Cerita ini untuk cla99 dan para reviewer.
Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Cedric Diggory.
Rating: T
Perkenalan pertamaku dengan Cedric Diggory terjadi di puncak Bukit Stoatshead, pagi hari jelang penyelenggaraan final Piala Dunia Quidditch. Atau tepatnya beberapa minggu sebelum tahun keempatku di Sekolah Sihir Hogwarts dimulai.
Selama ini aku mengetahui siapa itu Diggory hanya melalui kasak-kusuk yang beredar, termasuk dari obrolan nakal antara Angelina Johnson dengan Katie Bell. Kedua kakak kelasku di asrama Gryffindor itu tak bosan-bosannya menyanjung Diggory sebagai lelaki paling jantan se-Hogwarts.
Selain kisikan tersebut, aku cuma pernah melihatnya sekilas di pertandingan Quidditch Gryffindor melawan Hufflepuff, tahun lalu. Waktu itu, Diggory berhasil merebut Golden Snitch karena sobat dekatku, Harry James Potter terjatuh dari sapu balapnya akibat penyerangan mendadak para Dementor.
Kendati memenangkan laga, Diggory di luar dugaan bersikap ksatria. Secara terbuka, ia meminta kompetisi diulang kembali. Menurutnya, keberhasilannya menggasak Golden Snitch tidak sah sebab ia tak menyadari kondisi nahas Harry saat itu.
Keinginan Diggory untuk bertanding ulang membuatku terkesima. Jarang sekali kutemui penyihir berjiwa besar seperti dirinya. Tak bisa aku pungkiri, sejak saat itulah Diggory mulai mengisi alam pikiranku.
Sampai sekarang, aku masih mengingat jelas kesan awal yang kupetik saat bertatap muka langsung dengan Diggory.
Oh Merlin, dia benar-benar pemuda yang luar biasa tampan. Bertubuh jangkung dan pendiam, Diggory juga sarat prestasi. Nilai-nilai pelajarannya selalu berada di kisaran Outstanding alias Istimewa. Sebagai siswa teladan, tak heran jika Diggory dipercaya memegang lencana Prefek. Ia juga menduduki posisi Kapten dan Seeker di tim Quidditch Hufflepuff.
Aku yang tersengal-sengal karena kelelahan mendaki punggung bukit makin terengah-engah ketika Diggory menjabat erat tanganku. Sudut bibir seksinya mengulaskan senyum ramah. Mata abu-abunya berkilau gembira, membuatku terpana sampai lupa menyebutkan nama.
Sodokan keras lengan teman perempuan terbaikku di dunia, Ginny Weasley membangunkanku dari jeratan fantasi. Tergagap-gagap aku buru-buru mengucapkan namaku, disambut senyum simpul Diggory dan pelototan heran dua teman cowokku, Harry dan Ronald Bilius Weasley.
"Gosip itu ternyata bukan isapan jempol belaka," Ginny berbisik rendah di kupingku. Menaikkan sebelah alis, Ginny mencolek siku tanganku, ujung bibirnya terus berkomat-kamit tanpa henti.
"Dia benar-benar menawan. Kau setuju bukan, Hermione?"
Mendengar pujian Ginny, aku hanya mampu mengangguk-angguk, belum pulih sepenuhnya dari keterpesonaan. Ketidakfokusan pikiran membuatku tak mendengar instruksi ayah Diggory, Mr Amos Diggory yang meminta kami untuk segera menyentuh Portkey berbentuk sepatu bot butut. Portkey sendiri merupakan benda yang digunakan untuk mengangkut penyihir ke tempat lain pada waktu yang sudah ditentukan.
Cubitan gemas di ujung hidungku membuatku terperanjat sadar. Merona merah, aku menatap Diggory yang tergelak ringan sembari menarik tanganku. Menangkupkan tangan kecilku di bawah telapak tangannya yang besar dan hangat, Diggory bergumam pelan di dekat ujung telingaku.
"Sepertinya kau banyak pikiran, Hermione. Apa yang kau risaukan?"
Aku tak sempat menjawab pertanyaan tersebut karena sensasi aneh dan asing sekonyong-konyong melanda tubuhku. Aku merasa ada pengait di pusarku yang menarikku ke depan dengan kecepatan gila-gilaan. Bahuku saling berbenturan entah dengan pundak siapa. Aku merasa diriku berputar-putar ke depan dalam deru angin dan pusaran aneka warna.
Sesaat kemudian, tubuhku menghantam rerumputan. Aku terduduk dan terbatuk-batuk di samping Ron yang terguling di dekat tumpukan kerikil. Di sebelah Ron, Harry merunduk-runduk kalut mencari kacamata bulatnya yang terlempar entah ke mana.
Sesosok bayangan yang menjulang di hadapanku memaksaku menengadah. Ternyata, Cedric Diggory yang berdiri di depanku. Tersenyum bersahabat, Diggory mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Walau rambut cokelat kehitamannya sedikit berantakan, kondisi Diggory terbilang rapi. Sangat jauh berbeda dengan kami yang kotor karena nungging di rerumputan. Dengan penampilan yang jauh dari cela, aku berani bertaruh penyihir menawan di depanku ini sudah ribuan kali melanglang buana memakai Portkey.
Memapahku untuk berdiri lebih tegak, Diggory membersihkan rumput serta daun kering yang tersangkut di rambut ikal megarku. Jari-jarinya begitu sabar dan penuh perhatian saat melepas semua kotoran yang melekat.
Mengusap halus pipiku untuk menghapus noda tanah yang menempel, Diggory menatap lekat-lekat. Ibu jarinya mengelus mesra bibir bawahku. Mata kelabunya menggelap, tak sedetik pun melewatkan pergerakan jemarinya.
Sentuhan intim Diggory membuat bibirku bergetar dan tercekat. Rasa panas mulai membakar diriku. Menjalar perlahan dari ujung jempol kaki hingga pangkal rambut keriting cokelat yang terjurai mengembang.
Suara dehaman berat Mr Amos Diggory yang kentara betul dibuat-buat meredam semua sensasi yang menyelimuti kami. Berbalik dan beranjak mendekat ke sisi ayahnya yang menyipitkan mata, Diggory meninggalkanku dalam kondisi ternganga-nganga.
"Merlin, intim sekali atmosfer di sini," Ginny mengedipkan sebelah mata, suaranya jelas-jelas memberi nada khusus pada kalimat intim yang diucapkannya.
"Ayo anak-anak, kita harus segera pergi ke lokasi perkemahan di lapangan pertama," ayah Ron dan Ginny, Mr Arthur Weasley berteriak penuh semangat. Kedua tangan kuatnya sibuk mengepit ransel besar berisi perlengkapan berkemah, termasuk ceret bocor, kuali karatan dan kompor meleduk.
"Kalau begitu, sampai ketemu lagi Arthur," ujar Mr. Amos Diggory ceria. "Tenda kami ada di lapangan kedua. Iya kan, Ced?"
Mengangguk samar, Diggory mengunci tatapannya denganku. Melambaikan tangan sebagai salam perpisahan, Diggory tersenyum simpul dan langsung menyusul ayahnya yang sudah beringsut menjauh.
"Heran, kenapa sih dia? Aneh betul cengar-cengir tak jelas begitu," kakak kembar Ron, Fred Weasley bergumam kebingungan. Dahinya yang dihiasi seberkas poni merah berkerut muram, sibuk menerka makna di balik sikap janggal seteru utama mereka di lapangan Quidditch.
"Dia naksir kamu, Hermione," ulas Ginny pelan, wajah cantiknya berseri-seri penuh semangat. Tersipu canggung, aku segera menyanggah praduga tersebut. Mana mungkin Diggory yang digilai hampir seluruh penghuni Hogwarts tertarik pada kutu buku sok tahu sepertiku?
Selain diwarnai kejutan aksi mesra Diggory, final Piala Dunia Quidditch juga dihiasi insiden mengerikan. Di tengah malam, di sela-sela perayaan besar kemenangan tim nasional Irlandia melawan timnas Bulgaria, gerombolan Pelahap Maut datang mengacau.
Tak hanya menganiaya keluarga Mr Roberts, Muggle penjaga bumi perkemahan, para abdi setia penyihir paling kejam sedunia, Lord Voldemort itu juga membumihanguskan ribuan tenda yang berdiri di sepanjang bumi perkemahan.
Dalam kekalutan, Harry sempat terpisah dariku dan Ron. Syukurlah, kami bisa menemukan Harry sebelum kejadian buruk menghajarnya. Dengan bantuan ayah Ron dan Mr Amos Diggory, pegawai Kementerian Sihir Inggris yang bergegas tiba di lokasi akhirnya berhasil menetralisir situasi.
Sayangnya, pengendalian kondisi dinodai dengan perlakuan tak adil yang menimpa Winky, peri rumah perempuan milik keluarga Kepala Departemen Kerjasama Sihir Internasional, Bartemius Crouch. Makhluk kecil malang itu dituduh berkomplot dengan Lord Voldemort hanya karena tertangkap basah memegang tongkat sihir Harry. Tongkat sihir berinti nadi bulu burung Phoenix yang konon dipakai Winky untuk memunculkan Tanda Kegelapan di angkasa.
Tatkala aku tengah menata napas yang memburu karena habis marah-marah mencela tudingan berat sebelah itu, Mr Amos Diggory mendekat dan menepuk bahuku dengan gerakan kebapakan.
"Syukurlah kau selamat, Nak. Ced sangat mengkhawatirkan keselamatanmu."
Sedikit banyak pengakuan tersebut memupus kekesalanku pada Mr Amos Diggory karena sedari tadi penyihir berwajah kemerahan itu selalu memperlakukan Winky seolah-olah si peri mungil tak lebih dari sekedar budak belian yang patut diinjak-injak seenak jidat.
Seiring dengan pudarnya rasa geram, bara penasaran mulai merajai benak. Secara otomatis, aku mencoba menuntut penjelasan lebih lanjut dari pernyataan terselubung tersebut.
"Apa maksud Anda, Sir?"
Memperhatikanku dalam-dalam dengan tatapan menilai, Mr Amos Diggory akhirnya membuka mulutnya. "Begini, Nak. Ced-"
"Hei Amos," suara berwibawa Bartemius Crouch memotong pengakuan yang ingin diutarakan ayah Diggory padaku. "Lebih baik kita segera kembali dan melapor ke Kementerian Sihir."
"Baiklah, baiklah," Mr Amos Diggory berdeham gugup, keteteran membenahi kerah piyama katun warna biru telur asin yang berlumuran arang. Beranjak ke sebelah Bartemius Crouch yang mendengus tak sabar, Mr Amos Diggory terus menyisiri pangkal jenggot cokelat lebat yang kusut berantakan.
"Sir," aku mencoba menyela. Sayangnya, usahaku sia-sia sebab Mr Amos Diggory sudah ber-Apparate menghilang bersama jajaran petinggi Kementerian Sihir Inggris.
"Hermione, lebih baik kita buru-buru balik ke tenda," Ron mendengking ketakutan. Mata biru langitnya memicing mengawasi keadaan sekitar kami yang luluh lantak dan dipenuhi bara api. Hidung panjangnya yang berbintik-bintik mengendus-endus udara yang berbau asap gosong dan aroma hangus daging terbakar.
Mengerling Harry yang mengangguk sepakat, aku segera menggandeng lengan Ron. Bersama-sama kami berjalan menuju lokasi di mana anak-anak keluarga Weasley yang lain menunggu kami di balik tanggul pohon besar.
"Hermione, apa yang dikatakan Mr Diggory padamu tadi?" Ginny bertanya ingin tahu di tengah kesibukan mengepak barang dan tumpukan baju. Berpura-pura kerepotan mengumpulkan buku tebal yang berserakan di kasur bau pesing, aku membuang muka. Gentar bertatap mata dengan sorot menyelidik adik kelas yang paling aku sayangi itu.
Pada akhirnya, sikap keras kepala Ginny yang terus bersikukuh memperoleh jawaban membuatku menyerah kalah dan terpaksa mengakui hal sebenarnya.
"Mr Amos Diggory bilang kalau Cedric Diggory mencemaskan keselamatanku."
"Merlin, Hermione!" teriak Ginny nyaring. Bola mata cokelat kekuningannya berkelap-kelip antusias di keremangan tenda.
"Hush. Jangan keras-keras," ujarku panik, menempelkan jari telunjuk di bibir. Manik cokelatku terpancang ke pintu tenda, berdoa semoga jeritan melengking Ginny tak menarik perhatian kakak kembarnya yang serba ingin tahu segala.
"Hermione, dia benar-benar suka padamu," Ginny melompat kegirangan. Merebahkan tubuh di ranjang, mata cokelat emas Ginny menerawang menatap langit-langit tenda.
"Beruntung sekali kamu, Hermione. Seandainya saja Harry juga punya perasaan khusus padaku."
Duduk di seberang Ginny dan menggenggam tangan rampingnya, aku melempar senyum penghiburan. "Harry sangat menyayangimu, Gin."
"Iya. Memang," sela Ginny tiba-tiba, melonjak bangun dari posisinya. "Tapi, bukan cinta antara pria dan wanita seperti yang dirasakan Cedric Diggory padamu, Hermione," telunjuk lentik Ginny teracung ke puncak hidungku.
Merona malu, aku menepis ujung jari Ginny dan melanjutkan kembali aktivitas menata pustaka kesayanganku ke dalam ransel.
"Aku tidak mau berkhayal terlalu jauh, Gin. Itu semua seperti mimpi di siang bolong bagiku..."
"Ya, betul itu! Jangan mimpi di siang bolong dong!"
Aku memutar bola mata mendengar gerutuan jengkel Ron. Sudah berhari-hari Ron bersungut-sungut suntuk seperti ini. Atau persisnya semenjak nama Harry mencuat dari dalam Piala Api. Sejak momen heboh itulah, Ron senewen dan menuduh Harry berniat merebut hadiah seribu Galleon emas sekaligus status pahlawan masyarakat.
"Ron, Harry bilang bukan dia yang memasukkan namanya ke dalam Piala Api," keluhku lemas. Sesungguhnya, aku sudah tak tahan lagi terjepit di antara perselisihan kekanak-kanakan seperti ini.
"Blah! Terus kenapa namanya bisa keluar dari dalam Piala Api yang jelas-jelas sudah disegel dengan barisan mantra paten?" Ron menyalak galak, dengan beringas menyepak Frisbee Bertaring yang meluncur garang ke arahnya.
