2002

Dua orang anak kecil berlari bersama menyusuri pasir pantai dan tak ada niatan berhenti hingga mereka merasakan lelah pada kedua kaki masing – masing dan nafas yang mulai terengah – engah. Salah satu diantaranya, sosok anak laki – laki langsung memberikan pelukan pada sosok anak perempuan yang berambut panjang berwarna hitam.

"Baekhee lelah.." anak perempuan itu mengeluh. "Ini melelahkan.." ia memperjelas lagi.

"Tapi ini menyenangkan!" yang laki – laki melayangkan protest. "Aku kan selalu menemanimu, dan juga menjagamu.. meskipun Baekhee merasa lelah, setidaknya ada aku yang membuatmu semakin semangat, betul 'kan?"
Jawaban yang didapat adalah gelengan kepala dan bibir perempuan itu yang mengerucut manis.

"Ani.." dan anak perempuan itu kembali berlari kencang menjauh dari sang anak laki – laki dengan menyempatkan diri menjulurkan lidah pada sosok itu.

"Yaaaa!"
Mereka berdua kembali saling mengejar satu sama lain, hingga kedua badan mereka kini bergabung menyambut ombak pantai bersama – sama hingga seluruh badan mereka tenggelam bermain dengan air pantai disana.

"Baekhyun! Chanyeol!" panggilan dari sosok kedua Ibu mereka adalah pertanda waktu bermain telah habis.

"Oh astaga mereka berdua itu! Ya Park Chanyeol!" sang Ibu dari anak laki – laki yang bernama Park Chanyeol menghampiri anaknya yang tengah bergandengan tangan dengan sosok anak perempuan itu, Baekhyun.

"Ya! Kau mau membuat Baekhyun sakit hah?" satu pukulan pada pantat anak itu ia dapatkan dan cukup membuatnya meringis sakit tapi pada akhirnya ia masih menyempatkan tersenyum lebar kearah Baekhyun dan juga memberikan handuknya pada sosok anak perempuan itu.

"Baekhee tidak akan sakit, aku yang akan menjaganya."

"Um, Victoria Mama, Baekhee tidak akan sakit." Sosok yang dipanggil Victoria Mama hanya bisa menggelengkan kepala dan membantu Baekhyun mengeringkan badannya dengan handuk yang diberikan oleh anaknya.

"Baekhee tidak akan sakit, tapi mungkin Chanyeol yang akan sakit." Sosok Ibu lain menghampiri dan memberikan handuknya pada anak laki – laki disana yang tengah menggigil.

"MAMAAA!" Baekhyun memekik dan langsung memeluk sang mama.

"Kau basah sayang.."

"Mama, Baekhee tadi tenggelam.. tapi Chanyeollie langsung menggendong Baekhee." Anak itu menceritakan sepenggal kejadian pada acara bermainnya dan membuat salah satu Ibu disana kembali mendelik tajam pada sosok yang diceritakan oleh Baekhyun.

"Kita masuk kedalam dan Baekhee ceritakan lebih lengkap lagi otte?"
Baekhyun menganggukkan kepala dan meraih gandengan tangan sang Mama untuk ikut masuk kedalam, mengeringkan badan mereka dan juga membersihkan pasir – pasir dari badannya.

Sementara sang Ibu dan anak perempuan itu asyik saling berbicara ketika melangkah bersama, lain halnya dengan sosok anak laki- laki yang kini masih berdiri dengan badan yang diselimuti handuk merasakan hawa dingin dari angin pantai yang menerjang badannya.

"Park Chanyeol.."

"Aku tidak membuatnya tenggelam, Baekhyun hanya terlalu pendek jadi ia tidak bisa menjangkau pasir didasarnya.. dan.. dan aku langsung menarik dan menggendong badannya." anak itu dengan cepat menjelaskan secara rinci lalu setelahnya menunduk karena takut akan tatapan mata sang Ibu yang sangat mengintimidasi kearahnya.

"Mandi sekarang!" hanya satu perintah yang diucapkan oleh sang Ibu namun itu cukup berhasil membuat anaknya berlari cepat masuk kedalam rumah pantai yang tak jauh berada dari pesisir pantai itu.

Sang ibu bahkan bisa tersenyum bahagia melihat bagaimana anak laki – lakinya masih menyempatkan diri untuk menarik handuk pada Baekhyun yang masih berjalan bersama mamanya dan pada akhirnya teriakan melengking Baekhyun terdengar cukup keras.

2007

"Chanyeol juga akan pergi.."
Sosok yang dipanggil Chanyeol mengangguk lesu dan masih menunduk, terduduk pada bangku ayunan dan membiarkan dirinya terbawa gerakkan mengayun pelan.

"Kemana? Apa aku boleh ikut?"
Chanyeol menggeleng.

"Aku tidak bisa mengajakmu ketempat ini.. disana tidak aman dan juga mungkin akan berbahaya."

"O-oh."

Mereka berdua kembali terdiam duduk pada ayunan masing – masing.

"Mama pergi meninggalkan aku.. dan Chanyeol juga pergi.." lirih ucapan Baekhyun sangat jelas terdengar ada isakan tangis pada suaranya. "Kenapa semuanya meninggalkan aku.."

"Hey.." Chanyeol menggenggam bahu gadis itu dan memberikan usapan untuk sekedar menenangkan. "Aku tidak meninggalkanmu, aku hanya berada jauh darimu." Chanyeol memberikan pengertian lebih jelas dari apa yang ia maksudkan sebelumnya.

"Itu berarti kau meninggalkan aku.. kau pergi ke tempat dimana aku tidak bisa ikut, kau pergi jauh dariku, meninggalkan aku disini seorang diri."

Mereka saling menatap dalam diam, wajah salah satu diantaranya jelas terlihat penuh dengan aliran air mata sementara yang lainnya berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri tidak menangis hingga hanya memperlihatkan warna merah dari sekeliling bila matanya.

"Kapan Chanyeol akan kembali?"
Chanyeol mengalihkan pandangannya.

"Aku tidak tahu.." ia menjawab lesu. Tidak yakin akan jawaban apa yang bisa ia katakan pada sosok gadis mungil disampingnya.

"Kalau begitu.. Chanyeol harus memiliki ini." gadis itu turun dari ayunannya dan berdiri tepat dihadapan Chanyeol. "Mama memberikan ini padaku tepat sebelum.. " Ia melepas kalung pada lehernya, menahan kalimat lainnya untuk diucapkan. Kedua matanya terpejam, mengalirkan aliran air mata pada pipinya. "Aku ingin kau menyimpannya, dan kembalikan padaku ketika kau kembali kesini." Ia memakaikan kalung itu pada leher Chanyeol, mencium pipi laki – laki itu sebelum pada akhirnya ia berlari menjauh tak ingin lebih lama berada disana dan terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis lebih keras.

