Sudah dua tahun yang lalu semenjak gue mempublish fanfic yang terakhir. Wow, banyak sekali reviewnya, gue ucapkan banyak terimakasih. Maaf sekali gue nggak bisa membalasnya satu persatu, namun yang perlu kamu ketahui gue sangat-sangat-sangat menghargainya. Review selalu membuat gue termotivasi.

Kemudian maaf juga jika fanfic ini mengecewakan kalian yang menginginkan fanfic Dramione, bukannya Harry Potter saga. Fanfic ini sebenarnya sudah gue tulis sepanjang 9 bab saat hiatus menulis Dua Sisi Bab 9 dan saat JKR mempublish Harry Potter 5: The Order of Phoenix. Niatnya dulu gue menyelesaikan ini sebelum JKR menerbitkan Harry Potter ke-6. Sayang sekali gue terlambat, jadi fanfic ini pun kepending beberapa tahun. Sebenarnya fanfic ini diniatkan bercabangan dengan Dua Sisi, hanya saja kejadian-kejadian di DS kebanyakan 'rahasia' Draco dan Hermione, sehingga kisah mereka tidak terdeteksi di fanfic ini.

So begitulah... ini fanfic gue yang ke-5, Harry Potter dan Sosok Masa Lalu. Gue mengambil setting Harry Potter tahun ke-6. Tahun ke-1-5 tetap mengikuti plot JKR, tahun ke-6 murni dengan plot yang gue kembangkan sendiri.


Disclaimer: Harrypotterverse bukan milik saya. Saya tidak pernah berniat mengambil keuntungan dari tulisan ini.


1

Aradia

Beratus tahun yang lalu di daerah salah satu negara tepi laut daerah Mideterania, ketika pemerintah masih di bawah naungan sistem agama yang ketat, ketika sihir hal yang tabu, sekelompok cendikiawan mendirikan sebuah bangunan kecil di sebuah lembah. Terpencil. Misterius. Dikelilingi hutan, bukit dan pegunungan. Mereka menyebarkan ilmu dan mendidik tunas-tunas para penyihir muda yang bersemangat. Perlahan tapi pasti, jumlah tunas itu bertambah. Beberapa murid akhirnya bertambah menjadi belasan. Kemudian belasan menjadi puluhan. Akhirnya kini mencapai tiga ratus orang.

Jangan bandingkan dengan Hogwarts atau Durmstrang, sekolah kecil itu bahkan tidak terlalu terkenal di dataran Eropa. Bangunannya bukanlah puri atau benteng yang megah, melainkan hanya setumpukan batu-batu berwarna putih kusam bergaya Roman sederhana. Pilar-pilar dengan lengkung-lengkungnya menyangga langit-langitnya yang tinggi. Jendela-jendela Banyak bunga liar. Sulur-sulur tumbuhan dan lumut pun dibiarkan merambat di setiap sisi bangunan. Kelembaban daerah itu memungkinkan segala tanaman tumbuh dan bergerak sebebas jiwa mereka yang tinggal di dalamnya, yang terus hangat bahkan dalam musim dingin yang terdingin sekali pun.

Mereka menyebutnya Sekolah Sihir Aradia.

Namun, malam itu tidak ada kehangatan dan sinergi yang dibicarakan sebelumnya. Hanya pada malam itu…

Hanya pada saat itu.

Sesuatu yang ganjil dan mengerikan menyusup dan menyerang ketika semua orang merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sesuatu yang jahat dan tak pernah terpikirkan bagi siapa pun.

Tak ada sinar cahaya yang keluar dari jendela dan celah pintu. Seseorang—atau segerombolan orang—memastikan semua sumber cahaya dipadamkan untuk membatasi ruang gerak penghuninya. Sulur-sulur dan cahaya bulan membuat bangunan itu tampak dingin dan senyap. Dan tampak mengerikan. Suara yang terus terdengar hanya suara burung hantu dan suara jangkrik menderik. Namun, pada beberapa saat yang lalu tak hanya itu.

Teriakan. Tangisan. Jeritan.

