Owari no Seraph © Takaya Kagami & Yamato Yamamoto

.

[Pengarang tidak mencari/mendapatkan profit atas pengerjaan hasil karya fanfik ini].

.


. : Ambang Jiwa : .


Tembok kosong itu kembali Mikaela pandangi.

Ia begitu merindukan suasana di luar, tetapi kamar perawatannya tidak memiliki akses sebuah jendela. Katanya, paparan cahaya ponsel tidak bagus untuk pasien penyakitan bertahap kronis seperti dirinya. Lalulah ia mendelusikan banyak hal di sana untuk membunuh rasa jemu.

Terkadang ia melihat cakrawala membentang. Birunya yang indah memanjakan mata. Atau sebuah danau dengan sekelompok angsa, menunjukkan keelokan mereka di atas permukaan air. Atau pernah juga ia membayangkan pantai besar dengan gulungan ombak dan buih-buihnya yang menghilang setelah menghantam pesisir kemudian muncul gelombang baru lagi. Bau garam laut bahkan sukses terendus saking Mikaela totalitas dalam berkhayal.

Kali ini Mikaela tidak bisa menahan rasa haru akan apa yang dilihatnya sekarang di balik tembok kosong yang kini telah berubah menjadi bingkai transparan. Sebuah taman yang didekor sebagai latar pengikraran suci. Ia dan Yuuichirou berdiri di sana, di hadapan tetamu undangan dan seorang pastur, menyuapi rona-rona suka cita.

Prosesi pemberkatan pernikahan mereka dulu.

Kebahagiaan sekali seumur hidup yang Mikaela ingat sebagai keberkahaan yang tak tertakar indahnya. Tetapi kebahagiaan-kebahagiaan kecil sesudahnya tidak lagi bertandang ketika jaringan parut mencederai fatal paru-parunya. Meski Yuuichirou selalu mengaku bahwa dia akan selalu merasa bahagia asalkan itu bersama Mikaela, baik Mikaela dalam keadaan sehat atau dalam kondisi tubuh payah pesakitan.

Pemandangan yang terlampau jelas. Seakan Mikaela melihatnya secara langsung tanpa ada pembatas, tanpa ada jendela rekaan. Seolah ia juga turut berada di sana, seperti tetamu lain yang mulai menempa tepuk tangan, memandang dirinya yang juga sebagai pelaku penerima berkat.

Kristal bening jatuh di ekor mata. Nuansa haru yang dialami lama-lama menyumbat lubang hidungnya yang dijejali nasal kanula. Mikaela mengabaikan cara napasnya yang mengi parah. Dadanya kembang-kepis cepat. Mulutnya tanpa sadar memengap seperti ikan yang baru dikeluarkan dari kolam. Dan yang paling menyedihkan, netranya yang tampak akan redup masih nanar menatap tembok kosong di sampingnya, seolah ia tidak mau lepas mengamati prosesi yang sebenarnya hanya delusi itu barang sekedip saja.

Yuuichirou dengan pakaian dinas rumah sakit datang sedikit terlambat. Tujuh parameter pada monitor sudah membentuk garis lurus panjang. Meski demikian, Yuuichirou tetap melakukan tindakan medis untuk mengembalikan garis itu menjadi kurva yang bergelombang naik turun.

Di saat nyaris lima menit telah berlalu, dan tidak ada perubahan apa pun pada layar selain bunyi ngilu monoton, air mata Yuuichirou mulai berguguran. Dia semakin bertambah depresif ketika tembok kosong yang selalu Mikaela sebutkan adalah jendelanya untuk dapat melihat luasnya dunia, benar-benar mewujud menjadi pigura besar berkaca tembus pandang.

Sensasi menyegarkan menerpa wajah Yuuichirou yang melongo melihat jendela itu memperlihatkan padang rumput hijau yang bergoyang seirama. Cakrawala biru mengagumkan yang sering diceritakan Mikaela bergradasi di atasnya.

Sklera zamrud dan pangkal hidung memerah. Air mata semakin menuruni bagai hujan, tetapi suaranya terkunci ketika terdapat seseorang berdiri di tengah rumput itu, tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya.

Senyum berciri khas. Pemilik dari helai pirang yang sosoknya kemudian melenggang memunggungi.

Yang semakin lama terlihat semakin mengecil.

Dan semakin mengecil.


END


Giliran yang sekarat-sekarat dan metong mah larinya ke Mika. Sedih saya.

-Snaw-