Under Black Umbrella

Rate : T

Part 1

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Story by Makice Blow Zeyt

Sangat-sangat amatir. Mohon bimbingannya.


Sakura memejamkan kedua kelopak matanya dengan sesekali menghembuskan napasnya pelan. Gadis tersebut tampak tenang dengan hembusan angin sore yang membelai rambut merah mudanya lembut serta senyuman kecil yang menghiasi wajahnya menambah kesan bahwa gadis tersebut sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang ketika melihat atau setidaknya menengok pada sosok manusia yang tengah duduk sendirian di bangku taman kota dengan pakaian sekolah yang masih melekat di tubuhnya.

Orang akan berpikir mungkin Sakura mendapat nilai sempurna di sekolah, memenangkan lotre makan gratis, mendapat pernyataan cinta dari seorang laki-laki, menunggu kekasih untuk berkencan.

Kekasih ? Berkencan? Sakura tersenyum pahit memikirkannya. Pikirannya melayang pada kejadian enam puluh menit yang lalu saat dirinya duduk seperti apa yang sedang ia lakukan sekarang. Di bangku yang sama dengan pemandangan yang sama. Bedanya, tadi ia tidak sendirian seperti saat ini. Dan ia sedang duduk bersama 'kekasihnya'. Atau mantan kekasihnya. Setidaknya untuk sekarang.

Hyuuga Neji.


"Maaf aku terlambat, Sakura." Seorang pemuda dengan tubuh menjulang tinggi berdiri di hadapan Sakura. Untuk sejenak, Sakura ingin melihat sebuah perasaan bersalah di balik mata putih pucat orang dihadapannya karena telah membiarkan Sakura menunggu selama dua jam lebih hanya untuk menemaninya pergi ke toko buku.

Tapi tak ada. Seperti biasa, wajah Neji selalu datar tanpa sedikit pun emosi yang tergambar di dalamnya.

"Tak apa. Aku baru datang dua puluh menit yang lalu kok." Mata gadis tersebut menyipit dengan bibir mengulum senyum. Berharap pemuda yang sedang memandang ke arahnya tidak menyadari kepalsuan yang sedang ia lakukan.

Kenapa berharap? Tanpa berharap pun, pemuda di depannya memang tidak akan memperhatikan semua ekspresi yang Sakura tunjukkan. Benarkan, Haruno?

"Kalau begitu, kita pergi sekarang?" tanya pemuda tersebut.

Sakura terdiam sejenak sambil memandang pada Neji, "Duduklah. Aku ingin menikmati suasana sore bersamamu,"sahut Sakura. Tangan kanannya menepuk tempat kosong di sampingnya, mengisyaratkan Neji untuk duduk.

Neji mematung dalam diam dengan tatapan datar.

Sakura menggigit bibirnya pelan, "Tidak keberatan kan jika aku menyita waktu soremu, Neji?"

Setelah menghembuskan napasnya pelan, pemuda dengan mata putih pucatnya itu mendudukkan pantatnya di atas bangku berwarna coklat tersebut. Selama beberapa saat mereka terdiam tanpa kata-kata yang keluar dari mulut keduanya.

Neji memang bukan tipe orang yang suka bercakap-cakap seperti Naruto, dan Sakura saat ini sedang kehilangan sedikit mood-nya untuk sekedar berbasa-basi dengan pemuda yang tengah memandang lurus ke depan tanpa bergerak sedikit pun.

Terkadang Sakura berpikir ia tengah bertunangan dengan sebuah patung.

Bertunangan, eh? Sakura menutup matanya perlahan. Ia sudah memikirkannya semalaman suntuk. Membuat Ino terganggu waktu tidurnya dengan menelepon gadis pirang tersebut untuk meminta pendapat akan keputusan yang Sakura buat. Ia tidak akan ragu lagi.

"Neji, ada sesuatu yang harus kita—aku—selesaikan." Sakura memecah keheningan diantara mereka berdua dan membuat Neji menatap gadis Haruno di sampingnya. Hanya sebentar karena setelahnya, Neji kembali memandang lurus ke depan, menatap jalanan yang ramai.