Di suatu tempat tak jauh dari situ, di antara pepohonan yang berdiri berdekatan, dua anak perempuan terus berlari di antara tarikan napas yang memburu.

"…hiks hiks… ki-kita harus kembali…," tangis seorang gadis dalam sebuah bahasa asing, menyeka airmata yang menggenang di kelopak matanya.

"Aku tak mau," bisik tertahan gadis satunya yang berkuncir kuda tanpa berhenti berlari. "Kita bisa mati!"

"Tapi— kakakku- hiks…," ia makin terisak, "…masih di sana…"

Mereka berlari menembus semak belukar di tengah malam yang sangat larut meninggalkan bangunan itu semakin menjauh. Duri-duri menggores kulit mereka dan merobek piyama. Angin malam terasa dingin menusuk tulang. Tak ada waktu untuk mencari jaket ataupun jubah karena waktu yang sekejap hanya cukup melarikan diri dan mencari tongkat sihir di antara kepanikan dan kamar yang gelap. Namun, kini tongkat pun terasa tidak berguna, tidak ada yang pernah mempersiapkan murid untuk menghadapi situasi semacam ini.

"Mi raccomando…" kata si gadis yang terisak. Napas tak beraturan di sela-sela langkah berlari yang tak tentu arah, "…kita harus kembali…"

"Kakakmu akan baik-baik saja!"

Isakan itu semakin menjadi-jadi. "Bagaimana- hiks- kau bisa yakin…"

"Diam, Stupido! Aku tidak bisa berpikir!"

Memang pasti tak ada yang bisa dipikirkan dalam situasi kalut semacam itu. Kaki pun bergerak dengan keinginannya sendiri menebus semak di tengah kegelapan malam. Suara terbasan hutan terus terdengar; entah burung hantu yang menembus kegelapan, entah binatang malam yang bangun dari tidur siang, atau entah seseorang lain… jawabannya pun muncul balik semak.

Bruk!

Tidak ada yang bisa mengantisipasi ketika dua sosok manusia muncul dari baliknya. Mereka bertabrakan, jatuh terjerembab di atas tanah. Dengan kesigapan yang tersisa dan degup jantung kian bertambah kencang, mereka bergegas berdiri, mengacungkan tongkat sihir defensif.

"Patrizio!" seru gadis yang tadi menangis setengah putus asa, beranjak mencengkeram lengan salah satu anak laki-laki. "Kau- kau lihat kakakku?"

"Demi Yupiter, kalian membuatku kaget setengah mati," desisnya, ia menurunkan tongkatnya. "Hanya kalian? Di mana yang lain?"

"Aku tak tahu…," kata si gadis berkuncir kuda di antara kekalutannya, "Hanya beberapa yang kulihat berhasil keluar tadi…"

"Kau lihat kakakku?"

"Siapa orang-orang itu? Kenapa mereka menyerang sekolah kita?"

"Pasti kelompok pemberontak," tanya anak laki-laki itu parau. "Tapi, aku tidak mengerti— ada beberapa penyihir tampaknya Inglese…"

"Orang Inggris? Apa yang mereka inginkan?" tukasnya berang.

"Entahlah, tapi yang jelas mereka telah membunuh Signore Pugliese. Aku melihat mereka membunuhnya di tangga," katanya kalut, "lalu aku lari…"

"Kau lihat kakakku!?" tanyanya lagi semakin mendesak.

"Scusa," anak laki-laki itu menggelengkan kepala, "saat itu terlalu banyak orang berlarian…"

Gadis itu terisak-isak lagi.

Si gadis berkuncir kuda mengusap punggungnya, lalu menatap ujung bangunan yang masih terlihat dari atas pepohonan. Siluet Aradia tidak pernah terlihat mengerikan seperti itu. Kehangatan dan kenyamanannya hilang sudah.

