Disclaimer : Naruto bukan milik saya
Don't like don't read
Warning : Bahasa tidak baku, EYD tidak sempurna, karakter OOC
.
CHAPTER 1
.
Sasuke memandang Kakashi yang sedang tertawa terbahak-bahak.
"Apa katamu tadi?! Menikah? Ahahahaha… aku tidak pernah tahu kau bisa mengatakan lelucon yang sangat lucu seperti ini Sasuke… ahahaha."
Sasuke hanya bisa diam ketika Kakashi sudah mulai bisa menenangkan tawanya. Asisten pribadinya itu bahkan sampai harus mengusap air matanya.
"Fiuhh… itu tadi benar-benar lucu."
"Aku tidak sedang bercanda, Kakashi."
Kakashi mematung. Matanya terbelalak. Jika ia tidak sedang mengenakan masker pasti Sasuke akan melihat mulutnya yang terbuka lebar.
"Kau… sedang tidak bercanda?"
Sasuke menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya di kursi kantor. Bukankah seharusnya Kakashi yang paling tahu seperti apa Sasuke sebenarnya.
"Tidak." Jawab Sasuke dengan tegas.
"Keluarga Hyuuga ya…" Kakashi meletakkan tangannya di bawah dagu. "Bukan pilihan yang buruk. Reputasi dan status mereka lumayan bagus. Kudengar puteri pertama Hiashi Hyuuga lumayan cantik."
Sasuke mendengus. Ia tidak peduli seperti apa wajah puteri Hiashi itu. Hal itu tidak penting baginya.
"Siapkan pertemuanku dengan Hiashi besok." Perintah Sasuke.
"Eh?! Tidakkah kau sedikit tergesa-gesa?"
"Lebih cepat lebih baik."
"Lalu bagaimana dengan Sakura?" Tanya Kakashi dengan penasaran.
Sosok wanita berambut pink dengan mata hijau muncul di benak Sasuke.
Sakura…
Sasuke lalu mengalihkan ingatannya pada sosok keluarganya.
Otou-san… Okaa-san… Nii-san…
Sasuke mengepalkan erat tangannya. Seandainya saja keluarganya masih hidup pasti ia tidak berada di posisi seperti sekarang ini. Seandainya saja kakaknya masih hidup pasti orang akan yang menikahi puteri Hiashi itu bukanlah Sasuke.
Mengapa kedua orang tuanya memutuskan untuk menikahkan anaknya pada keluarga Hyuuga? Apa alasannya? Apa hal spesial yang membuat mereka menjatuhkan pilihannya pada keluarga Hyuuga?
Yang jelas hal ini adalah salah satu keinginan orang tuanya dulu. Dan Sasuke… ingin memenuhi keinginan orang tuanya itu.
"Apapun pendapat dari Sakura tidaklah penting. Siapkan saja semuanya, Kakashi."
Otou-san… Okaa-san… jika aku memenuhi keinginan kalian ini apakah kalian akan merasa bangga padaku?
Aku merindukan kalian bertiga…
.
.
Hiashi Hyuuga menerima Sasuke dengan tangan terbuka. Saat Sasuke mengutarakan keinginannya untuk menikahi puteri pertamanya, pria paruh baya itu tidak bisa menutupi rasa senang yang terpancar di matanya.
Sasuke tidak begitu mengenal sosok Hiashi Hyuuga secara pribadi. Namun ia memiliki sedikit memori tentang pria paruh baya di depannya itu. Sasuke tahu jika Hiashi dan ayahnya adalah teman dekat. Saat ia masih kecil dulu Hiashi sering berkunjung ke rumahnya untuk sekedar bertamu.
Setelah berbicara panjang lebar maka disepakatilah tanggal pernikahannya. Mereka juga sepakat jika urusan pernikahan akan ditangani oleh pihak Hyuuga. Ia hanya perlu menyerahkan daftar tamu yang akan diundang untuk hadir ke pesta pernikahannya. Sasuke tidak mempermasalahkan itu, ia justru lega karena tidak harus repot-repot mempersiapkan apapun.
.
.
"Kau hanya mengundang sedikit orang saja huh…" Kata Kakashi sambil melihat-lihat daftar tamu.
"Mmm."
"Bagaimana reaksi Sakura dan Naruto?"
Sasuke membisu. Sakura sangat kecewa padanya, bahkan ia sampai menangis di hadapannya. Naruto marah besar dan meluapkannya dengan meninju wajah Sasuke.
Sasuke mengusap pipinya yang masih sedikit lebam karena tinju dari Naruto beberapa hari yang lalu.
"Menurutmu apakah mereka akan datang?"
"Entahlah." Jawab Sasuke dengan acuh. Yang jelas ia telah memberikan undangan pada dua orang itu.
"Pernikahanmu hanya tinggal menghitung hari." Gumam Kakashi. "Apa kau sudah melihat wajah calon istrimu?"
"Aku akan melihatnya saat pernikahan nanti."
"Oi… oi… apa-apaan sikapmu itu? Tidakkah kau penasaran seperti apa wajahnya? Bagaimana jika ia jelek?"