"Apa itu?"tanya Neji tenang.

"Kita akhiri saja hubungan ini."

Dan Sakura memang tidak akan menyesal telah mengatakannya pada pemuda yang bahkan tidak menunjukkan ekspresi berarti setelah mendengar pernyataan tersebut.

Neji memang tidak akan pernah melihatnya. Neji memang tidak akan pernah memedulikannya meski air mata Sakura mengalir deras dengan suara isakan yang tertahan yang masuk ke dalam gendang telinga pemuda Hyuuga itu.

Neji memang tidak akan tersentuh oleh apapun setelah kehilangan seseorang yang membuat hatinya membatu sampai sekarang.

Dan sialnya, Sakura mencintai pemuda yang tetap diam mematung dengan bibir mengatup rapat.


Entah apa yang sedang Sasuke pikirkan saat langkah kakinya berhenti di sebuah kafe yang menghadap taman kota lalu duduk dengan teh manis sebagai pesanannya.

Hell! Ia tidak menyukai teh manis!

Sasuke tidak dapat menggunakan otak Uchiha jenius-nya yang selalu ia bangga-banggakan pada Naruto dan semua orang untuk mencari jawaban atas kegiatan mengamati seorang gadis yang tengah duduk di sebuah bangku taman kota sendirian.

Menguntit.

Ia merasa bodoh.

Sejak kapan ia mulai melakukan kegiatan konyol yang biasanya orang lakukan pada dirinya. Apa? Kenapa? Kapan dan bagaimana hal tersebut bisa terjadi pada orang yang selalu menjunjung tinggi harga dirinya itu? Sasuke berpikir keras.

Ia hanya ingat pada kejadian saat setiap sore dirinya melihat seorang gadis berjalan sendirian di lorong sekolah dengan kotak bekal dalam pangkuannya, ketika semua murid telah meninggalkan sekolah yang akhirnya diketahui bahwa bekal tersebut selalu berpindah tangan pada ketua OSIS mereka yang selalu sibuk di ruang OSIS pada waktu tersebut.

Sasuke berasumsi bahwa gadis dengan manik emerald itu adalah kekasih Hyuuga Neji.

Semua yang gadis merah muda itu lakukan tidak begitu dipedulikannya. Sampai suatu ketika, saat Sasuke berniat untuk tidur siang di atap sekolah, ia menemukan kedua mata gadis tersebut digenangi air mata. Dan hanya sebuah senyuman aneh yang gadis tersebut berikan saat pemuda emo tersebut menanyakan keadaannya.

'Apa ia menangis karena ia telah mengetahui bahwa bekal yang ia bawa dan ia berikan selalu dibuang Neji?' Pikir Sasuke

Dari sanalah semuanya berawal. Manik hitam Sasuke selalu mengikuti semua pergerakan Sakura tanpa cela selama ia beraktivitas di sekolahnya dan baru menyadari bahwa gadis yang diketahuinya bernama Haruno Sakura itu adalah teman sekelasnya yang selalu duduk di kursi bagian depan.

Menurut informasi yang didengar Sasuke dari Naruto, Sakura merupakan anak dari pemilik hotel terkenal Haruno Kizashi yang ditunangkan dengan sepupu kekasih Naruto, Hyuuga Neji yang merupakan ketua OSIS mereka.

Ditunangkan? Pemaksaan, huh? Pantas saja pemuda dengan rambut coklat panjangnya itu tidak pernah sekali pun memberikan perlakuan normal yang biasa dilakukan pasangan kekasih lainnya. Sasuke mendengus.

Dan Sasuke yakin, gadis Haruno itu mengetahui dan merasakan sikap Neji yang berbeda ketika ia melihat cahaya dalam mata emerald itu perlahan meredup setiap berhadapan dengan Neji di ruang OSIS.

