Gelap malam dengan semburat cahaya rembulan yang tengah menampakan seluruh keindahannya, purnama yang sangat terang membulat sempurna seolah menyimpan nostalgia surya yang telah lenyap oleh rotasi. Bulan memang tidak akan pernah bertemu dengan matahari, juga sebaliknya. Tetapi matahari akan tetap membagi terang dalam dirinya kepada bulan, dan amat banyak memberikan bagian dari dirinya untuk mendampinginya saat malam tiba. Berkesan sangat peduli ya aku tahu. Terkadang tidak hanya mereka yang mengalami ini. Bahkan kisah cinta malaikat dan iblis juga, bukan? tunggu- ini bukan cerita mengenai kisah cinta malaikat dan iblis. Terlalu mustahil untuk diterima secara nyata. Akan sedikit berbeda.
.
.
.
.
.
Who Are You?
voxjeonny
Vkook pair (김태헝 전정국) • 방탄소년단
BL • Boyxboy • Yaoi • Homophobic (warn!)
Romance • Sappy (sad-happy) • Drama • Supernatural
T or M I'm not sure. "Just enjoy the show."
DLDR!
Note :
Aku hanya ingin bilang kalau cerita ini murni dan utuh dari imajinasiku. Tidak ada unsur kesengajaan untuk mem-plagiarism karya orang lain. Apabila ada kemiripan (I swear) itu jelas diluar kemampuanku. And yeah ini ff pertamaku dengan bahasa Indonesia (mungkin aku juga akan membuat cerita dengan bahasa tetangga) tolong dimaklumi apabila ada salah kata (or my bad grammar, probably) dan jangan lupa bagi para pembaca untuk memberikan review tidak hanya diam (tapi aku juga tidak memaksa) karena semakin banyak review (ya siapa yang tidak senang) maka akan sangat berguna untukku kedepannya. Yah aku harap cerita amatiran ini diterima. Dan satu lagi, aku suka menggunakan bahasa baku.
Selamat membaca
.
.
.
Pemuda dengan balutan fabrik lembut berwarna merah maroon terlihat memandangi dan menikmati indahnya benda bulat bersinar itu dengan kedua batu onyxnya yang sayu dan sedikit terkantuk. Mendongak dan menatapnya berlama-lama.
Tergenggamnya Bud Light Platinum dalam rengkuhan jari-jari putih miliknya. Kedua belah peachnya terbuka meninggalkan celah kecil dengan gigi-gigi besarnya yang sedikit mencuat menggemaskan. Nafasnya tidak berirama namun sangat dinikmatinya. Berjalan menelusuri tiap inch trotoar di Seoul yang tetap ramai meskipun dunia sadar bahwa jarum jam tidaklah sedang mengibul. Jam dua dini hari.
"Siapa seseorang yang kulihat tadi?" Jungkook bermonolog sembari mengacak-ngacak surai coklat sewarna kukis kelewat terpanggang yang membelah rapi di keningnya. Jungkook merasa pernah melihat laki-laki itu, atau sering? atau ia hanya berhalusinasi? Tidak, semuanya terasa begitu nyata dan dapat dijangkau. Tetapi ia tidak mengenalnya, dalam mimpi?, real life? imajinasi?, halusinasi? Tidak yakin, tidak juga. Ia sedang mabuk.
.
Lima hari yang lalu orang yang sama tengah menatapnya saat Jungkook memulai pelajaran bahasa dan sastra Jepang di salah satu sekolah menengah akhir di kota Seoul. Mengamatinya dari ujung kelas dengan jari-jari panjangnya yang tampak berada di permukaan pipinya dan telapak besarnya menopang kepala pemuda berambut blonde yang tengah menatap siswa kelas dua itu dengan tatapan kosong namun menenangkan.
Jungkook pun sadar akan hal itu, jantungnya gelisah namun juga memberikan degupan kencang yang membuat kumpulan kepompong menetas dalam perut Jungkook, mendesak ingin segera keluar melalui kerongkongannya.
Jungkook mengacuhkannya, tidak peduli siapa orang aneh yang menatapnya dengan kedua bola mata dengan iris hazel yang menyalak itu dan memutuskan untuk lanjut memperhatikan gurunya menjelaskan dengan tatapan sinis yang mengarah ke manik onyx Jungkook.
