Disclaimer Naruto:Masashi Kishimoto

Cover by: nakari-chan-hina

I'm really trully take no provit

TO BE WITH YOU

© Story: GyuuRuru-kun & Uzumaki Julianti-san

Type: [Two-Shoot]

Warning: AU/OOC/Misstypo(s)/etc

::Don't like, Don't Read::

...

Hyuuga Corp, sebuah perusahaan Jepang namun berhasil membuat jaringan sampai menjadi perusahaan besar di benua Eropa dan pusatnya terletak di kota Tokyo. Saat ini perusahaan tersebut tengah mengalami krisis besar dan juga ditambah lagi dengan nilai saham yang terus turun secara bertahap. Perlahan-lahan Hyuuga Corp mulai runtuh, dikarenakan Hiashi selaku Direktur tidak sanggup lagi memikirkan cara bagaimana mempertahankan perusahaan ini di publik.

Tetapi ada satu cara—untuk menyelamatkan Hyuuga Corp dari krisis panjang.

Kini terlihat, seorang wanita berambut lavender melangkah masuk dalam elevator menuju lantai atas yaitu ruangan Direktur. Tanpa mengetahui kalau kedatangannya atas undangan sang ayah ini adalah solusi untuk perusahaan, solusi menghindari runtuhnya Hyuuga Corp.

*PING*

Pintu elevator terbuka dan ia melangkahkan kakinya keluar. Entah kenapa ini adalah kali pertama sang ayah memanggilnya ke kantornya, karena itu ia menyempatkan diri untuk tidak ikut mata kuliah siang ini. Ia pun membuka pintu ruangan dan masuk ke dalam menghadapi seseorang pria yang tengah duduk di kursi hitam memandangi pemandangan di luar jendela gedung.

"A-Ada apa? Otou-sama?" tanya gadis itu.

"Sebelumnya aku minta maaf kalau meminta waktumu, Hinata. Aku ingin kau ... datang ke pesta yang diselenggarakan Uchiha Group minggu depan," jawab Hiashi.

"P-Pesta ... U-Uchiha Group?" Hinata bingung kenapa Hiashi mau menghadiri pesta rival bisnisnya itu.

"Benar, Uchiha Group," lanjut Hiashi.

"T-Tapi k-kenapa, Otou-sama? A-Apa ini ada kaitannya dengan bisnismu?" tanya Hinata.

"... Benar," jawab Hiashi singkat.

"Kau tahu kalau Hyuuga Corp sekarang tengah mengalami krisis besar. Satu-satunya cara ialah bekerja sama dengan Uchiha Group yang merupakan perusahaan dengan jaringan terbesar di benua Amerika. Perusahaan kita dapat terselamatkan jika kita meminta bantuan, dukungan, dan dana dari mereka," terang Hiashi lagi.

"T-Tapi jika hanya untuk menjalin hubungan bisnis. K-Kenapa aku harus datang? B-Bukankah Anda saja sudah cukup, Otou -sama?" tanya Hinata lagi dengan sesal, itu karena ia benar-benar tak ingin pergi.

"Itu karena ... aku ingin menjodohkanmu dengan Uchiha Sasuke, anak dari rekan bisnisku Uchiha Fugaku. Dengan begitu kami bisa menjadi rekan bisnis dan bisa saling membantu dalam perusahaan. Selain itu jika kau menikah dengan Sasuke maka Fugaku dapat sepenuhnya mempercayakan seluruh pekerjaan ini pada kalian kelak," terang Hiashi dan sukses menusuk relung hati Hinata.

Hinata menatap tak percaya ayahnya sekarang, menatapnya dengan tatapan kosong. Bagaimana bisa ayahnya sendiri mengorbankannya hanya untuk perusahaan. Ayahnya, membuat ia seperti benda yang diperjual belikan untuk bisnis semata. Kenapa?

"T-Tapi ... Otou-sama. A-Aku sudah memiliki pacar, a-aku tidak bisa menerima perjodohan ini," ucap Hinata dengan mata berkaca-kaca.

