembali nanti malam untuk mengatakan pemikirannya ini. Yah nanti malam ia ingin menemui gadis yang mengisi hati dan pikirannya saat ini.
.
.
.
.
"Sakura?"
Sakura berbalik dari posisi tidurnya semula mendengar namanya dipanggil. "Tuan? Ada apa anda kemari?"
Sasuke mendekati Sakura yang kini duduk di ranjang, "aku hanya ingin mengatakan bahwa ketentuan kita dapat diubah,"
"Untuk apa, Tuan?"
"Untuk kita, agar kita terus bersama,"
"Tak perlu Tuan, saya yakin dengan kita saling mengerti maka ketentuan akan berubah,"
"Maksudmu?"
"Saya tahu kita berbeda Tuan, ketentuan kita memang berbeda. Namun kita sama, perasaan kita sama. Bukan begitu Tuan Uchiha Sasuke?"
"Benar Nona." Sasuke melekatan wajahnya dihadapan Sakura, memandangi iris viridian gadis itu dengan sangat dekat. Hingga keduanya terpejam karena bibir mereka saling bertautan, meresapi gelutan lidah masing-masing, saling menghisap dan mengecap, menikmati perasaan yang terus berkembang diantara mereka.
**Port Royal**
Semenjak pertemuan keempat mereka, Sasuke dan Sakura semakin sering bertatap muka, mereka tak segan saling bertautan menyusuri pinggir pantai. Tak jarang mereka hanya duduk memandangi lautan tak berbatas dan langit yang terbentang luas. Mereka berdua sama-sama berkorban demi semua ini. Sakura harus meredam rasa khawatir tiap menghabiskan waktu bersama Sasuke, takut jika ayahnya sampai mengetahui hubungannya dengan pemimpin perompak yang telah merampas kapal kebanggan angkatan laut. Gadis itu harus membagi waktu antara perasaan dengan tugasnya sebagai putri gubernur.
Begitu pula dengan Sasuke, pria itu memperbaiki penampilan dan perangai setiap bertemu dengan gadis pujaannya. Pakaiannya yang khas seorang bajak laut berubah menyerupai pria aristokrat yang sangat tampan. Fisiknya memang menunjang sebagai seorang bangsawan seperti Sakura.
Mereka menyadari bahwa saling mencintai dan mengasihi namun kata-kata itu tak tersemat di bibir masing-masing. Hanya dari keyakinan mereka memahami, hanya dengan kepercayan mereka mengetahui, hanya dengan saling mengingat mereka menyadari. Bagi mereka cinta tak hanya kata-kata, untuk dapat melihat Sakura tersenyum tulus adalah bentuk kebahagian bagi Sasuke. Kebahagian lain tentunya yang tak pernah ia rasakan walau mendapat jarahan paling berharga. Sakura lebih berharga dari lazuardi dan alamas sekalipun.
Jika Sasuke pergi berlayar maka Sakura menunggunya, ia yakin bahwa pria itu akan kembali untuknya. Hanya dengan memandang bulan ia merasa bisa melihat Sasuke, begitu pula dengan pria itu. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa Sakura menanti, ia telah menamatkan perasaan untuk gadis yang berbeda dunia dengannya.
Cinta untuk mereka lain, tentu mereka tak buta karena perasaan itu. Mereka menyadari bahwa dunia sempit untuk keduanya, sempit bukan berarti tak ada bukan? Sasuke yakin ada tempat untuk ia dan gadis yang dicintainya. Mereka bukan tak peduli dengan orang-orang sekitar, justru mereka sangat berkorban demi hal itu. Terutama Sasuke, ia tahu jika hubungan ini berakibat buruk untuk Sakura. Keluarga Sakura jelas menentang perasaannya. Ia sadar, ia hanya tak ingin melihat Sakura menderita hanya karena ia memaksakan perasaannya semata.
Selama tiga bulan mereka bersama, singkat memang namun cukup dalam dan membekas untuk keduanya. Termasuk saat mereka harus terpisah karena Sasuke harus pergi mengarungi lautan. Jika Sasuke kembali di Port Royal maka laki-laki itu akan menemui Sakura di kamarnya sekedar melepas rasa tertahan selama terpisah. Begitu pula jika Sasuke akan meninggalkan gadisnya seperti saat ini.
"Berapa lama lagi aku harus menunggumu, Sasuke?"
"Entahlah, sepertinya nanti akan lebih lama,"
"Kau tetap dingin padaku meski kita telah bersama selama tiga bulan,"
"Begitukah?" Sakura mengangguk sebagai jawaban pertanyaan singkat Sasuke. Gadis itu merapat di tubuh pria yang dicintainya. Mereka berdua berbaring di bidang ranjang Sakura dalam kamarnya, menyelip di bawah satu selimut. Tak ada yang mereka lakukan, hanya saling memandang atau mengamati. Terkadang Sakura menyunggingkan senyuman atau bersemu merah mengetahui pandangan Sasuke hanya tertuju kearahnya. Jauh dalam hati Sasuke menginginkan lebih, namun pria itu menahan seperti janjinya bahwa ia tak akan menyakiti Sakura lagi.
"Apa kau akan merindukanku jika aku lama meninggalkanmu?"
"Tentu aku merindukanmu," Sakura mendongak menatap obdisian Sasuke. "bagaimana dengan dirimu?" tanyanya landai.