"Mana aku tahu," aku menjawab asal-asalan. Perhatianku tengah tercurah ke sosok Cedric Diggory yang sedang dikerubuti penggemar fanatiknya dari dua sekolah peserta Turnamen Triwizard, Akademi Sihir Beauxbatons dan Institut Sihir Durmstrang. Beberapa di antara mereka bahkan berlomba-lomba menyodorkan batangan lipstik, meminta Diggory untuk menandatangani barang-barang mereka dengan pemulas bibir tersebut.
"Busyet dah! Si Cowok Cantik Diggory makin ngetop saja," sindir Ron masam. Mata biru terang Ron yang bersinar seperti lautan di musim panas menyipit hingga tinggal segaris mencermati keriuhan yang terpampang.
Biasanya, umpatan sinis Ron mampu meletupkan emosi. Tapi, kali ini amarahku tak terpancing. Pertikaian Ron dengan Harry serta banyaknya siswa Hogwarts yang memakai lencana bertuliskan POTTER BAU dan DUKUNGLAH CEDRIC DIGGORY membuat pikiranku terbelah-belah.
Belum lagi dengan pemujaan berlebihan yang dialami Diggory. Sepertinya, ia tak keberatan dikelilingi kawanan cewek maniak tersebut. Bahkan aku melihat Diggory tampak nyaman bertengger di tengah-tengah barisan pemujanya.
Menghembuskan napas letih, aku beranjak pergi ke perpustakaan. Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik aku berkonsentrasi belajar atau meneliti literatur yang bisa menolong Harry melawan naga mematikan di tugas pertamanya nanti.
Tepat tanggal dua puluh empat November, hari pelaksanaan tugas pertama Turnamen Triwizard, aku memutuskan pergi mengunjungi Harry untuk memberikan suntikan semangat.
Dan di sinilah aku berada. Persis di depan tenda kontestan yang tertutup rapat. Berdiri grogi sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan kuat-kuat hingga nyaris berasap. Berdoa khusyuk di dalam hati semoga aku tak diusir penjaga, aku menyingkap tirai tenda dan berbisik memanggil nama teman baikku.
"Pssst, Harry... Harry..."
"Hermione, apa yang kau lakukan di sini?"
Sebuah suara yang sangat aku kenal karena sering bergaung di mimpi-mimpiku membuatku melompat kaget. Menoleh ke belakang, aku bertatapan langsung dengan Cedric Diggory yang mengernyit keheranan. Di sampingnya, Fleur Isabelle Delacour, gadis Veela sombong dari Akademi Sihir Beauxbatons mencibir merendahkan.
"Err... anu... itu..."
"Hermione?"
Harry menyeruak dari belakang Fleur dan Diggory. Manik hijau ramah Harry yang biasanya berkilau terang meredup cemas melihat kekalutanku. "Ngapain kau di sini?"
Melesat cepat, aku segera memeluk Harry erat-erat, membenamkan wajah di kehangatan rengkuhan. "Oh, Harry. Aku hanya ingin memberimu semangat. Aku yakin kau pasti bisa jadi juara kali ini."
Berdeham jengah, Harry menepuk punggungku. Kepala hitam jabriknya meneleng bolak-balik, mengamati tiga penonton yang mengitarinya, termasuk kontestan dari Institut Sihir Durmstrang, Viktor Krum yang merengut gusar.
"Trims, Hermione. Tapi sebentar lagi kompetisi mau dimulai. Sebaiknya kau pergi ke tribun penonton," Harry mengelus sebentar pundakku yang sedikit menegang.
Menyeka setitik air mata khawatir, aku tersenyum singkat memandangi punggung Harry yang menghilang di balik bayangan tirai tenda.
"Kau tidak memberiku pelukan keberuntungan?"
Aku nyaris mati jantungan mendengar komentar tersebut. Aku tak menyangka Diggory masih berdiam diri di tempatnya semula. Kukira ia sudah masuk ke dalam tenda seperti peserta Turnamen Triwizard lainnya.
"Uhm... kau mau kupeluk?" tanyaku kikuk.
Menyunggingkan senyum sensual, Diggory mengusap-usap dagu halusnya, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting.
"Setelah kupertimbangkan, aku berubah pikiran. Aku tak mau pelukan keberuntungan."
"Oh."
Semburat kecewa mewarnai nada suaraku. Sial betul diriku ini. Ternyata, Diggory sama sekali tak berselera memelukku. Astaga, apa diriku ini segitu membosankannya sampai tak berhak memeluk penyihir keren sekaliber Diggory?
"Lalu, kau mau apa?" tanyaku tak bersemangat, mencoba menata harga diri yang terkoyak.
Bergerak cepat, Diggory menarik tubuhku merapat ke sisinya. Menopangkan tangan di belakang kepalaku, pemuda tahun keenam itu berbisik serak.
"Aku mau ini."
Duniaku seolah meledak dalam lingkaran cahaya bianglala ketika Diggory menyatukan bibirnya dengan bibirku. Awalnya, Diggory menciumiku dengan lembut dan manis. Bibirnya menjelajahi mulutku secara perlahan. Lambat laun, ciumannya menjadi liar dan rakus, membuat erangan lirih terlepas dari tenggorokanku.
Desahan itu rupanya memutus tali pengendalian diri Diggory. Terus melahap dan memagutku tanpa henti, Diggory mendorongku ke sebatang pohon rimbun. Menekan punggungku di bonggol pohon penuh getah itu, Diggory menambah intensitas ciuman bergairahnya.
Memiringkan rahang, Diggory memperdalam ciuman panasnya. Setiap lumatan ganasnya mengirimkan gelenyar gairah yang membuat tulang-tulangku meleleh terbakar hasrat.
"Romansa remaja. Ah, betapa menyenangkannya."
Suara jenaka milik Kepala Sekolah Hogwarts, Profesor Albus Dumbledore membuyarkan sensasi ciuman yang kami nikmati. Terengah-engah dengan posisi kening saling menempel, aku memejamkan mata erat-erat. Ya Tuhan, malu sekali rasanya tertangkap basah dalam situasi seperti ini.
"Maaf jika aku mengganggu kemesraan kalian," kekeh Profesor Dumbledore, tak bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya. Mengarahkan sorot mata biru muda bercahaya ke arahku, Profesor Dumbledore kembali berceloteh ringan.
"Mr Diggory sudah dinanti untuk tugas pertama, Miss Granger. Akan lebih baik jika kau kembali ke bangku penonton."
Mengangguk sekali, aku melepaskan diri dari pelukan erat Diggory. Sebelum tubuhku terbebas dari dekapannya, Diggory menyapukan bibirnya di telingaku sembari bergumam parau.
"Doakan aku beruntung, Hermione."
Usai mengecup ujung kupingku yang ikut-ikutan memerah, Diggory melangkah mantap memasuki tenda, disusul Profesor Dumbledore yang bersiul gembira.
"Hoi Hermione. Sini, sini," Ron berseru memanggilku, menunjuk bangku kosong di samping kiri. Ketika aku menghenyakkan pantat di kursi reyot, Ron mengawasiku dalam-dalam. Merengutkan jidat yang digelayuti bekas jerawat, Ron melahap sepotong Bolu Kuali dalam satu gigitan.
"Kenapa mukamu merona seperti udang kelamaan direbus begitu?"
Memasang tampang pilon, aku pura-pura tak mendengar pertanyaan Ron. Untunglah Ron tak memperpanjang investigasi sebab tugas pertama Turnamen Triwizard sudah dimulai, ditandai dengan munculnya Cedric Diggory dari balik tenda.
Sepanjang Diggory bertarung melawan Naga Moncong Pendek Swedia, aku tak henti-hentinya merapalkan doa. Aku nyaris semaput di tempat ketika anjing Labrador besar yang ditransfigurasi Diggory dari batu karang gagal mengecoh naga berkulit biru abu-abu tersebut. Jika bukan karena kesigapannya, hampir saja Diggory ditelan bulat-bulat oleh makhluk purba raksasa tersebut.
Ketika tiba giliran Harry, rentetan doa-doa makin santer kupanjatkan. Naga Ekor Berduri Hungaria yang dihadapi Harry merupakan lawan tangguh yang paling sulit ditaklukkan. Syukurlah, ketangkasan Harry dalam terbang memakai sapu balap canggih, Firebolt membuahkan hasil maksimal. Aku tak kuasa membendung rasa haru dan bahagia menyaksikan dua pemuda yang sangat kusayangi berhasil meraup kemenangan gilang gemilang.
Ironisnya, kegembiraan yang kurasakan tak berlangsung lama. Seminggu setelah pertempuran melawan naga, Wakil Kepala Sekolah, Profesor Minerva McGonagall mengumumkan Pesta Dansa Natal Yule Ball yang menjadi tradisi tahunan Turnamen Triwizard.
Pengumuman itu membuat seisi Hogwarts langsung berdengung meriah seperti sekumpulan lebah kurang makan. Para murid laki-laki saling sikut dan berebut partner dansa untuk Yule Ball nanti. Tak terkecuali dua sobat karibku, Ron dan Harry.
Beberapa hari usai pengumuman Pesta Dansa Natal, Ron membuang waktunya hanya untuk mengomentari penampilan siswi asrama lain maupun pelajar Beauxbatons dan Durmstrang.
Menurut kacamata kuda Ron, tak ada satupun gadis Hogwarts yang setara untuk diajaknya ke Pesta Dansa Natal. Si A kebanyakan jerawatlah, si B hidungnya miringlah atau si C yang jidatnya sejenong kuali penyok.
Di lain pihak, Harry sering menghabiskan waktu dengan terbengong-bengong memelototi Cho Chang, si Seeker Quidditch Ravenclaw yang cantik jelita. Tampaknya, Harry kepincut habis-habisan dengan Cho yang belakangan ini sering kupergoki setia memandangi Diggory dengan tatapan membara.
Rupanya, cinta yang dirasakan Cho tak bertepuk sebelah tangan. Hal itu dibuktikan dengan kejadian mengerikan yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Prahara yang terjadi dua hari sebelum Pesta Dansa Yule Ball diselenggarakan.
Ketika itu, usai makan malam, aku melintasi koridor lantai lima. Di dekat kamar mandi Prefek, kudengar Diggory meminta Cho untuk menjadi pasangan dansanya. Ajakan yang tentu saja direspon Cho dengan baluran senyum merekah.
Berbalik menjauh dari adegan yang membuat hati berdarah-darah, aku berlari sekencang mungkin ke perpustakaan. Di tempat bersemediku, aku langsung menghempaskan diri di bangku pojok ruangan. Merenggut perkamen dari tas, aku menggores-gores pena bulu, membentuk coret-coretan tak beraturan.
"Diggory brengsek! Bajingan tengil kurang kerjaan!" aku merutuk beringas, membombardir perkamen kusut dengan tancapan pena bulu macan tutul.
"Untuk apa ia menciumku jika tak punya perasaan apa-apa."
Omelanku terpotong ketika segurat bayangan besar menghalangi cahaya obor tiup yang menerangi ruangan. Menengadahkan kepala, mataku bersirobok dengan iris gelap Viktor Krum, murid Durmstrang yang tadi pagi mendesakku untuk pergi ke Pesta Dansa Natal bersamanya.
Menampilkan senyum harap-harap cemas, Krum kembali mengulang permohonannya itu. Bujukan memelas yang langsung kusetujui karena didorong rasa cemburu dan sakit hati. Setelah mengucapkan terima kasih dengan wajah bersinar, Krum berlalu pergi. Membiarkanku kembali berkonsentrasi mencorat-coret helai demi helai perkamen.
Luapan kekecewaan karena tak bisa berdampingan dengan Diggory di Pesta Dansa Natal mendongkrak semangat belajarku. Tanpa sadar, aku telah bersarang di perpustakaan hingga menjelang pukul sebelas malam.
"Miss Granger, perpustakaan sudah mau ditutup," Madam Irma Pince, penjaga perpustakaan yang pemarah dan angker menegurku tajam. Tangan kanannya bergerak aktif memelintir tongkat sihir di udara, memastikan koleksi buku-buku perpustakaan kembali ke rak dan tempat semula.
Setelah mengucapkan selamat malam ke Madam Pince yang masih mengerucutkan bibir, aku beranjak keluar dari perpustakaan. Malam itu, koridor sekolah sangat lengang. Cahaya obor kuning keemasan bergoyang-goyang diterpa angin malam, membuat bayanganku menari-nari di lantai batu.
Bersenandung lirih, aku menyusuri koridor dan memilih jalan melalui lantai lima. Setibanya di koridor lantai lima, aku terperanjat melihat Diggory keluar dari pintu keempat yang terletak tepat di sebelah kiri lukisan Boris si Bingung.
Sepertinya, Diggory baru selesai membersihkan diri di kamar mandi Prefek. Rambut cokelat lembabnya berkilat-kilat ditimpa sinar obor. Mendekap kencang telur emas di dada (telur yang harus dibuka untuk bisa menyelesaikan tugas kedua), senyum puas terpahat di wajah menawannya.
Tentu saja ia cengar-cengir gembira seperti orang gila, pikirku sendu. Ia berhasil mengajak salah satu gadis tercantik di Hogwarts ke Pesta Dansa Natal. Mereka pasti terpilih menjadi pasangan paling beken di pesta tersebut, mengalahkan si congkak Fleur Delacour yang katanya bakal pergi dengan Kapten Quidditch Ravenclaw, Roger Davies.
Berjingkat-jingkat mencari jalan memutar, aku tercekat saat Diggory memanggil namaku. Menegapkan diri, aku berbalik menatap Diggory, mengawasi setiap langkah kakinya yang mendekat ke arahku.
"Hermione, malam-malam begini kenapa kau masih berkeliaran dan kelayapan di koridor?"
Mengulum senyum tak peduli, aku mengibaskan tangan, bertindak seolah-olah mengusir gerombolan kutu busuk tak kasat mata.
"Aku baru selesai belajar di perpustakaan dan hendak balik ke asrama."
"Oh," ujar Diggory pelan, terlihat gelisah dan salah tingkah.
Untuk sesaat, kami sama-sama terdiam. Hanya keharuman sabun mandi aroma pinus segar yang mengisi udara di sekitar kami. Mencoba memecah kebisuan yang menyiksa, aku mengajukan pertanyaan tolol yang langsung kusesali begitu selesai terlontar dari mulutku.