"... Uzumaki Naruto ... 'kah? Kenapa kau masih berhubungan dengan pria sederhana itu, kau tidak bisa hidup hanya dengan memakan hal yang dinamakan 'Cinta' kau tahu itu Hinata. Keperluanmu sehari-hari kelak dibeli dengan uang bukannya kasih sayang," lanjut Hiashi dengan nada dingin dan membuat Hinata terisak.

"T-Tapi bagaimana dengan Okaa-sama ... hiks hiks ... bukankah sewaktu dulu Otou-sama juga mencintainya? Bukankah Otou-sama juga pernah mencintai seseorang ... hiks ... kenapa Otou-sama tak mau mengerti perasaanku," tanya Hinata lagi sambil sesengukan.

"Wanita ... memang indah, Hinata. Mereka terlihat indah sampai mereka memperebutkan hartamu seperti serigala yang lapar. Aku mengikuti saran dari kakekmu dulu, Hinata. Aku ambil semua yang aku perlukan dari ibumu kemudian setelahnya aku meninggalkannya pergi," jawab Hiashi dan hati Hinata pun kini terasa dirobek-robek sekarang.

"K-Kenapa?" Hinata jatuh berlutut dan menutupi mukanya tak sanggup lagi mendengar kata-kata sang ayah.

"Minggu depan aku ingin kau sudah siap pergi. Karena itu dalam satu minggu ini aku ingin kau memilih baju yang bagus serta merawat dirimu," lanjut Hiashi tanpa mengiraukan sedikitpun anaknya yang terus menangis tak berdaya.

XXX

Hinata melangkah keluar dengan tatapan kosong. Ia tak percaya dengan apa yang tengah ia dengar sewaktu di dalam kantor ayahnya. Kenyataan bahwa dirinya seperti hewan peliharaan dan kini tengah siap dijual terlalu sulit untuk ia terima. Ia tak ingin ... berpisah dengan orang yang ia cintai.

Memang benar, Naruto adalah pria yang sederhana tetapi tak pernah sekalipun ia merasa sedih saat bersamanya. Naruto selalu membahagiakan Hinata bahkan Naruto selalu menghapus rasa sedihnya setiap kali ada tekanan dari sang ayah. Tapi kali ini, ia tak yakin bertemu dengan Naruto bisa menghilangkan rasa sedihnya. Selain itu ... bagaimana dia mengatakan pada Naruto tentang hal ini.

Ia terhenti di depan sebuah taman saat matanya tiba-tiba gelap. Dirasakannya tangan yang halus membekap penglihatannya sehingga gadis itu pun sontak terkejut. Dirabanya rasa tangan itu namun entah kenapa ia tak takut meski ia dalam keadaan seperti ini.

"Kau berada di zona berbahaya, nona. Aku akan membunuhmu," ucap pria itu di samping telinga Hinata.

"B-Baiklah ... bunuh aku, kalau itu maumu," balas Hinata dan pria itu pun tertawa lalu melepas bekapannya di pelupuk mata Hinata membuat Hinata berbalik menatapnya.

"Aku hanya bercanda. Bagaimana kabarmu, Hime?" tanya Naruto yang kemudian mengecup singkat kening gadis itu.

"Lumayan ..." jawab Hinata pelan dengan nada sesal dan membuat Naruto hening.

"Lumayan baik? Atau Lumayan Buruk?" Naruto menarik pipi chubby Hinata membuat gadis itu meringis.

"Mou—Naruto-kun." Hinata menangkap pelan tangan itu dan menggandengnya, membawa Naruto untuk duduk di kursi taman.

"Ada apa, Hime. Dari raut wajahmu kau terlihat sedih," tanya Naruto.

"... Otou-sama," jawab Hinata singkat kemudian matanya kembali berkaca-kaca.

"Ohh..umn ... soal ayahmu lagi. Kau ini, jangan cengeng begitu! Atau haruskan aku memanggilkan pangeran katak buat menyanyikan lagu bahagia untukmu?" goda Naruto dan Hinata pun tertawa kecil mendengarnya.