Pada awalnya adik Uchiha Itachi itu merasa kesal pada gadis aneh tersebut. 'Jika tidak ingin ditunangkan, kenapa malah mempertahankannya? Pasangan bodoh.'

Itu yang dipikirkan Sasuke sebelum ia mendapatkan jawaban dari aniki-nya.


"Dasar baka otouto, mereka ditunangkan untuk menambah kekuatan bisnis keluarga mereka. Haruno Hotel membutuhkan Hyuuga untuk menambah cabang mereka di seluruh kota besar dan Hyuuga membutuhkan kekuatan bisnis Haruno untuk mempertahankan usaha mereka,"celoteh Itachi sambil memainkan sendok tehnya dengan usil.

"Lalu bagaimana dengan anak perempuan Hyuuga-san? Kenapa malah Neji yang dipilih? Ia hanya seorang keponakan saja,"cecar Sasuke tidak puas pada jawaban kakak kandungnya itu.

"Kau lupa Naruto? Hyuuga-san beruntung anak dari Paman Minato lah yang menjadi kekasih anak sulungnya. Yah, katakan bahwa Hyuuga-san merestui hubungan mereka berdua karena keuntungan yang akan ia dapat jika Namikaze Corp menjadi besannya kelak." Itachi berjalan ke arah rak buku dan mengambil sebuah buku tebal bersampulkan warna biru gelap.

"Kau ingat seorang murid di sekolahmu yang dikabarkan bunuh diri?"

Sasuke memutar kedua bola matanya, "Yeah, sedikit,"jawab Sasuke malas. Dari dulu, Sasuke memang tidak pernah sekali pun tertarik dengan kabar burung yang tak jelas benar atau tidaknya seperti kabar bunuh diri yang disebutkan kakaknya tadi.

Itachi tersenyum saat melihat raut bosan dari adiknya tersebut.

"Namanya Tenten, dan ia bukanlah bunuh diri melainkan dibunuh." Itachi tersenyum geli saat dilihatnya mata Sasuke membulat sempurna dengan mulut sedikit terbuka. Mendadak Itachi ingin mengambil kamera digitalnya, membayangkan akun facebooknya akan ramai didatangi para gadis jika ia memposting wajah kaget Otouto-nya itu.

Sasuke menatap tidak percaya pada kakaknya, "K-Kau bercanda. Mana mungkin ada pembunuhan di sekolah elit seperti Konoha Gakuen."

"Karena statusnya yang hanya sebagai keponakan, Neji mau tak mau harus mengikuti jalan yang dipilih pamannya termasuk menerima pertunangan yang tidak diinginkannya."

"Masuk akal. Lalu bagaimana dengan gadis Haruno itu? Bukankah jika ia menolak semua—"

"Yang kudengar, dia mencintai pemuda Hyuuga tersebut, selebihnya aku tidak tahu,"potong Itachi.

"Alasan yang aneh. Bagaimana mungkin gadis itu rela diperlakukan seperti itu hanya karena ia mencintai laki-laki tersebut?" Sasuke mendengus kesal.

"Demi cinta, semuanya akan dilakukan seseorang meski ia harus menyakiti dirinya sendiri. Yeah… Kau tahu maksudku kan, .to?" Itachi menekankan jari telunjuknya ke kening Sasuke yang dibalas dengan jambakan kasar pada rambut panjangnya.

"Omong-omong, kenapa kau begitu memedulikan mereka berdua?"tanya Itachi dengan tangan kanan mengelus-elus kepalanya pelan.

"Bukan urusanmu,"ketus Sasuke

Itachi menyeringai kecil.

"Hoo… Kau menyukai gadis itu ya?"

Sasuke tidak memedulikan pertanyaan konyol kakaknya. Yang ia pikirkan adalah…

Kenapa murid bernama Tenten itu dibunuh? Kenapa kakaknya mengetahui hal yang bahkan tidak ketahui oleh sekolah mereka? Apa hubungannya dengan Haruno Sakura dan Hyuuga Neji? Dan betapa Sasuke ingin merontokkan gigi Itachi saat dia hanya mendapatkan ciuman di kening ketika menanyakan hal tersebut.