"Sama denganmu," jawab laki-laki itu singkat. Sakura tak heran Sasuke masih dingin dan tak acuh padanya, karena memang itulah Sasuke yang dikenal Sakura selama ini.
"Benarkah?"
"Selama apapun aku akan menunggumu," Sasuke tersenyum tipis mendengar jawaban gadisnya, perasaan bahagia terselip dihati mendapat gadis seperti Sakura. Bukan kebangsawanan yang ia lihat dari Sakura, ia melihat Sakura sebagai gadis sederhana lepas dari seluruh gelarnya.
"Kau menginginkan sesuatu Sasuke? Aku mengetahuinya," Sakura sambil mengusap pipi laki-laki yang mendekapnya.
"Jika aku menginginkanmu malam ini apa kau akan menolak?"
"Entahlah, aku belum menginginkan hal itu,"
"Kau tahu aku telah lama menahannya,"
"Aku tahu, termasuk bagian mendesak darimu sekalipun,"
"Pintar, tapi aku takkan melakukannya untuk saat ini,"
**Port Royal**
Sudah sebulan Sakura menunggu kedatangan Sasuke, entah mengapa hari terasa sangat lambat menurutnya. Sasuke tak pernah meninggalkannya selama ini. Ia merasa sangat tersiksa dengan perasaannya sendiri, ingin rasa ia menyusul Sasuke mengarungi lautan seperti keinginanannya. Namun Sakura bisa apa, ia hanya seorang putri gubernur yang dipaksa menuruti berbagai peraturan.
Jika biasanya ada Sasuke yang menemaninya sekedar berjalan-jalan di tepi pantai saat pagi hari seperti ini, maka sekarang ia hanya berkutat pada buku-buku tebal di pangkuan.
Obito berjalan menuju kamar putri semata wayangnya, ia membawa sebuah kotak dengan senyum berseri di wajah tegasnya, "sayang?"
Sakura mengikuti arah suara yang memanggil namanya, lalu menutup buku yang ada di pangkuan, "Ayah? Ada apa?"
Obito melangkah mendekati putrinya yang duduk di ranjang, "Ayah hanya ingin memberikan ini. " Ia menyerahkan kotak yang ia bawa untuk putrinya.
Sakura membuka kotak persegi panjang itu lalu melihat isinya, "indah sekali Ayah," ujarnya saat mengetahui gaun pesta seperti milik ratu Elizabeth yang ada dalam kotak tersebut.
"Kau menyukainya?"
"Tentu Ayah, tapi ini untuk apa? Apa kau harus menghadiri pesta kerajaan lagi?"
"Tidak nak, ini untuk makan malam bersama keluarga Sasori. Kita 'kan pernah menunda acara makan siang bersama mereka,"
Sakura menghela napas berat, ia tersenyum kecut."Terima kasih Ayah,"
"Ini sudah saatnya Sayang. Ayah telah lama merencanakan hal ini dengan keluarga Sasori, Ayah ingin kau menjadi pendamping Sasori begitu pula dengannya. Acara makan malam nanti akan membiracakan pertunanganmu dengan Sasori. Bukankah kau juga menyukainya, Sayang?"
"Tapi Ayah, aku tidak..."
"Ayah tak menerima alasan apapun Sakura inilah ketentuanmu. Ayah tahu hal ini terlalu cepat, namun inilah yang terbaik untukmu,"
Sakura tersentak mendengarkan seluruh perkataan Ayahnya. Tahu apa tentang kata terbaik jika ia sendiri sama sekali tak menginginkan Sasori. Sakura sedang menunggu seorang pria untuknya tapi jelas itu bukan Sasori, dari awal Sakura jelas menolak Sasori yang mendekatinya. Sekarang apa? Pertunangan? Ia memang tak dapat membantah perkataan Ayahnya, namun bukan untuk semua ini. Sakura merasakan hatinya sesak, kepalanya pening, dan viridiannya mulai berkaca-kaca.
"Jangan mengecewakan mereka nak, Ayah yakin kau tahu maksudnya." Pria paruh baya itu mengecup singkat puncak kepala gadis yang mirip dengan mendiang istrinya lalu menghilang di belokan pintu.
'Aku tahu maksud Ayah, tapi Ayah tak pernah mengerti perasaanku'
'Ayah, aku bukan anak usia tujuh tahun lagi yang harus mengerti dan menuruti semua maksud Ayah,' Sakura meneteskan buliran cairan bening dari pelupuk mata, kini ia menangis membuat titik-titik basah di gaun pemberian Ayahnya. Ia tertunduk tubuhnya bergetar, semua ucapan Ayahnya terlintas dipikiran.
Bukankah hidup itu tak serumit ini, bukankah ketentuan tak sesulit ini. Ia tak pernah membayangkan akhirnya akan seperti ini, ia tak menyalahkan siapa-siapa akan perasaannya. Ia hanya ingin menjadi anak perempuan manis dari keluarga bangsawan, putri yang penurut, putri yang selalu mendapat pujian dengan perangainya yang anggun... hanya untuk menjadi anak yang dapat membahagiakan Ayahnya. Tapi apa gunanya jika itu hanya dengan senyuman manis yang hambar, apa gunanya jika ia penurut namun mengingkari perasaannya, apa gunanya jika pujian itu adalah celaan baginya, apa gunanya jika... membahagiakan Ayahnya yang jelas ia tak bahagia.
Hidup itu simpel Sakura, hidup itu mudah untuknya, hidup itu mudah untuk keluarganya, hidup itu... mudah untuk orang-orang sepertinya.