"Baekhyun!"

Teriakan Chanyeol bahkan tak diindahkan karena ia lebih terfokus untuk terus berlari menjauh secepat mungkin kembali kedalam rumahnya.


FOUR


Inggris, 2008

"Selamat atas kelulusanmu sayang."

"Terima kasih Mom."

Senyuman cerah dan rasa bahagia jelas tercetak pada wajah masing – masing kepala yang berada berkumpul dalam ruangan itu. Acara kelulusan Puteri pertama dari Keluarga Terhormat—Terpandang—Terkaya—Park, Yoora Park. Yang pada hari ini telah berhasil menyelesaikan study-nya dari Universitas terkemuka di salah satu Negara yang memiliki Kerajaan Tertua di Dunia, Inggris.

"Aku berharapa adikku bisa datang sekarang." Yoora masih memeluk sang Ibunda disampingnya, mereka berjalan menyapa setiap tamu undangan dan juga mencari sosok sang Ayah yang belum juga ditemukan.

"Oh, adikmu itu nampaknya mendapatkan tugas kembali. Terakhir aku berbicara dengannya sekitar tiga bulan yang lalu—dan aku sempat menyinggung masalah kelulusanmu ini. Oh, itu Ayahmu." Sang Ibu menarik tangan Yoora, membawanya menyusul keberadaan sang Ayah yang tengah berbicara serius dengan dua orang lelaki muda disampingnya.

"…tetaplah untuk terus mencari informasi mengenai mereka."

"Yunho." Sang Ibu memanggil lebih dulu.

Sang Ayah nampak mengalihkan pandangannya dan membiarkna dua lelaki muda yang sebelumnya berada didekat dirinya dan bahkan berbicara padanya pamit undur diri, memberikan tundukkan kepala dan berlalu melangkah pergi.

"Aku tidak mengira Papa akan membawa Kris dan Jongin ikut serta menghadiri acara kelulusanku." Yoora melipat tangannya menatap sang Ayah dengan raut wajah kesal.

"Kau tahu kemanapun Ayah pergi, pekerjaanku akan ikut serta." Jawaban singkat diucapkan sebagai balasan. "Terlepas dari itu, selamat atas kelulusanmu sayang." Sebuah pelukan sang Ayah lakukan merengkuh tubuh puteri tunggalnya dan juga kecupan manis di pipi kiri.

"Oke, Paps. Tidak perlu memperlihatkan kalau kau sangat menyayangiku dan berbahagia pada hari ini." Yoora jelas menolak dan enggan menerima kecupan yang dihadiahkan. Tangannya mengusap pipi kirinya dan bahkan tanpa rasa bersalah membersihkannay dengan tissue yang ia dapat dari meja yang tak jauh dari mereka berdiri.

"Oh, kenapa? Hari ini adalah hari kelulusanmu dan sudah pasti menjadi hari bahagia untukku."
Yoora memutar bola matanya, beranggapan malas mendengar apa yang dikatakan ayahnya.

"Bisa kita nikmati makan malamnya? Karena aku sungguh merasa kelaparan sejak tadi." Yoora melangkah lebih dulu untuk duduk pada salah satu meja yang ia yakini adalah meja dimana ia dan keluarganya bisa duduki untuk menyantap dan menikmati acara makan malam bersama sebagai salah satu acara dari Upacara Kelulusannya.

Kedua orang tuanya saling bertatap dalam diam dan pada akhirnya menuruti apa yang diingkan oleh puteri mereka untuk duduk dan menikmati makan malam bersama.
Satu per satu hidangan mulai berdatangan bergantian mengisi kekosongan piring yang ada dihadapan mereka. Tidak ada percakapan lainnya selain suara beberapa alat makan yang memenuhi suasana makan malam itu.

"Kita akan kembali ke Korea, besok."
Yoora menahan gerak tangannya mengangkat garpu yang berisikan potongan daging ayam disana, meletakannya kembali secara perlahan dan setelahnya menghela nafas dalam diam.

"Tidak ada penolakan. Waktumu untuk menikmati masa muda dan apapun itu namanya sudah habis dan berakhir tepat malam ini. Dan besok, kita akan kembali. Mau tak mau kau harus siap menjalankan apa tugasmu selanjutnya." Sang Ayah tersenyum dengan penuh bahagia melihat wajah sang istri yang sudah sangat jelas tidak menyetujui apapun yang dikatakan olehnya tadi, sama halnya dengan sang puteri yang masih menunduk dalam duduknya, tubuhnya terlihat tegang dan kaku hingga bahkan untuk menggerakkan kepalanya melihat kembali kearah sang ayah sangatlah sulit.

"Yunho.." suara lembut istrinya terdengar.

"No, tidak ada lagi kesempatan dan toleransi untuk apa yang kalian inginkan. Waktu Yoora sudah habis, dan ia harus bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak dan belajar untuk menjalankan apa yang kedua orangtuanya telah hasilkan sampai saat ini. Dia bahkan cukup pintar untuk tahu bahwa uang orangtuanya-lah yang bisa membawa ia menjadi seperti saat ini, dan sebagai tanda terima kasih, ia harusnya bisa dengan senang hati ikut andil dalam menjalankan tugas sebagai ahli waris yang baik." Yunho, sang ayah, kembali menjelaskan dengan nada mutlak. Terdengar tidak dapat dibantah ataupun disanggah oleh istri dan anaknya.

"Ahli waris dari seorang mafia? Wow, terdengar cukup bisa dibanggakan." Yoora tertawa menjawabnya, bahkan dengusan kesal jelas terdengar diakhir kalimatnya. "Sayangnya, aku tidak mau membanggakan tentang itu Paps." Dengan penuh rasa kesal, Yoora beranjak bangun dengan begitu kasar, melemparkan kain serbet berwarna putih dari tangannya keatas meja sebagai sikap yang mewakilkan emosinya sudah memenuhi seluruh bagian pembuluh darahnya.

"Duduk." Yunho memerintahkan, kedua matanya yang berwarna hazel terarah tepat dengan kedua mata Yoora yang memiliki warna bola mata yang sama dengannya.

"Make me." Yoora meremehkan, menantang sang Ayah yang jelas ia tahu bahwa ia tidak hanya berhapadan dengan ayah kandungnya yang merupakan seorang Miliarder Pemimpin Tertinggi Park Inc, melainkan ia juga berhadapan dengan Pemimpin kelompok Mafia yang sangat terkenal kejam, penuh otoriter dimana tidak mengenal rasa takut dan juga kaliamat kalah. Dan karena hal itu, tepat ketika badannya berbalik, dua anak buah kepercayaan sang Ayah sudah berada tepat dihadapannya. Menatap kearahnya, menghadang pergerakannya hingga bahkan ia tak punya pilihan lain selain kembali berbalik untuk melihat dan menghadap sang Ayah.