"Demi Yupiter," desisnya parau, "selamatkanlah yang masih di dalam…"

Yang masih di dalam…


Tiga orang anak berjongkok dalam lemari perpustakaan. Dua bersaudara dan satu orang sahabat baik. Sudah beberapa jam lamanya mereka berada dalam kegelapan dan kelembaban di antara bau apek perkamen tua dan debu. Tak ada cahaya yang dapat masuk dari sela pintu lemari. Tak ada suara apapun di sana selain keheningan yang mencekam dan suara napas yang berat dan degup jantung mereka sendiri.

Ia memejamkan mata berharap segalanya hanya mimpi. Seseorang akan membangunkannya—mungkin Daniele, teman sekamarnya—menawarkan segelas air lalu mengoloknya karena bermimpi buruk kayak bayi. Namun, cengkeraman kakak laki-laki pada bahunya, menyadarkannya bahwa ini nyata. Takkan ada Daniele yang akan membangunkan. Ia tahu seumur hidup Daniele memang takkan membangunkannya lagi karena ia telah melihatnya tergeletak kaku beberapa waktu yang lalu. Tak ada luka, hanya kengerian terpancar dari wajahnya. Avada kedavra.

Mereka bajingan… Daniele bahkan tidak berhubungan dengan semua ini…

Kemarin pagi ia masih menghadiri kelas Ramuan yang dibencinya. Kemarin siang ia masih bisa tertidur di bawah pohon favoritnya. Dan kemarin malam ia masih makan malam di Aula Besar bersama-sama, melahap panini di dapur. Dan sejam setelah waktu tidur, segalanya meredup. Kemudian teriakan terdengar. Beberapa tubuh tergeletak tak bernyawa. Pintu-pintu terkunci secara sihir. Banyak yang berhasil keluar bangunan, beberapa terjebak di dalam, dan kini ia meringkuk di tempat kecil di sudut lemari terselimuti kegelapan.

"Sepi," bisik kakaknya sepelan mungkin. "Sepertinya mereka telah berpindah tempat."

"Seharusnya guardia sudah datang," bisik si adik.

"Mereka tidak akan datang," tukas seorang pemuda di sebelahnya. Sahabat kakaknya.

"Mereka akan datang, Luca," kata kakaknya.

"Tapi, sudah terlalu lama."

"Mereka akan datang," balasnya. "Kita akan baik-baik saja," mengusap bahu si adik.

Ia tahu kakaknya hanya berusaha menenangkannya. Bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa semua ini bukanlah kesalahannya bahwa para Pelahap Maut yang masih menyebar di setiap sudut sekolah ini untuk mencari mereka. Mencari dirinya.

Jam terus berdetik. Mereka telah menunggu satu-dua jam dalam kegelapan. Ia tidak pernah merasakan waktu bergerak selama ini. Satu detik terasa berlangsung selamanya. Entah berapa lama lagi mereka harus bertahan dalam kekalutan ini.

"Pasti ada jalan keluar…," gumam Luca pelan.

"Melalui koridor bawah tanah Kelas Sejarah, kita bisa pergi ke Ruang Burung Hantu…?" bisik si adik.

"Kau gila, Luca. Terlalu jauh."

"Tapi di sana pasti lebih aman— semua hantunya memang tidak suka manusia, tapi beberapa mengenal kita," katanya.

"Kita mungkin akan terpergok sebelum mencapai tangga. Mereka di mana-mana!" dengan nada tertahan.

"Tapi, aku akan gila jika aku terus di sini!"

"Tapi masih bahaya di luar sana."

"Di sini juga, Marcus!"

"Bantuan akan segera datang!"

"Tapi kau tak bisa menunggu sampai mereka menggeledah semuanya—"

"Guardia akan datang!"

"Kau juga mengatakan itu sejam yang lalu!"

Berisik! Berisik kalian berdua!

Hal terakhir yang ingin didengarnya saat ini hanyalah argumen yang tidak berarti. Tapi, siapalah dirinya yang berhak menghentikannya. Ia hanya dipandang adik kecil di antara mereka bedua. Dan siapa pula dirinya… ia hanyalah penyebab segala kekacauan ini. Ia tahu ini semua salahnya. Ia tahu alasan orang-orang ini datang dan mencari dirinya. Dan ingin membunuhnya.