Sasuke tersentak dari lamunannya saat seorang pelayan menepuk pundaknya dengan lumayan keras. Ia menatap pelayan tersebut dengan tatapan kesal, sang pelayan hanya tersenyum canggung sambil meminta maaf dan menanyakan pesanan apa lagi yang akan ia pesan melihat cangkir tehnya telah kosong.

Untuk yang kedua kalinya, Sasuke memesan minuman manis yang tidak begitu ia sukai itu tanpa berniat memikirkan keanehan yang sedang dialami pemuda tersebut. Lalu pandangannya tertuju pada gadis yang masih duduk di bangku berwarna coklat di depannya dengan pandangan sendu. Ia berharap gadis tersebut ditemani oleh seseorang, setidaknya untuk mengobrol dan mengembalikan tawa yang disukai oleh Sasuke.

Eh?

Kenapa ia harus begitu peduli pada gadis yang bahkan jarang berbicara dengannya? Apa benar Sasuke menyukainya?

Sasuke mengusap wajahnya frustasi dengan sebelah tangan dan menatap pelayan yang baru saja memberikan cangkir berisi tehnya dengan wajah kacau. Membuat sang pelayan merasa sedikit bergidik takut karena mengira Sasuke akan memarahinya.

"Ma-maaf Tuan,"ucap sang pelayan pelan. Sasuke menaikan sebelah alisnya, tidak menyadari ketakutan yang terpancar dari pelayan tersebut akibat wajah kacau yang ia berikan. Setelah menyuruh pelayan tersebut pergi, ia kembali menatap bahu Sakura. Mengingatkannya pada bahu yang lebih lebar dari pada gadis tersebut.

Sasuke baru saja selesai mengganti baju olahraganya dengan seragam biasa di ruang ganti setelah pelajaran olahraga basketnya selesai dan berniat akan keluar ketika ia dengan terpaksa menghentikan langkahnya karena melihat Sakura yang sedang berbicara dengan Neji di sisi luar ruang ganti tersebut.


"Neji, bisa kau temani aku pergi ke toko buku?" Sasuke bisa melihat harapan besar pada dua bola mata emerald itu. 'Ke toko buku?'

"Jam berapa?" Suara bariton mengalihkan pandangan Sasuke yang tadinya terfokus pada mata itu menjadi ke bahu Neji. Sasuke tidak bisa melihat bagaimana raut wajah Neji karena saat itu Neji sedang memunggungi Sasuke.

"Umm… Jam tiga?"tanya Sakura. Sesaat keduanya terdiam. Sepertinya Neji sedang menimbang-nimbang ajakan Sakura. Ia adalah ketua OSIS yang sibuk dan sebentar lagi ujian kenaikan kelas akan dilaksanakan. Bagi seorang Neji yang sangat menghormati waktu, ia pasti mempunyai pemikiran antara hal mana yang perlu ia lakukan dengan hal yang seharusnya ia tinggalkan. Dan pilihan kedua mungkin lebih cocok untuk pergi ke toko buku yang Sakura bicarakan.

Sasuke mengira Neji akan menolak ajakan Sakura jika memikirkan karakter pemuda tersebut di atas. Namun pemikiran tersebut pecah seketika saat oniks miliknya mendapati senyum Sakura —yang entah sejak kapan ia telah menyukainya senyum itu— mengembang di bibir tipisnya. Anggukan Neji dan pesan Sakura agar Neji tidak datang terlambat menjadi hal terakhir yang Sasuke dengar saat itu.

Dan setelah pasangan kekasih tersebut berpisah dengan lambaian tangan Sakura sepihak, Sasuke keluar melewati Neji yang memandangnya datar.

Masa bodoh dengan rencana kencan yang baru saja didengarnya tanpa sengaja itu. Yang harus ia lakukan adalah berdiam di perpustakaan keluarganya untuk mempelajari seluk-beluk bisnis Uchiha yang mungkin suatu hari nanti akan dipegangnya bersama kakaknya.

