Syntia : lebih cepat sehari sih tapi... BUON COMPLEANNO XANXUS!
Tsuna : *sigh, sudah kuduga dia gak bakal jawab
Syntia : Well, minna meski gak kelihatan tapi Xanxus ada disini kok. Langsung aja! Mammon!
Mammon : Huh, sebenarnya ini kerja gratisan tapi apa boleh buat, yare-yare. (ndorong papan ke atas pake teknik mist)
-.-
Title : Toxic
Pairing : Semua chara khr yang ultah bulan oktober!
Disclaimer : Gue gak bakal ngaku, jadi teteup Amano-sensei
Genre : Pokoknya Romance!
-,-
WARNING!
Mengandung yaoi! Bisa membuat anda kelepek-kelepek dan gigit jari! Selain itu mungkin typo dan yang pasti – maybe – OOC!
-.-
NB : Selama pembuatan cerita, gak ada korban berjatuhan kecuali author dan chara, jadi toxic disini aman untuk dikonsumsi –mungkin-
-.-
Syntia : Bentar! Bentar! Sebelum dimulai gue cuman mo bilang, cerita ini bersetting di TYL yang agak beda dimensi. Hope you like it, and review plz.
-.-
BRUGH!
Dino langsung menghindar dari mejanya yang sejak tadi dipergunakannya. Matanya melotot memandang tumpukan buku ajaib yang tiba-tiba nongol di depan matanya. Mulai dari yang biasa kayak Matematika sampe tumpukan buku tulisan kuno serta buku buat baca kartu tarot. Kebingungan Dino melirik terdakwa yang telah membuatnya nyaris jantungan yang menatapnya tajam.
"Ano Squalo, gak lagi kesurupan kan?" cemasnya meski sedikit iseng juga soalnya teman terdekatnya itu kini memelototkan mata kepadanya lebih lebar. Dino jadi agak bergidik ngeri kalo tiba-tiba tuh mata copot dari tempatnya singgah.
"Tau orang kesurupan gimana?" Dino menggelengkan kepala bingung.
"WADOOWWW!" jeritnya saat dengan sadis Squalo langsung meninju jidatnya dengan siku ga... lelaki itu.
"Sadar?" tanya Squalo yang udah siap-siap buat njitak Dino dengan sesuatu yang lebih berbaya lagi untuk kelangsungan hidupnya.
"Sadar! Sadar!" histerisnya lalu menghela nafas lega setelah fokus Squalo terlepas padanya. "Kan gak perlu se-violance itu. Mood-mu lagi jelek ya?"
Squalo langsung menghempaskan diri ke sofa, tepat di sebelah cowok pirang itu lalu membuka-buka dengan bosan buku teratas yang terdapat dalam tumpukan itu. "Dia sudah kembali."
Dino dengan mulut ternganga langsung menjatuhkan buku yang tadi di pegangnya secara posesif. Dengan gerakkan robot, dia berpaling ke arah Squalo yang udah pw di sebelahnya. Buku yang tadi dipegangnya sudah diletakkan di atas wajahnya. "Bercanda kan?" nada suara Dino terdengar gemetar. Pupil matanya membesar setengah dan keringat dingin mulai membasahi wajahnya.
"Apa pentingku?" Dino menelan ludah dengan susah payah.
"La-lalu bagaimana?"
"Apanya?" Squalo melirik Dino dari balik buku. Lelaki itu memandangnya balik.
"Tentu saja dengan dia!"
"Aku jadi tutornya."
"Hah?" Dino mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia memukul-mukul telinganya memastikan telinganya masih berfungsi. Kemudian pergi ke kotak obat dan mengambil termometer yang langsung di masukkan ke mulut lelaki berambut putih itu. "Gak panas kok."
"VOI!" Dino langsung ngacir ke arah tembok yang agak jauhan.
"Kirain panas!" teriaknya membela diri.
Squalo langsung mencomot minuman Dino yang belum tersentuh itu dan menghabiskannya, tanpa memedulikan tatapan nanar dari lelaki berambut pirang itu. "Tugas dari Kyuudaime."
"Tapi kenapa... bukannya dia lebih..." Dino terdiam sejenak. " Jangan katakan kalau..."
"Dia memang mengatakannya."
"Eh? Bukannya dia..." Squalo memelototinya. "Well, aku- ah, aku ingat Romario tadi memanggilku! Sampai nanti Squalo!" Dino pun berlari menjauh dengan cepat.