Tapi kenyataannya...
Ia kembali terisak, air matanya mengucur kembali namun kali ini semakin deras. Sakura memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan kiri, lantas memilin bibir atas dengan tangan kanan. Ia mencoba menenangkan diri sendiri, ia ingin mengatakan bahwa ia tegar.
Tapi kenyataannya...
Ayolah ini bukan masalah besar, ini bukan masalah yang mempertaruhkan hidup dan mati. Hanya masalah perasaan, tidakkah itu ringan Sakura? tidakkah itu... tidakkah itu...
Ia tersenyum, kali ini tak lagi hambar namun penuh kepedihan dengan buliran bening yang masih setia menghiasi.
**Port Royal**
Ternyata petang datang lebih cepat dari dugaan Sakura, ia memandang suram bayangan diri di cemin besar. Baru saja pelayannya selesai membantu mengenakan gaun pemberian Ayahnya. Ia tampak sangat cantik dengan gaun hijau muda yang sewarna dengan irisnya. Gaun itu mengembang di bagian rok serta memiliki potongan leher melebar dan sangat rendah, garis leher bulat, dan menggunkan kerah lipit tegak atau lebih dikenal dengan sayap pendek mirip seperti milik ratu Elizabeth I. Putri Haruno itu berputar-putar di depan cermin, betapa gaun indah ini dapat menutupi perasaannya.
"Sayang kau sudah siap? Keluarga Sasori sudah tiba," ujar Ayahnya di depan pintu kamar.
"Sebentar Ayah, Bibi tinggal merapikan riasanku. Bukankah aku harus menjadi yang terbaik untuk pria yang terbaik untukku Ayah," sahutnya dengan tersenyum, lagi-lagi ia tersenyum.
"Kau tahu maksud Ayah, Sayang." Obito berjalan bangga menghilang dari depan pintu, ia harus segera menyambut keluarga yang ia rencanakan menjadi besannya itu.
"Saya tahu anda Nona, termasuk arti senyum anda,"
"Sudah bi, saya tahu yang terbaik,"
"Terbaik anda bilang? Maaf Nona bukan maksud saya untuk..."
"Cukup bi, cukup. Inilah ketentuan yang harus saya jalani, Bibi tidak tahu, Bibi tidak tahu jika saya..." Sakura meracau lantas jatuh terduduk di lantai kamarnya, air matanya kembali mengucur deras.
Pelayan tua itu menghapus air matanya, membantunya berdiri lagi. Pelayan tersebut merapikan kembali riasannya lalu berpesan untuk Sakura,"biarlah orang lain menganggap anda berlebihan Nona, namun itulah kenyataannya. Jika itu berhubungan dengan perasaan maka air mata atau pun kata-kata manis tak dapat dikatakan berlebihan lagi,"
Sakura berterima kasih dengan tersenyum manis pada pelayannya.
"Saya tahu satu hal Nona, ketentuan itu dapat diubah," perempuan itu menghela napas panjang. "Anggap saja saya tidak mengetahui permasalahan anda Nona, dan mengatakan hal ini hanya untuk membuat anda tidak menangis lagi karena hal itu akan menyusahkan saya untuk merias anda kembali."
"Terima kasih bi." Sakura kembali tersenyum tulus untuk kesekian kali, ia mengecup singkat pipi berkerut milik pelayan yang telah ia anggap sebagai ibu.
'Aku tak boleh menangis lagi, Bibi pasti kesal padaku jika harus meriasku kembali.' Sakura mengucapkan kalimat itu berkali-kali hingga mencapai ruang makan di rumah megahnya. Ayah bersama tiga orang telah menunggu di situ, menyunggingkan senyuman ketika ia terlihat mendekati mereka.
"Harusnya aku menjemputmu tadi, Sakura," ujar Sasori menyiapkan tempat duduk untuk gadis baru datang itu.
"Terima kasih Kolonel," bibir Sakura terulas senyum dipaksakan setelah duduk di kursi meja makan yang telah disiapkan untuknya.
"Kau jangan memanggil Sasori ini dengan sebutan kolonel lagi, putriku," ucap Ayahnya.
"Apa ini calon istri anakku?" tanya ibu Sasori dengan memandang Sakura dengan tatapan kagum dan bangga.
Sakura jelas mengerti maksud dari ini semua, tapi ia tak menginginkannya. Ia menunggu Sasuke, hanya Sasuke yang mengisi relungnya saat ini. Bukan untuk pria lain termasuk Sasori sekalipun. "Sepertinya begitu Nyonya," jawabnya.
"Hal itu bukan lagi sepertinya sayang, namun kenyataannya," ucap Ayahnya lagi dengan tawa diikuti dengan orang tua Sasori.
"Baiklah-baiklah silahkan menikmati hidangan dari kami,"
"Terima kasih,"
'Ayah, tidak tahukah Ayah jika aku...' Sakura hampir meneteskan buliran bening kembali, matanya serasa memanas, bibirnya bergerak kelu, ia menggenggam erat sendok dan garpu di tangan.
Tak adakah yang menyadari, tak adakah yang mengatakan bahwa ia tak perlu melakukan hal bodoh ini lagi, dan lagi...