"Bukan hal yang penting bagiku."
.
.
Hinata Hyuuga.
Itu adalah nama dari istri barunya.
Ah… sekarang namanya sudah berganti menjadi Hinata Uchiha.
Satu kata yang menggambarkan istri barunya itu… biasa.
Wanita itu sangat biasa. Tidak ada yang istimewa darinya. Wajahnya biasa. Tidak jelek namun juga tidak terlalu cantik. Pupil matanya pucat. Kulitnya putih pucat. Rambutnya berwarna gelap, perpaduan antara biru, ungu dan hitam. Penampilannya juga biasa, sederhana dan tidak menawan. Karakternya biasa, seseorang yang pendiam dan pemalu yang bahkan berbicara dengan terbata-bata. Sikapnya juga biasa, tidak terlihat anggun dan berwibawa namun syukurlah bukan tomboy. Ia selalu memakai pakaian longgar sehingga ia tidak tahu dengan jelas bentuk tubuhnya. Mungkin tubuhnya juga biasa.
Ia tidak ingin menghabiskan malam pertama dengannya. Ia lebih memilih bekerja. Mungkin wanita itu akan marah dan membencinya. Wanita mana yang tidak akan marah ketika suaminya lebih mementingkan pekerjaannya saat malam pernikahan. Tapi Sasuke tidak mempedulikan itu. Terserah saja.
Hari berikutnya saat ia bertemu dengan wanita itu ia sedikit terkejut karena wanita itu tidak marah atau mengamuk atas sikapnya tadi malam. Hinata hanya menyapanya dengan sopan dan ia selalu mengabaikannya. Wanita itu tidaklah penting baginya.
Selama seminggu ia selalu mengabaikan wanita itu. Ia selalu sengaja pulang larut agar tidak sering berpapasan dengannya. Istri barunya itu tidak pernah protes, ia justru selalu tersenyum setiap kali mereka bertemu di pagi hari.
Sakura masih marah dengannya. Untuk pertama kalinya wanita berambut pink itu tidak mengirimi pesan selama berhari-hari. Biasanya Sakura akan mengiriminya pesan setidaknya satu kali sehari. Lain halnya dengan Naruto, si dobe itu selalu meneror ponselnya. Setiap satu jam sekali si dobe itu mengirimi pesan umpatan atau menelponnya. Sasuke lebih memilih mengaktifkan ponselnya dengan mode diam.
.
.
"HINATA!"
Ia meneriakkan nama wanita itu secara spontan. Sasuke masih mengingat dengan jelas kecelakaan yang terjadi tepat di depan matanya itu. Mobil itu langsung melarikan diri dari lokasi kejadian. Sasuke tidak mempedulikan hal itu sekarang. Ia memiliki koneksi yang luas, melacak plat mobil bisa ia lakukan dengan mudah. Ia lalu menghampiri wanita yang tergeletak di aspal dengan tubuh yang lecet dan berdarah.
Ekspresi wanita itu terlihat tenang, seperti orang yang tengah tertidur pulas. Kulitnya yang pucat terlihat kontras ketika berada di atas aspal yang hitam.
Sayup-sayup ia mendengar kepanikan orang-orang di sekelilingnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada wanita berusia 30-an yang menangis sambil memeluk anak kecil yang nyaris menjadi korban kecelakaan jika tidak diselamatkan oleh Hinata. Sebagai seorang ibu seharusnya ia mengawasi anaknya dengan baik.
Dengan hati-hati ia menggendong tubuh Hinata ke mobilnya. Sepertinya tidak ada tulang yang patah namun ia juga tidak tahu pasti. Dengan mengebut ia lalu pergi ke rumah sakit.
Pikirannya campur aduk, ia bahkan melupakan keberadaan Sakura. Apa yang Hinata lakukan disini? Mengapa ia dengan bodohnya mencoba menyelamatkan orang lain?!
Dasar wanita bodoh…
.
.
Kondisi Hinata tidak parah. Sasuke merasa jauh lebih lega sekarang meskipun ia tidak mengekspresikannya.
Sasuke mengetahui satu fakta baru : ketika Hinata sedang marah ia justru berbicara dengan lancar.
Ternyata Hinata bukanlah wanita yang patuh dan pendiam seperti dugaan awalnya. Ia juga bisa marah, kesal, panik dan jengkel. Wanita itu penuh dengan kontradiksi.
Hinata itu penakut namun juga pemberani.
Hinata itu penyabar namun juga cepat marah.
Hinata itu pendiam namun juga bisa cerewet.
Hinata itu berbicara dengan perlahan namun juga bisa berteriak.
Hinata itu pemalu dan lembut namun juga tangguh dan keras kepala.
Hinata itu lemah namun juga kuat.
Hinata itu jujur dan terbuka namun ia juga menyembunyikan beberapa hal.
Hinata adalah misteri.
Apa yang ia sembunyikan?
Sasuke lalu mengambil kesimpulan jika Hinata adalah wanita yang menarik.
.
.