"Kudengar kau pergi dengan Cho Chang di Pesta Dansa Natal nanti."
Mengerjap kaget, Diggory mengangguk mengiyakan. Menatapku tepat di tengah mata, Diggory berujar lambat-lambat.
"Kau sendiri berpasangan dengan Viktor Krum bukan?"
"Iya. Aku sangat tersanjung karena Viktor benar-benar baik hati. Ia juga populer serta menyenangkan."
Rasa marah, kesal, kecewa, merana dan gumpalan perasaan tak sedap lainnya membuat bibirku terus nyerocos tanpa henti, membangga-banggakan pesona Seeker timnas Bulgaria itu. Aku baru bungkam seribu bahasa ketika kulihat wajah tampan Diggory mengeras sekencang papan seluncur.
"Baguslah kalau begitu," ujar Diggory ketus. Memicingkan matanya yang berkobar marah, Diggory melanjutkan komentarnya.
"Dia cocok untukmu."
Bersedekap tak mau kalah, aku langsung membalas cibiran menusuk tersebut.
"Cho Chang juga sesuai untukmu."
Mendengar sindiranku, ujung bibir Diggory tertarik ke atas. Alis sempurnanya melengkung mengejek.
"Aku senang kau berpikir seperti itu. Tak salah jika guru-guru menjulukimu penyihir paling genius saat ini."
Dadaku serasa ditusuk belati berkarat mendengar respon dingin seperti itu. Tak ingin tanggul air mataku jebol, aku buru-buru menghindar dan mengucapkan selamat malam. Berderap kilat menuju Menara Gryffindor, dalam waktu singkat aku tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk.
Setelah mendesiskan kata kunci di hadapan Nyonya Gemuk yang tengah meluruskan rambut tebal hitamnya dengan catok berasap, aku terbirit-birit menaiki tangga menuju kamar. Membuka kelambu merah muda dengan gerakan kasar, aku membanting diri di tempat tidur. Menenggelamkan wajah di bantal, aku menangis tanpa suara.
Di usia empat belas tahun, untuk pertama kalinya aku, Hermione Jean Granger merasakan pedihnya patah hati. Di usia empat belas tahun, untuk pertama kalinya aku mencicipi perihnya cinta tak berbalas.
Esoknya, keadaan tak jauh lebih baik. Dengan mata sembab, aku mengamati Diggory dan Cho Chang yang bergandengan tangan di sepanjang koridor. Dari kabar burung yang kudengar, Cho dan Diggory sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Tak terbayang betapa hancurnya hatiku mengetahui berita tersebut. Aku memang sudah menduga-duga hal ini akan terjadi, tapi kenyataan ternyata jauh lebih menyakitkan.
Syukurlah, aku bisa sedikit melupakan kesedihan tersebut dengan menyibukkan diri menghadapi Pesta Dansa Natal yang sudah di pelupuk mata. Bermodal nasihat canggih Ginny yang menganjurkanku memakai Ramuan Pelicin Rambut, aku menata rambut semak belukar tebalku menjadi sanggul anggun di belakang kepala.
Ginny jugalah yang membantuku memilih jubah yang akan kukenakan. Gaun pesta merah muda keunguan yang terbuat dari bahan ringan serta melayang. Berkat tangan dingin Ginny, di Pesta Dansa Natal aku menjadi salah satu primadona pesta. Angelina Johnson, Chaser Gryffindor yang berpasangan dengan Fred Weasley bahkan memberitahuku kalau ia mendengar pemuda paling belagu se-Slytherin, Draco Malfoy diam-diam memuji-muji penampilanku yang gemerlapan.
Ironisnya, perayaan malam itu tak ditutup dengan kebahagiaan. Di penghujung acara, Ron yang sewot mengetahui aku datang bersama Viktor Krum tiba-tiba menggerundel tak karuan. Ron tega menuduhku tak punya otak karena mau bergenit-genit bersama Viktor yang disebutnya sebagai musuh dalam selimut.
Geram karena diteriaki yang bukan-bukan, aku melarikan diri menuju Menara Astronomi. Mungkin di sana aku bisa mendinginkan kepalaku yang mendidih ini. Malangnya, ketika melewati Menara Ravenclaw, aku memergoki Diggory memeluk Cho Chang dan mengecup kedua pipinya.
Air mataku hampir tumpah menonton interaksi sejoli yang tengah dimabuk asmara itu. Hati nuraniku merutuk keras, menyesali kebodohanku yang rupanya masih menggantung harapan pada Diggory.
Sadarlah, Hermione Jean Granger! Apa lagi yang bisa kau harapkan? Kau sudah tak punya peluang. Kesempatanmu meniti masa depan bersama Diggory sudah musnah tanpa sisa.
Berindap-indap sepelan mungkin, aku menjauh dari pasangan serasi tersebut. Baru beberapa langkah berjalan, aku mendengar bunyi pintu Menara Ravenclaw ditutup.
Seiring dengan menutupnya pintu itu, tertutup pula-lah pintu hatiku untuk Cedric Diggory...
"Aku yakin pasti ada mantra khusus untuk menutup hidung selama mungkin di dalam air," dengusku tak sabar, mengobrak-abrik tumpukan buku besar yang bergeletakan di meja perpustakaan.
Menguap lebar sampai nyaris menyedot kepala Harry yang terkulai di depannya, Ron menggosok kelopak mata. Bayangan hitam membekas di bawah matanya. Goresan keletihan terpancar jelas di iris biru langitnya yang mengerlip pudar.
"Aku capek sekali, Hermione," Ron berkeluh-kesah panjang pendek di sela-sela kuapan lebar tiada akhir.
"Pasti ada pemecahannya," sahutku galak, makin bersemangat membenamkan wajah di buku Dilema Sihir dan Solusinya. Meskipun mataku berkedut-kedut menyusuri huruf-huruf kecil yang menjabarkan tentang proses mengeritingkan bulu hidung, aku tetap pantang menyerah. Hanya dengan membaca mati-matian seperti inilah aku bisa melupakan keromantisan yang menaungi pasangan akbar abad ini.
Cho Chang dan Cedric Diggory...
"Oh, sudahlah!" aku menggebruk buku super-tebal itu sampai menutup, membuat kepala Harry yang menelungkup terlonjak terkejut.
"Hermione, Ron, kalian dicari-cari Profesor McGonagall."
Dua kakak kembar Ron, Fred dan George tiba-tiba bersandar di dekat kami. Kemunculan mendadak mereka sedikit mengingatkanku pada kisah jin Aladdin yang langsung nongol tiba-tiba setelah lampunya digosok-gosok.
"Buat apa Profesor McGonagall mencariku?" aku bergumam bimbang, membereskan perkamen dan buku yang berserakan.
"Entahlah," George mengangkat bahu tegapnya yang berlumuran kotoran kucing. "Yang jelas kami diminta mengantar kalian ke ruangannya."
Membuntuti kedua remaja kocak itu ke ruangan Profesor McGonagall, aku bergulat dengan berbagai kemungkinan. Mungkin di sana aku bisa berdiskusi banyak hal dengan Kepala Asramaku itu sehingga aku bisa melupakan segalanya.
Melupakan semua hal yang melukai hidupku...
Ya, ternyata, aku benar-benar melupakan semuanya. Sadar-sadar, aku sudah berada di pinggiran Danau Hitam, dikelilingi banyak orang termasuk matron Ruang Kesehatan, Madam Poppy Pomfrey yang berkotek ribut sembari membungkus tubuh kuyupku dengan selimut tebal.
"Apa... apa yang terjadi?" aku terbata-bata kedinginan. Gigiku bergemeletuk nyaring, bahuku berderak-derak menggigil.
Secangkir ramuan Merica Mujarab yang terulur di samping pipi kanan membuatku tersentak. Setengah berharap Madam Pomfrey yang memberiku ramuan penyembuh tersebut, aku terperangah tak percaya melihat Diggory memandangiku dengan intens. Sorot khawatir membayangi iris kelabu peraknya.
"Minum ramuan ini, Hermione," ujar Diggory seraya membungkuk dan meletakkan cangkir mengepul itu di sampingku.
"Ramuan ini bisa menghangatkan badanmu."
Terputus-putus mengucapkan terima kasih karena dingin membeku yang menusuk tulang, aku menghirup sedikit ramuan pedas menyengat tersebut. Selama aku menyeruput pelan, Diggory masih tetap mengawasiku. Mulutnya sedikit terbuka, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
"Herm-ayon-nini, ada kumbang air di rambutmu," Viktor Krum yang sedari tadi berdiri di belakangku menggeram gusar. Tangan kekarnya yang sebesar tutup sampah mengibas brutal, mengusir jauh-jauh serangga mengganggu tersebut. Setelah memastikan kumbang tak diundang itu menghilang, tangan Viktor kelihatannya tambah gatal ingin mencemplungkan Diggory ke dasar Danau Hitam.
Menengok sinis ke arah Krum yang merangkulkan tangan di pundakku, Diggory menarik napas kalah. Tanpa banyak kata, ia kembali beranjak menuju kekasihnya, Cho Chang yang sedang meniup-niup uap panas di cangkir timah.
"Herm-ayon-nini, ada hubungan apa antara dirimu dengan dia? Dia perhatian sekali padamu," Viktor mencermatiku dalam-dalam, memasang tampang algojo siap tempur.
Menggenggam telapak tanganku yang beku di cangkir hangat tersebut, aku menggeleng pelan. Sejujurnya, aku sedikit tersanjung dengan perhatian Diggory tapi itu semua tak akan mengubah apa-apa.
Yang dipilih Diggory adalah Cho Chang.
Bukan diriku...
Terbitnya artikel jurnalis sesat Rita Skeeter tentang cinta segitiga antara aku, Harry dan Viktor efektif mengalihkan pikiranku dari masalah Diggory.
Belum lagi dengan masalah baru yang muncul pasca artikel jadi-jadian itu. Serbuan surat meledak Howler, boneka Voodoo bergambar wajahku plus paket berisi nanah Bubotuber yang membuat jemariku membengkak sebesar kingkong bisulan membuatku tak lagi peduli pada hal lain. Termasuk pandangan diam-diam Diggory yang kadang-kadang menembus punggungku.
Pelan tapi pasti, waktu terus berganti. Akhirnya, dua puluh empat Juni, hari pelaksanaan tugas terakhir Turnamen Triwizard pun tiba. Setelah memberi dukungan semangat bertanding kepada Harry dan Viktor, aku pergi ke tribun penonton dan hinggap di sebelah Ron yang asyik berkutat membuka bungkus pangsit goreng.
"Hermione," Ginny yang bersandar di samping kanan mendekatkan bibirnya ke lubang telingaku.
"Tadi kulihat Cho Chang dan Diggory bertengkar hebat sampai Cho menangis merengek-rengek. Hubungan mereka sepertinya ada di ujung tanduk."
"Oh ya?" aku mengangkat sebelah bahu, seratus persen cuek merespon gosip tersebut. "Paling cuma keributan kecil antar kekasih. Nanti mereka juga baikan lagi."
Mulut Ginny menganga seperti ikan asin yang dipaksa keluar dari air. Mengawasiku cermat, Ginny merebut bungkus pangsit goreng yang baru selesai dibuka Ron, acuh tak acuh menanggapi omelan pedas menyengat yang meluncur mulus dari mulut kakak laki-lakinya.
"Jadi kau tak lagi menyukai Diggory, Hermione?"
Mengarahkan pandangan ke sosok kontestan Turnamen Triwizard yang berbaris rapi di dekat labirin pagar tanaman yang berliku-liku, aku bergumam lemah.
"Dia sudah jadi milik orang lain, Gin. Aku tak mau jadi obat nyamuk atau orang ketiga di antara mereka."
Memasukkan pangsit goreng ke mulut, Ginny mengunyah keras-keras. Menimbulkan bunyi bergemeretak hingga susah dibedakan apakah yang hancur-lebur itu si pangsit goreng atau malah gigi putihnya yang berjajar rapi.
"Idiot betul dia. Suatu saat nanti, dia pasti menyesal karena tak memilihmu, Hermione."
Senyum pilu tersungging di bibirku. Menyesal atau tidak, sudah tak ada lagi harapan bagiku. Tapi, sedikit banyak, omongan Ginny memang benar.
Sesuai dengan pepatah orang bijak, penyesalan itu selalu datang terlambat...
Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat...
Hal itulah yang kusadari saat menatap jenazah Cedric Diggory yang terbujur kaku. Wajah tampannya yang selalu bercahaya kini pucat pasi seputih susu. Mata kelabu peraknya yang biasanya bersinar cemerlang kini kosong melompong.
Cedric Diggory, pemuda cinta pertamaku itu sudah tiada. Di malam terkutuk itu, Diggory menjadi tumbal bangkitnya kembali si Pangeran Kegelapan.
Aku sama sekali tak menduga hidup Diggory harus berakhir sesingkat ini. Seandainya aku tahu umurnya tak panjang mungkin aku akan berpikir jernih dan tak menjauhinya. Aku memang tak bisa berdekatan dengannya sebagai seorang kekasih, tapi setidaknya aku bisa mengenalnya sebagai seorang teman.
Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Sekuat apapun aku menangis, Diggory tak akan kembali. Sehebat apapun aku meratap, Diggory sudah tiada. Sudah beristirahat tenang di surga sana.
Duka citaku makin menjadi-jadi sewaktu aku berpapasan dengan orangtua Diggory. Ibu Diggory, wanita anggun berambut hitam mengilap terlihat tabah meski hujan air mata terus bercucuran dari manik abu-abu pucatnya.
Beda halnya dengan Mr Amos Diggory. Ayah Diggory itu tampak sangat terguncang dan tak mau menerima kenyataan bahwa putra tunggalnya telah meninggal dunia. Mr Amos Diggory memang tidak menggerung-gerung frustrasi seperti setan kesurupan. Tapi, ia berulangkali berbicara sendiri seolah-olah anak semata wayangnya tengah berdiri di dekatnya.
Di upacara mengenang kematian Diggory yang digelar beberapa hari setelah malam penuh petaka itu, air mataku tak terlalu banyak tertumpah. Tak seperti Cho Chang yang terus menangis sesenggukan.
Ketegaranku itu mungkin disebabkan oleh prinsip yang aku pegang selama ini. Prinsip yang kuresapi sampai ke urat nadi. Bagiku, cinta pertama tak pernah mati. Ya, fisik Diggory mungkin sudah tiada, tapi kenangan dan jiwanya akan selalu menempati ruang khusus di hatiku...
