I.

-:- Gadis Itu -:-

Melepas sebelah earphone, mata serupa rubah melihat keributan kumpulan adik kelas yang ada lima langkah dari kursi di mana ia menunggu bersama penumpang lain di bandara. Rasa penasaran membumbung, tapi tak ada seorang pun yang dia kenal di sana kecuali seorang gadis yang mirip sepertinya—yang juga baru keluar dari kerumunan dan menghampiri dengan wajah kesal kemudian duduk di samping.

"Kenapa?" Ia tidak basa-basi.

"Ada gadis gila di kelasku. Sangat gila!"

"Gila? Seperti?" Diam-diam dia menyentuh tombol stop pemutar di ponsel dengan mata masih pada sang adik, Bahiyyih namanya.

"Gadis gila itu mengatakan hal mengerikan pada sahabatku. Dia bilang jangan ikut tour ini—"

Yang mana? Matanya tidak lagi memperhatikan si adik, bahkan suara mengomel itu menjadi backsound samar ketika ia mencari dengan mata dan lihat kumpulan adik kelasnya bubar kemudian menyisakan seseorang. Ada seorang siswi menyisir rambut dengan jemari lentik dari dahinya lalu kebelakang sambil menghela napas keras. Mata itu menyipit dan alis jadi menukik hingga tercipta kerutan di tengah dahi. Apa ini gadis yang diceritakan Bahiyyih?

Gadis itu juga terlihat marah.

"—ada hak apa dia berkata seperti itu. Anak baru yang som—"

"Siapa namanya?" tiba-tiba saja itu keluar dari mulut tanpa aba-aba.

Bahiyyih seketika terdiam dan mendongak untuk melihat ia yang kemudian menyadari arah tatapannya. Sang adik berbicara dengan tegang, "Kai Oppa, jangan bilang..."

Huening Kai Kamal melihat Bahiyyih kembali, "Hm?"karena tanggapan santai itu, ia mendapatkan cengkraman dikerah jaketnya dari sang adik.

"YAK! AKU TIDAK MAU KAKAK IPAR SEPERTI DIA!"

Hah? Apa yang ada dipikiran adiknya, sih?

.

.

.

-:- Toilet -:-

Kai melihat kembali letak kursi penumpangnya di lembaran kertas yang dibagikan guru sesaat sebelum masuk ke pesawat tadi. Dia duduk di antara anak kelas sepuluh yang mana teman sekelas adiknya semua. Ini karena kesibukannya yang sebagai salah satu member boy group, jadi dia telat berangkat ke Hawaii bersama teman sekelasnya dan harus menyusul dengan rombongan adik kelas. Lalu sekarang, yang duduk di sampingnya adalah gadis bermasalah yang diceritakan Bahiyyih.

Dikertas tertulis namanya dan nama gadis itu berdampingan.

Jang Wonyoung, ya.

Tanpa kata, Kai meletakan tas ranselnya di bagasi atas kursi dan duduk masih menatap lembaran kertas.

Sejam terlewat dan semua murid ada di kelas ekonomi sibuk bercengkrama, hanya mereka berdua yang absen suara selama pesawat mengudara. Bukankah ini tidak nyaman?

Apa aku sapa saja? Kai membatin.

Baru mengangkat kepala, Kai sudah disuguhi tatapan galak dari sang adik yang duduk agak jauh di depan. Bahiyyih repot-repot memutar badan untuk mengawasinya dengan memberi kode jari telunjuk dan tengah diarahkan kematanya lalu kemata Kai, itu membuat ia mengangkat ujung bibirnya dan bertanya kenapa tanpa suara. Bahiyyih langsung membuang muka dengan sebal.

Kai melempar punggungnya kebelakang pada kepala kursi, masih tertawa geli dengan mata tertutup. Serasa tukar posisi menjadi adik saja, memang apa salahnya berbicara dengan orang lain?

"Hei?"

Kai segera membuka mata dan refleks memalingkan wajah kekanan di mana ada wajah yang menatapnya dalam jarak sangat dekat. Ia lekas menegakan punggung dengan panik, "Ah, ya? Kenapa? Kau butuh sesuatu?"

Wonyoung tidak berkata apa-apa, hanya menarik sebelah lengan hoodienya yang tidak sedang dipakai itu. Sepertinya tadi tertindih punggung Kai.

"Ah, sorry...," Kai berkata dengan nada pelan yang ternyata di dengar oleh gadis yang mengangguk ringan.