"Mmnh ... kamu selalu membuatku tersenyum, pangeran katak." Hinata menyandarkan kepalanya di bahu Naruto dan pria itu pun mengelus pelan rambut indigonya.

"Naru ..."

"Mmn?"

"Seandainya suatu saat nanti aku pergi ... apa yang akan Naru lakukan?"

"Kenapa bicara seperti itu? Tentu saja aku takkan membiarkanmu pergi, apapun yang terjadi." Naruto meneruskan mengelus kepala Hinata membuat gadis itu terus merasa nyaman.

"Tapi ... aku takut kalau Naruto-kun tidak bisa menghentikan kepergianku, aku takut aku tak bisa lagi menggenggam tanganmu, dan aku takut ... Naru akan membenciku." Hinata mulai sedikit terisak.

Naruto menghela nafas kecil dan tersenyum tipis. Gadis di sampingnya ternyata perasaannya sedang benar-benar sedih dan mungkin tersakiti. Apa kali ini ayah Hinata memaksa gadis ini untuk melakukan suatu hal yang tidak ingin ia lakukan lagi? Naruto pun berlutut di depan Hinata, memegang bahu gadis itu, kemudian memandang lekat-lekat iris amethyst-nya.

"Apa kau takut aku bohong padamu? Aku janji aku takkan melepaskanmu apapun yang terjadi!" Naruto memeluk Hinata dan Hinata pun menangis di pelukannya.

Naruto mengelus pelan kepala gadis itu. Melihatnya kesedihannya yang tak kunjung hilang Naruto pun melepas pelukannya dan menghapus derai air mata Hinata. Hinata menurut lalu mencoba meredam emosinya, melihat Hinata sudah mulai tenang Naruto ikut tersenyum.

"Hanabi Taikai X013. Akan diadakan di alun-alun hari Sabtu nanti, kau mau ikut?" tanya Naruto.

"P-Pertunjukkan kembang api?" Hinata agak ragu karena tapi itu satu hari sebelum pesta Uchiha Group, mungkin tidak ada salahnya mencoba bersenang-senang sejenak.

"Kau janji akan datang?" tanya Naruto dan Hinata menunduk.

"Kalau kau tak bisa janji maka aku juga takkan datang," pancing Naruto, Hinata pun langsung merasa bersalah. Naruto takkan bisa menikmati indahnya kembang api jika tak bersamanya.

"A-Aku akan ikut, N-Naruto-kun ..." jawab Hinata pelan membuat Naruto tersenyum senang. "T-Tapi untuk sekarang, a-aku rasa a-aku perlu menenangkan diri sejenak," ucap Hinata.

"Baiklah, aku tunggu di festival nanti," ucap Naruto semangat sesaat setelah mereka saling kecup tanda berpisah.

Naruto memandangi kepergian gadis itu. Ia tak menyangka kalau gadis itu sebegitu sedihnya jika harus dihadapkan pada kenyataan kalau harus berpisah dengannya. Ia jadi tak tega—untuk mengatakan satu hal yang sedari tadi ia ingin katakan. Membuat hati nuraninya sendiri hancur mengingat momen yang terjadi sebelum ia bertemu Hinata tadi.

*BRRT ... BRTT*

Ponsel Naruto bergetar dan pria itu pun mengambil gadget kecil yang ada di kantungnya itu lalu mengangkat teleponnya. Terdengar suara deheman terlebih dahulu dari sang penelpon membuat Naruto menggigit bibir bawahnya.

"... Sudah kau katakan?" tanya pria itu, dari nada suaranya yang berat pria ini mungkin sudah cukup berumur.

"... Aku minta waktu, sampai hari Sabtu," pinta Naruto.

"Aku harap kau menepati janjimu! Karena kau tahu jika kau melanggarnya maka aku jamin gadis itu takkan pernah merasa bahagia lagi dan kau takkan bisa melihat wajahnya lagi," ancam pria itu pula.