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan masalah konyol seperti itu, apalagi masalah seorang gadis yang bahkan tidak akrab dengannya.

.

.

Memangnya, Uchiha Sasuke memiliki teman bergender perempuan yang akrab dengannya? Tidak ada.

Mungkin…ibunya adalah sebuah pengecualian…dan Kushina tentunya.

'Hell! Mereka berdua adalah ibuku dan ibu si Dobe sudah seperti ibuku sendiri.'

Memikirkan masalah yang rumit seperti Hyuuga dan Haruno seperti itu, Sasuke merasa ia harus mengunjungi kuil untuk berdoa dan mengucapkan terima kasih pada Kami-sama karena membiarkannya tumbuh dalam keluarga Uchiha yang memberikan kebebasan dalam memilih pasangan hidupnya. Mendadak rasa iba muncul dalam hati Sasuke pada gadis pink itu dan tidak lupa pada ketua OSIS-nya.

Terkekang dengan semua aturan yang keluarganya putuskan. Atau mungkin yang ayah dan paman mereka putuskan.

Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak boleh memikirkan hal lain selain buku-buku yang akan dibacanya nanti. Mereka berdua memiliki kehidupan yang Kami-sama atur seperti kehidupannya. Hanya saja Sasuke mungkin lebih beruntung dari pada mereka. Dan tidak seharusnya Sasuke ikut berpartisipasi dalam kehidupan rumit mereka dengan ikut pusing memikirkannya.

Sasuke terus berjalan tanpa mengindahkan sapaan-sapaan dari beberapa gadis yang dilewatinya. Semakin lama ia berjalan semakin ia ingin cepat-cepat sampai pada tempat tujuannya. Sasuke mempercepat langkah kakinya dan ia pun berlari dengan hati berdebar-debar.

Under Black Umbrella. Makice Blow Zeyt.

Sasuke mendengus pelan. Perpustakaan itu mungkin sedang menangis karena penghuni setianya lebih memilih untuk mengikuti gadis Haruno yang mampu menyedot perhatiannya hanya dalam waktu satu bulan.

Ibunya pasti sedang menelpon beberapa guru, menanyakan anak bungsunya yang sampai jam enam sore ini masih belum menampakkan dirinya di mansion Uchiha atau ayahnya yang menatap gelisah jam besar di ruang keluarga dengan beberapa rokok di tangannya.

Sasuke semakin ingin tertawa saat memikirkan Naruto yang pasti sedang diceramahi habis-habisan oleh bibi Kushina karena tidak pulang bersama putra sahabat baiknya. Ibunya pasti tidak akan melewatkan ibu Naruto dari daftar orang penting yang harus ditanyai perihal anak bungsunya itu.

Itachi? Ia pasti sedang asyik memainkan biola kesayangan Sasuke yang sangat ingin dimilikinya. Masa bodoh dengan biola kuno itu. Yang ingin Sasuke lakukan saat ini adalah menghampiri gadis Haruno itu dan memberikan pundaknya untuk kepala berambut merah muda tersebut sebagai sandaran kesedihannya.

Sasuke tersenyum mengejek.

"Menghampiri? Konyol."

Memang konyol. Bagaimana bisa menghampiri gadis itu jika tersenyum saja Sasuke tidak berani untuk melakukannya.

"Aku memang konyol."

Sejak kapan Uchiha Sasuke bisa merendah seperti itu?

Sasuke menggerutu pelan. Ia bahkan mengutuk Neji yang telah membuat gadis itu menunggunya selama dua jam dan meninggalkannya begitu saja setelah sepuluh menit duduk bersama dengan Sakura tanpa beban sedikitpun di wajahnya.

Orang-orang berjalan tergesa, bahkan ada yang berlarian dengan kedua tangan menutupi kepala mereka. Pemuda yang kini tengah menyesap tehnya itu mengernyit. Tidak menyukai rasa manis yang terkandung di tehnya dan bingung dengan orang-orang di luar sana.