"Bawa dia ke kamar dan pastikan besok pagi ia ikut dalam penerbangan kembali ke Korea." Yunho memberikan perintah dan kedua anak buahnya dengan cepat menunduk patuh.

"Aku tidak mau." Puteri keras kepalanya kembali memberikan penolakan tegas.

"Lakukan apapun yang kau inginkan untuk menolak perintahku, dan aku akan melakukan hal yang sama padamu untuk tetap bisa membawamu kembali ke Korea." Yunho melipat dua tangannya dengan siku sebagai tumpuan diatas meja, tersenyum penuh kemenangan memandang ke arah sang puterinya yang saat ini terlihat penuh emosi yang menggebu.

"Aku yakin kau akan merasa bahagia bisa melihat adikmu pulang dengan selamat—"

"Jangan pernah menyentuh Chanyeol!"

"Yunho!"

Yoora dan Victoria—istrinya—bersamaan melayangkan protes akan apa yang Yunho ucapkan.
Yunho tertawa sesaat memandangi satu per satu kedua wanita dihadapannya.

"Lihat, hanya karena satu nama yang aku sebutkan kalian berani menantangku. Tidakkah kalian lupa siapa aku disini? Aku Ayahmu." Yunho menunjuk kearah Yoora. "Secara biologis dan juga secara legal kau adalah anakku, dan kau juga adalah istriku. Istri sah yang aku nikahi secara agama dan juga negara." Kini tangannya menunjuk pada Victoria, sang istri yang membalas menatapnya dengan rasa takut."Jadi, selama aku masih hidup, kalian harus bisa menghormati, menghargai, dan mendengarkan apa yang aku perintahkan. Tanpa penolakan."

Yunho bangkit berdiri, menempatkan kedua tangannya sebagai tumpuan badannya sementara badan dan wajahnya mendekat memandangi wajah sang istri yang ketakutan dan juga memandang wajah Yoora yang berada cukup jauh darinya.

"Dan Chanyeol juga adalah anakku, anak laki – lakiku yang sengaja kau jauhkan dariku." Yunho menghela nafas. "Aku juga menginginkan dia pulang, kalian tahu itukan? Anakku sudah terlalu lama berpergian jauh dari orang tuanya, bahkan istriku lebih memilih putera kesayangannya membuang nyawa membela negara dibandingkan berada dirumah dan bekerja bersama ayahnya." Suara tawa penuh kekesalan terdengar lagi dari mulut Yunho.

Ketiga orang anggota keluarga itu terdiam dan tidak ada lagi sahutan ucapan balasan dengan nada kesal atau pun marah. Yoora masih menahan semua emosinya dalam diam, tangannya jelas terlihat mengepal meremas bagian dress pendek yang ia kenakkan. Menahan diri sebisa mungkin untuk tidak mengobrak abrik meja makan didalam ruangan acara yang dimana dipenuhi dengan tamu – tamu undangan lainnya.
Sama halnya dengan Victoria, ia hanya bisa ikut terdiam menunduk menjauhkan pandangan matanya dari sang suami yang telah berhasil merusak momen makan malam mereka.

"Aku anggap makan malam kita sudah selesai. Bawa Yoora ke kamarnya." Perintahnya ia ucapkan kearah dua pria yang berada disamping Yoora, anak buahnya yang sudah pasti selalu menuruti dan patuh akan apa yang perintahkan.


FOUR


Korea, 2010

Rumah megah nan mewah yang terletak jauh dari pusat Kota Seoul yang dimiliki dan ditinggali oleh keluarga kecil Tuan Byun—pemiliki Group Perusahaan Byun Technologies—saat ini diselimuti awan duka, pasalnya sang pemilik rumah dan juga pemimpin group perusahaan itu tengah dalam kondisi kritis atau bisa dianggap tengah menunggu ajal menjemput.

Beberapa peralatan mesin yang selama ini mengelilingi dan membantu dirinya untuk dapat hidup mulai disingkirkan oleh para petugas medis yang ada, satu per satu selang yang berada dibeberapa bagian tubuh orang nomor satu dirumah itu perlahan – lahan dicabut hingga pada akhirnya memperlihatkan betapa rapuh dan lemahnya badan tuanya.

"Papa.." suara lembut memanggil tepat diujung pintu ruangan kamar itu. Puteri tunggalnya, satu –satunya keturunan dari Keluarga Byun, Byun Baekhyun berada disana menyaksikan semua apa yang dilakukan oleh para petugas medis dan kini satu – satu dari mereka mengucapkan kata pamit pada dirinya.

"Masuklah." Tegas dan angkuh suara wanita yang masih berada berdiri disamping ranjang dimana Tuan Byun berbaring memanggil dan meminta Baekhyun untuk melangkah mendekat. Sunyoung Jung atau kini memiliki marga Byun pada nama belakangnya, berdiri memperhatikan sang suami yang terbaring lemah tak berdaya.

"Nikmati waktumu dengan baik, karena papamu bahkan tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk melewati satu hari penuh ini." ia berbalik memperhatikan wajah polos Baekhyun yang tengah meratapi kesedihan dengan aliran air mata terus mengalir sejak ia melihat kondisi tubuh sang ayah dilepaskan alat – alat medis.

Baekhyun menggerakkan tungkainya kakinya yang terasa amat lemah hanya untuk melangkah satu hingga dua langkah demi mendekatkan dirinya dengan ranjang dimana sang ayah berada. Tidak pernah ia tahu bahwa pada kenyataannya kondisi sang ayah begitu sangat mengkhawatirkan seperti saat ini.

"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?" Baekhyun berucap dengan suara serak tangisnya.

"Kenapa kau tega membiarkan papa menderita hingga seperti—hiks-seperti ini." ia tersungkur. Menggenggam jemari tangan papa, menunduk pada ranjang dan juga merutuki kondisi yang ada saat ini. "Kenapa kau tega membiarkan papa seperti ini?"lagi Baekhyun berucap penuh isak tangisnya.

"Oh, kau menyalahkan aku?" Sunyoung menjawab angkuh.

"Kenapa kau tidak menyalahkan dirimu sendiri yang memiliki masalah psikologis dan akhirnya harus aku asingkan sejauh mungkin! kau seharusnya sadar Baekhyun! Penyebab kematian papamu adalah dirimu sendiri—

"BUKAN!" Baekhyun melayangkan emosinya. Ia beranjak bangun dan menatap Sunyoung penuh emosi dan juga kebencian. "Kau—kau yang menyebabkan semuanya." Kini telunjuk tangannya mengarah pada Sunyoung. "Kau yang membunuh Mama-ku saat itu, dan kini kau yang membunuh papa!" Baekhyun berteriak.