"... Aku tahu," balas Naruto dan tak berapa lama telepon pun diputus.

Naruto mendecih karena ia tak bisa melawan. Ini kali pertama ia benar-benar dibuat benci sedemikian rupa. Pria ini pikir dengan uang ia bisa melakukan segalanya, meski begitu harus Naruto akui ia tak bisa mengubah semua ini. Naruto pun melangkah pergi setelah hatinya sudah sangat kelam karena sudah berusaha keras untuk tetap 'Ceria' di depan gadis yang ia cintai.

XXX

& HANABI TAIKAI X013 &

An Happiest Festival in Japan —

Sebuah slogan terpampang di alun-alun kota Konoha. Semuanya sedang riuh bergembira melihat kerlap-kerlip lampu lampion dari kertas merah dan beberapa acara pra-event yang sudah di gelar. Sebagai contoh beberapa tarian khas Jepang dan juga drama daerah ini telah dipertunjukkan di beberapa panggung seni yang sudah di sediakan.

Hinata berjalan menikmati keramaian, yukata ungunya menyesuaikan dengan pakaian wanita-wanita lain yang menghadiri pertunjukkan kembang api malam ini. Dilihatnya beberapa temannya termasuk Naruto tengah berkumpul di sebuah kursi panjang dekat kumpulan bunga lampion.

"Horra ... lihat lihat! Kawaii desu ne?" goda Tenten pada Hinata yang baru saja datang membuat mereka yang lain tertawa dan Hinata malu.

"Tentu saja, pacarku memang manis." Naruto tersenyum dan menggandeng leher Hinata membuat gadis itu makin malu.

"Na-Naruto-kun." Hinata memegang kerah baju Naruto dan pria itu mengecup lembut keningnya.

"Ne- Minna ... keberatan kalau beli makanan? Aku lapar sekali," ucap Choji.

"Baiklah, sebaiknya kita beli beberapa. Lagipula pertunjukkan kembang apinya 'kan baru di akhir acara nanti," ajak Temari.

"Mendokusei ne ... " lanjut Shikamaru yang mengikuti langkah yang lainnya.

Mereka pun berjalan ke toko terdekat mencoba menu lokal baru buatan salah seorang koki Konoha. Dua menu baru yang cukup aneh ini bernama 'Akai Tako' atau disebut juga 'Gurita merah' dan 'Orenji Tako' yang artinya 'Gurita jingga'. Keduanya berupa daging berbentuk gurita yang ditusuk seperti sate disertai dengan bumbu unik yang menyebabkan mereka berwarna merah dan jingga. Selain itu untuk Akai Tako lebih mahal ketimbang Orenji Tako dikarenakan jenis dagingnya dan bumbunya.

"Aku beli Akai Tako," pinta Tenten. "Ya, Neji-kun?" Tenten melirik Neji meminta persetujuan.

"Terserah," ucap Neji acuh.

"Belikan aku Akai Tako juga Shika!" pinta Temari.

"Yare yare ... kau tidak lihat harganya 150 Ryo?" jawab Shikamaru.

"Kalau begitu ya sudah." Temari pun menghela nafas kecil membuat Shikamaru serba salah.

"Baik baik belikan aku juga satu," ucap Shikamaru mengalah membuat Temari gembira.

"Mnn, N-Naru?" Hinata memandang Naruto, sebenarnya ia ingin Naruto membelikannya Akai Tako juga tapi Naruto bukan tipe orang yang suka menghamburkan uang.

"Wah, kalian semua memesan Akai Tako ya. Bagi wanita yang memakan tanggung sendiri akibatnya," sahut Kiba dengan misterius disambut gonggongan Akamaru.

"Ojii-san, aku beli Orenji Tako-nya dua," pesan Naruto dan membuat Hinata menghela nafas kecil, ternyata Naruto memang tak ingin menghamburkan uang hanya untuk membahagiakan pacarnya.