Ia sakit menahan cairan bening itu agar tak turun lagi, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menelan makanan meski terasa sulit. Berkali-kali ia melirik ke arah tangga yang menuju kamar tidur. Ingin rasanya ia berlari menaiki tangga itu melempar dirinya di ranjang. Namun... bagaimana dengan Ayahnya? Ayah yang sangat disayanginya. Bagaimana jika Ayahnya kecewa akan sikapnya?
"Bagaimana dengan rencana kita? kapan kita akan menentukan tanggal pertunangan untuk anak-anak kita?" tanya Obito pada orang tua Sasori.
"Secepatnya, bukankah kau menyukai Sakura anakku?" tanya ayah Sasori pada putranya.
"Tentu Ayah, begitu pula dengan Sakura,"
"Bagus,"
Sakura merasakan mendapat tamparan telak, inikah akhir untuk putri yang selalu berusaha menyenangkan ayahnya. Ia kira dengan melihat Ayahnya bahagia maka ia akan bahagia pula. Ternyata keinginan Ayahnya jauh berbeda dengannya. Memaksanya untuk jatuh di jurang yang menyakitkan walau itu penuh dengan kemewahan. Bahkan untuk berbincang berdua dengan Sasori selalu ia hindari, mengapa semua menjadi sejauh ini. Ia hanya mendengar bahwa Ayah selalu mengatakan bahwa Sasori lah yang terbaik untuknya, ia kira hanya sebatas itu. ternyata ini semua berujung pertunangan dan...
"Sakura?"
"Hh? Iya paman,"
"Bagaimana menurut pendapatmu jika pertunanganmu dengan Sasori akan dilaksanakan bulan depan? Apa kau keberatan?"
'Tentu saya keberatan Tuan, sangat!' nyaris kata itu keluar dari bibirnya. Namun lagi-lagi ia menahan perasaan demi Ayahnya. Ayah yang terlalu banyak berharap pada putrinya dengan memaksakan keinginan.
"Ti-tidak Paman," jawabnya dengan mata yang mulai basah dan bibir bawah yang tergigit-gigit.
Tidak adakah yang menyadarinya, tidak adakah? Apa orang-orang di sini tetap menganggap bahwa kehidupan itu mudah dan simpel?
Bukankah dia bahagia menikah dengan kolonel angkatan laut? Dengan keluarga bangsawan sebagai latar belakangnya? Mereka sama, yah kodrat mereka sama. Tapi ia tak mencintainya, bahkan orang-orang di selilingnya saat ini tak menyebutkan kata itu sama sekali. Kata cinta, kata yang sejatinya ia dengar untuk memutuskan suatu pertunangan lalu pernikahan. Tapi mereka? lagi-lagi mereka menganggap mudah untuk semua masalah, apa ini masalah harta? Jabatan? Gelar? Kebangsawanan? Kodrat? Atau ketentuan sendiri? Entahlah, Sakura telah menyetujuinya, ia telah mengorbankan diri untuk terjebak dalam lingkaran enam kata itu sendiri.
**Port Royal**
BLAAM
Sakura menutup kasar pintu kamar, tubuhnya yang masih bergetar dan sesenggukan bersandar di pintu jatuh terduduk di lantai perlahan. Ia kembali memeluk tubuh sendiri dan memilin bibir atasnya. Ia mengusap air mata yang kembali menetes satu per satu. Sakura teringat dengan Uchiha Sasuke, yah pria itulah yang mengisi hati dan pikirannya selama ini. Entah kenapa ia ingin pria itu di sini sekarang, mendekapnya erat seperti pertemuan pertama mereka.
Ia menginginkan Sasuke di sini, membawanya pergi dari kenyataan yang akan ia hadapi nanti. Sejak kecil Sakura dididik untuk mematuhi perkataan Ayahnya, semua peraturan Ayahnya. Ia tahu Ayahnya berharap banyak untuknya.
TOK TOK TOK
Sakura segera berdiri lalu mengilangkan bekas air mata sebelum membuka pintu. "Bibi, ada apa?"
"Saya hanya ingin menemui anda, Nona,"
"Oh masuk bi,"
Pelayan kesayangan Sakura tersebut masuk ke dalam kamar sambil menggandeng tangan majikannya. Mereka berdua duduk di tepi ranjang, "Nona masih sedih?"
"Aku tidak menginginkan semua ini bi,"
"Saya tahu Nona, jika anda terus melakukan hal yang tidak anda inginkan lantas kapan anda bahagia?"
"Aku bahagia bi, jika Ayah bahagia..."
"Nona, saya hanya ingin melihat senyum tulus dari anda, bukan senyum dipaksakan yang selama ini anda lakukan,"
"... apa yang harus saya lakukan, bi?"
"Katakan pada Tuan jika anda tak menginginkan semua ini, anda mencintai pria lain bukan? pria yang sangat berbeda dengan kehidupan anda sekarang ini,"
"Bibi mengetahuinya?"
"Tentu Nona, Bibi tahu pria itu selalu menemani anda saat pagi hari di tepi pantai dan malam hari di kamar Nona jika ia singgah di kota ini. Bibi juga menutupi itu semua dari Tuan,"
"Jika saya melakukan hal itu Ayah pasti sangat kecewa. Aku tak mau mengecewakan Ayah bi," ujarnya sembari beringsut di bawah selimut.