Tahun kelimaku di Hogwarts dimeriahkan dengan konspirasi menggulingkan Profesor Dolores Jane Umbridge dari tampuk kekuasaannya.
Sejak mendarat di Hogwarts, Asisten Senior Menteri di Kementerian Sihir Inggris itu telah banyak melakukan kerusakan. Mulai dari memberlakukan hukuman detensi biadab hingga menggelindingkan aneka peraturan yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat para siswa.
Puncak kesewenang-wenangan Profesor Umbridge terjadi ketika wanita bertampang mirip kodok gemuk tua itu mengharamkan praktik pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Profesor Umbridge hanya memerintahkan kami untuk menghafal berjibun-jibun teks tak bermutu. Pemasungan praktik latihan tentu sangat meresahkan mengingat di luar sana Lord Voldemort tengah gencar berkeliaran mencari mangsa.
Untuk mengimbangi pengaruh buruk Profesor Umbridge itulah, aku, Harry dan Ron memprakarsai pembentukan kelompok Laskar Dumbledore. Tak dinyana, kerja sama di Laskar Dumbledore kembali mempertemukanku dengan Cho Chang.
Sedari awal latihan rahasia di Ruang Kebutuhan, Cho terang-terangan menampakkan ketidaksukaannya padaku. Tak hanya menolak berpartner latihan denganku, Cho juga kerap memandangiku dengan sorot permusuhan.
Sebisa mungkin, aku tak menanggapi serius tantangan samar tersebut. Keenggananku untuk menggelar konfrontasi terbuka kian berlipat karena teman baikku, Harry sangat tergila-gila pada gadis berwajah oriental tersebut.
Hanya untuk mengajak Cho kencan di kampung sihir Hogsmeade tepat di hari Valentine saja, Harry sudah meriang dan panas dingin. Jika Harry kalang-kabut menghadapi jadwal kencan, di hari kasih sayang itu aku direpotkan dengan upaya membersihkan nama baik Harry.
Dengan memanfaatkan rahasia Rita Skeeter sebagai Animagus tak terdaftar, aku sukses memaksa wartawan sinting itu untuk menulis artikel tentang Harry dan deskripsi para Pelahap Maut yang terlibat dalam kebangkitan Lord Voldemort, musim panas tahun lalu.
Sepulangnya dari The Three Broomsticks, warung minum tempatku mengadakan pertemuan diam-diam dengan Rita Skeeter, Harry membeberkan acara kencannya yang gagal total.
Kata Harry, selama duduk-duduk di kafe Madam Puddifoot's yang penuh renda dan pita, kafetaria yang mengingatkan Harry akan kantor Profesor Umbridge, Cho terus-terusan menitikkan air mata, terus berbusa-busa menangisi dan mengenang memori indahnya dengan Cedric Diggory. Harry juga mengisahkan tentang emosi Cho yang campur aduk setelah mengetahui aku akan bertemu dengannya di kedai milik Madam Rosmerta, The Three Broomsticks.
"Sepertinya Cho cemburu sama kamu, Hermione," prediksi Harry saat kami menaiki undakan tangga Aula Depan.
Aku mengerutkan bibir mendengar perkataan tersebut. Apa tidak salah Cho cemburu padaku? Seharusnya aku yang iri padanya karena ia berhasil mengalahkanku dalam merebut cinta Diggory.
Memasuki tahun keenam di Hogwarts, aku makin jarang bertemu dengan Cho. Retaknya hubungan Cho dengan Harry membuat intensitas perjumpaan kami menurun drastis. Hal yang cukup aku syukuri karena aku sudah sangat kewalahan merancang rencana petualangan mencari Horcrux, jimat penyegel jiwa abadi milik Lord Voldemort.
Niat mencari dan memusnahkan Horcrux sudah tentu membuatku tak bisa bersekolah di Hogwarts pada tahun depan. Lagipula, sepeninggal wafatnya Profesor Dumbledore yang tewas di tangan Kepala Asrama Slytherin, Profesor Severus Snape, keadaan di dunia sihir makin genting.
Secepat mungkin aku, Harry dan Ron harus menemukan Horcrux sebelum kondisi di sekitar kami kian memburuk. Tapi, sebelum meninggalkan Hogwarts, aku bertekad pergi ke suatu tempat untuk memuaskan rasa penasaranku. Tak ingin salah langkah, aku pun berkonsultasi dengan teman terbaikku di seluruh dunia, Ginny Weasley.
"Apa kau serius mau pergi ke lapangan Quidditch malam ini, Hermione?"
Ginny kembali bertanya untuk kelima ratus ribu kalinya malam ini. Membelai-belai bulu jingga Crookshanks yang mendengkur di pangkuan, aku mengangguk mantap.
"Aku ingin memastikan apakah desas-desus itu benar adanya. Graham Montague bilang dia melihat hantu Diggory di lapangan Quidditch, tepat di tanggal dua puluh empat Juni tahun lalu. Katanya, Montague sampai pipis di celana sebelum pingsan di tempat."
"Montague? Bukannya Chaser Slytherin itu IQ-nya jadi jongkok setelah disekap George di Lemari Pelenyap dan baru muncul terjepit di dalam kloset lantai empat beberapa hari kemudian?" cecar Ginny skeptis, iris cokelat kekuningannya memicing, tak yakin sepenuhnya dengan keputusanku.
"Kenapa kau sangat berhasrat memastikan isu hantu gentayangan itu, Hermione?"
Menggigit-gigit bibir bawah untuk meredam keraguan, aku langsung berkoar-koar panjang lebar. Membeberkan pengetahuan yang kusadap dari junior Ravenclaw, si pirang tukang melamun, Luna Lovegood.
"Menurut Luna, banyak jiwa penyihir yang meninggal masih berkeliaran karena ada permintaan terakhir yang belum dipenuhi atau ada hal lain yang disesali. Seperti kasus yang menimpa Baron Berdarah dan Hantu Kelabu Helena Ravenclaw."
Membelalakkan mata cokelat emasnya, Ginny menepuk jidat mulusnya keras-keras. "Jambul Merlin! Setelah mempercayai si tolol Montague, sekarang kau menganggap serius semua omongan ngawur Luna?"
Mengedikkan bahu, aku meletakkan Crookshanks di bangku berlengan yang terletak di depan perapian. Meski bergoyang-goyang saat dipindahkan, Crookshanks yang tidur nyenyak sama sekali tak terbangun.
"Tak ada salahnya memastikan bukan? Selain itu, mungkin kesempatan seperti ini tak akan bisa terulang di tahun depan."
Memahami kebulatan tekadku, Ginny akhirnya mendukung sepenuhnya. Berpesan agar berhati-hati supaya tak tertangkap tangan oleh penjaga sekolah, Argus Filch, Ginny mengantarku hingga ke depan lukisan Nyonya Gemuk yang kali ini sedang sibuk menggelar kontes tari ronggeng.
Berjalan merayap di sepanjang koridor yang sunyi senyap, aku sukses melesat keluar dan berlari menuju lapangan Quidditch. Dua tahun lalu, di tanggal yang sama, dua puluh empat Juni, demi kepentingan final Turnamen Triwizard, lapangan Quidditch disulap menjadi labirin rumput raksasa. Lapangan itulah yang menjadi saksi bisu pilunya kematian idola sekolah kesayangan semua orang, Cedric Diggory.
Setahun setelah Diggory tewas, rumor tentang keberadaan hantunya merebak ke permukaan. Montague, murid Slytherin yang seluruh tubuhnya dipenuhi bulu seperti gorila bersumpah dirinya melihat hantu Diggory ketika latihan malam tepat di tanggal kematian Diggory, dua puluh empat Juni.
Berdasarkan kesaksian Montague, hantu Diggory tampak memucat tak wajar serta terlihat sangat sedih, seolah-olah menanggung beban penyesalan seberat lima ratus karung Bom Kotoran.
Kini, di malam peringatan dua tahun kematian Diggory, aku memberanikan diri menengok lapangan Quidditch. Siapa tahu aku bisa berjumpa dengan arwah Diggory sebelum memulai petualangan panjang yang penuh mara bahaya.
Sesampainya di lapangan Quidditch yang temaram dan hanya disinari cahaya rembulan, aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Angin bulan Juni yang seharusnya gersang terasa sejuk membelai pipiku. Rumput-rumput lapangan Quidditch yang terpangkas pendek berdesir halus. Di dalam keremangan malam, menara-menara Quidditch yang berfungsi sebagai tribun penonton berdiri tegak seperti jari telunjuk raksasa.
Menarik napas panjang, aku mengedarkan pandangan ke tengah lapangan, lokasi di mana jasad Diggory ditemukan. Selama beberapa saat aku menanti, berharap bisa melihat sekelebat sinar putih keperakan yang melayang di udara.
Setelah berdiam diri beberapa lama, tak ada satu gerakan sekecil apapun di hadapanku. Menelan ludah kecewa, aku memutuskan angkat kaki ke asrama. Mungkin Montague hanya membual dan mengarang-arang cerita. Atau mungkin Diggory sudah beristirahat dengan tenang di nirwana karena tak ada satu hal pun yang harus disesalinya.
Tepat di saat aku memutar balik, bulan sabit yang tadi bersinar malu-malu kini bersembunyi di balik awan. Angin sejuk yang menerpa rambutku berubah menjadi dingin membeku seiring dengan desahan halus seseorang yang memanggil namaku.
"Hermione..."
Berpaling cepat ke belakang, aku terkesiap melihat sosok keperakan Diggory yang bersinar di tengah kegelapan malam. Tanpa dirasuki setitikpun rasa takut, aku bergerak mendekat dan berhadap-hadapan dengan sosok Diggory yang mengawasiku dengan saksama.
Kerinduan yang membuncah membuatku tanpa sadar membisikkan nama Diggory. Melihat ekspresi kangenku, senyum tipis terpasang di wajah pucatnya. Ya Tuhanku, Diggory tetap tampak luar biasa tampan kendati sosoknya tembus pandang seperti ini.
Menjulurkan tangannya yang putih keperakan, Diggory menyentuh pipiku. Sensasi dingin membeku menggulung tulang-tulangku ketika jemari Diggory menembus wajahku. Mata abu-abu Diggory makin meredup melihat jarinya yang tak bisa menjangkauku. Menunduk memandangi tangannya, Diggory bergumam lirih.
"Maafkan aku, Hermione."
Aku tercekat menyimak permintaan maaf tersebut. Aura kepedihan di sosok Diggory membuat batinku tersayat-sayat. Ingin sekali rasanya aku mendekapnya erat dan mengusir semua kegundahan yang mengganggunya.
"Untuk apa kau meminta maaf, Diggory? Tak ada satu hal pun yang layak kau tangisi."
Mengangkat mukanya yang memucat, Diggory menatapku lekat-lekat. Pandangan muramnya makin mengiris-iris hatiku.
"Banyak sekali yang kusesali, Hermione. Seandainya waktu berpihak padaku, aku ingin hidup kembali."
Tak menyerah walau kami tak bisa bersentuhan, Diggory memelukku. Berbisik miris, Diggory terlihat frustrasi saat sosok peraknya menembus badanku, membuatku menggigil seperti diguyur bergentong-gentong air es. Kepedihan dalam suara Diggory membuatku ingin menangis bersamanya.
Merlin, penyesalan sebesar apa yang disimpannya sehingga tak seperti ayah baptis Harry, Sirius Black yang langsung pergi ke surga, roh Diggory bersikukuh berseliweran di Hogwarts seperti ini?
"Cedric... oh Tuhan!"
Pekik kaget Cho Chang membuatku terhenyak. Aku makin terperangah ketika bayangan perak Diggory menghilang, hanya meninggalkan bunyi desir angin bergemerisik. Menatap nanar, Cho meracau dan meraung histeris. Lolongan depresinya bergaung ke seluruh penjuru lapangan.
"Kenapa Cedric? Kenapa kau mau muncul di hadapannya? Padahal selama ini aku selalu pergi ke sini! Berdoa agar bisa bertemu denganmu. Tapi kau tak juga mau menampakkan batang hidungmu!"
Isak tangis Cho seolah-olah dianggap angin lalu. Lapangan Quidditch tetap hening, hanya bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya yang bersahut-sahutan di udara. Semilir dedaunan dan desau rerumputan semakin melengkapi simfoni alam tersebut.
Menikamku dengan tatapan yang paling tajam, Cho mendesis seperti orang tercekik. Wajah cantiknya berkilap sempurna, berkilau disaput bayangan air mata.
"Mengapa Hermione? Mengapa semua laki-laki yang kusayangi hanya mencintaimu? Setelah Cedric, kini Harry..."
Saking kagetnya, aku tak kuasa membalas tudingan Cho. Aku tahu Harry mencintaiku layaknya adik perempuan yang tak pernah ia miliki, tapi Diggory? Mana mungkin Diggory mencintaiku? Dia kan lebih memilih Cho daripada aku?
Menyenggol keras bahuku, Cho berderap terisak-isak menyusuri jalan menuju sekolah. Sosok mungilnya yang tertunduk perlahan-lahan lenyap ditelan pekat malam. Memandangi lapangan Quidditch yang kian menggelap, butiran air mataku menetes jatuh sewaktu ratapan penyesalan Diggory bergema di telingaku.
Ya, Diggory, seandainya waktu berpihak padamu, aku juga menginginkanmu hidup kembali...
Petualangan panjang berburu Horcrux benar-benar menguras habis semua energi dan konsentrasi. Bersama-sama Harry dan Ron, aku mengembara mengelilingi daratan Inggris, berupaya mati-matian menemukan serta menghancurkan jimat terkutuk tersebut.
Syukurlah, perjuangan berdarah-darah kami tak sia-sia. Berkat kekuatan cinta dan dukungan total dari semua pihak, Harry berhasil menumpas tuntas Lord Voldemort. Kedamaian di jagat sihir pun kembali tercipta. Para anggota laskar berani mati Voldemort, Pelahap Maut diadili satu persatu dan diasingkan sesuai dengan dosa-dosa mereka.
Setelah Hogwarts yang hancur-lebur akibat Perang Besar diperbaiki, aku diundang kembali untuk melanjutkan pelajaran yang sempat terputus. Dengan penuh suka cita, kusambut tawaran tersebut. Bermodal usaha gigih dalam menyerap ilmu, aku bisa menyelesaikan semua program studi dalam waktu singkat.