Senyuman kesombongan diri terbentuk pada wajah angkuh Sunyoung. "Oh, darling.." ia berucap lembut, melangkah mendekat pada Baekhyun dan memainkan untaian rambut hitam halus milik Baekhyun dengan jari – jari tangannya. "Kau bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas semuanya itu." Ujung kukunya menarik dagu Baekhyun hingga wajahnya mendongak menatap kearahnya, tangannya kini mencengkram erat bagian pipi dekat mulut Baekhyun hingga anak itu kesakitan dan semakin menangis.

"Kau bahkan tidak bisa mengingat bagaimana kejamnya aku menghilangkan nyawa ibu jalangmu itu!" Sunyoung berbisik dan setelahnya menghempaskan cengkraman tangannya hingga Baekhyun terhuyung sungkur ke lantai meringis dalam kesakitan.

"Bersikap baiklah padaku kalau kau tidak mau bernasib sama seperti ibumu!" Sunyoung tertawa di akhirnya dan melangkah menjauh lagi berniat meninggalkan Baekhyun seorang diri meratapi nasib ayahnya yang tengah kritis menjemput ajalnya. Sebelum ia benar – benar melangkah keluar dari ruangan itu, Sunyoung memalingkan wajahnya kearah Baekhyun.

"Aku tidak membunuh ayahmu darling—well—mungkin iya, mungkin… tidak. Tidak ada yang tahu." Tepat ia menyelesaikan kalimatnya , Sunyoung membuka pintu dengan lebar tanpa menutupnya melangkah keluar meninggalkan Baekhyun pada ruangan itu yang semakin terisak dalam tangisannya.

.

"Tepat pada hari ini, Jum'at, 5 Mei 2010 pukul 14:17 KST, Tuan Byun Jungki menghembuskan nafas terakhirnya dikarenakan kondisi penyakit kronis yang sudah menjangkit dirinya sejak beberapa tahun yang lalu. Mendiang meninggal di kediamannya ditemani oleh Puteri dan Istri Kedua beliau, Nona Byun Baekhyun dan Nyonya Sunyoung-Byun. Keluarga menginginkan proses pemakaman secara kremasi dan mengharapkan prosesi dilakukan secara privasi mengingat kondisi psikis Nona Byun Baekhyun—"

Baekhyun mendengar informasi yang menyatakan kondisi ayahnya pada layar televisi di kamarnya. Tanpa pencahayaan, tanpa ada seseorang yang menemaninya. Ia seorang diri, memeluk lututnya, menunduk dengan sebagian tubuhnya ditutupi selimut tebal. Air matanya tak bisa berhenti menangis meskipun ia ingin.

Bahkan aliran air mata itu akan kembali mengalir deras ketika ia mengingat bagaimana pemandangan terakhir ketika sang ayah sempat tersadar hanya untuk tersenyum padanya dan juga membalas genggaman tangannya.

"Papa.." Baekhyun kembali hanyut dalam kesedihannya. Badannya kini berbaring dan masih memeluk dirinya sendiri yang tengah bergetar meluapkan kesedihannya.

"… Untuk sementara, Byun Technologies akan diawasi dan dipimpin oleh partner company mereka Park Industries dimana Tuan Park Yunho sebagai peminpin tertinggi akan menjabat sebagai Dewan Komisaris dalam daftar kepemilikan saham tertinggi saat ini. Tuan Park Yunho akan membantu dan bertugas memastikan kelancaran operasional Perusahaan Byun Technologies sebaik mungkin hingga Nona Byun Baekhyun genap berusia 20 tahun dan siap mengambil alih Perusahaan."

"Ahjussi.."

Baekhyun bangkit berdiri dan mempusatkan pandangan serta pendengarannya pada tayangan berita itu. Memandangi dengan penuh harap ketika sosok yang ia panggil ahjussi terlihat pada layar kaca dan tengah menyampaikan beberapa kalimat jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan disana.

"Ahjussi.."

.

"Aku tidak menyangka akan secepat ini kau datang mengunjungiku Nona Jung." Yunho menutup pintu ruangan kerja pada rumahnya secara perlahan dan melangkah masuk, memandangi sosok Sunyoung yang duduk pada salah satu sofa pada ruangan itu ditemani dengan sosok Baekhyun yang duduk diam menunduk dengan tubuh yang bergetar.

"Dan kau membawa Baekhyun." Yunho memperjelas.

"Tidak usah terkejut seperti itu sayangku, kau pasti sudah bisa menebak kedatanganku saat ini." kaki jenjang wanita itu bergerak melipat dengan angkuh sementara bahunya masih bersandar tegas pada bagian belakang sofa yang ia duduki. Kedua tangannya berada pada sisi tangan sofa dan berdiam anggun. Pandangan wajahnya masih terarah pada sebuah foto dimana Yunho dan Jungki terlihat tengah saling merangkul dengan salah satu kedua tangan mereka sama – sama memegang segelas wine.

"Dan ya, Aku bahkan membawa Baekhyun ikut serta saat ini." kini pandangannya terarah menatap Yunho yang berada tepat di belakang meja kerjanya.

"Tidakkah terlalu cepat? Jungki bahkan baru dimakamkan hmm.. dua hari yang lalu."

"Dua hari sudah tidak terasa bagiku, aku bahkan sudah menunggu saat ini sejak tujuh tahun yang lalu. Untuk apa membuang waktu lagi, sayang." Sunyoung membalas. Nadanya terdengar menggoda penuh sensual.
Yunho menganggukkan kepalanya tanpa berniat melontarkan pernyataan lain sebagai jawaban apa yang Sunyoung katakan padanya.

"Cepat berikan surat keputusannya." Wanita itu memerintahkan.

"Aku belum menyelesaikan surat itu, keputusan para dewan komisaris jelas masih perlu dipertimbangkan dan juga ini bukan hanya mengenai dua perusahaan besar. Kau harus ingat ada organisasi gelap yang dipertaruhkan."

"Aku sudah tahu tentang Phoenix. Kau bahkan sudah menjelaskan lebih detail ketika kita tidur bersama dan tentunya dengan kegiatan seks yang cukup panas." Sunyoung tersenyum nakal, mengedipkan matanya pada Yunho lalu mengalihkan pandangannya pada Baekhyun yang tengah menegang dan juga membalas memandangi dirinya dengan tatapan sinis dari kedua matanya yang terlihat sendu.

"Oh, kau tidak perlu memberikan tatapan seperti itu padaku. Aku yakin kau sudah cukup mengetahui apa yang sedang dibicarakan disini, mengingat usiamu sudah 17 tahun." Sunyoung membalas menatap Baekhyun dengan tajam hingga anak itu tersentak kaget ketika Sunyoung bangkit berdiri berjalan kearahnya.