Hinata memiliki sepasang mata yang ekspresif yang selalu mencerminkan isi hatinya. Perasaannya selalu terlihat jelas. Jika ia sedang kesal atau marah matanya menyipit. Saat ia sedih atau kecewa sinar matanya akan meredup. Ketika ia menyembunyikan sesuatu ia akan mengalihkan pandangannya. Saat ia sedang senang matanya terlihat berbinar-binar. Ketika ia terlihat malu-malu ia akan menundukkan pandangannya sambil sesekali mencuri pandang. Saat ia tersenyum dengan tulus matanya akan melembut, seperti cahaya rembulan di langit malam.
Sasuke tahu jika Hinata menyukainya. Ia sudah sangat familiar dengan tatapan wanita yang jatuh hati padanya. Setiap kali mereka bertatapan Hinata akan menundukkan pandangannya sementara wajahnya dihiasi semburat merah. Tapi entah kenapa Sasuke tidak mempermasalahkan hal itu.
.
.
Pelaku penabrakan itu adalah seorang pria berusia 37 tahun. Ia mengendarai mobil dengan keadaan mabuk setelah putus dari kekasihnya.
Sasuke menyerahkan kasus itu pada pihak kepolisian. Ia tidak ingin mencampuri urusan ini lebih jauh lagi. Asalkan pelakunya sudah tertangkap dan diberi hukuman, baginya hal itu sudah cukup.
Sasuke tidak memberitahukan kasus ini pada Hinata namun bukan berarti ia menutup-nutupinya. Jika Hinata bertanya maka ia akan menjawabnya. Namun mengapa Hinata tidak pernah menanyakan kasus ini? Bagaimana mungkin Hinata mengabaikan kejadian yang mungkin saja merenggut nyawanya?
Sasuke tidak bisa memahami jalan pikiran wanita itu.
.
.
"Se-setidaknya kau ja-jangan sering pulang larut malam."
"Hm?" Sasuke menoleh ke arah Hinata. Wanita itu lagi-lagi menundukkan wajahnya. Rambut panjangnya yang terurai bebas terlihat seperti tirai yang membingkai wajahnya.
"Ba-bagaimanapun juga kita a-adalah suami istri. A-aku tidak berharap agar kau mencintaiku. A-aku hanya ingin kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Se-setidaknya dengan begitu kita tidak terasa seperti orang asing."
Istrinya itu terlihat lemah dan rapuh. Ia memasang ekspresi penuh harap namun juga dihiasi kepasrahan jika tiba-tiba mendengar penolakan. Sebuah kontradiksi yang menarik.
"… Akan kuusahakan." Jawab Sasuke. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa ia menjawab seperti itu.
Hinata membulatkan matanya. Ekspresi tidak percaya terpasang di wajahnya.
"Ma-mau kubuatkan apa untuk makan malam?" Kata Hinata dengan penuh harap.
"Memangnya kau bisa masak?" Tanya Sasuke dengan sedikit penasaran.
"Tentu. A-aku lumayan jago." Kata Hinata sambil berusaha menyembunyikan ekspresi bangga
"Terserah." Jawab Sasuke. Ia ingin menilai seperti apa kemampuan Hinata.
"A-apa yang tidak kau sukai? A-apa kau punya alergi pada makanan tertentu?"
"Tidak ada alergi." Sasuke tidak memiliki alergi pada makanan apapun.
Hinata masih menanti jawabannya dengan penuh harap.
"… Aku tidak suka brokoli."
Mendengar jawaban Sasuke sebuah senyuman terukir di bibir Hinata.
Senyuman Hinata sangat berbeda dengan senyuman milik siapapun yang pernah ia temui. Tidak seperti senyuman Naruto yang menyilaukan seperti mentari. Tidak seperti milik ayahnya yang kaku dan professional. Tidak seperti milik Itachi yang lembut dan dipenuhi rasa sayang pada adiknya. Tidak seperti milik ibunya yang anggun dan memberikan kenyamanan. Tidak seperti senyuman milik Sakura yang hangat dan manis. Tidak seperti milik Kakashi, Shizune, Gai, Lee, Shikamaru, Ino, dan yang lainnya.
Ketika Hinata tersenyum, sepasang matanya akan melembut. Bibirnya akan melengkung. Pipinya lalu dihiasi semburat merah muda. Senyuman Hinata terang tapi tidak menyilaukan. Hangat tapi juga menyejukkan. Lembut dan natural. Senyumannya terasa menenangkan… dan menghanyutkan.
Mungkin Hinata bukanlah wanita yang menawan dan mempesona. Tapi harus Sasuke akui Hinata yang tersenyum terlihat sangat cantik.
.
.
Hanya sedikit sudut pandang yang saya ceritakan. Kalau diceritakan banyak-banyak takutnya nanti malah spoiler kisah utama.
Disini saya juga sengaja tidak mencantumkan pendapat dan perasaan Sasuke tentang Sakura. Pokoknya itu masih rahasia!
Please review ^^
Meski hanya satu kata saja namun itu sangat berarti bagi saya.