Air mata menggenang di pelupuk mata. Buru-buru ia mengelapnya sebelum sang kakak melihat. Mendadak ia merindukan segalanya.

Rumah…

"Aku akan pergi. Dengan atau tanpa kalian."

"Jangan bodoh…," dengus Marcus.

"Dengan atau tanpa kalian," ulangnya.

"Bodoh sekali…"

Luca tidak membalasnya, hanya bergerak menuju pintu lemari. Ia mengintip terlebih dahulu untuk memastikan keadaan di ruang perpustakaan benar-benar aman. Dibukanya pintu lemari secara perlahan. Secercah sinar suram keperakan menerobos masuk ke dalam lemari yang cukup besar.

"Luca, kau tidak harus pergi," bisiknya berharap pemuda itu berubah pikiran.

"Aku tak mau mati di sini."

Hati anak itu mencelos. Tidak akan ada yang mati lagi, batinnya. Rasanya ia ingin meneriakkan kata-kata itu di depan hidung Luca bodoh itu. Takkan ada yang mati lagi. Takkan ada.

Ia menatap dua kakak beradik itu bergantian. "Jaga diri kalian."

Luca mengendap-endap lalu menghilang dari jarak pandang ketika berbelok ke balik rak. Kegelapan kembali menyelimuti mereka ketika Marcus lemari itu ditutup lagi. Tak ada suara apapun selama beberapa saat. Kemudian terdengar langkah-langkah berat di atas lantai kayu yang berderit. Anak itu memejamkan matanya erat-erat. Langkah-langkah berat bergantian datang dan pergi tak jauh dari tempat mereka bersembunyi. Detik-detik kian berlalu. Detik telah berganti menit. Dan menit terus berjalan. Keheningan dan suara mencurigakan bergantian datang.

Waktu dapat membuat mereka gila.

"Ya Tuhan, mana guru-guru…" gumam Marcus parau.

Sang adik menatap kakaknya miris. Jika mereka masih tersisa, anak itu membatin. Namun ia tak akan mengatakan apapun untuk menghancurkan secercah harapan tersisa yang kian menipis.

"Mungkin Luca benar. Mungkin kita harus pergi dari sini…," bisik adiknya.

"Kau yakin…?" tanyanya.

Anak itu bimbang. Dan kakaknya masih gelisah mengawasi keadaan di luar melalui celah kecil dari pintu lemari yang tak tertutup rapat, mulai bimbang dengan pendirian bahwa mungkin lemari pengap ini tempat teraman di seluruh pelosok Aradia. Sejam atau dua jam lagi bantuan pasti akan datang. Ada sekian banyak yang pasti berhasil meloloskan diri, pasti sudah ada yang bisa menghubungi dunia luar.

Kemudian tiba-tiba terdengar suara jeritan jauh di suatu tempat.

Mereka berdua tersentak kaget dan langsung terpaku dalam diam. Mereka menahan napas penuh ketegangan. Apa itu? Rapalan mantra? Atau pekikan? Atau teriak kesakitan?

"Apa itu?"

Marcus tak menjawab.

"Mungkin kita memang harus pergi dari sini…"

Sang kakak menatapnya dengan ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Kita bisa… ambil sapu terbang dari gudang sapu lewat tangga dapur. Lalu kita pergi keluar melalui lubang perapian. Perapian di sana cukup lebar untuk kita lewati."

"Oke…"

Napasnya berat penuh ketegangan. Mereka menyiagakan tongkat sihir. Marcus membuka lemari sedikit untuk mengintip, lalu segaris cahaya keperakan jatuh ke atas wajahnya. Marcus membuka pintu lebih lebar dan menyuruh adiknya mengikuti. Mereka mengendap-endap di balik rak dengan tubuh serendah mungkin. Sang kakak mengintip di sela-sela buku untuk memastikan tak ada Pelahap Maut di baliknya—aman—lalu menyebrang ke lorong satunya. Marcus mengintip ke sela-sela rak lagi, segera melangkah lagi. Lalu―

Tap… Tap…

Anak itu mendengar suara langkah di belakangnya, ia segera menarik ujung jubah kakaknya. Marcus menghentikan langkahnya untuk menoleh. Anak itu menghentakkan dagunya ke belakang tanpa berkata apa pun, menunjukkan sumber suara. Cahaya bulan keperakan dari jendela yang terkunci sihir, menimbulkan bayangan orang yang bergerak menuju deretan lorong kedua bersaudara itu berada. Samar-samar terdengar orang yang sedang berbicara.