Aku ngotot belajar gila-gilaan sebab aku tak mau berlama-lama mendekam di Hogwarts. Selain kesepian karena tak ada Harry dan Ron yang memilih bergabung bersama Akademi Auror Internasional, aku juga enggan terjerat lebih dalam dengan kenangan sedih mengenai Diggory. Di kastil Skotlandia itu, banyak koridor, pilar maupun ruang kelas yang mengingatkanku akan sosok menawannya.
Usai menerima ijazah dari Kepala Sekolah Profesor Minerva McGonagall, aku menyempatkan diri berkeliling Hogwarts untuk terakhir kali. Ketika aku berjalan-jalan di dekat Hutan Terlarang, aku terperanjat saat melihat ayah Diggory, Mr Amos Diggory berdiri di dekat pepohonan Hutan Terlarang. Menatap lurus ke arah menara Quidditch yang tampak di kejauhan, mata Mr Amos Diggory disesaki sinar pengharapan.
"Selamat siang, Sir," aku menyapa sehalus mungkin, berupaya tak mengejutkan pria paruh baya yang tengah larut dalam alam pikirannya itu.
Prediksiku benar adanya. Mr Amos Diggory sempat melompat beberapa meter dari tanah sebelum akhirnya bisa menenangkan diri. Setelah mengetahui bahwa akulah yang berani menegurnya, wajah kemerahan Mr. Amos Diggory berubah cerah.
"Hermione. Senang sekali bisa bertemu lagi denganmu, Nak."
Tersenyum ramah, aku membalas sapaan hangat tersebut. "Aku juga senang, Sir. Ngomong-ngomong apa yang Anda cari? Mungkin aku bisa membantu."
Cengiran Mr Amos Diggory makin bertambah lebar mendengar tawaranku. Gelagatnya yang abnormal sempat mengusik logikaku. Apakah kepedihan mendalam karena kehilangan pewaris semata wayang telah membuatnya berperilaku tidak wajar seperti ini?
"Tentu, tentu kau bisa membantuku, Nak."
Merogoh-rogoh kantung jubah kotak-kotak, Mr Amos Diggory mengeluarkan perkamen besar yang rupanya telah diciutkan dengan Mantra Penyusut. Menjejalkan perkamen tersebut di tanganku, Mr Amos Diggory menepuk-nepuk bahuku dengan gerakan sama persis seperti yang dilakukannya di malam final Piala Dunia Quidditch, empat tahun lalu.
"Ini, simpanlah perkamen ini baik-baik, Hermione. Aku menemukannya saat merapikan barang Ced yang tertinggal."
Setelah mengatakan hal itu, Mr Amos Diggory mengambil dan memakai topi bulat hitam yang tersangkut di ranting pohon. Tersenyum riang, Mr Amos Diggory melambaikan tangan besarnya, beringsut menjauh menuju pintu keluar sekolah.
"Sampai ketemu lagi, Nak."
Membalas lambaian selamat tinggal itu dengan tercengang-cengang, aku buru-buru membuka lembar perkamen besar tersebut.
"Oh Merlin..."
Perkamen itu rupanya berisi gambar lukisan yang bergerak-gerak. Dalam latar belakang pegunungan, seorang pria yang mirip sekali dengan Diggory tersenyum cerah. Lengan kanannya merangkul pinggang seorang wanita mungil berambut cokelat mengembang yang demi nama suci Godric Gryffindor digambarkan sangat mirip sepertiku.
Di lukisan itu, aku tersenyum bahagia sambil menggendong bayi perempuan mungil berambut cokelat kehitaman. Jika tangan kanan Diggory memeluk erat pinggangku, tangan kirinya menggandeng seorang bocah laki-laki berambut cokelat lebat yang tertawa lebar sambil mendekap kucing kaki bengkok berbulu jingga.
Air mataku bergulir menatap perkamen yang diberi judul Aku dan Keluargaku Tercinta. Di bawah kiri perkamen tertera tanda tangan Diggory dan tanggal pembuatan. Dua puluh tiga Juni, sehari sebelum hari kematiannya.
"Cedric..."
Untuk pertama kalinya aku terisak memanggil Diggory dengan nama depannya. Oh Cedric, apa maksudmu membuat lukisan ini? Lukisan yang bermakna kebahagiaan cinta dan keluarga ini?
Oh Cedric, sayang sekali kau tak bisa hidup lagi untuk memberi penjelasan di balik arti lukisan berjudul Aku dan Keluargaku Tercinta ini...
Selepas dari Hogwarts, aku langsung diminta mengabdi di Kementerian Sihir Inggris. Menteri Sihir yang baru, salah satu pucuk pimpinan Orde Phoenix, Kingsley Shacklebolt membebaskanku untuk memilih Departemen manapun yang ingin aku masuki.
Berdasarkan pertimbangan keistimewaan mengawasi dan membuat Undang-Undang yang bisa melindungi hak asasi seluruh penghuni dunia sihir, aku memutuskan masuk ke Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Departemen bergengsi yang dikepalai kakak Ron nomor tiga, si ahli pantat kuali, Percy Ignatius Weasley.
Bekerja di Kementerian Sihir Inggris membuatku sering bertemu dan berkomunikasi dengan Mr Amos Diggory yang menjabat sebagai pegawai senior di Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib.
Kendati kantor kami terpisah dua lantai, Mr Amos Diggory yang berkantor di lantai empat rutin menyapa dan mendatangi kubikalku yang terletak di lantai dua. Walau kerap bersua, aku belum sempat menanyakan lebih lanjut tentang lukisan yang dibuat Cedric di perkamen tersebut. Rasa penasaranku yang terpendam lama baru terpecahkan ketika aku diundang datang ke rumah keluarga Cedric di bilangan Surey, salah satu kawasan perumahan elit kota London.
Ketika itu, seperti layaknya kebiasaan sehari-hari, aku bersantai-santai di pantri kantor seusai jam kerja. Saat sedang duduk-duduk menghirup Butterbeer dingin dan membaca majalah politik itulah Mr Amos Diggory datang menghampiriku.
"Hermione, berhubung besok hari Minggu, istriku mengundangmu untuk minum teh bersamanya di sore hari," kata Mr. Amos Diggory tenang, mengaduk-aduk kopi kental hingga berbuih.
"Ada acara apa, Sir? Tumben istri Anda mengundang saya."
Meneguk kopi hitam yang suam-suam kuku, Mr Amos Diggory memasang senyum penuh rahasia. Senyum yang rutin terpajang di wajah-wajah pegawai divisi intelijen Unspeakable di Departemen Misteri.
"Ada seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu, Hermione. Dia selalu memanggil-manggil namamu."
Kendati aku masih digelayuti seribu satu macam pertanyaan, aku menahan diri untuk tak menggerecoki Mr Amos Diggory dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap. Lagipula, setelah kuingat-ingat, hari Minggu besok tanggal dua puluh enam Juni, jadi mungkin Mr. Amos Diggory dan istrinya memintaku datang untuk menghadiri perayaan lima tahun meninggalnya putra kesayangan mereka.
Keesokan harinya, aku berdandan rapi untuk pertemuan tersebut. Dari cerita-cerita Mr Amos Diggory selama ini, aku tahu kalau istrinya itu sangat menyukai keteraturan dan kerapihan. Mengenakan gaun musim panas warna pastel dan riasan natural, aku segera ber-Apparate dari flat mungilku di dekat Olympic Park, London ke rumah keluarga Cedric di Surey.
Setibanya di kastil bergaya Tudor yang elegan dan klasik itu, aku terbengong-bengong ketika tanpa tedeng aling-aling istri Mr Amos Diggory memintaku masuk dulu ke sebuah kamar yang di daun pintunya jelas-jelas tercetak plakat bertuliskan 'Cedric'.
Dengan alasan harus menyiapkan kue-kue dan teh, Mrs Diggory meninggalkanku berdiri terpaku di depan pintu. Sejurus kemudian, aku menghela napas menyerah dan memutar kenop pintu. Ketika pintu menjeblak terbuka, aku disambut interior kamar yang ditata maskulin dan dipenuhi piala serta poster pemain Quidditch dunia.
Tapi, yang paling menggetarkan hati bukanlah dekorasi jantan di kamar luas tersebut melainkan sesosok pria yang sangat kurindukan. Pemuda tampan menawan yang tengah duduk mengawasiku di sisi tempat tidur kokoh bertiang empat.
Menatap dengan penuh dahaga, Cedric melemparkan senyum memikat ke arahku. Bangkit dan menghambur untuk memelukku yang mematung terkejut, Cedric membenamkan hidung mancungnya di rambut megarku yang dihiasi bandana kuning kentang.
Terlalu terpesona karena tubuh Cedric tak menembusku, aku tak menyadari pergerakan bibirnya yang menjelajahi daun telinga serta batang leherku.
"Cedric... apa yang terjadi?" tanyaku terengah-engah di sela-sela kuluman dan gigitan liarnya. Menggenggam wajahku dalam dekapan tangan, iris kelabu Cedric memandangiku dengan sorot mendamba. Jari-jarinya terus mengusap lembut lekukan bibirku.
"Hermione, aku bahagia kau akhirnya mau memanggilku dengan nama kecilku."
"Cedric, aku-"
Cedric meredam perkataanku dengan ciuman panasnya yang membara. Melumat bibirku dengan antusias, Cedric menggiringku masuk. Dengan gerak sigap ala Seeker, Cedric menjatuhkan tubuhku ke ranjang berbalut seprai satin mewah.
Luapan kerinduan, obsesi dan kepemilikan yang terkandung di dalam ciuman posesif itu membuat seluruh saraf-saraf tubuhku bergetar dan bernyanyi. Aliran darahku terasa cepat mengalir dan menggelegak bagaikan lava gunung berapi.
"Cedric..." aku melenguh ketika Cedric melepaskan pagutan mulutnya dan beralih ke leher dan tulang selangka-ku. Bibirnya memagut dan menggigit lembut, seirama dengan tangan kekarnya yang menari-nari di tubuhku.
Ya Tuhan, ya Tuhan, Cedric masih jago mencium meskipun ia sudah lima tahun meninggal dunia...
Meninggal dunia...
Lintasan ingatan itu mengaktifkan akal sehatku, memupus rantai gairah yang membelitku. Mendorong dada bidang Cedric dengan kedua tangan, aku menggeliat melepaskan diri.
"Hermione..."
Suara Cedric yang sarat dengan kepedihan dan perasaan ditolak terdengar memilukan seperti guyuran cuka dan garam di luka menganga. Hasratku menjerit ingin kembali dipeluk erat dalam dekapannya tapi akal sehatku yang membandel tak bisa dibelokkan dan tetap bersikeras menuntut penjelasan.
"Cedric, bukankah kau sudah meninggal?" aku bertanya tersendat-sendat, menata derap napas yang terengah-engah. Seolah tak menghiraukan kekalutanku, Cedric menarik kembali diriku ke dalam rengkuhan, memelukku kencang seolah-olah takut kehilanganku barang sedetik pun.
Jemari Cedric mengelus-elus punggungku, membentuk lingkaran pola yang menenangkan. Sentuhannya terbilang ringan tapi efektif menggetarkan seluruh sel tubuhku.
"Ini aku, Hermione. Cedric-mu."
Kebingungan bercampur ketidakpercayaan menjadikan otakku tumpul sesaat. Memandangi wajahku yang berdenyut bingung, Cedric menghembuskan napas singkat. Menyadari dilema yang kurasakan, Cedric mengajakku menemui kedua orangtuanya yang tengah menunggu kedatangan kami di taman belakang.
Membimbingku menuju taman yang dihiasi semak bunga mawar dan tanaman berbunga harum, tangan hangat Cedric terus meremas dan menggenggam lembut jemariku.
Hangat...
Oh Merlin. Jika suhu tubuh Cedric sehangat ini, berarti ia bukan zombi alias mayat hidup bukan? Tapi, Cedric sudah meninggal dan kini bangkit kembali. Lalu, sebutan apa yang cocok untuknya?
Pikiranku yang sekusut benang layangan rusak akhirnya terburai ketika aku melihat binar bahagia yang dipancarkan kedua orangtua Cedric. Duduk di bangku taman berwarna putih, Mrs Diggory menitikkan air mata haru. Jemari langsingnya sesekali mengelap sudut mata dengan saputangan berbordir kembang-kembang.
"Wah, wah, wah. Cepat sekali kalian datang ke sini. Kukira kau akan mengurungnya semalam suntuk di kamarmu, Ced," Mr Amos Diggory berdecak-decak nakal, buru-buru mengelak dari cubitan istrinya yang merona.
"Amos, kau ini," ujar Mrs Diggory tersipu. Memandangiku seolah-olah aku ini malaikat atau juru selamat umat manusia, Mrs Diggory memintaku untuk mengambil tempat di sampingnya.
Belum sempat pinggulku membentur alas bangku, aku terpekik ketika tangan kuat Cedric merangkul pinggangku dan mendudukkanku di pangkuannya. Gelak tawa Mr Amos Diggory terdengar menggemuruh melihat aksi yang dilakukan putra kebanggaannya.
"Ced, kau benar-benar tak mau membuang-buang waktu ya," kekeh Mr Amos Diggory, dengan enteng mengambil segenggam Welsh Cake, kue goreng yang bertumpuk-tumpuk di piring saji oval. Menaburkan gula bubuk di permukaan kue, Mr Amos Diggory dengan lahap menyantap kudapan beraroma kayu manis dan pala tersebut.
Melingkarkan tangan di perutku, menahanku untuk berhenti berontak, Cedric menyibak rambutku dan menciumi belakang leherku. Tak menggubris tubuhku yang bergetar akibat sentuhan erotisnya, Cedric terus memanjakan ragaku dengan luapan kasih sayang.
"Setiap detik itu sangat berharga, Dad. Aku tak mau mengulang kesalahan bodoh seperti dulu lagi."
Menuangkan teh melati ke cangkir bermotif bunga peony merah jambu yang ada di hadapanku, Mrs Diggory melengkungkan alis hitam artistiknya.
"Jaga sikapmu, Ced. Apa kau tak kasihan melihat wajah Hermione memerah seperti itu?"
Menangkup daguku dan memaksaku menengok ke arahnya, ujung bibir Cedric menyunggingkan senyum predator.
"Mau merah seperti tomat, ungu seperti terong atau hijau seperti buncis pun Hermione tetap manis di mataku."