"Hanya itu yang Bibi bisa lakukan Nona, jika tidak tunggulah pria itu tiba. Bicarakan hal ini dengannya, ia pasti tahu yang terbaik Nona, Bibi akan membantu jika Nona membutuhkan,"
"Terima kasih Bi," Chiyo segera keluar dari kamar majikannya, ia merasa kasihan dengan Sakura. Tuan putrinya itu memang selalu berusaha agar orang-orang di sekitarnya bahagia, terutama Ayahnya. Namun ia tak habis pikir mengapa semuai ini berujung dengan air mata.
Kini air matanya mengering, Sakura tak dapat melakukan apapun selain menunggu. Menunggu Sasuke dan hari pertunangannya. Berharap Sasuke datang lebih cepat...
**Port Royal**
Hari terus berganti, Sakura tak beranjak dari kamar, cahaya menyentuh tubuhnya jika jendela dibuka, kakinya terus berselimut, matanya belum terisi arti, tangannya tak lepas dari bantal. Jika malam datang, Sakura menyeret tubuhnya untuk tidur, mengharap mimpi betemu Sasuke kembali.
Semua pelayannya tidak bisa mengubah Sakura termasuk Chiyo, diajak bicara tak membuka mulut, diajak jalan-jalan gelengkan kepala, didekati hanya diam. Ia hanya makan jika mengiginkan. Bukan tiga kali, kadang dua, kadang sekali. Sakura tinggalkan kamar hanya untuk melihat bunga di halamannya, keluar malam hanya untuk melihat bulan sempurna bundar, ia merasa saat itu bisa melihat Sasuke.
Hampir dua minggu Sakura menjalani hidup tanpa arti, hanya acara kerajaan atau mendampingi Ayahnya lah yang membuat ia merias wajah yang tampak semakin pucat.
Gadis itu kini memaksakan turun adari ranjang empuk kamarnya, baru saja ia pulang dari acara kerajaan bersama Ayahnya. Ia ingin ke pantai yang biasa ia kunjungi bersama Sasuke. Ia sangat merindukan pria itu. Sakura keluar rumah tetap menggunakan gaun yang ia kenakan di pesta kerajaaan. Menyaruk kaki di pinggir pasir putih pantai, pikirannya melayang dua minggu lagi acara petunangan itu pasti dilaksanakan, hampir seluruh penduduk Port Royal mengetahui hal ini. Pertunangan antara putri gubernur dengan Kolonel angkatan laut.
Sakura menyernyit heran melihat pria berambut kuning spike, ia menajamkan pengelihatan, tak salah lagi pria itu adalah rekan Uchiha Sasuke. Jika pria itu telah tiba di kota ini mengapa Sasuke tak mengunjunginya, apa Sasuke tak bersamanya. Berbagai pertanyaan mengganjal, ia ingin segera mengetahui jawabannya.
Sakura mengikuti kemana perginya pria tersebut, mengabaikan seluruh rasa takutnya melewati gang-gang dan jalan yang gelap dan sepi. Ada sedikit rasa khawatir menyelimuti, bagaimana jika Ayahnya mencarinya namun segera ia tepis pikiran itu. Ia yakin Ayahnya telah tertidur karena kelelahan. Ia meyakinkan hati sendiri untuk dapat bertemu dengan Uchiha Sasuke atau sekedar bertanya pada rekannya bagaimana keadaan pria itu. Sakura terus menguntit pria bertubuh tegap itu hingga terlihat sebuah bangunan dan pria itu masuk kedalamnya.
Sakura melihat tempat yang tampak mencolok dari bangunan di sekitarnya, walau bentuknya tak jauh beda tapi tempat itu sangat ramai dan bising. Namun bukan itu yang membuatnya terpaku dengan bangunan kayu tersebut, ia sedang mengamati setiap laki-laki yang berlalu-lalang di situ. Sakura mencari pemuda tampan berambut raven biru dongker bermata tajam hitam kelam. Gadis itu tampak seperti mangsa yang datang suka rela di sarang buaya, yah Sakura sendiri tidak sadar bahwa ia melakukan hal yang salah dengan datang di sarang bajak laut. Lagi-lagi ia mengorbankan dirinya sendiri.
Sakura mencoba mendekati tempat itu, meredam segala rasa takut. Ia memberanikan diri untuk masuk ke tempat nista ini, walau banyak pasang mata yang memperhatikan kedatangannya. Lantai kayu bar tersebut berderak karena langkah sepatu hak tinggi yang dipakai Sakura, gadis itu terus melangkah masuk ke dalam. Ia tak peduli jika penghuni di bar tersebut memandanginya lapar, ia hanya menginginkan Uchiha Sasuke.
Putri gubernur itu tak tahu alasannya mengapa ia melakukan hal yang belum jelas seperti ini, belum tentu Sasuke berada di bar ini dan belum tentu juga ia mau bertemu dengannya. Sakura menghilangkan semua pikiran buruk dan rasa takut yang berkecamuk di benaknya, ia yakin dengan semua perkataan Sasuke padanya.
"Sasuke," pekiknya saat melihat laki-laki di sudut bar bersama beberapa wanita bergelayut di tubuh laki-laki tersebut. Ada sedikit rasa ragu dan sakit melihat kedaan laki-laki itu saat ini. Ia berjalan mendekati pria yang menjadi tujuannya, apa laki-laki itu...
"... Sasuke,"
Pria itu menoleh ke arah suara yang menyebut namanya, ia hanya menatap dingin sesaat lantas mengalihkan pandangan kembali ke para wanitanya.
"Sasuke, apa kau sudah lama disini?" tanya Sakura dengan suara serak.