"…tangkap hidup atau mati. Lebih mudah jika mati, tentu saja," bisik suara serak seorang laki-laki dewasa dalam bahasa Inggris.

Kedua anak itu menahan napas. Lalu si adik merasakan sesuatu yang perih di siku kanannya. Ternyata ia terluka. Mungkin saat terjerembab di kamarnya, atau menggores paku entah di mana. Tapi, saat ini luka tidak penting.

"Bicarra lebih lambat, plheasse," gerutu laki-laki lain dalam bahasa negara itu.

"Ah, I see. Makanya daya pikir orang-orang kalian juga lambat," tukas orang Inggris itu kemudian. "Geez, mengapa orang di negara ini sungguh tak berguna? Hanya membunuh satu anak saja tak becus. Satu anak!"

Marcus menggenggam tangannya semakin erat.

"Hati-hati jika bicara," deliknya. "Mengapa orang itu ingin sekali membunuhnya sampai harus mengejarnya jauh dari kemari?"

"'Orang itu?'" dengus si orang Inggris. "Kau harus memanggilnya Lord Voldemort, Bego."

" Lor- chi?"

"Jika cecunguk-cecunguk pembuat masalah sepertimu tak ikut campur, pasti kami sudah berhasil menghabisi anak itu sejak tadi," gerutunya. "Jika Rossi tua itu berhasil membunuhnya dengan cepat, pasti sekarang aku sudah dapat kembali ke London sambil minum Wiski Api. Bagaimana bisa ia salah bunuh orang dan malah membangunkan seisi sekolah?" gerutuan laki-laki itu kian menjadi. "Berharaplah anak sialan itu belum keluar dari sini. Atau jika tidak, Lord Voldemort pasti akan membatalkan perjanjian di antara Pemberotak dan Pelahap Maut…"

"Bicaaralah Ingliese terrus, aku tetap saja takkan mengerti."

"Cih, kurasanya ini terakhir kalinya M'Lord meminta bantuan para cecurut dari tempat terkutuk dengan bahasa jembalang busuk ini lagi."

"Tsk, enyahlah, idiota."

"Idiota? Kau panggil aku idiot?" seru si lelaki Inggris berang. "Panggil aku idiot lagi aku colokkan tongkat sihirku ke hidungmu."

Lawan bicaranya mendengus mendesiskan sumpah serapah dalam bahasa yang tak dimengerti laki-laki Inggris itu.

Marcus menarik tangan adiknya sambil bergerak perlahan tanpa suara. Mereka mengendap-endap mundur di antara rak yang tinggi-tinggi, ke arah yang berlawanan dengan suara-suara itu. Mereka bergegas ke balik rak yang lain, tepat sebelum kedua Pelahap Maut itu melewati lorong di antara rak tempat mereka berada.

Sementara itu, kedua bersaudara mengendap-endap secepat mungkin ke sisi dinding pintu perpustakaan berada. Mereka memastikan kedua pelahap maut berbelok masuk ke deretan rak hingga tak terlihat dari pintu masuk. Menunggu beberapa saat.

"Sekarang," bisik Marcus.

Mereka segera menyusup keluar dari perpustakaan. Koridor terlihat gelap, dingin dan menyeramkan. Jendela-jendela besar memanjang di dinding sebelah kiri, membiarkan cahaya bulan menerangi jalan mereka. Beningnya kaca membuat mereka tergoda untuk memecahkannya, namun mereka tahu itu akan sia-sia. Serangan ini sudah begitu terencana. Semua akses keluar yang padat seperti pintu keluar dan jendela sudah diblokir secara sihir. Semua yang terjebak seperti Pacman menyedihkan dalam labirin.