Squalo langsung memandang tumpukan buku di depannya lesu. "Che, aku pasti sedang sial."
O.o
Xanxus memandang tumpukan tugas yang harus dikerjakannya hari itu kemudian beralih ke arah pintu. Sesekali dia memandang jam dinding yang berada amat sangat jauh dari jangkauannya. Dia menantikan seseorang, karena itulah lantai ruangan tu sepi, tiada yang mau mengganggu bos mereka.
Pintu terbuka. Lelaki itu berambut perak panjang dan memakai kacamata. Dia hanya memakai kemeja bergaris putih dan celana hitam. Dia langsung berjalan ke arah Xanxus, meskipun berhenti sekitar dua meter dari tempat murid didiknya itu berada.
"Apa yang ingin kau pelajari?" tanyanya langsung to the point. Xanxus menyeringai. Dia sudah lupa ada lagi orang yang tanpa takut berbicara padanya selain orangtua angkatnya. "Jangan katakan kalau kau mau belajar seperti orang lain. Kita berdua tahu kau sama sekali tidak membutuhkan pelajaran apapun." Xanxus masih terdiam. "Jika tidak ada yang mau kausampaikan aku permisi." Dia langsung berbalik dan berjalan menjauh sebelum tangannya tertahan oleh sesuatu.
"Kau tidak boleh pergi, trash."
"Dan kau bisa pergi kapanpun," sinisnya. Xanxus menyeringai.
"Apa kau merindukanku, trash?" Lelaki di depannya itu memutar bola matanya.
"Lepas!" suruhnya namun gengaman itu semakin menguat. "VOI!" Dengan satu tarikkan jemari Xanxus sudah berada di kepalanya, menahannya agar tak bisa menjauh. Tangannya yang lain langsung melingkari pinggang lelaki itu menekannya ke arah tubuhnya.
"Aku sudah pernah membiarkanmu dan kau kembali lagi ke arah Bucking Horse itu?"
"Orang yang aku kencani bukan urusanmu!"
"Tentu saja, kecuali kalau aku peduli padamu, trash."
"Jadi kita sudah sepakat. Sekarang lepaskan aku!"
"Akulah yang memberi perintah."
"Kau tidak bisa memaksaku sebagai tutormu. Kyuudaime-lah yang membuatku tidak bisa menolak. Bukan kau!"
"Aku memang meyakinkan pak tua itu agar memastikanmu tidak bisa menolaknya."
"VOI!"
"Aku sudah pernah membiarkanmu pergi, trash. Aku tidak akan melakukannya lagi."
"Kau membiarkan aku pergi? Hah! Kaulah yang pergi! Dan aku bukan 'gadis'mu!" marahnya.
Xanxus menyeringai. "Kau hanya 'kebetulan' menjadi 'gadis'ku."
"Apa bedanya?" Lelaki itu kembali mencoba melepaskan dirinya tanpa menyentuh tubuh mantan-nya itu.
"Kau lupa aku lebih kuat dari itu, trash?" tawanya. Dengan sekali hentakkan kuat terdengar suara robekkan.
"VOI!" Xanxus, tanpa mempedulikan amarah 'gadis'nya memperhatikan struktur tubuhnya.
"Aku tidak melihat hickey. Apa kau tidak tidur dengannya?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Sebentar lagi itu urusanku, trash." Lelaki itu memandangnya aneh, seakan dia spesies baru di muka bumi. Dengan satu gerakkan cepat mereka langsung mengarahkan senjata masing-masing. Kini pisau dan pistol saling berhadapan. Kau entertainment terbaik yang pernah ada, trash." Kali ini 'gadis'nya itu yang membisu. Xanxus tahu, dia pasti sedang menimbang-nimbang untuk langsung membunuhnya atau tidak. Karena dia pasti sudah memperkirakan gerakkan apa yang bisa membuatnya terbebas. Xanxus semakin mendekatinya, membiarkan pisau itu menggores sedikit kulit lehernya. Sementara pistolnya masih ditekankan ke arah pelipis 'gadis'nya.
"Kau tidak berpikir aku tidak bisa membunuhmu kan?" sinis 'gadis'nya itu.
"Kau tidak berpikir aku akan membiarkanmu kan? Squ-a-lo." Tubuh dalam dekapannya langsung berubah kaku. Dengan sigap dia langsung melemparkan pisau di tangan Squalo menjauh dari mereka dan mulai melucuti berbagai senjata di kedua tubuh mereka. Squalo memprotes saat dia merasakan jemari dingin Xanxus menyentuh kulit bagian bawahnya.