"Kau cukup diam dan lihat apa yang aku lakukan, well aku harap kau tidak melupakan setiap kejadian ini seperti kau melupakan bagaimana aku membunuh I-bu-mu."

Baekhyun menutup matanya merasakan ketegangan akan apa yang Sunyoung ucapkan tepat disamping telinganya.

Wanita itu berjalan meninggalkan dirinya lagi dan mendekat kearah Yunho yang kini sudah duduk di kursi kerjanya.

"Nah, honey.. sampai mana urusan kita tadi?" Sunyoung bertolak pinggang sementara salah satu tangannya bersandar pada meja kerja milik Yunho.

"Ahjussi.." suara Baekhyun terdengar bergetar memanggil kearah Yunho.

Tepat ketika Sunyoung berbalik kembali melihat kearahnya, Baekhyun menegang takut dan menunduk menghindari tatapan tajam penuh amarah wanita itu.

"Hah, Ahjussi. Oh manis sekali dia memanggilmu seperti itu."

"Dia sudah ku anggap sebagai keponakanku jika kau lupa." Yunho dengan santainya menjawab, tangannya terlipat didepan dada. Pandangannya terarah pada Sunyoung yang masih berdiri di dekat mejanya dengan bagian pinggulnya yang bersandar disana.

"Sementara kau, ibunya. Selalu bersikap kejam padanya."

"Oh honey, dia seharusnya merasa bersyukur karena aku tidak membunuhnya sejak dulu."
Yunho mengangkat alis matanya dan menggerakkan kepalanya mengangguk.

Helaan nafas terdengar dan itu dilakukan oleh Sunyoung karena ia terlalu lelah berbasa – basi menunggu keinginannya segera diberikan oleh Yunho.

"Okey, aku cukup muak membuang waktu denganmu." Tangan kirinya bergerak kebelakang pinggangnya dan menarik pistol Revolver berukuran kecil yang kini tertuju tepat kearah Yunho. "Dimana surat keputusannya." Pelatuknya ia tarik bersamaan dengan langkah kakinya yang semakin dekat menghampiri Yunho. "Kau tahu aku tidak pernah bisa bersabar bukan?"

Yunho melonjak kaget melihat apa yang kini berada tepat dekat keningnya. "Sunyoung.. ingatlah bahwa Jungki baru dikremasi beberapa hari yang lalu.. itu akan membuat pertanyaan dari berbagai pihak bila aku menyerahkan kuasa Byun Tech padamu—

Ujung pistol itu tepat terarah mendekat pada kening Yunho. "Aku tidak peduli pertanyaan dari berbagai pihak.. aku ingin Phoenix dan juga Byun Tech. Jadi. Cepat. Berikan. Surat kuasamu." Semakin lama Sunyoung semakin mengintimidasi Yunho yang masih duduk diam ditempatnya tak berniat melakukan gerakkan sedikit pun.

"Aku masih menunggu.." Sunyoung bersenandung, masih menatap Yunho dan juga masih dengan pistol yang mengarah di dekat pada keningnya.

"Dan kalau kau mengulur waktu untuk berharap seluruh penjagaanmu datang dan menyelematkanmu.. aku akan katakan percuma. Phoenix sudah sepenuhnya berada dalam jangkauanku dan itu berarti beberapa pengawal dan anak buahku sepenuhnya yang mengendalikan keamanan saat ini. Seluruh penjaga kediamanmu telah dilumpuhkan bahkan sebelum kau tiba disini. Dan juga, beberapa dari mereka kini mulai bersiaga di kediaman pribadimu." Sunyoung memamerkan senyum kepuasannya.

"Aku akan menyampaikan salammu pada Victoria dan Yoora setelah ini selesai. Kau tahu aku memang berniat sedari dulu untuk berkunjung kesana, bukan?"

Mendengar hal itu, Yunho segera menggerakkan kursinya untuk berputar sementara tangannya meraba – raba bagian laci pada meja kerjanya. Berusaha mencari apa yang diinginkan Sunyoung sedari tadi.

"Katakan padaku, kau simpan dimana?" pertanyaan itu diarahkan pada Yunho yang kesulitan mencari karena Sunyoung tengah mencengkram lehernya dengan begitu kuat, Yunho bahkan bisa merasakan kuku kuku runcing pada jari tangan wanita itu menusuk kedalam kulitnya belum lagi moncong pistol hitam yang dipegang oleh tangannya kini tepat berada di keningnya.

"La—la-laci."

"Baekhyun!" teriakan Sunyoung terdengar nyaring memanggil sosok anak itu yang masih ketakutan duduk di tempatnya. "Kemari dan bantu ahjussi-mu ini mengambil dokumennya!"

Baekhyun bergerak takut – takut hanya untuk bangkit berdiri, langkahnya bergerak pelan dengan kedua tangannya meremas erat bagian rok dari setelan terusan yang ia kenakkan. Air matanya semakin mengalir ketika pandangan mata hazel-nya tertangkap dengan pandangan mata hazel yang dimiliki Yunho.

"Ahjussi.." suara bergetar takut dan juga diiringi wajah sendunya dalam tangis.

"It's okey Baekhyun.. tolong bantu aku." Yunho berucap dengan maksud ucapannya bisa membuat Baekhyun tenang dan tidak merasakan takut.

"Katakan padanya dimana kau meletakkan dokumen itu!" Sunyoung mendorong kening Yunho dengan moncong pistolnya secara kasar hingga pria itu meringis merasakan nyeri pada keningnya.

"Laci kedua."

"Kau dengar itu Baekhyun! Laci kedua! Cepat!"

Baekhyun kembali tersentak kaget, ia berusaha bergerak cepat membuka laci kedua pada bagian bawaj meja kerja itu dan mencari dokumen yang dimaksudkan. Amplop cokelat adalah hal yang pertama ia lihat, tangannya segera mengambil amplop itu dan menyerahkannya pada Sunyoung dengan tangan yang bergetar.

Sunyoung tersenyum penuh kemenangan menerimanya, dan tanpa menjauhkan pistol dari kening Yunho, ia mulai mengeluarkan dokumen yang ada dengan kasar dan menyibakkan halaman pada dokumen itu hanya untuk melihat pada bagian pengesahan disana dan melihat tidak ada satu pun tanda tangan yang tertera disana.

"Kenapa kau belum menandatanganinya?!" suaranya terdengar kembali marah berucap kearah Yunho.

"Kau belum memintau, honey." Yunho membalas berharap Sunyoung bisa kembali memberikan ancaman ataupun pengalihan hingga ia bisa mengambi salah satu pistol yang ada pada laci terbuka disana dan memutar kondisi untuk memojokkan Sunyoung.