Tubuhnya panas, keringat dingin mengalir di permukaan kulit halusnya, detak jantungnya berdetak seolah telah melakukan lari marathon. Dibawah alam sadarnya Jungkook menelengkan kepalanya mengecek keberadaan pemuda berambut blonde itu sekali lagi dan tatapan mereka bertemu, bohong jika Jungkook 100% mengacuhkannya. Jungkook tersipu malu tentu ia tidak merencanakannya, lagi-lagi mengabaikan celotehan guru killernya itu.
.
"Eomma, Appa, aku sangat merindukan kalian. Maaf, kookie tidak seharusnya meminum ini." meneguknya habis Jungkook membuang botol birnya itu ke sebuah tong sampah dibawah lampu jalan remang memberi suasana kehangatan. Jalannya mulai terhuyung, matanya terpejam. Apartemen Jungkook hanya berjarak lima gedung dari pub dimana ia pertama membeli bir seumur hidupnya.
Berinisiatif menyebrang ia justru terjatuh dengan posisi berlutut menatap pinggiran trotoar dengan tatapan kosong. Pikirannya hampa, tubuhnya seperti melayang tak mampu melawan gravitasi. Kepalanya menengadah kearah jalan seketika ia melihat sorotan cahaya yang amat membuat pandangannya menghijau ketika ia menatap sumber cahaya itu.
Semakin dekat seluruh tubuhnya tersinari oleh sinar bejat itu. Mengumpulkan segala kemampuannya berpikir, memaksa saraf dan impulse dalam otak Jungkook mengayuh menyiksa. Kesadaran Jungkook hilang, semua pandangannya memutih seolah jiwanya sudah memutuskan untuk tidak pernah kembali ke raganya.
BRAK!
.
Tiga hari yang lalu lagi-lagi ia berpapasan dengan pemuda itu ketika Jungkook hendak pulang dengan terburu-buru melawan tiap tetesan air hujan yang sedikit demi sedikit mengguyur habis membasahi seragam yang ia kenakan.
Pemuda itu terlihat mengikuti Jungkook saat ia sadar telah memalingkan kepalanya ke belakang. Posturnya yang jangkung dengan seragam yang sama seperti yang Jungkook kenakan, tunggu bahkan Jungkook seperti tidak pernah mengenali atau bahkan berbicara dengan namja itu di sekolahnya semenjak kejadian sesi pandang-pandangan yang digelar oleh pemuda berambut blonde waktu itu.
Pemuda itu menggenggam gagang payung yang berukuran besar (cukup untuk dua orang) berwarna hitam pekat berjalan dengan santai sekitar 5 meter dari jarak pandangnya menatap punggung Jungkook. Jungkook kembali perpaling dan terfokus pada langkah lunglainya pada tepakan sepatu yang ia kenakan, memutuskan untuk acuh dan berakhir menambah kecepatan langkahnya. Sebelum akhirnya berlari dan menyempatkam diri untuk memutar poros pada pangkal lehernya.
"Huh? Kemana orang itu tadi?" Jungkook jelas tidak salah melihat apa yang kedua netra onyxnya rekam-beberapa-detik-terlewat. Lelaki cantik bak porselen hidup itu mendekat kearah payung tak bertuan yang tadinya terangkat melindungi tubuh seseorang dari rintikan awan mendung lalu mengambilnya sembari melihat keadaan sekitar, barangkali laki-laki yang menghilang secara tiba-tiba itu kembali terlihat dalam kejernihan sorotnya.
.
"Jungkook-ah.."
Suara berat namun lembut itu menyapa gendang telinga Jungkook, ia tersadar dan perlahan membuka celah untuk memperjelas pandangan onyxnya.
"Ah, halo Yoongi-hyung. Dimana aku?"
Ya, namja bersurai blackforest itu adalah Min Yoongi, kakak kelasnya sekaligus tetangga kamar sebelah- satu apartemen dengan Jungkook. Hubungan mereka sangat dekat, mereka sudah berteman selama kurang lebih satu dekade lebih dua tahun.