Jalanan aspal perlahan menggelap dan hujan yang cukup deras berjatuhan.

"Hujan?"gumam Sasuke pada dirinya sendiri. Taman kota yang tadinya dipenuhi oleh makhluk bernama manusia kini kosong melompong. Semua manusia normal pasti tidak ingin pakaian, tubuh dan barang-barang mereka basah terkena air hujan, kan?

Mata Sasuke melebar. Gadis yang sejak tiga jam yang lalu ia perhatikan masih duduk di bangku taman itu. Sendirian dengan baju seragam yang basah dan rambut merah muda yang juga basah. Sakura tidak bergerak sedikit pun.

"Kau ingin tahu yang sebenarnya, Uchiha Sasuke?"

Dan mata Sasuke semakin membulat sempurna ketika mendapati seseorang yang begitu dikenalnya duduk di belakang adik dari Uchiha Itachi itu.


Sakura dapat merasakan seberapa keras air hujan yang menimpa permukaan kulit wajahnya. Sedikit perih namun ia menyukai dingin yang menyesap perlahan di atas kepalanya melewati rambut merah mudanya.

Semuanya terlalu melelahkan. Kehidupanya yang orang kira begitu sempurna itu hanya dibalas dengan senyuman paksa dan sepintas terlihat mengejek. Jika Sakura mati dan dihidupkan kembali oleh Kami-sama, ia lebih memilih untuk menjadi angin yang bebas bergerak tanpa ikatan yang menjeratnya.

Memikirkan ia akan dapat melakukan apapun malah membuat ulu hatinya berdenyut sakit.

Sakura hanya ingin menjalani kehidupan sederhana dengan orang yang mencintainya. Menjalin hubungan lalu menikah dengan orang yang mencintainya saja sudah cukup. Ia bahkan rela jika harus menikah dengan orang yang tidak ia cinta namun mencintainya tulus.

Ia tidak menginginkan harta yang selalu dibicarakan ayahnya dan tidak menginginkan kekuasaan yang selalu didengarnya dari Hiashi-san. Lagipula, kedua orang tua itu bukan sedang memikirkan masa depan anak-anaknya, melainkan masa depan bisnis mereka dan itu membuat Sakura ingin muntah jika memikirkannya.

Yang ia inginkan hanya satu. Ia ingin dicintai.

Ia tidak membenci Neji yang selalu tidak memedulikannya meski mereka berdua diikat oleh status bertunangan selama dua tahun. Ia hanya merasa menyesal. Menyesal kenapa ia harus tumbuh dari keluarga kaya raya Haruno sehingga menyebabkannya tersudut dalam keputusan egois yang ayahnya putuskan.

Sakura tersenyum mengejek. Beberapa jam yang lalu, ia telah melakukan sebuah keegoisan pertama dalam tujuh belas tahun terakhir sejak ia dilahirkan. Membayangkan bagaimana murkanya ayah Sakura serta merahnya wajah Hiashi-san karena menahan amarah membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak.

"Ayah pasti marah dan ibu tetap akan menyayangiku, benar kan?"tanya Sakura entah pada siapa. Ia menengadahkan kepalanya menatap awan mendung yang menurunkan air dingin itu.

"Hahaha… Kenapa air hujannya terasa hangat?" Sakura tertawa dengan air mata yang menyatu bersama air hujan. Mengaliri pipinya yang kini berwarna putih pucat dan bibirnya yang membiru kedinginan. Sakura terisak dengan tangan menutup mulutnya erat. Tidak ingin mendengar suara isak tangis menyedihkannya. Cukup Neji saja yang mendengarnya.

Sakura menunduk memejamkan matanya erat. Sesak.

"Cukup kau saja… Cu-cukup Neji saja yang mendengarnya…" Sakura merasakan air hujan yang tidak lagi berjatuhan di atas kepalanya. Ia menengadah ke atas dan warna hitam langsung masuk ke dalam retina matanya.

"Uchiha...-san?"

.

.

Bersambung...