Wonyoung mengubah posisi duduknya agak membelakangi Kai dan menghadap jendela pesawat yang di luarnya sudah gelap bahkan bulan terlihat lebih dekat. Dari pantulan kaca jendela, Kai juga bisa melihat samar Wonyoung memejamkan mata setelah menyelimuti diri dengan hoodie putih tadi.

Ini terlalu cepat untuk tidur, 'kan?

Baiklah, bila tidak ada yang ingin mengobrol dengannya, maka dia akan mencari kesibukan sendiri dengan ponsel yang menganggur sejak tadi.

Dua jam kemudian, kabin pesawat kelas ekonomi sepi dari obrolan, rata-rata sudah tertidur, lampu juga sudah diredupkan. Perjalanan dari bandara Incheon ke bandara International Honolulu memakan waktu hampir tujuh jam, jadi wajar bila mereka kelelahan dan memilih tidur, bahkan Kai sendiri akan terlelap. Namun semua hanya menjadi akan.

Kakinya tersenggol. Kai membuka mata kembali dan ingin mengeluh pada siapapun yang mengganggu tidurnya, tapi suaranya tertahan saat melihat Wonyoung tidak sadar usaha untuk melewati kaki Kai gagal.

Mau ketoilet? Kai membatin dengan setengah sadar. Dia sangat mengantuk dan akan melanjutkan tidurnya.

Namun setengah jam belum juga kembali. Dengan mata tertutup, Kai menghela napas kemudian membuka mata. Kenapa lama sekali?

Menepuk-nepuk paha, Kai menyusuri ruangan dengan tatapan, memeriksa kedatangan siapapun yang berjalan di bawah penerangan terbatas. Yang ia lihat sedari tadi hanya seorang pramugari yang datang mendorong troli dan saat melihatnya yang belum tertidur langsung menawari. Tentu Kai sedang tidak butuh apapun jadi segera menolak, namun dia memanggil kembali pramugari tersebut.

"Maaf, aku mau tanya," ucapnya dengan nada pelan, tidak ingin mengganggu penumpang lain.

"Ya, silahkan," jawab sang pramugari.

"Apa ada seseorang di toilet?"

Pramugari itu berpikir sebentar, "Entahlah. Aku belum memeriksanya. Kenapa?"

Belum menjawab, Kai langsung bangkit dari duduknya, "Aku mau ketoilet. Terima kasih." Ia membungkuk sebelum berjalan pergi.

Dia pergi ke toilet dengan langkah teratur. Di depan pintu toilet, ia melihat tanda di pintunya tertulis tidak ada orang, jadi dibuka dan benar tidak ada siapa-siapa. Akhirnya Kai masuk kedalam bilik toilet untuk mencuci tangan di westafel dengan menatap refleksinya di cermin.

"Di mana ya dia?"

Ketika Kai kembali kekursi, sudah ada Wonyoung duduk menyamping agak membelakangi dengan posisi seperti sebelumnya. Apa gadis itu kembali dan langsung tertidur saat ia di toilet tadi?

Kai menghela napas kemudian duduk kembali. Dia merasa melakukan hal sia-sia. Lebih baik melanjutkan tidur saja, tapi lagi-lagi tidurnya terhalang karena isakan kecil dari orang di samping. Ia tidak bisa terlelap sampai satu jam kedepan bersama berhenti isak tangis yang coba disembunyikan gadis itu.

Kalau kau menangis seperti itu, matamu akan membengkak saat terbangun nanti, pikir Kai saat memejamkan mata.

.

.

.

-:- Bujuk -:-

Kai dibangunkan sang adik saat pesawat tiba di bandara International Honolulu. Wonyoung sudah tidak ada dikursi sampingnya, tapi sedang mengatri untuk berjalan keluar dari pesawat di depan sana. Gadis itu matanya tidak terlalu bengkak, apa jangan-jangan tidak tidur?

Dia segara bangkit dan mengambil tasnya di bagasi.

"Kau benar-benar kebo. Ayo!" Bahiyyih segera menarik tangan Kai untuk berbaris berjalan keluar.

Di luar sudah mau menjelang pagi, sepertinya waktu perjalanan tidak meleset dan sekarang dia masih merasakan jetleg.

Di gedung bandar udara sudah ada staff-staff bandara yang berdiri menunggu mereka dengan kalung bunga yang selalu diberikan pada turis ketika tiba. Rasanya sudah sangat lama tidak kembali ke kampung halaman. Tempat kelahirannya.

"Aku penasaran apa kita akan sempat melihat rumah lama," ucap Bahiyyih.