Nyatanya wanita menembakkan peluru pada kaki Baekhyun hingga anak itu menjerit kesakitan dan tersungkur pada lantai. Jeritannya bahkan jelas terdengar ia begitu merasakkan sakit, nyeri dan panas pada kakinya belum lagi melihat darah yang mengalir menodai kulit kakinya yang putih semakin membuatnya panik.

"Jangan macam – macam denganku PARK YUNHO!

DOR

Bukan terarah pada Baekhyun.

Tembakkan yang dilakukan Sunyoung kini terarah pada bagian vital Yunho dan jelas menghantarkan kesakitan panas yang lebih luar biasa pada pria itu.

"Maaf, aku hilang kendali.. oh astaga.. kau membuatku emosi dan tidak bisa mengendalikan emosiku.."

"AAARRRGGH BITCH!"

DOR

Tembakan kedua.

"AAAARRRRGGGHHHHHHHH!"

Kali ini mengenai paha kiri Yunho dan pria itu meringis lagi dibuatnya hingga jatuh tersungkur dilantai.

DOR

Tembakan ketiga.

Masih terarah pada Yunho dan kini pada bagian kaki kanannya yang sudah dipastikan akan membuatnya kesulitan bergerak.

"Sudah kukatakan aku membenci panggilan itu." Sunyoung mengerang kesal, menendang bagian perut Yunho dengan kakinya lalu melangkah mundur dan kembali lagi menendang pada bagian yang sama hingga Yunho meringis dan memuntahkan darah dari mulutnya.

"Kau selalu bermain – main denganku honey.." Sunyoung mengusap wajahnya dan mengalihkan pandangannya pada Baekhyun yang ketakutan dan juga meringis kesakitan bersandar pada bagian meja. Mulut anak itu tengah bergerak tak beraturan menggumamkan kata – kata yang tak terdengar oleh siapapun. Sunyoung memperhatikan dengan jelas pandangan Baekhyun tertuju pada pistol hitam yang berada didalam laci yang terbuka dimana ia mengambil dokumen yang Sunyoung inginkan sebelumnya.

"Well.. aku rasa aku tahu bagaimana cara membuat permainan ini semakin seru." Sunyoung mendekat pada Baekhyun, menjambak rambut hitam gadis itu dan menyeretnya dengan kasar untuk berpindah posisi tepat berhadapan dengan Yunho dimana tengah dibanjiri oleh aliran darah dari luka pada kaki dan juga pangkal pahanya.

Baekhyun semakin terisak takut, meringis dalam isak tangis ketika melihatnya.

"Pandangilah ahjussi-mu yang tengah sekarat ini sama ketika kau menemani ayahmu kemarin." Sunyoung mendorong kepala Baekhyun hingga tersungkur. Tangannya menekan luka tembakan pada kaki gadis itu dan teriakan meronta dari Baekhyun yang melengking keras adalah alasan dari suara tawa dirinya yang terdengar sangat bahagia.

Suara teriakan Yunho yang berteriak meminta dirinya untuk melepaskan Baekhyun bahkan tidak didengarkan dan itu ia jadikan untuk menyiksa Baekhyun kembali. Menampar pipi gadis itu hingga Baekhyun dan terjungkal, menjambak rambut anak itu hingga kepalanya mendongak. Teriakan minta ampun dan juga rintihan sakit yang Baekhyun ucapkan hanya dibalaskan dengan suara tawa kecil darinya.

"Sekarang kau meminta ampun?" Sunyoung melepaskan remasan erat pada rambut Baekhyun. "Aku ingin tahu.. apa yang akan dikatakan oleh dirimu setelah ini." pukulan telak pada tekuk leher belakang Baekhyun cukup keras dilayangkan Sunyoung hingga anak itu seketika kehilangan kesadarannya, jatuh berbaring di lantai.

"Aku berubah pikiran, mungkin seharusnya kau lah yang melihat perubahan dirinya sebelum ia memberikanmu kematian." Sunyoung berucap dengan santai dan tersenyum meluapkan kesenangannya. Tangannya membuka bagian silinder pada pistolnya, dua peluru tersisa disana, ia menutup bagian silinder itu kembali dan mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka jejak sidik jarinya disekeliling pegangan pistol tersebut.

"Aku tidak pernah memberikan kesayanganku pada siapapun." Kalimatnya menunjuk pada pistol hitam yang masih ia usap dengan begitu hati – hati. "Tapi untuk hari ini, aku akan melakukan pengecualian." Ia meletakkan pistol yang masih dibalut sapu tangan itu pada tangan Baekhyun, menggerakkan jari – jari lentik milik Baekhyun hingga terlihat gadis itu cukup ahli dalam memegang pistol disana.

"Ia akan menggunakkannya dengan baik." Sunyoung berkedip kearah Yunho.

Yunho menggelengkan kepalanya berusaha menghampiri Baekhyun meskipun kondisi kakinya terasa sangat sulit untuk digerakkan hanya untuk menggeser badannya.

"Baek.. Baekhyun.. sadarlah sayang.."

"Aku hanya mengingatkan jangan meminta ia untuk sadar saat ini." Sunyoung berucap, tangannya mengambil pistol lainnya yang berada didalam laci Yunho dan kini kembali melangkah, memposisikan dirinya berada diantara Yunho dan Baekhyun yang sama – sama terkapar tak berdaya disana.

"Baiklah sebelum aku pergi, tanda tangani ini." ia menyerahkan dokumen itu pada Yunho.

"Tidak akan!"

"Wrong answer honey."

Sunyoung menyokang pistol yang ia pegang dan melesakkan peluru didalamnya kearah Yunho.

DOR

Peluru panas lainnya kini bersarang tepat pada bagian dada bawah Yunho.
Pria itu meringis, merasakan nafasnya mulai sulit untuk didapat sementara seluruh tubuhnya terasa nyeri dan panas secara bersamaan.

"Jangan berpikir karena kau akan mati nantinya aku tidak bisa mendapatkan semua yang aku inginkan, kau tahu betul berapa lama aku merencanakan ini semua kan honey. Seharusnya kau tahu.." Sunyoung berlutut menghampiri Yunho yang terlihat sangat kesakitan. "Aku menyiapkan tanda tanganmu dengan baik meskipun kau tidak memberikannya langsung padaku." Senyuman kemenangan kembali Sunyoung berikan. "Owh, kau terlihat menjijikkan sekarang." Ia bangkit berdiri, membawa dokumen itu dalam genggaman tangannya dan juga pistol milik Yunho.