Mereka seperti biological-hyungs. Kedua orangtua mereka adalah teman baik. Sampai Jungkook kehilangan keluarga satu-satunya, sampai orangtua Yoongi yang bersedia mengangkat Jungkook sebagai anaknya. Sampai semua biaya hidup dan sekolah ditanggung keluarga bermarga Min, sampai Jungkook sebesar ini. Sampai sekarang Yoongi masih menyayangi Jungkook sebagai adiknya sendiri, sampai Jungkook berbaring terlihat tak berdaya seperti sekarang ini.
"Apa kau baik-baik saja, Jungkookie?" tanya namja yang lebih tua khawatir.
"Tidak apa-apa hyung, hanya sedikit pusing karena aku minum bir sebelum sebuah mobil menabra-" pekik Jungkook berusaha untuk memutar kejadian beberapa jam yang lalu. Mengapa sakitnya tidak seberapa? sepertinya aku tidak salah lihat kalau mobil itu melaju dengan lincah dan cepat, pikir Jungkook. "-hyung, ngomong-ngomong dokter bilang apa?"
Wajah Yoongi sepuluh kali lipat terlipat, bibirnya datar, alisnya mengerut. Tentu Jungkook tahu bahwa akan segera ada singa buas keluar dari kandangnya. "Jungkook! Jangan coba-coba meminum bahkan menyentuh minuman itu lagi. Apa kau tak tahu kau bisa kehilangan akalmu, dan lagi-lagi sekarang kau berada disini. Sungguh kau membuatku panik. Aku tak pernah tahu kalau kau suka minum-" secepat kaki burung unta melangkah Jungkook menyela..
"Whoa, maaf hyung aku tak bermaksud seperti itu, itu yang pertama dan terakhir, sungguh. Aku hanya.. Mungkin, sedikit merindukan orangtuaku." Yoongi dengan kecepatan anak anjing merangkak membalas "Tetap saja, Jungkookie. Jangan pernah minum itu lagi. Kau masih 17. Dan soal orangtuamu, maafkan aku, makanlah coklat sebagai gantinya, adikku." usapan halus mendarat di surai kukis Jungkook lalu memberi tepukan-tepukan kecil "Lain kali, ceritakan kepada hyung apa masalahmu. Dan jangan menyela hyung ketika hyung sedang berbicara."
Jungkook yang terbaring merinding gemetaran mendengar ocehan hyungnya "Baik, baik maafkan aku hyung kesayangan kookie.. jangan marah lagi hyung galak. Nanti jimin hyung tidak jadi menikahimu." Ucap jungkook mengerjai kakaknya sambil terkekeh ringan. "Dia menyukaiku yang galak Jungkookie, dan awas saja kalau kau mengadu kepadanya. Aku bisa habis." Balas Yoongi sambil melotot ke arah Jungkook.
"Sampai mana kita tadi?" berpikir, Yoongi teringat laporan yang dokternya bilang. "Oh, Jungkook, dokter bilang seseorang membawamu kemari dan-" kembali Jungkook menyela, mengabaikan nasihat kakaknya beberapa persekon lalu. "Siapa hyung?"
Yoongi mendecak kesal sekaligus gemas dan mencubit pipi adiknya yang gembil. "Hold your horse Jungkook. -menggotongmu bridal style dengan banyak darah dan luka sayatan kaca. Dia laki-laki, pemuda itu menolak mendapat perawatan extra dan katanya menghilang dengan kata-kata terakhirnya seperti, um.. 'pastikan Jungkook baik-baik saja'."
Netra onyxnya menatap pemuda bersurai blackforest itu dengan ekspresi kebingungan. Berharap hyungnya itu melantunkan beberapa informasi lagi. "Apakah kau mengenalnya, Jungkookie?-"
"-namanya.. Hmm, hanya huruf kurasa. V? ya, V."
V
V
V
"Aku.. Baru mendengarnya, Yoongi-hyung."
'Nama yang akan selalu kuingat. Terimakasih.. Tetapi, siapa dia? Mengapa ia menolongku, menyelamatkanku, melindungiku. Bahkan sampai mengorbankan dirinya.'
.
.
Who are you?
.
.
.
.
.
TBC!
.
.
.
Don't forget to leave a comment/review and let me know what you guys are thinking~
I think I'll make this chaptered~
Sorry for the bad plot and grammar~
Just in case, they belong to their parents and agency~
Don't judge the pairs~