"Rumah lama kita jauh dari hotel. Sepertinya tidak akan bisa."

"Tidak bisa ya..."

Melihat sang adik menjadi lesu, Kai merangkul Bahiyyih dan mengguncang-guncangnya, "Nanti kita pamer sama Appa, Mom dan Lea! Kita selfi sebanyak-banyaknya dan minta liburan musim panas nanti kesini! Gimana?"

"Aduh sakit, ih!"

"Habis cengeng!"

"Emang kapan aku nangis?!"

Kai tertawa mendengar keluhan adiknya sampai matanya menemukan Wonyoung. Tawanya mereda ketika menatapi orang di sana. Badan yang kurus dan tinggi buat gadis itu mudah ditemukan dalam kerumunan. Si gadis juga selalu sendirian.

"Dek?"

"Kenapa?"

Kai berdehem sebentar, "Si ... Jang Wonyoung itu—" belum juga menyelesaikan kalimatnya, Bahiyyih mencela lagi.

"Tuh! Bener firasat aku!" sang adik mulai heboh menarik-narik lengan jaketnya, buat Kai menghela napas.

"Bisa tidak jangan memotong perkataanku terus?"

"Kau sudah gila kalau suka sama cewek aneh itu!"

"Ini aku mau bertanya karena pure penasaran. Jangan ngaco-ngaco!"

"Semua tuh berasal dari rasa penasaran, Oppa! Sudah banyak buktinya di drama dan wattpad!"

"Perbandinganmu tidak setara. Aku hidup di dunia nyata. Lagi pula yang ingin kutanyakan adalah apa dia punya teman?"

"Cewek tempramen sepertinya mana ada yang mau dekat."

"Gimana... kalau kau coba berteman dengannya?"

Adiknya langsung memukul lengannya, "Ih, NAY!"

"Kenapa tidak? Aku, aku sudah mengobrol dengannya. Dia... lumayan baik," padahal menyapa saja tidak sempat. Atas dasar apa dia berani berasumsi?

"Sudah, ah. Kau sepertinya belum bangun dari tidur. Bye!" Bahiyyih berjalan cepat meninggalkan si kakak untuk menyusul teman sekelasnya.

Benar-benar.

Tapi ya sudahlah. Mungkin dikemudian hari mereka bisa berteman.

Semua berjalan menuju gedung bandara untuk mengambil koper. Baru datang, Kai langsung mendapatkan koper silvernya di bagasi conveyor. Dia berniat segera berkumpul di area penjemputan, namun saat berbalik ada Wonyoung berdiri setengah meter darinya di samping conveyor berjalan. Sedang menunggu koper juga?

Tidak ingin terlalu lama di sana, Kai berjalan pergi meninggalkan Wonyoung.

.

.

.

-:- Harus Tahu -:-

Wonyoung sudah berdiri cukup lama di sana untuk menunggu kopernya, tapi koper pink itu belum terlihat. Apa hilang? Ah! Tidak boleh sampai hilang atau semuanya akan kacau. Seluruh kebutuhan hidupnya selama tour ada di sana. Bagaimana ini?

Lalu seorang pria tiba-tiba berdiri di depannya, agak menghalangi pandangan sambil menelpon seseorang. Pria itu berbicara agak keras.

"Ah, kopermu hilang? Kelewatan mungkin. Mau aku carikan? Oke, aku tanya kepetugas dulu."

Mendengar ada yang senasib dengannya, Wonyoung ingin bertanya, tapi ia tahan dengan menggenggam tangan sendiri. Dia tidak bisa berbicara sembarangan dengan orang asing apalagi berada di tempat tak dikenal. Kemudian orang itu berjalan, Wonyoung yang dilanda kegalauan beberapa saat lalu akhirnya ia putuskan untuk mengikuti dengan pelan dan memberi jarak. Berharap dengan melakukan ini bisa menemukan kopernya tanpa harus merasa tidak nyaman dengan orang asing tersebut.

Saat mereka berjalan mendekati petugas, mata Wonyoung langsung tertuju pada koper pinknya yang berada di antara dua koper lain tergeletak dekat sang petugas. Ia berjalan agak cepat sampai melewati orang yang tadi diikuti dan akan mengambil kopernya tapi dihentikan oleh petugas yang menjaga koper-koper tersebut.

"Can you show me your ID card or passport?"

"Hah?" Wonyoung sadar dia tidak pandai bahasa Inggris. Bagaimana ini?