Anak itu mengendap-endap sembari berusaha mengatur napas. Lelahnya seperti lari maraton dua puluh kali mengelilingi Aradia. Ia pun melempar pandangan ke luar jendela—menyesali kebebasan yang tidak dimilikinya saat ini. Namun, ia tak melambatkan langkah kakinya. Sekali lengah, kau mati.

Mereka berbelok di persimpangan menuju koridor yang lebih gelap karena tidak ada jendela membiarkan cahaya bulan masuk menerangi lukisan tak bergerak di dinding dan langit-langit. Tempat ini seperti rumah hantu.

Dan tiba-tiba…

Bruk!

Kakaknya tersandung sesuatu.

Ada sesuatu di dekat kaki kakaknya. Sesosok tubuh terbaring kaku di lantai. Tak terlihat adanya luka, namun wajah mayat itu menyiratkan kengerian yang amat sangat seolah ia mati karena ketakutan. Anak itu tahu artinya. Avada Kedavra. Lagi. Apalagi ia mengenal wajah itu karena mereka baru melihatnya beberapa puluh menit yang lalu.

Dia Luca.

Mendadak dunia terasa bergoyang dan keseimbangannya goyah. Ia merasa mual seketika. Ia gemetar hebat, berpegangan pada tembok di sisi tubuhnya untuk menstabilkan diri. Jantungnya berdegup kencang dan pesimisme segera meracuninya. Seketika itu ia merasa rencana ini gila. Seharusnya mereka tetap di dalam lemari.

"Luca…," desis Marcus sama terkejutnya. "Brengsek…"

"Ia mati?" ia menelan ludah.

Seandainya- seandainya aku tidak mengusulkan apa-apa.

Mendadak ia merasa orang yang paling tidak berguna di seluruh dunia.

"Kita harus pergi."

Seketika itu detik langsung terasa bergerak begitu cepat. Jantungnya pun serasa berhenti berdetak ketika mereka menoleh untuk bergegas pergi, sepuluh meter di depan mereka seorang Pelahap Maut muncul sembari bertubuh besar menyulut pipa rokok. Perlu beberapa sepersekian detik untuk lelaki itu menyadari keberadaan kakak beradik itu. Sepersekian milisekon kemudian mereka terpaku dalam kengerian―

—dan kemudian…

"ITU MEREKA!"

Marcus menarik tangan adiknya untuk berbalik ke arah. Gawat, dengan suara sekeras itu selusin Pelahap Maut yang menyebar di sekitar sana pasti bisa mendengarnya.

Lalu semua kejadian pun langsung terjadi begitu cepat. Baru beberapa langkah lalu Marcus terjerembab karena sesuatu. Pelahap Maut itu menggumamkan kutukan pengikat kaki dan membuat tongkat sihirnya terlepas dari genggaman.

"Marcus!"

"Kau tidak akan bisa ke mana-mana lagi, Nak!" bersiap mengayunkan tongkat sihirnya lagi.

"Expelliarmus!"

Cahaya menyilaukan menyambar dan tongkat sihir si Pelahap Maut itu terbang meluncur dari tangannya. Lelaki itu menoleh menatapnya, mata berkilat dan tampak murka sekarang. "Kau takkan lolos lagi," geramnya.

Ia baru akan menggumamkan mantra lagi, namun laki-laki itu menepis tongkat sihirnya hingga terlepas jatuh. Satu-satunya senjata hilang sudah. Laki-laki itu semakin mendekat—matanya seperti ingin memakannya bulat-bulat. Sial- secara refleks ia memanfaatkan senjatanya yang terakhir—kepalan tangan—lalu menghantamkannya ke wajah laki-laki itu sekuat tenaga.

Dug!

Rasa sakit segera menjalar di kepalan tangannya. Buku-buku jari seakan-akan retak. Namun, yang erlihat retak betulan jelas hidung si Pelahap Maut. Darah mengalir bawah hidungnya dan ia mengaduh dengan murka.