Jika memungkinkan, wajahku makin merah padam mendengar sanjungan tersebut. Aku tak habis pikir mengapa sikap Cedric berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini. Cedric yang kukenal itu pendiam, sopan dan kalem. Tidak seperti Cedric yang sedang memangkuku sambil tersenyum nakal seperti ini. Cedric yang ini sangat agresif, seksi dan penuh gairah.
"Um, tolong beri tahu aku, apa yang sebenarnya terjadi," pintaku memelas. Kumohon, kumohon beri aku penjelasan logis yang masuk akal. Kalau perlu sepanjang aliran Sungai Nil supaya hasratku surut, bisikku dalam hati. Kalau tidak, bisa-bisa aku memeluk dan bertubi-tubi menciumi Cedric tepat di depan mata kepala kedua orangtuanya sendiri.
Meletakkan cangkir teh herbal yang baru setengah terhirup, Mr Amos Diggory memandangku cermat. Mengusap-usap jenggot lebat yang menggantung, pria paruh baya bermata ramah itu pun memulai penjelasannya.
"Kau tahu Batu Kebangkitan bukan, Hermione?"
Tanpa menunggu responku, Mr Amos Diggory melanjutkan penuturannya. Mrs Diggory yang melipat tangan di pangkuan menatap suaminya dengan pandangan menguatkan. Di belakangku, Cedric tak berhenti beraktivitas. Terus mengecup rambutku dan memainkan jari-jemari kami yang bertautan di perutku.
"Aku memakai Batu Kebangkitan untuk menghidupkan kembali anakku. Dua puluh empat Juni lalu, di depan jenazah Cedric yang sengaja kuawetkan di peti kaca pemakaman keluarga, aku memutar batu itu tiga kali di tanganku. Berkat rahmat Sang Pencipta, Cedric pun bisa kembali ke sisi kita," ungkap Mr Amos Diggory tenang, setenang orang yang memberi penjelasan bahwa satu ditambah satu itu sama dengan dua.
Penjelasan tersebut kontan membuat mulutku menganga selebar gua purbakala. Batu Kebangkitan, salah satu artefak Relikui Kematian itu memang dibuang Harry di dekat Hutan Terlarang saat Perang Besar melawan Lord Voldemort. Jadi, benda bertuah itu rupanya yang sedang dicari Mr Amos Diggory ketika bertemu denganku di Hutan Terlarang setahun lalu?
"Tapi... tapi, Sir," gagapku terbata-bata, persis seperti aksi mendiang Dobby si peri rumah jika sedang dilanda ketakutan.
"Bukankah membangkitkan orang mati itu melanggar hukum?"
"Belum ada Undang-Undang atau hukum pasti yang membahas masalah itu, Hermione," sangkal Mr Amos Diggory. Bola mata cerdasnya menyipit segaris, mencermati ekspresi wajahku yang memucat.
"Selain itu, aku tidak memakai sihir hitam saat membangkitkan Ced kembali. Ini hanya mukjizat yang diberikan Batu Kebangkitan. Selain itu, begitu putraku hidup, Batu Kebangkitan tersebut langsung hancur tak bersisa. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan," tandas Mr Amos Diggory berapi-api.
Aku terbengong-bengong mencerna penjelasan tersebut. Mr Amos Diggory memang benar. Belum ada hukum pasti yang membahas masalah itu di dunia sihir mengingat selama ini membangkitkan orang mati hanya merupakan ilusi dan mimpi.
Memang, selama berabad-abad kaum penyihir berjuang meracik mantra atau ramuan untuk menghidupkan kembali orang mati. Tapi, upaya itu selalu berakhir dengan kegagalan.
Jikalau berhasil, eksperimen itu tak berlangsung lama. Manusia yang dibangkitkan hanya bertahan hidup selama beberapa hari dalam kondisi mengerikan. Perlahan-lahan membusuk dari menit ke menit sebelum hancur seperti debu. Kondisi mengenaskan tersebut jelas sangat berbeda dengan situasi yang menimpa Cedric yang bisa bernapas dan segar bugar layaknya manusia normal.
"Bukankah itu namanya melawan hukum alam?" tanyaku bandel, menahan erangan saat lidah Cedric menjilati dan memainkan ujung telingaku yang sensitif.
Menghela napas berat, Mr Amos Diggory menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Aku sudah mengira kau akan berpandangan seperti itu. Aku tahu kasus ini akan menjadi polemik. Untuk itu aku minta dukunganmu, Hermione."
Aku melonjak marah mendengar permintaan tersebut. Oh, jadi ini maksud Mr Amos Diggory selama ini? Berbaik-baik hati dan beramah tamah denganku agar aku, yang punya kedudukan berpengaruh di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, Departemen yang notabene pasti mengurus masalah pelik seperti ini mau mendukungnya?
"Jadi, Anda memanfaatkan saya, Sir? Anda kira posisi saya bisa membantu menyelesaikan masalah ini?" aku berteriak lantang, mengepalkan tinju ke udara saking geramnya.
"Hermione, Sayang, bukan begitu maksud ayahku," Cedric menangkapku kembali ke pangkuannya. Mengatur agar posisiku menghadap ke arah wajahnya, Cedric mengelus pipiku dengan jari hangatnya.
Aku memberengut sebal. Astaga, bagaimana mungkin Cedric punya kekuasaan besar pada tubuhku. Hanya dengan sentuhan ringan saja Cedric berhasil memadamkan api amarah yang tadi berkobar-kobar di dalam dada.
"Lalu, apa maksudnya? Merlin, Cedric. Apa ayahmu tak berpikir panjang? Hal ini bisa menjadi perdebatan tak berujung di Pengadilan Sihir Wizengamot."
"Aku tahu, Sayang. Aku tahu," gumam Cedric menenangkan. Menatap mata cokelatku dalam-dalam, Cedric mengajukan pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar.
"Apa kau tak suka aku hidup kembali, Hermione?"
"Cedric!" aku memaki kesal. "Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu? Tentu saja aku senang kau hidup kembali. Selama ini aku mencintaimu, tahu."
Aku langsung menekap mulut setelah menyadari hal yang aku katakan barusan. Bego, Hermione bego. Kenapa kau tak bisa mengontrol ucapanmu di momen-momen seperti ini? Belum tentu Cedric punya perasaan yang sama padamu, kan?
"Kau mencintaiku?" ulang Cedric gembira, wajah rupawannya menyala-nyala dibasuh api harapan. Mata abu-abu peraknya berpijar cemerlang seperti kristal kualitas terbaik.
Bersungut-sungut tak bisa mengelak, aku akhirnya mengakui perasaan terpendamku padanya. "Iya, aku mencintaimu. Tapi tak apa-apa jika kau tak punya perasaan serupa padaku. Aku mengerti jika kau masih mencintai Cho-"
Untuk kedua kalinya sore itu, ucapanku tak pernah bisa terselesaikan sampai ke titik terakhir. Bibir Cedric sudah menguasaiku lagi. Melahapku dengan nafsu yang tak bisa disangkal-sangkal lagi.
"Cedric... kita tak bisa begini. Ada penonton," aku tersengal-sengal saat Cedric mengakhiri pagutan panasnya dan gantian mengecup sudut bibirku.
Menaikkan alis hitamnya, Cedric mengawasi sekeliling taman. "Penonton? Penonton yang mana, Sayang? Kita hanya berduaan di taman ini."
Melongo terpana, aku baru menyadari bahwa tak ada satu orangpun di taman itu selain kami berdua. Rupanya, Mr Amos Diggory dan istrinya sudah pergi meninggalkan kami sedari tadi. Entah untuk memberi privasi atau demi memproduksi adegan mereka sendiri.
Menangkap daguku di antara ibu jari dan telunjuk, Cedric mendecakkan lidah. "Ck, ck, ck, Hermione. Setelah apa yang kulakukan padamu hari ini, kenapa kau masih berpikir aku menyukai Cho?"
Kenangan akan kisah kasih Cho Chang dan Cedric di sekolah membangunkan kembali gejolak emosi yang membeku. Lalu, aku harus berpikir seperti apa jika mengingat fakta bahwa Cedric lebih memilih berpacaran dengan Cho ketimbang diriku?
"Kau pacaran dengan Cho, ingat? Seharusnya kau memanggil Cho daripada aku. Apa kau tak tahu kalau saat ini Cho menjabat sebagai Kepala Healer di Rumah Sakit Saint Mungo?" cerocosku getir.
Mendekapku kencang, Cedric menyapukan jari-jarinya di rambutku. Mata abu-abunya menggelap disesaki kilat penyesalan mendalam.
"Aku tak mau tahu seperti apa dan bagaimana Cho sekarang. Hubunganku dengan Cho adalah kesalahan fatal dalam hidupku. Kesalahan nomor dua yang pernah kulakukan."
Mendongak memandang wajah Cedric yang tampak menderita, aku berbisik rendah, "Kesalahan kedua? Apa kesalahan pertama yang kau lakukan, Cedric?"
Mengecup semua bintik-bintik yang menempel di sekitar hidungku, Cedric bergumam parau, "Tak merebutmu dari tangan si bangsat Viktor Krum. Seharusnya aku tak bersikap pengecut. Seharusnya aku tak membiarkanmu menjadi miliknya."
Kesiap kagetku terdengar keras di taman luas yang dipenuhi aroma mawar, teh melati herbal dan kue-kue lezat. Milik Viktor Krum? Bagaimana bisa Cedric berpikiran seperti itu? Selama ini aku tak pernah pacaran dengan si Bulgarian Bonbon itu. Hubunganku dengan Viktor hanya teman biasa sekaligus sahabat pena semata.
"Cedric, aku tak pernah pacaran dengan Viktor. Darimana kau dengar gosip kacangan macam itu?"
Membelalak tak percaya, Cedric mengusap-usapkan jempol di bibir bawahku, menikmati kondisi bibirku yang bergetar terkena sentuhan manisnya.
"Krum sendiri yang bilang padaku. Dia bilang kau mau datang ke Pesta Dansa Natal karena sejak dulu kau ingin menjadi kekasihnya."
Pesta Dansa Natal...
Ya Tuhan, apa mungkin Cedric salah paham ketika melihat aku berbicara dengan Viktor saat sarapan di Aula Besar, dua hari sebelum Pesta Dansa Yule Ball dimulai? Kala itu, Viktor ngotot mengajakku pergi dengannya. Di tengah-tengah perdebatan, aku memang melihat sekelebat bayangan Cedric melintas di koridor. Aku tak mengira Viktor yang kupercaya tega mereka-reka cerita bohong seperti itu!
"Kau tahu, aku sangat kecewa dan hancur mendengar ucapan Krum. Padahal aku berharap bisa mengajak dan memintamu menjadi pacarku di pesta tersebut," Cedric mendesah lirih, menjilat dan menggigit lembut jari jemariku.
"Karena itulah kau mengajak Cho Chang sebagai pasanganmu?"
Memejamkan kelopak mata rapat-rapat, Cedric menumpahkan semua isi hatinya. "Aku tak semestinya melakukan hal itu. Ketika itu, aku sangat sakit hati sehingga tak berpikir masak-masak. Aku juga tak sepatutnya menerima permohonan Cho untuk berpacaran dengannya."
"Oh Cedric..."
Aku menarik wajah Cedric dan menciumi seluruh senti mukanya yang tersiksa. Ternyata, selama ini kami terkungkung dalam kesalahpahaman yang berakibat fatal. Jika saja kami tak menuruti ego yang terluka, mungkin kami sudah berbahagia sedari dulu.
Menempelkan kening ke pelipisku, iris kelabu Cedric terarah mantap ke arahku. "Aku tak pernah mencintai Cho. Aku berkencan dengannya hanya karena ingin mengobati sakit hati. Tapi, ternyata sia-sia. Aku tetap tak bisa berhenti mencintaimu, Hermione."
Mencium lembut bibir Cedric, aku mendesahkan namanya berulangkali, seperti memanjatkan rangkaian doa. Menggulung dan meletakkan ikal rambutku yang mencuat ke belakang telinga, Cedric mengecup kelopak mataku yang menutup.
"Kau tahu, aku sudah putus dengan Cho di malam dua puluh empat Juni lima tahun lalu. Sebelum tugas ketiga dilaksanakan, aku mengatakan padanya kalau hubungan kami sudah tutup buku."
Mataku membuka mendengar pengakuan itu. Jadi, itu rupanya alasan di balik pertengkaran mereka? Alasan di balik badai air mata yang mengguyur Cho? Lalu, mengapa selama ini Cho diam saja? Mengapa ia senantiasa membangga-banggakan diri sebagai pacar terbaik yang pernah digandeng Cedric? Mengapa ia selalu mengatakan kalau Cedric menjanjikan untuk melamarnya selepas Turnamen Triwizard?
"Mengapa Hermione? Mengapa semua laki-laki yang kusayangi hanya mencintaimu? Setelah Cedric, kini Harry..."
Memori kesedihan Cho terputar kembali di benakku. Menilik hal itu, aku bisa sedikit memahami kegalauan yang dirasakan Cho. Pantas saja selama ini Cho selalu memandangku sebagai musuh. Cho pasti kecewa sebab meski berpacaran dengannya, Cedric tak pernah sekalipun melupakanku. Ya, Cho pasti sangat terhina karena hanya digunakan sebagai pengganti dan obat pelipur lara semata.
Membuaiku dalam pelukan, Cedric menciumi pucuk kepalaku. Tangannya menyelusup masuk ke kuduk, memijat halus ototku yang berdenyut.
"Sedetik sebelum kutukan Avada Kedavra menghantamku, aku memikirkanmu, Hermione. Aku sangat menyesal tak bisa mengutarakan isi hati yang sebenarnya. Aku menyesal tak bisa menjadikanmu milikku selamanya."
Membenamkan wajah di dada gagah Cedric, aku terisak pelan, "Karena itukah rohmu tetap berada di Hogwarts? Karena ada hal penting yang kau sesali?"
Mengulum bibirku sekali lagi dalam ciuman panjang dan mesra, Cedric bergumam lembut, "Di tengah-tengah napas terakhirku aku bersumpah jika diberi kesempatan sekali lagi, aku tak akan pernah melepaskanmu, Hermione."
Membingkai kedua pipiku dalam belaian tangan, Cedric memaksaku menatapnya. Memaksaku mendengar sumpah yang diikrarkannya.
"Kini, kesempatan kedua sudah kuperoleh, Hermione. Kau milikku. Kau hidupku dan aku tak akan pernah melepaskanmu. Selamanya..."