"Hei Nona, saya yakin anda keturunan bangsawan untuk apa anda kemari hah!" culas wanita yang juga bergelayut di tubuh Sasuke diikuti oleh tawa sinis wanita lain.
"Saya... hanya ingin menemuimu Sasuke," Sakura merasakan matanya memanas melihat adegan di hadapannya, pria yang diinginkannya sama sekali tak menoleh ke arahnya, tak memperhatikan keberadaannya. Pria itu malah mencumbui leher wanita yang duduk di pangkuannya.
Sakura meremas jemarinya sendiri, ia menahan agar air matanya tak kembali mengalir, "Sasuke... aku tahu kau tak mengharapkan kedatanganku di sini, ta-pi setidaknya kau katakan itu sendiri," suaranya terdengar semakin serak dan parau.
Sasuke memutar bola matanya, ia menatap Sakura dingin, "Aku tak menginginkanmu lagi Nona," hati Sakura bergetar teremas, mata berkaca tak percaya dengan apa yang didengar dari bibir laki-laki yang dicintainya.
"Baiklah, tapi untuk apa kau melakukan ini hah?" bentaknya sambil menepis tangan Sasuke yang menggerayangi tubuh wanita jalang di hadapannya.
PLAK
Sasuke menampar pipi pucat Sakura sebagai jawaban, membuat gadis itu jatuh ke samping terduduk di lantai bar. Sakura tersenyum miris, "Aku takkan menemuimu lagi Tuan, ternyata aku salah berharap banyak padamu," rintihnya tertunduk di lantai, keadaan Sakura benar-benar memprihatinkan. Pena yang menahan gulungan rambutnya lepas, membuat surai merah mudanya tergerai berantakan, pipi putihnya yang pucat memerah di salah satu sisinya akibat tamparan Sasuke. Tangannya mengepal kuat, viridiannya berair siap meleleh. Sasuke tak bergeming menatap Sakura yang mendongak memandangnya penuh kebencian. "Terima kasih, Tuan Uchiha Sasuke." Ujarnya landai lalu bangkit dari posisinya. Ia berdiri memandang tajam Sasuke dengan para wanitanya lalu berbalik menjauhi pria yang ia menyakitinya di belakang.
Sakura tak sanggup lagi membendung air matanya yang tertahan, ternyata ketentuan untuknya begitu pahit dan menyakitkan. Ia meremas rok panjang lalu mengangkatnya, tak ada yang ia harapkan lagi di sini. Ia berlari pergi menghambur keluar meninggalkan banyak pertanyaan bagi orang-orang yang melihatnya.
Gadis itu tak lagi peduli dengan keadaannya, baru saja sembab di sekitar matanya sedikit menghilang, baru saja anak sungai di pipinya mengering, dan baru saja ia sedikit terhibur dengan menyebut nama pria yang diinginkannya. Sekarang? Sekarang apa? Ucapan Sasuke lebih menyakitkan daripada berita pertunangannya dengan Sasori sekalipun.
'Tidak, mungkin aku akan melakukan hal sama namun tidak untuk melukaimu,'
'Menemuimu Nona, Sakura,'
'Aku takkan menyakitimu lagi, aku janji,'
'Kau memang sangat menarik Nona Haruno Sakura,'
'Saya ingin memenuhi keinginan anda Nona, untuk bertemu dengan saya kembali,'
'Aku berjanji seperti perintahmu Nona Sakura.'
'Entahlah Nona, saya hanya ingin melihat anda lagi. Dan lagi...,'
Sakura terus berlari menggunakan jalan yang sama seperti yang ia lalui tadi, semua perkataan Sasuke terngiang kembali di telinga. Ternyata ia berharap pada orang yang salah, ternyata orang yang diinginkannya sama sekali tak menginginkannya. Ternyata ia salah menganggap laki-laki itu berbeda dengan yang ia ketahui selama ini. Ternyata ia harus menelan lagi semua harapan dan keinginanan untuk bahagia dan menguburnya. Ia harus kembali menjadi Sakura yang tak memiliki pilihan untuk bahagia atau sekedar tersenyum tulus.
Dimana letak kesalahan sehingga Sasuke memperlakukannya seperti ini? Apa hanya karena ia mengganggu acara Sasuke di bar itu? Apa sedari awal Sasuke hanya berniat mempermainkannya? Berbagai pertanyaan yang belum terjawab itu semakin menambah luka di hati, ia merasakan perih yang teramat di relungnya, tempat ia memupuk cinta pada laki-laki itu. Apa artinya semua ini? ia tak menginginkan Sasuke kembali, rasa sakit yang ia terima menghapus semuanya. Rasa kecewa yang ia tuai membuatnya mati rasa. Mungkin lebih baik ia meninggalkan semua ini berkalang tanah daripada mendengar satu-satunya asa enyah begitu saja.
"Hei, kau mau kemana Nona cantik!" ujar seorang pria tiba-tiba melompat di hadapannya.
Sakura menyaruk ke belakang, ia ingin lari menghindari pria tambun itu. Tapi...
Pria lain menangkapnya dari belakang, mengekang bahunya erat. "Lebih baik kita bersenang-senang dulu,"
Sakura tak tahu harus berbuat apa lagi, ia hanya menjatuhkan bola-bola bening berkali-kali dari pelupuk mata. Ia terus meronta menendang-nendang udara.
"Kalian, lepaskan gadis itu!" bentak seorang laki-laki berambut merah dan beriris senada dengan Sakura.