Meninggalkan Yunho menikmati waktu menuju kematiannya dan juga Baekhyun yang masih tak sadarkan diri disana, tanpa ada siapapun yang mengetahuinya. Sementara pemandangan di luar ruangan itu bahkan tak jauh berbeda, kumpulan badan – badan yang tak bernyawa pengawal keluarga Park tersebar di berbagai sudut ruangan tak meninggalkan satu nyawa untuk hidup satu pun.

Sunyoung masuk kedalam mobilnya dengan langkah santainya, mengisyaratkan supir yang ada didalam mobilnya untuk melaju menuju tempat terakhir dalam acara kunjungannya hari ini.


FOUR


"Apa maksudnya ini Ma?"

"PARK YOORA!" Victoria, sang Mama berteriak berusaha membungkam rentetan panjang dari apa yang diucapkan oleh anaknya. "Ku mohon dengarkan aku apa yang aku jelaskan tadi dan jangan membantah ataupun menanyakkan hal lebih jelasnya."

Yoora terdiam mengatupkan mulutnya, memandangi kertas pemberitahuan yang ada ditangannya dan juga mencoba memahami apa yang telah dikatakan dari mulut Ibunya mengenai permasalahan Red dan Phoenix.

"…Phoenix adalah Red begitu juga sebaliknya. Red menyimpan semua data seluruh pekerjaan Mafia diseluruh dunia dan itu berada dibawah perlindunganku, dan saat ini aku serahkan semuanya padamu." Victoria terus mengumpulkan berkas – berkas dokumen, beberapa senjata dan juga sekumpulan uang pada tas hitam berukuran sedang dan kemudian menarik resletingnya hinggtertutup.

"Kau adalah Red." Victoria membelai kedua pipi Yoora dan mengusapkan tangannya pada rambut cokelat miliki puteri tunggalnya. "Kau memiliki semua kemampuan yang bisa menjaga dan melindungi Red mulai sekarang." Tetesan air mata mulai mengalir dari kedua mata Victoria bersamaan dengan air mata Yoora yang ikut mengalir di wajahnya.

"Mams.. aku tidak mengerti.. katakan padaku ada apa." Yoora memohon lagi sementara Victoria menggelengkan kepalanya, memaksakan ciuman pada kening Yoora sebelum akhirnya ia meminta Jongin dan Sehun menarik Yoora untuk membawanya pergi dari hadapannya.

"MAMA! No.. noo.. Mamaaaa! Jangan membuangku.. Mamaaa!" Yoora terus memberontak tapi ia tetap kesulitan melepaskan cengkraman tangan dari dua buah anggota dari Phoenix yang memiliki postur tubuh tegap dengan otot – otot yang kuat dan tak akan mudah bagi siapapun untuk bisa lari dari kukungan badan mereka.

"Lepas! Sehun! Lepaskan aku! Lepasss!"

Lengan Jongin dan Sehun masing – masing dengan mudahnya mengangkat lengan Yoora hingga badan wanita itu terangkat keudara sementara kakinya menendang – nendang ke udara memberontak.

"Ini akan mudah bila kau menuruti kami Noona." Sehun mencengkram lebih kuat kaitan lengannya dan memaksa badan Yoora masuk kedalam helicopter yang tengah bersiap lepas landas.

"Ya, make me Willis! Tenagamu kurang kuat!" Yoora menendang pinggang Sehun ketika badannya terangkat keudara. Jongin bahkan ikut terseret namun masih ia masih bisa menarik Yoora dengan kedua tangannya dan kembali mengukung kedua tangan gadis itu kebelakang dan memaksanya untuk berlutut pada tanah.

"Okey… kau terlalu banyak berlatih." Sehun mencoba bangkit, memberikan borgol pada Jongin yang menatapnya dengan tatapan kesal karena hampir melepaskan Yoora dengan mudahnya.

"Sorry, Kris terlalu banyak mengajari dirinya cara bertarung." Sehun berucap kearah Jongin yang kini baru selesai memborgol tangan Yoora.

"CEPAT BAWA MASUK LADY !" ucapan suara tegas wanita tengah berlari menyusul keberadaan mereka dekat helicopter dan tanpa berpikir panjang, Sehun mengangkat kedua kaki Yoora sementara Jongin memegang bagian atas badannya dan membawa masuk badan gadis itu kedalam helicopter secepatnya.

"GO—GO—GO!"

Tepat ketika wanita itu ikut masuk kedalam, dan menutup pintu helicopter itu. Sang pilot langsung membawa mereka lepas landas mengudara menjauh dari posisi mereka sebelumnya.

"TURUN! TURUNKAN AKU!"

"Oh, dengan senang hati kali ini aku akan turunkan badanmu dari ketinggian.." Sehun melirik sebentar melihat indicator ketinggian pada bagian kemudi. ".. hmm mungkin 1000 kaki." Ucapanya tidak yakin. "dan yeah, tanah adalah tempatmu mendarat dan juga membuatmu mati seketika."

Yoora menelan ludahnya dengan susah payah, melepas cengkrama dari tangan Sehun dan juga Jongin secara kasar dan berdiam diri memandangi mereka satu per satu. Jongin menggelengkan kepala dan mendorong badan Sehun untuk duduk pada tempatnya.

"Bisakah kita kembali ke rumah?" Yoora bertanya pada Minseok, wanita yang sebelumnya memerintahkan mereka untuk masuk dan lepas landas.

"Yoora.." suara wanita itu bersuara lembut. "Kita tidak memiliki rumah lagi, semuanya telah berubah."

BOOM

Suara ledakan samar terdengar dari posisi mereka diudara, Yoora lekas berpindah posisi melihat kearah jendela. Mendapati kobaran api dan juga kumpulan asap hitam pekat membumbung tinggi keudara. Ia tak tahu pasti lokasi ledakan tersebut, tapi perasaan dan pikirannya bisa menebak bahwa ledakan itu berasal dari rumahnya. Rumah masa kecilnya, rumah dimana ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa bersama anggota keluarganya.

"Lady Vic meminta kami meledakkannya sesegera mungkin sebelum mereka datang." Lady Vic adalah panggilan untuk Ibunya. Panggilan khusus bagi para bawahan serta anak buah dari kelompok Red. Kelompok Anti-Mafia dimana Ibunya adalah sang pemimpin tertinggi disana. Dan penjelasan yang diucapkan Minseok merealisasikan semuanya. Rumahnya telah hilang, Ibunya telah tiada, adiknya bahkan telah dianggap hilang dan meninggal dalam tugasnya.

"Pa-pa?" pertanyaan terdengar lirih. "Apa papa baik – baik saja?" Yoora mengulang lagi, memandang Minseok demi mendapatkan jawaban dari satu – satu nya anggota keluarga yang mungkin masih bisa selamat dari seluruh kejadian ini.