"Iya, selamanya. Selamanya hal itu tak akan bisa ditolerir di dunia sihir."
Suara ngebos Percy Weasley menyaingi hiruk-pikuk suasana makan malam di kediaman keluarga Weasley di The Burrow. Menyendokkan sesuap kaserol ayam ke dalam mulut dan mencerna perlahan-lahan, aku mulai merasa ide berkonsultasi dengan Percy di sesi makan malam merupakan gagasan paling buruk sejagat raya.
Lihat saja, sikap Percy yang otoriter sudah membuat usus dan lambungku berontak. Tapi, setidaknya di tengah suasana kekeluargaan seperti ini, Percy tidak bisa leluasa mengintimidasi.
Senja tadi, sebelum meninggalkan rumah Cedric, aku memang sudah membahas langkah-langkah yang harus diambil terkait masa depan kehidupan baru Cedric. Jika aku memutuskan berdiskusi dengan Percy, ayah Cedric memilih mengajukan petisi permohonan untuk melegalkan hidup anaknya.
Rupanya, harapanku agar Percy mau sedikit memahami tidak terealisasi. Percy yang sejak lahir sudah menjunjung tinggi peraturan tak memedulikan satupun argumentasi yang kukeluarkan. Bagi Percy, Cedric sudah mati dan tak layak hidup lagi.
Aku akui, masalah ini memang sangat pelik tapi tak semuanya bisa diterapkan secara hitam dan putih. Ada banyak zona abu-abu di sini, terutama di lingkup dunia sihir yang tak mengenal batasan imajinasi dan realita.
Selain itu, Cedric tak pantas dimusnahkan kembali. Ia bukan zombi menakutkan yang patut dimusuhi. Cedric adalah manusia asli yang memperoleh kesempatan kedua untuk hidup kembali.
Ron yang sedari tadi sibuk mengganyang sepanci mi goreng ekstra pedas tampaknya menganggap aksi kepala batu Percy sebagai dagelan yang tak kalah menarik dari acara televisi berating tinggi. Memasang tampang merajuk, Ron tak melewatkan peluang untuk menggoda habis-habisan kakak nomor tiganya itu.
"Oh, ayolah Percy," Ron memutar-mutar garpu ke kiri dan ke kanan, melemparkan sisa-sisa mi goreng ke sembarang arah.
"Jangan pikirkan pantat kuali gosong melulu. Sesekali perhatikan juga pantat Cowok Cantik Diggory itu."
Tendangan keras kakiku di dengkul Ron berbarengan dengan cubitan ganas yang dilesakkan pacar putus sambung Ron, Lavender Brown. Tak ayal, penyihir tinggi jangkung itu langsung mengaduh-aduh kesakitan.
"Ouw! Sakit tahu! Woman, apa-apaan sih kalian ini!" Ron mendelik dan bergantian memelototi kami. Meniup lengan kanan yang memar keunguan, Ron memberengut dongkol.
"Ampun deh Lav. Tenaga badakmu itu bisa bikin badanku bonyok total."
Tersenyum polos tanpa dosa, Lavender menggigiti bistik musang setengah matang. Sejak selamat dari serangan manusia serigala sakit jiwa, Fenrir Greyback di Perang Besar Hogwarts beberapa tahun lalu, Lavender yang berubah jadi setengah manusia serigala mulai menggemari melahap aneka daging merah setengah matang.
"Maafkan aku, Won-Won. Habis kau nakal sih, mencela laki-laki ganteng semulia Cedric."
Mendenguskan hidung keras-keras, Ron menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti 'mulia dari Hongkong'.
"Polemik zombi Cedric ini bisa jadi masalah nasional dan debat kusir berkepanjangan, Hermione. sebaiknya kita-"
"Cedric bukan zombi!" Suaraku makin meninggi, menginterupsi ceramah tak bergizi Percy. "Dia manusia biasa. Penyihir normal sama seperti kita."
"Itu betul, Percy," Ginny yang duduk di seberang kakaknya mencoba menengahi. "Sebelum datang ke sini, aku tadi sempat diajak Hermione bertemu Cedric dan dia wangi sekali. Zombi kan biasanya berbau busuk seperti bangkai. Cedric juga tak makan belatung atau pupuk kandang tengik."
"Ladies..." Ron tersedak mi ekstra merica hitam bercampur tobasco. Buru-buru menenggak satu piala yogurt tawar, Ron menceramahi kami dengan nada sok menggebu-gebu.
"Jangan bicara tak sopan seperti itu di meja makan. Kalian ini benar-benar tak punya etiket."
Ginny melipat tangan di dada dan berdecak-decak kencang. Terlihat jelas ia takjub karena dikuliahi mengenai tata krama oleh pria teledor yang dikenal paling sembrono di meja makan.
"Apapun itu," Percy mengelap lensa kacamata bergagang tanduk sebelum kembali berbicara, "Aku sepertinya tak bisa membantumu, Hermione."
Menegapkan punggung, Percy kembali ber-bla-bla-bla menjelaskan pendapatnya. Saking menggebu-gebunya, ia tak menyadari ulah jahil George yang meletakkan tumpukan kulit kacang polong gosong di puncak rambut ikalnya.
Ibu Ron, Molly Weasley yang tengah mengaduk-aduk kuah sup tomat di panci tembaga besar akhirnya angkat bicara. Menuangkan sup kemerahan yang berkepul-kepul ke setiap mangkuk, Mrs Weasley berkata dengan nada keibuan, "Percy, tak bisakah kau menolong saudara perempuanmu kali ini?"
Meski aku tahu kehadiranku senantiasa diterima dengan tangan terbuka, aku tak mengira Mrs Weasley menganggapku sebagai salah satu anak perempuannya. Tak pelak, pengakuan penuh sayang itu membuat rasa haru membuncah di dalam diriku.
"Coba pikirkan perasaan keluarga Cedric. Mereka tak punya pewaris dan keturunan jika Cedric dilenyapkan kembali. Anak sebaik Cedric patut mendapat kesempatan kedua. Mungkin Tuhan menginginkan dirinya hidup untuk menuai lebih banyak kebajikan," tutur Mrs Weasley bijak.
Terdesak kalah oleh usulan arif ibunya, Percy akhirnya mengalah. Berdeham sok penting, mantan Ketua Murid Hogwarts itu meletakkan sendok dan garpu di samping piring makan.
"Baiklah, Mum. Aku akan menyusun jadwal pengambilan pendapat di Pengadilan Sihir Wizengamot. Mungkin seminggu lagi nasib Cedric Diggory bisa diputuskan."
"Nah, begitu dong, Perce," George menggebuk punggung kerempeng Percy sekuat-kuatnya, persis seperti memukuli kasur buluk yang dijemur. Kencangnya tepukan membuat gundukan kulit kacang polong berhamburan menuruni jidat klimis Percy.
"Sampah! Kenapa bisa ada sampah di wajahku?" Percy berteriak kaget, melonjak berdiri dan mengibas-ngibas rambut necisnya.
"Itu karena mukamu mirip tong sampah, Perce," seru George sebelum menghilang ber-Apparate dengan bunyi sekeras ledakan meriam kapal perang...
"Sampah! Semua limbah ini harus masuk tong sampah!"
Aku melempar tumpukan tabloid, majalah dan koran Daily Prophet ke lantai flat mungilku yang terbungkus karpet bermotif geometris.
Crookshanks yang tadinya bergelung manja di pangkuan Cedric seolah bersimpati pada kekesalanku. Melompat turun, Crookshanks menyatakan dukungan dengan mencakari artikel yang memuat foto Rita Skeeter sampai rombeng tak beraturan.
Cedric, yang bersandar nyaman di kursi panjang terkekeh geli menyaksikan parade kemarahan kucing dan majikannya itu. Melebarkan kedua lututnya, Cedric menepuk-nepuk ruang kosong di antara pahanya. Memberi isyarat melalui jarinya, Cedric memintaku meringkuk di dada bidangnya.
Setelah aku duduk, Cedric langsung melingkarkan tangan di perutku, mengunci dan membelenggu tubuhku secara efektif. Mencium lembut belakang telingaku, Cedric tergelak halus.
"Sayang, jika berita koran itu membuatmu meradang, lebih baik kau tak membacanya. Jadikan saja bungkus kacang."
Menggembungkan kedua pipi, aku menyenderkan punggung, kian merapat ke torso hangatnya. "Tapi aku harus tahu apa yang dibicarakan masyarakat tentangmu. Ternyata semuanya berpikir keji, terutama si pirang Rita Skeeter itu. Tega-teganya ia menyamakanmu dengan pasukan mayat hidup Voldemort, Inferi," semprotku membabi-buta.
Mengusap-usap hidung bangirnya di rambut bergelombangku, jemari Cedric memijat pelan otot pundakku yang tegang dan kaku.
"Masa bodoh dengan perkataan orang lain, Hermione. Aku hanya peduli dengan pandanganmu terhadapku."
Memutar tubuhku sehingga berhadap-hadapan, aku menyusupkan wajah di dada hangatnya. Menikmati detak jantung dan deru napas Cedric yang teratur dan menentramkan. Tangan Cedric terus bermain di punggungku, menepuk dan mengelus lembut dengan penuh kasih sayang.
Dalam keheningan yang sesekali diisi dengan bunyi cakaran Crookshanks, aku merasakan ikatanku dengan Cedric semakin menguat. Sejak bertemu di acara minum teh di rumahnya, Cedric seringkali bertandang ke flat kecilku ini, bermain dengan Crookshanks hingga aku pulang kerja. Kadang-kadang ia mengagetkanku dengan kejutan manis, seperti membuatkan kue dadar kesukaanku atau menyiapkan makan malam istimewa.
Pasca hidup kembali, Cedric memang sangat berubah. Ia yang dulunya sangat sukar menyampaikan keinginan dan isi hati kini jadi lebih ekspresif. Cedric tak segan-segan lagi memperlakukanku dengan penuh kemesraan. Ia makin sering menyentuh, memeluk, mencium dan membelaiku.
Ketika aku menanyakan mengapa ia berubah, Cedric menatapku dengan serius. Katanya, waktu tak bisa diulang kembali dan ia tak mau melewatkan sisa hidupnya tanpaku. Begitu masalah ini selesai, Cedric bersumpah untuk segera menikahiku.
Ikrar yang sudah pasti membuatku tak sabar menanti dan menghitung hari. Ayah Cedric juga tak kalah senangnya mengetahui pertunanganku dengan putranya. Ia bahkan memintaku untuk tak lagi memanggil nama lengkapnya. Cukup Sir atau Dad kalau perlu.
"Cedric, besok aku akan menemui Cho Chang di kantornya. Sebagai Ketua Healer alias Penyembuh, pasti ia bisa membantu dengan memberikan laporan secara medis," ujarku hati-hati.
Kalau mau jujur, aku sebenarnya malas menjumpai Cho Chang. Tapi, aku benar-benar memerlukan jasanya jika ingin membebaskan Cedric dari penistaan masyarakat.
Menjilat dan mengisap bibirku perlahan, Cedric berbisik lembut, "Terima kasih, Hermione. Aku berhutang banyak padamu."
Membalas tatapannya yang membara, aku menangkup wajah tampan Cedric dengan tangan kecilku. "Kita akan selalu bersama, Cedric. Aku akan mendampingimu sampai kita tua dan beruban."
Meletakkan tautan jari kami di bibirnya, Cedric membalas janjiku itu. "Kita akan selalu bersama, Hermione. Sampai akhir hayat nanti..."
Keesokan harinya, sesuai dengan janji yang kurencanakan, aku mendatangi Cho di Rumah Sakit Saint Mungo. Ruangan kantor Cho yang terletak di ujung ruangan tak ubahnya oasis menyegarkan di tengah kegaduhan yang rutin terjadi di bangsal rumah sakit.
Berukuran cukup luas, bilik berdinding putih itu ditempeli lukisan besar bergambar delapan buah kuda, yang menurut Feng Shui bisa membawa energi kenyamanan dan ketenangan sekaligus perkembangan karier yang mantap.
Seikat bunga persik cantik tampak menghiasi sudut meja kerja Cho. Kesan oriental makin kental dengan keharuman aromaterapi bunga teratai yang merebak ke seluruh penjuru ruangan.
Aku yang semula mengira bakal mendapat sambutan dingin tercengang-cengang ketika Cho memelukku erat-erat seperti kenalan lama yang baru bertemu kembali. Pagi itu Cho tampak sangat memesona. Rambut hitam panjangnya dikuncir ekor kuda. Wajah khasnya dipoles dengan riasan alami yang tak berlebihan. Kosmetik tipis yang justru menampilkan daya tarik Asia-nya yang alami.
Setelah berbasa-basi sesaat, aku akhirnya meminta Cho untuk memberi kesaksian pendukung di Pengadilan Sihir Wizengamot nanti. Di luar dugaan, Cho ternyata tak bisa menyokongku. Juri Pengadilan Sihir Wizengamot menyatakan Cho tak bisa maju bersaksi sebab kesaksiannya bisa dianggap berat sebelah mengingat ia pernah menjadi kekasih Cedric.
Untungnya, sebelum asaku patah, Cho memberikan solusi lain. Ia telah menunjuk salah satu Healer andalannya, Pansy Parkinson untuk memberi kesaksian dan laporan medis mengenai genetika dan kondisi jasmani Cedric.
"Pansy Parkinson jadi Penyembuh? Merlin, dunia mungkin sudah terbalik," sindirku sinis, membayangkan tampang penyihir mirip anjing pesek yang sering membuatku darah tinggi semasa bersekolah di Hogwarts.
Menyunggingkan senyum tipis, Cho menyesap teh hijau yang masih berkepul. "Pansy Healer yang sangat berbakat, Hermione. Memang tak bisa disangka jika ternyata Pansy bisa membantu dan menyembuhkan sesama."
Aku masih menggeleng-geleng keheranan. Bagaimana mungkin Pansy si cewek keji berdarah dingin itu bisa bekerja sebagai Penyembuh? Profesi mulia yang harus memiliki segepok jiwa kemanusiaan dan hasrat menolong?
Kejutan rupanya tak berhenti sampai di situ. Saat aku akan pamit, Cho sekonyong-konyong menggenggam tanganku dan meminta maaf atas semua permusuhan yang dialamatkan padaku dulu semasa sekolah.
"Maafkan aku, Hermione. Ketika itu aku sangat egois dan kekanak-kanakan. Aku sekarang mengerti bahwa cinta itu tak bisa dipaksakan."