"Hai, harganya 50 Ryo," ucap sang kakek dan Naruto pun memberikan uangnya.

"Ini ... Hime." Naruto mengambilkan pesanannya dan memberikan salah satunya pada Hinata, Hinata tersenyum memandangi makanan itu dan mencoba meredam keinginannya melihat wajah bahagia teman wanitanya yang lain yang tengah memakan makanan enak.

"Shhssh ..." ucap Naruto pelan sambil menaruh telunjuknya di bibirnya dan mengedipkan sebelah matanya pada Hinata.

Tak berapa lama semuanya kini tengah memakan daging bumbu spesial itu. Mereka pun memesan lagi minuman yang juga sudah disediakan oleh sang koki yaitu 'Shinsen'na mizu' yaitu air segar namun juga seperti soda. Ini juga salah satu menu baru dari sang koki dan merupakan pasangan dari Akai Tako juga Orenji Tako.

Tenten meminumnya diiringi Temari baru kemudian perlahan Hinata meminumnya juga, sebenarnya Hinata masih kecewa kenapa Naruto tidak membelikannya Akai Tako namun mengingat keadaan Naruto yang hanyalah pria sederhana ia mencoba memakluminya. Selain itu kenapa untuk sesaat Naruto tadi bersikap aneh.

—3s—

—2s—

—1s—

Raut wajah Tenten dan Temari berubah termasuk beberapa pria lainnya juga berubah menjadi memerah kecuali Hinata dan Naruto. Choji mengipas-ngipas mulutnya sementara Kiba dan Akamaru hanya kelihatan menikmati sensasi di mulut mereka beda dengan Shikamaru dan Neji yang kalem saja.

Namun Temari dan Tenten mereka sekarang—

"Atsuiiii ..." Temari dan Tenten mengipas-ngipas mulut mereka yang seakan-akan terbakar karena pedasnya.

"Oishī ..." ucap Hinata dan membuat Temari juga Tenten bingung.

"Shhhs ... hhhnh b-bagian mana yang nikmat Hinata, i-itu pedas sekali," lanjut Tenten yang terengah-engah.

"K-Kenapa kau tega sekali membakar mulutku dengan makanan itu?" Temari mencengkram kerah baju Shikamaru dan pria itu hanya menghela nafas.

"Bukannya tadi kau yang bersikeras ingin membelinya. Aku hanya menjalankan perintahmu, Ojou-sama," ucap Shikamaru licik dan membuat Temari geram.

"Belikan aku air, Shika ... meminum Shinsen'na mizu hanya menambah rasa pedasnya," mohon Temari.

"Mendokusei ne. Makanya berpikirlah dulu sebelum berbuat," ucap Shikamaru yang kemudian mencarikan air diiringi Neji karena Tenten sudah bernasib sama seperti Temari.

Hinata tidak sama sekali merasa pedas. Anehnya ia malah menikmati rasa daging itu sambil meminum Shinsen'na mizu. Dipandanginya Naruto yang tersenyum padanya, entah kenapa ada perasaan janggal di hati Hinata mengenai hal ini namun sebelum ia bertanya Naruto sudah mengelus rambut indigonya dan membuatnya tenang.

"Akai Tako memang daging mahal dan enak, hanya saja itu tidak cocok untuk lidah wanita. Aku tidak ingin melihatmu tersiksa hanya karena menanggung rasa pedas itu. Beda dengan Orenji Tako, ketika daging ini dimakan bersama Shinsen' na mizu akan menciptakan rasa manis dari paduan bumbunya," terang Naruto dan membuat Hinata terharu, jadi Naruto melakukannya bukan karena pelit tapi karena ia tak ingin Hinata merasa tak enak.

"Arigatou ... Dear," ucap Hinata mesra dan membuat Naruto tersenyum.

Beberapa detik kemudian mulai terdengar suara meriah dari sekian banyak orang di tempat itu. Ternyata sebuah kembang api diluncurkan tanda pesta kembang api sebentar lagi akan dimulai. Temari, Tenten, Kiba, Neji, Shikamaru semuanya mencoba mendekati alun-alun agar bisa melihat kembang api dengan lebih jelas.