"Kami belum mendapatkan informasi terbaru mengenai Father." Jongin memberikan jawaban. "Kita akan menuju rumah perlindungan secepatnya, Lady." Jongin menunduk, memberikan hormat.

Lady adalah panggilan untuk memanggil Yoora saat ini. Bukan lagi dengan panggilan Nona Muda, Young Lady, Noona atau bahan Eonnie.


PHOENIX


Secara struktur sejarah dalam ikatan Mafia dimana Ayahnya terlibat sebagai pemimpin tertinggi kelompok Mafia di Korea, Phoenix—ia mendapat Julukan Father. Karena Ayahnya adalah pemimpin, pelindung, pengajar serta memberikan apapun pada seluruh anak buahnya dan juga para pekerja yang bergabung di Phoenix.

Executive adalah tempat dimana jabatan tertinggi tepat dibawah sang Father, dan untuk Phoenix—Kris adalah Ace yang patut dibanggakkan.

Tepat dibawah Executive, ada sebutan untuk mereka para pekerja lapangan—Officer; yang memiliki keahlian mematikan dan sudah dipastikan berada di level Profesional. Tugasnya adalah perintah yang diberikan oleh Father dan akan mereka lakukan dengan baik, rapi, memuaskan, dan juga tuntas sampai akhirnya. Kai dan Willis adalah dua orang yang termasuk berada dalam level tersebut.

Kai adalah nama lapangan untuk Jongin, Officer yang bergerak untuk memulai sebuah penyerangan, ia cepat dan lincah. Serta kemampuannya untuk tak kasat mata adalah yang terbaik dalam penyerangan. Willis adalah nama lapangan untuk Sehun, panggilan Willis adalah pemberian dari Kris karena wajah dan perawakan Sehun menyerupai keturunan bangsa Eropa.

Tidak seperti Kai yang memiliki perawakan keturunan Korea dengan warna rambut hitam namun memiliki warna mata Violet, Sehun memiliki warna rambut White-Blonde sementara matanya berwarna Hazel. Mata Sehun adalah apa yang menjadi bagian dari keahliannya. Kemampuan penglihatannya sangat tajam dan dapat menembak tepat pada sasaran meskipun ia berada jauh dari titik target yang dicapai. Pistol, panah, pisau, apapun yang bisa ia gunakkan untuk menjatuhkan korban selalui menemaninya. Hanya saja ia terlalu lemah dalam pertarungan duel dengan lawannya, sering kali Kris dan Jongin menjadi lawan duel latihannya.

Mereka bertiga adalah anggota inti dari organisasi Mafia Korea—Phoenix yang tersisa. Mungkin.

Lain halnya dengan Red. Organisasi Anti-Mafia yang berada menentang kehadiran mafia di negara ginseng ini, lucunya sang pemimpin adalah istri dari pemimpin tertinggi Mafia. Ya, Victoria. Wanita berdarah campuran China – Korea itua adalah istri dari Park Yunho, Milliarder—Pengusaha sukses dan juga menjabat sebagai pemimpin Mafia—Phoenix.

RED

Red adalah rintisan dari ayah Victoria yang pernah bekerja pada CIA, karea itu Red memiliki semua bukti dokumen dalam wujud fisik, digital atau apapun yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan oleh para Mafia – mafia di seluruh dunia termasuk Phoenix didalamnya. Bila Phoenix melebarkan anak – anak group anggotanya untuk bekerja dalam perusahaan serta pihak security swasta, Red memperluas jaringannya dengan bekerja sama dengan pemerintah, Intel serta para militer di negeri itu. Itulah yang membuat Phoenix tidak bisa mlawan Red.

Red tidak memiliki bawahan seperti Phoenix, karena Lady—sebutan untuk pemimpin Red hanya membutuhkan pengawalan untuk perlindungannya di kehidupan sehari – hari. Dan orang – orang itu biasanya dikirimkan dari markas besar militer Korea secara langsung ataupun bagian keamanan khusus VVIP yang dimiliki oleh negara. Meskipun begitu, bukan sembarang orang yang akan dikirim untuk bertugas melindungi sang Lady. Contohnya Minseok, mantan Kapten pada divisi khusus Militer Angkatan Laut yang kini lebih memilih bertugas dalam Red karena trauma yang ia derita ketika disekap oleh Tentara Irak. Baginya menghadapi musuh secara langsung masih lebih baik dibandingkan dikurung dan disiksa hanya untuk sebuah informasi.


FOUR


"Kita sudah tiba."

Tepat ketika helicopter mendarat pada halaman luas dengan rerumputan hijau yang mengelilingi, Jongin bergerak membuka pintu helicopter dan membawa Yoora turun dari sana. Kedua tangan Lady itu masih dalam ikatan borgol dimana membuat ikut berjalan kemanapun Jongin dan Sehun membaa dirinya.

Minseok berjalan lebih dulu didepan mereka dengan membawa tas hitam yang sebelumnya Victoria siapkan tadi. Dan kedatangan mereka memang sudah diharapkan oleh beberapa orang pemerintahan dan juga beberapa anggota Phoenix yang maish bisa Yoora kenali, dan ia merasa tenang melihat mereka yang selamat adalah beberapa yang ia kenali, meskipun ada sebagian yang ia tak tahu siapa mereka dan dari bagian apa.

'Safety House.'

Sehun sempat membisikkan sebutan untuk rumah tak megah yang jelas nampak layaknya seperti rumah tua karena bagian luarnya terlihat jelas cat – cat disana mulai mengelupas dan nampak pudar, memilki tiga atau 4 lantai dan ia hanya berharap kamarnya tidak berada dilantai teratas mengingat genteng- genteng berwarna jingga diatas sana tak lagi berwarna jingga dan sudah pasti terdapat kebocoran diatapnya. Tapi apa yang ia dapat ketika memasuki bagian dalam rumah itu jelas merubah segala apa yang a pikirkan.

Pemandangan dalam rumah itu sama seperti dengan kondisi rumah keluarganya. Cat pada dindingnya berwarna sama dan berbagai interior yang ada jelas memiliki kemiripan yang sangat sesuai dengan apa yang ia miliki i rumahnya.

"Lady Vic yang mengurusi semuanya." Suara wanita yang membukakan pintu untuknya menjelaskan. "Oh, maafkan aku Lady, aku Luhan. Red." Ia memperkenalkan diri, membungkuk dengan hormat lalu mengantarkan kembali keempat orang itu kesalah satu ruangan yang terttup rapat.

"Tuan Muda telah menunggu anda."
Belum sempat Yoora menanyakkan siapa yang dimaksud dengan Tuan Muda, pandangan matanya lebih dulu melihat sosok adiknya yang tengah duduk pada salah satu kursi di tengah – tengah meja panjang yang ada didalam ruangan itu.