"Tuan? Maaf kami hanya..."
"Pergi, saya bilang!"
"Ta-pi Tuan..."
"Pergi!
Dua pria jahat itu terbirit meninggalkan Sakura bersama laki-laki yang menolongnya.
"Kau tak apa 'kan?" tanyanya sambil membantu Sakura berdiri. Gadis itu tak menjawab ia hanya memandang kosong ke depan.
"Aku akan mengantarmu pulang," pria itu menyematkan lengannya di bahu Sakura, mengantar gadis itu ke rumah megahnya. Ia khawatir sesuatu yang buruk kembali menimpa gadis istimewa ini, mengingat sudah sangat larut malam. Mengapa ia menyebut gadis di sebelahnya istimewa? Karena gadis ini lah yang membuat sahabatnya nyaris gila.
"Apa yang terjadi antara anda dengan Sasuke?" tanya Gaara –nama pria itu– di sela perjalanan mengantar Sakura pulang. Sakura tetap tak membuka mulut, pandangannya lurus tanpa makna hingga sampai di gerbang besar rumahnya. Ia meninggalkan Gaara tanpa mengucapkan apapun.
"Sesuatu yang buruk telah terjadi pada putri gubernur itu." ujar Gaara lantas kembali ke bar.
Apa perasaan dan hubungannya dengan Uchiha Sasuke hanya sebuah katastrofa? Jika hal itu benar disebut katastrofa mengapa begitu menyakitkan dan membekas di hatinya? Gadis itu terus terisak hingga kantuk mulai menderanya, membiarkan ia terbaring dengan anak sungai dan sembab sebagai ujungnya. Bahkan Sakura sendiri belum sempat untuk mengganti gaun dan mencuci muka seperti yang ia biasa lakukan sebelum tidur.
**Port Royal**
Seorang laki-laki berambut merah beriris zambrud berjalan cepat menuju temannya yang mencumbui wanita di sudut bar. "Kau bodoh ya?" ucapnya sambil menarik kasar lengan sahabatnya.
BRAKK
"Kau yang bodoh," balas pria itu setelah memukul pipi sahabatnya.
"Aku memang bodoh, tapi setidaknya aku masih mempunyai hati untuk gadis yang aku cintai," sahutnya sambil berdiri mengusap darah di sudut bibirnya. Gaara, pria yang telah menolong gadis yang dicintai sahabatnya, walau sosok yang dimaksud baru saja memukulnya.
"Apa maksudmu?"
"Kau melukainya lagi Sasuke, ia hampir diperkosa,"
"Apa peduliku," sahut Sasuke, kembali bergumul dengan para wanitanya.
Gaara menarik lengan Sasuke lagi, tak peduli jika sahabatnya itu memukulnya seperti tadi. "Jelas kau peduli. Kau akan lebih menderita mendengar ia tak lagi menginginkanmu seperti yang kau ucapkan padanya! Jika kau mengetahui keadaannya saat ini kau pasti sangat menyesal, Teman!" lanjutnya dengan penekanan di bagian akhir lantas pemuda itu pergi meninggalkan sahabat yang masih meresapi perkataannya.
"Dia memang tak lagi menginginkanku," ujarnya lalu pergi ke penginapan sebelah bar, meninggalkan beberapa gadis yang menggerutu karenanya.
Sasuke mengacak rambut ravennya untuk kesekian kali. Bukankah ia telah berjanji untuk tak melukai Sakura lagi. Sekarang apa yang telah ia lakukan? Hanya karena ia mendengar rencana petunangan Sakura. Yah pria itu talah mengetahui bahwa Sakura akan bertungan dengan kolonel angkatan laut, berita itu telah tersebar luas.
Kata pertunangan itu sungguh membuatnya terluka dan perih. Ia sudah sangat mencintai Sakura, bahkan tak pernah menyangka gadis itu akan meninggalkannya meski perbedaan antara mereka cadas. Ia terlalu sakit dan tersiksa hingga melakukan hal yang pada gadisnya, perasaan itu kini membunuhnya perlahan dengan membuat gadisnya menderita.
Apa yang didengar saat itu menghasilkan rasa sakit melebihi peluru yang pernah menembus kulitnya, membuat perasaannya hancur. Menggelikan, bahkan untuk pemimpin bajak laut yang pertama merasakan cinta sepertinya. Sasuke memang mencintai Sakura untuk yang pertama, pria itu tak pernah mencintai gadis lain sebelumnya. Ternyata cinta pertama untuknya begitu singkat dan menyakitkan seperti katastrofa...
Namun itu bukan alasan untuk kembali menyakiti gadisnya, mempermalukan Sakura setelah ia memberanikan diri untuk datang kepadanya, mengatakan bahwa gadis itu ingin menemuinya. Membentaknya, menjawabnya dengan perilaku nista bahkan menampar wajah gadis itu. Sasuke kembali memikirkan perkataan Gaara, bukankah ia cukup menderita mendengar rencana pertunangan Sakura? Bagaimana jika ia mendengar Sakura tak lagi menginginkannya. Bodoh.
Ia telah melakukan hal paling bodoh seumur hidup. Menyakiti gadis yang telah berjuang untuk datang padanya sendiri. Ia sendiri tak mengetahui mengapa gadis itu mengambil resiko untuk menemuinya di sarang bajak laut, yang jelas-jelas hal itu sangat berbahaya untuk seorang putri gubernur bahkan gadis lugu manapun. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Memuji keberanian Sakura? Terus mengutuk dirinya sendiri? Atau kembali menemui gadis itu untuk menjelaskan dan meminta maaf atas segala perkataannya?