Hinata mencoba mengikuti mereka tapi tangannya sudah lebih dulu di tarik Naruto. Naruto menarik Hinata menjauhi keramaian dan terus membawanya berjalan mengikutinya. Hinata hanya menurut saja, tapi kenapa Naruto membawanya ke Hanabi Taikai kalau tujuannya bukan untuk melihat kembang api?

"N-Naru? N-Naruto-kun? Ki-Kita mau kemana?" tanya Hinata.

"Nanti kau juga tahu," ucap Naruto.

Mereka terus berjalan hingga akhirnya meninggalkan keramaian. Naruto membawa Hinata masuk ke sebuah jalan setapak menuju Hutan Kematian, itu sebutan orang sekitar tentang hutan itu. Hinata tak mengerti kenapa Naruto membawanya ke sini, ia merasakan firasat yang buruk. Mereka terus menanjak dan menanjak seperti menaiki sebuah bukit hingga tiba di sebuah ladang rumput yang sangat luas. Sebuah ladang yang berada tepat di bagian selatan hutan tersebut.

"Kesini, kesini!" Naruto menarik Hinata ke tengah-tengah padang rumput.

Dan akhirnya mereka sampai. Naruto langsung berbaring di padang rumput itu tanpa menghiraukan Hinata yang masih kebingungan. Memang benar kalau berbaring di padang rumput itu menenangkan tapi bukankah jika sekarang melihat kembang api akan lebih menyenangkan? Dari sini malah tak ada percikan kembang api yang terlihat karena terhalang pepohonan sekitar.

"N-Naru? K-Kenapa kita kesini?" tanya Hinata pelan.

"Sudah berbaring saja disini." Naruto menepuk sebuah tempat di sampingnya namun Hinata hanya duduk bukannya berbaring.

Hinata dan Naruto hanya terdiam dalam sepi sembari memandangi hamparan bintang yang ada di atas kepala mereka. Hinata menghela nafas, memangnya bintang lebih bagus dari kembang api? Apa menurut pandangan Naruto begitu, atau Naruto memang sedang tak ingin bersama-sama yang lain dan membawa-bawa Hinata.

"Hmnh ..." Hinata menghela nafas, jujur ia ingin melihat kembang api.

*SHNGG*

"Are?" Hinata merasa sesutu baru saja lewat, entah apa itu. Mungkinkah bintang jatuh?

Amethyst Hinata membesar saat dilihatnya di langit bukan hanya terlihat satu bintang jatuh tapi perlahan mulai terlihat puluhan bahkan ratusan dan terus berjatuhan, ini adalah hujan meteor. Ini bahkan terlihat jutaan kali lebih indah ketimbang melihat kembang api. Tak terasa air mata menetes mengaliri pelupuk mata Hinata karena tak tahan dengan keindahannya.

"Mnemid Meteor Falls ... akan terjadi kira-kira tepat malam ini. Susah memandanginya tanpa alat bantu jika tidak berada di ketinggian tertentu," terang Naruto sambil terus memejamkan mata.

Hinata pun langsung reflek memeluk Naruto yang tengah berbaring di rerumputan, membuat pria pirang itu terkejut. Ia pun mengelus pelan lagi rambut indigo Hinata karena kini bukannya senang malah gadis itu tengah menangis sesengukan.

"Aku tidak mau ... berpisah dengan Naru," lanjut Hinata sembari terus menangis sementara Naruto hanya terdiam mendengarnya.

Mereka terus diam dalam posisi itu hingga hujan meteor Mnemid selesai. Hinata hampir terlelap karena terbius oleh keindahan pemandangan itu. Hingga tangan halus pun membangunkannya membuat gadis lavender itu menguap kecil dan membuatnya terlihat sangat lucu.