Tapi, usahanya sia-sia. Laki-laki itu tidak roboh.

Pandangan matanya semakin bengis, ia menghampiri dengan penuh amarah. Anak itu mundur selangkah ketakutan. Kemudian mundur selangkah lagi dan mendapati dirinya telah terpojok di dinding.

"Ke sini kau, Keparat," geramnya lalu mencengkeram jubah anak itu.

"Stupefy!"

Terdengar seruan Marcus yang berhasil meraih tongkat sihir di belakangnya. Laki-laki itu terangkat, terbang terlempar beberapa meter di belakangnya.

"Ayo," napas tersengal.

Tanpa pikir panjang adiknya menyusul menjajari langkah kakaknya. Mereka berbalik ke arah koridor lain.

"Cepat datang kemari, Goblok! Anak keparat itu kabur!" terdengar teriakan di belakang.

Mereka berlari secepat mungkin. Ke mana pun. Menentukan arah sudah tak penting lagi ketika ada selusin para Pemberontak dan Pelahap Maut mengejar mereka ("Jangan menoleh ke belakang! Lari saja!"). Para bajingan itu sudah tahu di mana mereka, tak ada tempat untuk sembunyi lagi. Mereka harus terus berlari.

Derap langkah mereka bergema di lantai koridor. Suara derap pun bertambah di belakangnya. Ada dua orang? Tiga orang? Tak ada waktu untuk menoleh, tidak boleh sedetik pun untuk menoleh.

Tap… Tap… Tap…

Udara terasa tersekat di tenggorokan. Adrenalin beserta ketakutan memacu deras. Nafas mulai tak beraturan. Ketakutan, putus asa dan rasa lelah menyerbu tanpa ampun.

"Ke aula, turun lewat tangga utama," instruksi Marcus.

Mereka berbelok di persimpangan koridor. Koridor semakin gelap. Adiknya menjulurkan tongkat lalu mendesis dengan susah payah di sela-sela napasnya yang terengah-engah, "Lumos."

Tap… Tap… Tap…

Mereka tiba di persimpangan dengan Tangga Utama. Derap kaki bersahutan di belakang mereka. Teriakan penuh amarah saling bersahutan.

"Tangkap mereka!"

"Mau ke mana, tikus kecil?!"

"Kalian akan mati!"

"Takkan bisa lolos lagi!"

Hingga kemudian salah seorang dari mereka berteriak, "Rippolus!"

Sang adik terjerembab oleh sesuatu yang tak tampak. Langkah-langkah kaki di belakangnya semakin mendekat. Marcus segera menggumamkan kontra kutukannya lalu adiknya membantu untuk berdiri.

Anak itu berusaha berdiri dengan susah payah, namun tiba-tiba terdengar suara rapalan dengan lantang di belakangnya―

"Avada Kedavra!"

Ja… jangan

Marcus mendorongnya ke tangga. Anak itu terpelanting jatuh ke bawah di atas tangga yang padat. Kepalanya membentur lantai paling bawah. Segalanya segera terasa semarak bagaikan pesta Tahun Baru. Ia merintih, ingin berdiri dengan tenaganya yang tersisa, namun setiap sel tubuhnya seakan memprotes meneriakkan rasa sakit.

Beberapa detik yang mengerikan itu ia mendengar kata-kata itu. Avada Kedavra. Mantra laknat itu ditujukan untuk dirinya, namun ia tidak terkena. Jika bukan ia yang terkena berarti… yang terkena berarti…

Hatinya mencelos. Ia merasa separuh jiwanya menghilang—

Anak itu melihat ke jauh di atas tangga. Menatap tanpa bisa bergerak. Sosok itu terjatuh perlahan bagaikan slowmotion untuk memastikan kengerian itu terpatri benar di ingatan untuk selamanya.

Tidak.

"Marcus…," bisiknya lirih nyaris tanpa suara.

Segalanya berakhir ketika ia merasa jatuh. Warna-warna tampak memudar dan dunia mendadak kelabu, terselimuti kegelapan ketika kelopak matanya perlahan terpejam.