Maaf...
Ujarnya dalam hati. Hei kau tak mempunyai keberanian Uchiha Sasuke? Kau benar-benar tak peduli dengan gadis yang kau cintai? Harga diri dan gengsimu terlalu tinggi? Atau kau memutuskan untuk belajar menjadi seorang pecundang?
Sakura, apa yang harus aku lakukan?
Apa aku bisa mengulang semuanya? Sasuke merasakan obdisiannya memanas, hatinya kembali merasakan sakit ketika menyebutkan nama gadis yang cintanya, gadis yang melukainya. Ia tak mengetahui bahwa Sakura juga tak menginginkan kejadian pahit ini terjadi padanya.
Sakura...
Sasuke menggumam hingga kelopaknya tertutup.
**Port Royal**
Surya bersinar terang namun tidak berpengaruh untuk gadis yang dirundung derita. "Nona, ayo makan!" ujar Chiyo sembari melayangkan suapan pada majikannya yang duduk di ranjang. Sakura tak menghiraukan satu kata pun dari bibir pelayannya bahkan untuk sekedar menoleh, ia hanya memandang kosong lurus ke depan. Bahkan Sakura tetap menggunakan gaun yang ia kenakan kemarin.
"Nona..." Chiyo tak menyerah, gadis itu tetap membujuk Sakura. "Jika Nona tidak mau makan, maka ceritakan pada bibi apa yang terjadi,"
Chiyo meletakkan piring makan siang majikannya di meja rias, ia mengelus surai merah muda Sakura yang tampak kusut. "Nona, bibi mohon... walau bagaimana pun bibi bertanggung jawab dengan keadaan Nona. Semua salah bibi membiarkan Nona keluar kemarin malam," Sakura tetap tak menjawab, hanya diam.
Chiyo berusaha mengatakan hal ini pada ayah Sakura, bahkan Sasori untuk mengembalikan syaraf kesadaran hidup yang hilang. Tapi hanya satu kalimat dari Sakura, "Tinggalkan aku!"
Keadaannya yang memburuk hari demi hari membuat orang-orang di sekitarnya semakin khawatir dan cemas, belum lagi acara pertunangan itu. Ayah Sakura merasa sangat bersalah dengan kondisi putrinya saat ini, apa semua ini akibat ia memaksakan kehendak untuk putrinya? Harusnya itu bukan lagi pertanyaan namun jawaban karena semuanya telah terjadi. Tak ada yang bisa diulang, Sakura terlanjur menderita.
Chiyo menceritakan pada Obito tentang putrinya, bahwa Sakura sama sekali tak menginginkan pertunangan itu, ia tak mencintai Sasori. Namun laki-laki paruh baya itu tetap menyangkal, ia bersikeras Sakura akan bahagia dengan Sasori. Bukan Obito namanya jika tak keras kepala, ia hanya menunda acara pertunangan itu menunggu Sakura pulih.
Sakura meraung tangis, tak lagi berair mata, terlalu perih untuk melelehkannya. Air kepedihan justru mengalir di hati, tak terlihat, tak tergambar betapa sakit, tak bisa di hapus, terus menetes. Bertambah hari kesehatan Sakura semakin memburuk, tubuhnya semakin mengecil, untuk duduk tak kuat menopang. Sakura terus terbaring, berkutat di atas ranjang tak bergerak di bawah selimut, dua tangannya mendekap di atas perut, matanya membuka tanpa tahu apa yang dilihatnya.
Pagi, siang, sore dan malam Sakura tenggelam di bawah sakit tanpa sebab, semua tabib dan ahli pengobatan telah didatangkan. Semua tanpa hasil, mereka hanya menggeleng sebelum berpisah. Sakura lebih dari kata layu, Chiyo terpaksa memotong rambut Sakura, terlalu panjang dan tak terawat. Sakura terkapar termakan sakit hati menderita panjang. Baik Obito maupun Chiyo belum tahu di balik tatapan kosong Sakura. Chiyo sebatas tahu Sakura mencintai pria lain yang sulit. Gadis itu tetap menunggu, bukan lagi Sasuke dan hari pertunangan. Namun kematian...
To be continue
Sekilas info : Port Royal adalah sebuah kota yang pernah menjadi pusat perkapalan dan perdagangan pada abad ke-17. Pada saat itu, kota ini menjadi kota paling kaya sekaligus paling terkutuk di seluruh dunia. Disebut terkutuk karena moral penduduk di kota ini sudah sebegitu hancur dan menjadi sarang bajak laut yang ingin menyimpan dan menghabiskan harta mereka. Sebuah gempa bumi berkekuatan besar menghancurkan kota ini pada tanggal 7 Juni 1692, menyebabkan 2/3 bagian dari kota tenggelam ke Laut Karibia hingga 25 kaki (sekitar 8 meter) di bawah permukaan laut.
ABA : halo saya hadir lagi dengan fic multichap lain, tapi untuk fic ini akan tamat pada chap dua atau tiga –ga lama-lama kok– .Saya mencoba beresolusi memperbaiki penulisan saya yang sebelumnya sangat berantakan khususnya di fic ini, bagaimana menurut penilaian readers? terima kasih :)