Naruto berdiri kemudian berjalan beberapa langkah meninggalkan Hinata membuat gadis itu bingung. Dengan segera ia pun ikut berdiri namun ia terhenti saat mendengar Naruto menghela nafas ingin mengatakan sesuatu hal padanya.

"... Sudah selesai ... Hinata," ucap Naruto pelan tanpa berbalik menatap wajah Hinata.

"U-Um ... benar-benar malam yang indah," lanjut Hinata dengan wajah bersemu merah.

"Bukan ... tapi maksudku hubungan kita. Sebaiknya kita akhiri sampai disini saja," ucap Naruto lagi, Hinata yang mendengarnya pun sontak terkejut.

"A-Apa ... A-Apa m-maksudmu N-Naru?" tanya Hinata seolah ia salah dengar.

"Duniamu ... dan duniaku. Kita dua orang berbeda yang tak mungkin bersatu. Jarak kita terlalu jauh, Hinata ... aku hanyalah orang sederhana sementara kau ..." Naruto terhenti saat menyadari gadis itu sudah menangis.

"M-Memangnya kenapa? A-Aku tidak peduli. A-Aku menyukai Naru yang sederhana," ucap Hinata lagi.

"Tapi kita ... memang tidak ditakdirkan bersama, Hinata. Aku tidak sebanding dengan wanita kaya sepertimu," lanjut Naruto lagi.

"... Besok ... ayahku akan menjodohkanku dengan Uchiha Sasuke, anak dari rekan bisnisnya di Uchiha Group. S-Setelah semua janjimu padaku apa yang akan kau katakan sekarang, Naruto-kun?" tanya Hinata.

'Kumohon ... hentikan aku, Naru!' Hinata memohon dalam hati kecilnya.

"Baguslah."

*DEG! DEG!*

Mata Hinata membesar, ia menatap kosong karena tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut pacarnya itu. Naruto bahkan menghentikan perjodohan pacarnya sendiri? Apakah ia benar-benar sudah tidak mencintai Hinata?

"K-Kenapa?" Hinata menunduk dan terus meneteskan air mata.

"Sayonara ..."

Naruto melangkah pergi meninggalkan Hinata yang tengah menangis di ladang rumput itu dengan satu kata singkat nan menyakitkan. Dengan semua kebahagiaan palsu itu kini hidup Hinata telah hancur lebur—perasaannya pada Naruto.

::&&&::

Di pagi hari yang baru, Naruto berjalan memasuki sebuah ruangan mewah. Didorongnya pelan pintu kaca itu dan ia pun masuk dalam tempat seseorang pria yang tengah duduk di kursi hitam memandangi pemandangan di luar jendela gedung. Di tatapnya lekat-lekat iris amethyst pria yang tengah tersenyum itu.

"... Bagus, Naruto. Kau sudah paham dimana posisimu sekarang," ucap Hiashi dan Naruto hanya tersenyum pahit.

"Aku tidak menyangka, Anda begitu dibutakan oleh uang dan kekuasaan, Hyuuga-sama," lanjut Naruto.

"Ini bukan soal uang, Naruto. Karena memang pada dasarnya Hinata tidak ditakdirkan untuk bersamamu. Dia yang bagaikan putri raja tidak cocok dengan penyair yang hidup mengembara seperti dirimu," ucap Hiashi dingin.

Naruto berbalik karena ia rasa ia sudah memenuhi undangan Hiashi. Tidak perlu lagi baginya untuk berlama-lama di tempat ini hanya untuk mendengar ejekan Hiashi dan semacamnya. Tetapi ia menahan diri sesaat sebelum keluar dan memegangi pintu ruangan Hiashi.

"Aku tidak pergi karena aku telah kalah. Sejauh yang aku tahu, anda adalah orang paling kejam yang pernah ku kenal," ucap Naruto dan ia pun pergi meninggalkan tempat itu.

...

...

::To Be Continue::

A/N: Arigatou ne, udah mampir ke fic sederhana ini. Mohon kesan, kritik, dan sarannya ya minna-san. ^^ Jaa ne-