Merangkul Cho erat-erat, aku menerima permintaan maafnya tersebut. Untuk masa depan yang lebih cerah, masa lalu yang busuk sebaiknya tak diungkit-ungkit kembali. Siapapun juga berhak memperoleh kebahagiaan, termasuk Cho yang enam bulan lagi akan menikah dengan mantan Kaptennya di tim Quidditch Ravenclaw, Roger Davies.
Setelah meninggalkan kantor Cho, aku tak langsung pulang ke apartemen kecilku. Aku masih punya jadwal bertemu dengan bekas teman seangkatanku di Hogwarts, Blaise Zabini.
Penyihir Slytherin asal Italia yang semasa sekolah sangat congkak dan belagu itu kini memiliki pengaruh penting di dunia hukum. Firma hukumnya, Zabini Lawyers & Associates sangat disegani di dunia sihir. Menurut nasihat ayah Cedric, kami sebaiknya menyewa Zabini untuk menjadi pembela di Pengadilan Sihir Wizengamot nanti.
Sesampainya di restoran Italia yang lagi-lagi dimiliki keluarga Zabini, aku segera diantar ke ruang makan yang terpisah dan privat. Di sana, Zabini sudah menantiku. Seperti biasa tampil menawan dengan balutan jas mahal berpotongan elegan.
Waktu yang bergulir tampaknya mengubah perangai jelek Zabini. Dia yang semasa remaja sangat alergi bersenggolan denganku kini berubah ramah dan tak segan-segan menggodaku dengan senyum hangat maupun omongan nakalnya. Terus terang, sebagai penyihir, pesona Zabini sangat memikat. Tak heran jika banyak wanita jumpalitan mengejarnya.
Selama menyantap makan siang, aku dan Zabini membahas aspek hukum kebangkitan kembali Cedric secara mendalam. Obrolan kami makin asyik dan panjang sebab aku yang bertugas di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir bisa mengimbangi pengetahuan luas Zabini mengenai hukum-hukum internasional.
Serunya perbincangan itu membuatku lupa waktu. Sadar-sadar hari sudah menjelang sore. Untungnya, aku tak dianggap bolos kerja karena sudah meminta izin cuti ke Percy. Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku buru-buru pulang ke apartemen.
Setibanya di apartemen, aku terkejut melihat Cedric tengah berleha-leha menonton televisi. Aku kira Cedric tak datang ke sini sebab aku sudah mengatakan bahwa kegiatanku hari ini sangat padat.
"Aku tak bisa istirahat di rumah sebab wartawan dan juru kamera berkeliaran di sekitar kompleks perumahan. Lagipula, aku kangen. Aku ingin bertemu denganmu," ujar Cedric kalem, binar nakal menggoda berdansa di iris abu-abu peraknya.
"Oh, untung saja aku menolak ajakan Zabini untuk makan malam bersamanya," timpalku sambil lalu, bersyukur menepis tawaran yang jika kuterima bisa membuat Cedric sendirian menantiku.
"Makan malam dengan Zabini?" Cedric bertanya dengan nada menyelidik. Mematikan televisi dengan hentakan kasar, Cedric menangkap dan membaringkanku di sampingnya.
"Berani betul Zabini merayumu. Sudah bosan hidup rupanya si brengsek itu."
Merapikan alis hitam Cedric dengan ujung jariku, aku tersenyum menggoda.
"Cemburu, Cedric?"
Membawa ujung jariku ke bibirnya untuk dikecup, Cedric menancapkan pandangan di mataku. "Sangat cemburu, Sayangku. Saat ini saja aku ingin membunuhnya secara perlahan."
Mengalungkan lengan di lehernya, aku tergelak keras. Bahagia sekali rasanya mengetahui Cedric cemburu pada Zabini. Emosi yang membuktikan kalau aku sangat berharga baginya.
"Tak perlu cemas, Cedric. Zabini tak mungkin naksir padaku. Dia kan pacaran dengan Draco Malfoy."
Meski tak mengunyah apapun, Cedric tersedak mendengar ucapanku itu. Masih berurai tawa, aku menepuk bahu dan leher Cedric, membantunya untuk bernapas normal kembali.
"Aku tak akan pernah berpaling ke pria lain, Cedric. Aku berjanji akan mewujudkan sosok lukisan itu dalam bentuk sesungguhnya," ujarku lugas, menunjuk perkamen lukisan berjudul Aku dan Keluargaku Tercinta yang kubingkai dan kupajang di dinding ruang tamu.
Menatap lukisan itu dengan sorot kerinduan, Cedric berbisik lirih. "Itu memang mimpi terbesarku, Hermione. Aku membuatnya sehari sebelum final Turnamen Triwizard. Impian yang kutuang dalam selembar perkamen."
Mengunci pandanganku dengannya, aku menautkan jariku dengan jemarinya. Tersenyum perlahan, aku dengan mantap mengucapkan janji yang pasti akan kurealisasikan sepenuh hati.
"Suatu saat nanti, kita bisa mewujudkannya, Cedric. Lukisan itu pasti akan menjadi nyata..."
"Ini pasti tidak nyata. Katakan bahwa ini halusinasi semata."
Aku menutup mulut menahan tawa melihat ekspresi kejang-kejang Ron. Roman muka mengenaskan yang hanya bisa diperlihatkan orang yang kebanyakan menelan U-Noo-Poo, obat pencahar kreasi si kembar Weasley.
"Tutup mulutmu Weasley, sebelum laler hijau nangkring di dalamnya."
Merapikan rambut bob runcing dengan sebelah tangan, Pansy Parkinson memulas bibir ranumnya dengan lipstik merah cabai. Meski dibalut jubah Healer khusus hari Senin yang seputih bidadari, penampilan kinclong Pansy lebih identik dengan malaikat kematian. Atau dukun santet seperti kisikan Ron.
Wajah Pansy yang dulu lebar dan jelek seperti anjing pesek kini berubah tirus nan mulus. Dilengkapi pemulas mata warna hitam, bibir merah menyala dan sepatu hak runcing membara, penampilan Pansy hampir tak bisa dibedakan dengan drakula penghisap darah.
"Blimey, apa pasiennya tidak takut dengannya? Bagaimana kalau dia menyuntik mati mereka? Bukannya dulu dia lebih goblok dari Troll yang gegar otak?" Ron berbisik di kupingku, tampak tak bisa menerima fakta bahwa musuh bebuyutannya di Hogwarts bekerja sebagai tenaga penyembuh.
"Tampangnya bukan apa-apa jika dibandingkan wujud korban-korbannya, Ron," ucap Lavender enteng, membenahi lensa kontak yang hampir copot.
"Banyak di antara pasiennya yang kepalanya tumbuh jadi empat. Ada juga yang mukanya bopeng-bopeng terkena penyakit kulit Spattergroit."
Penjelasan Lavender tentang kondisi nestapa pasien Pansy terputus ketika panitera pengadilan memanggil bekas pemimpin geng cewek Slytherin tersebut untuk memberi kesaksian pertama. Melenggang seangkuh Ratu Sejagat, Pansy berderap memasuki ruang pengadilan.
"Merlin, dia sombong sekali. Semoga saja ia bersikap adil dan tak memberatkan Cedric Diggory," keluh Harry, melipat koran Daily Prophet yang sedari tadi dibacanya.
"Tenang, Harry. Dia sudah disumpah untuk berkata jujur. Yah, asal tidak ada sarang Wrackspurt saja di otaknya," suara melamun Luna terdengar mengalun di ruang berdinding batu hitam kasar. Mengisap-isap sate bawang bombai, Luna memandangi koridor pengadilan dengan kacamata burung hantu super-besar.
Di kondisi normal, semua perkataan Luna yang tak masuk di akal mungkin bisa membuatku tersenyum tapi sejak acara sidang dimulai, perutku bergolak tak karuan. Jantungku berdebar-debar menyakitkan memikirkan ketidakberdayaanku yang tak bisa mendampingi Cedric di saat ia diadili.
Berdasarkan perintah pengadilan, selain orangtua Cedric, pihak yang terlibat hubungan khusus dengannya dilarang menghadiri sidang. Termasuk aku tentunya, yang ramai diberitakan media dan khalayak ramai sebagai calon istri Cedric.
"Rileks, Hermione. Jika Pansy berulah, masih ada pengacara yang pintar bersilat lidah seperti Blaise Zabini. Kalau Zabini mati kutu, kau bisa mengandalkan kami untuk memberi kesaksian," ungkap Ron penuh wibawa.
Tersenyum kecil, aku kembali menundukkan wajah. Ron benar, kami masih punya Blaise Zabini. Zabini yang terobsesi memenangkan kasus ini untuk menaikkan pengaruh di kancah hukum internasional pasti bisa memberi jalan keluar terbaik untuk mencegah opsi pemusnahan Cedric dari muka bumi.
Di saat darurat, kesaksian dari dua Auror terbaik Inggris, Ron dan Harry pasti bisa membantu. Sebagai prajurit terlatih yang biasa membekuk penyihir hitam, Ron dan Harry berani menjamin bahwa tak ada secuil pun tanda-tanda sihir hitam di diri Cedric.
Seperti yang sudah diprediksi, persidangan berlangsung alot dan berjalan seharian penuh. Setelah Pansy selesai memberi kesaksian bahwa secara medis Cedric merupakan manusia tulen, bukan mayat hidup atau bahan eksperimen biologis menakutkan, Harry dan Ron diajak masuk untuk membeberkan testimoni mereka.
Zabini si pengacara kami juga tak kalah brilian. Ketika salah satu juri menunjuk kasus pemilik Batu Kebangkitan, Cadmus Peverell, anak kedua keluarga Peverell yang gagal menghidupkan gadis pujaannya, Zabini menangkis dengan dokumen investigasinya.
Berdasarkan literatur tua, Batu Kebangkitan tak bisa menghidupkan kembali gadis tersebut karena si gadis yang meninggal akibat sakit keras itu tak berniat hidup kembali. Dengan kata lain, roh si gadis sudah tak ada lagi di dunia ini. Berbeda dengan arwah Cedric yang memiliki keinginan tebal untuk hidup dan masih tertinggal di dunia.
Akhirnya, setelah menunggu lama dalam kondisi nyaris copot jantung, berita bahagia berhembus di kupingku. Juri Pengadilan Sihir Wizengamot memutuskan Cedric dan keluarganya tak bersalah. Kasus Cedric dianggap hanya terjadi sekali seumur hidup dalam perjalanan sejarah dunia sihir.
Selain itu, Batu Kebangkitan telah musnah tak berbekas, sehingga tak memungkinkan pihak tak bertanggung jawab untuk meniru langkah ayah Cedric dalam membangkitkan orang mati.
Kegembiraan kami makin sempurna setelah dukungan dari sejumlah masyarakat sihir mulai mengalir deras. Berkat kampanye yang dilakukan teman-teman Cedric di Hufflepuff, publik sihir mulai membuka mata.
Kematian Cedric merupakan salah satu tragedi terburuk dalam sejarah dunia sihir dan dengan bangkit kembali, Cedric diyakini membawa misi kebaikan bagi dunia sihir secara keseluruhan.
Setelah dinyatakan bebas dari tuduhan eksperimen gila, Cedric mulai membangun hidupnya kembali. Banyak tim Quidditch papan atas memintanya untuk bergabung dengan mereka. Namun, Cedric menolak peluang emas tersebut dengan alasan tak ingin jauh-jauh dariku. Atlet Quidditch memang punya jadwal sibuk serta harus berpisah dengan anak dan istri dalam jangka waktu lama.
Meski tak bermain Quidditch, Cedric tetap bisa menyalurkan minat pada olahraga tercintanya itu. Melalui tes seleksi ketat, Cedric berhasil masuk ke Departemen Permainan dan Olahraga Sihir. Bertugas khusus di divisi Markas Besar Liga Quidditch Inggris dan Irlandia.
Setahun setelah bekerja, Cedric melunasi janjinya. Ia mengajakku naik ke pelaminan dalam upacara sakral yang dihadiri keluarga, handai taulan, teman dan orang-orang terdekat kami. Akhirnya, satu langkah dalam mewujudkan lukisan Aku dan Keluargaku Tercinta ke bentuk nyata berhasil kami lalui...
Menyisiri rambut cokelat keperakan dengan sisir bergagang emas, aku memandangi lukisan perkamen berjudul Aku dan Keluargaku Tercinta yang terpasang rapi di dinding kamar. Senyumanku makin mengembang sewaktu mengamati gambar yang bergerak-gerak dinamis.
Lukisan karya Cedric yang bisa diubah ulang itu telah mengalami banyak perombakan. Jika di masa awal pernikahan masih dalam bentuk gambar yang sama, kini lukisan itu berganti rupa. Bertambah banyak dengan kehadiran anak dan cucu-cucu tercinta kami.
Suara langkah yang sangat familier karena selalu kunikmati selama tiga puluh lima tahun terakhir ini terdengar memasuki kamar tidur. Sesaat kemudian, harum tubuh khas Cedric yang sangat menenangkan meresap masuk ke lubang hidungku. Masih memandang lukisan, aku terkikik ketika lengan Cedric melingkar erat di pinggangku yang harus aku akui tidak sekencang dulu.
"Sayang, ayo kita segera turun. Kita sudah ditunggu di ruang keluarga."
Membalikkan tubuh, aku mendongak memandang wajah Cedric yang masih tetap menawan meski sudah memasuki usia senja. Garis kerut halus menghiasi sudut matanya, bukti nyata bahwa ia sering tertawa gembira.
Mendekapku erat, Cedric menciumi puncak kepalaku. Perlakuannya kepadaku masih mesra dan hangat membara seperti pengantin baru. Menangkup wajahku yang mulai mengendur, Cedric menatapku seolah-olah aku merupakan harta karun paling berharga di dalam hidupnya. Melumat bibirku dengan gairah dan antusiasme sama seperti masa-masa bulan madu kami, Cedric membisikkan kalimat cintanya padaku.
"Aku mencintaimu, Hermione. Selalu dan untuk selamanya."
Menggumamkan kalimat serupa, aku mencium bibir suamiku yang sudah mendampingiku selama lebih dari tiga dekade. Sambil tersenyum dan berpegangan tangan, aku dan Cedric melangkah menuju ruang keluarga.
Tempat di mana wujud nyata lukisan Aku dan Keluargaku Tercinta berada...
TAMAT