Squalo memandangnya dengan mata menyala, menyala oleh kemarahan, kesedihan, dan hasrat. "Kau melakukannya supaya kau bisa melakukan ini lagi kan?" cercanya. "Kau tidak pernah menyebut namaku."
Xanxus mengigit lehernya keras, membuat Squalo menjerit. Darah keluar dari luka itu. Xanxus menjilatinya. Dia menekankan bibirnya dan menciumnya dengan buas. Hasrat selama bertahun-tahun yang mereka tinggalkan. Tangan Squalo langsung melucuti pakaian yang dipakai Xanxus. Mereka saling menelanjangi diri tanpa membuat ciuman mereka terputus.
Xanxus mendorongnya sampai ke arah tembok. Mereka menyentuh, membelai, mengigit, dan mencium. Desahan dan erangan yang keluar dari mulut Squalo menambah keras pertahanan diri Xanxus. Xanxus bermain-main dengan seluruh tubuh uke-nya. Ditelusuri setiap inci dari tubuh itu. Dia tidak pernah begitu bergairah pada tubuh seserang selain uke-nya yang ditinggalkannya itu.
"Xanxus," panggil Squalo dengan suara parau. Xanxus menahan erangan yang akan keluar dari mulutnya. Kejantanannya sudah mengeras sampai ke titik maksimal. Squalo melihat ke arah bawahnya. Dengan perlahan kedua tangannya menelusuri otot dada Xanxus dan semakin turun sampai mengenggam kejantanan seme-nya.
"Tidak hari ini." Suaranya bergetar saat mengatakannya, meskipun jemari Squalo sudah melakukan belaian yang membuatnya mengerang dan kehilangan kendali. "Aku akan memasukimu." Itu bukan permohonan, itu perintah dan janji yang akan ditepatinya.
Xanxus kembali menciumnya. Kali ini dia menekan lebih lembut dan sedikit menggoda bibirnya. Jemari Xanxus mencengkeram pantatnya, mendekatkannya ke dalam tubuhnya. Membungkus Squalo dengan aromanya. Squalo melepaskan ciuman itu saar jemati Xanxus mulai memasukinya. Mempersiapkannya untuk saat yang telah dijanjikan. Pandangan Xanxus tertuju pada dadanya dan mulai menghisap dan menggigitnya dengan lembut. Squalo mengerang. Dia mencengkram kepala Xanxus, menariknya agar tidak menghentikan apa yang mulutnya itu lakukan.
Xanxus semakin bersemangat. Dia memasukan jemari lain dan merasakan ketatnya uke-nya itu. Tidak ada orang lain. Tidak ada yang menyentuh uke-nya. Hal itu membuat tubuhnya bergetar. Setelah jari ketiga menyelesaikan tugasnya, Xanxus menengadah ke arah uke-nya yang memandangnya dengan penuh harap. "Aku merindukanmu," bisik Squalo. Xanxus menganggukkan kepala, dia tahu apa yang uke-nya itu maksudkan.
Squalo melingkarkan kakinya ke pinggang Xanxus. Dengan satu sentakkan kuat tubuh mereka menyatu dan Squalo menjerit. Uke-nya itu menjerit seirama dengan gerakkan Xanxus. Mereka bergerak cepat dan setelah klimaks yang pertama, yang tidak berhasil meredam hasrat keduanya. Mereka melakukan yang kedua dan ketiga kalinya.
0.0
"Kau tidak perlu khawatir Dino," tenang Reborn sambil mengawasi muridnya itu yang sedang mondar-mandir di depannya. "Squalo tidak akan hancur hanya karena semalamm tidak bisa tidur," jelas Reborn.
"Tapi..."
"Tenanglah, kau terlalu khawatiran. Kau tidak mau pasanganmu jadi semakin cemburu pada Squalo kan?" Dino langsung menelan ludah dan menoleh ke semua arah, memastikan pasangannya itu tidak mendengar apa yang tutornya itu katakan.
"Jangan membuatku cemas, Reborn." Reborn mengangkat bahu.
"Semoga saja mereka tidak saling membunuh," harapnya.
"Amarah bisa jadi aphrodisiac yang terbaik."
"Hah? Memangnya kau pernah merasakannya, Reborn?" Mata hitman itu tertuju pada satu arah. Dia pun menyeringai. "Aku rasa aku sudah berbuat kesalahan pada seseorang."