"Dia ingin melihat tanda pengenal atau passportmu agar bisa diperiksa koper itu milikmu atau bukan."

Dengan perkataan pria tadi, Wonyoung menyerahkan passport pada petugas yang langsung memeriksanya dan tak lama mengembalikan lagi.

"Okay. It's yours," petugas memberi koper Wonyoung.

Tanpa ragu ia mengambil koper itu dan mengucapkan terima kasih dengan bahasa ibunya tanpa sadar karena sangking lega.

"Thank you, Sir."

Mendengar ucapan orang yang ia ikuti tadi, Wonyoung refleks bertanya, "Apa kau menemukan koper yang kau cari?"

Mata pria itu membulat dan langsung meletakan ponselnya di telinga, "Ah. Iya. Sudah ketemu?" Tapi percakapan di telpon belum selesai ada panggilan masuk dengan dering yang keras. Sang pria berubah agak pucat ketika menjauhkan ponselnya, mata hitam itu melirik pada Wonyoung sebelum melihat layar ponsel tapi tak lama muncul semburat merah dipipinya. "Ha-halo?"

"YAK! KAU DI MANA, KAI OPPA!"

Karena jawaban itu cukup keras, Wonyoung tanpa sengaja mendengarnya walau samar. Dia juga baru sadar pria ini bisa berbahasa Korea, wajahnya pun familiar. Siapa ya?

Dengan berbisik-bisik (walau lagi-lagi Wonyoung dapat mendengar) pria itu menjawab sambil membelakangi Wonyoung, "Iya. Aku akan kesana..."

Wonyoung lihat jam digital di dinding bandara dan terkejut. Dia harus buru-buru atau akan ketinggalan bus, jadi dia sentuh punggung pria yang masih menelpon itu untuk berterima kasih. Bagaimana pun, pria itu sudah membantunya. Namun saat disentuh punggungnya, si pria terlihat kaget bukan main sambil berbicara dengan agak keras.

"Oh, jadi kopermu sudah ketemu! Ya sudah! Aku tutup!"

"Hah? koper apa?!" lagi-lagi suara dari sambungan telpon itu terdengar sebelum ditutup.

"Anu, maaf menganggumu. Tapi aku mau mengucapkan terima kasih." Akhirnya Wonyoung mengatakannya.

"Ah, itu, iya—"

"Maaf aku pergi duluan," setelah membungkuk, Wonyoung langsung berjalan cepat, hampir saja berlari. Sudah sangat telat sekarang, semoga dia tidak ketinggalan.

Kalau dia terlambat dan tertinggal, mungkin tidak ada yang sadar karena Wonyoung tidak punya teman. Tapi, saat dia tiba ternyata pak guru Jeon masih berdiri di luar bus, menunggu dengan wajah cemas, ia menghampiri pak guru dengan wajah menyesal.

"Kemana saja kau? Yang lain menunggumu." Tegur guru itu walau tidak bisa menyembunyikan nada khawatir.

Wonyoung tidak dapat membalas tatapan gurunya, "Saya kehilangan koper tadi, Seonsaengnim. Maafkan saya membuat semua menunggu," lalu ia membungkuk beberapa kali, tidak menyangka akan membuat kesulitan bagi orang lain.

Terdengar helaan napas dari sang guru, "Kalau begitu segera masuk kedalam bus!"

Wonyoung hanya mengangguk lalu masuk ke bus dari pintu belakang. Dia melihat dua kursi kosong di deretan belakang. Bersyukur dia lewat belakang, jadi tidak banyak mata yang repot-repot menatap kehadirannya.

Setelah dia duduk, ternyata pak guru tidak langsung masuk, bus pun mesinnya belum menyala.

Apa masih ada yang tertinggal? Baru saja berpikir seperti itu, seseorang yang tidak ia kira naik ke bus. Pria yang tadi membantunya masuk lewat pintu depan. Tunggu, kenapa bisa? Wonyoung terus menatap pria yang belum menyadari kehadirannya, saat mata mereka bertemu pria itu membuang muka perlahan bersamaan pak Jeon yang berjalan masuk ke dalam bus.

Pria di sana terhenti di tengah-tengah bus menghalangi jalan pak Jeon, "Jangan berdiri saja! Duduk!" perintah pak guru.

Wonyoung tidak terus menatap pria itu, ia berusaha dengan pandangan kedepan, namun di depannya hanya ada belakang kepala kursi. Walau begitu, sudut mata sudah tidak bisa lagi menahan keinginan untuk melirik, jadi saat tempat kosong di sampingnya terisi, dia menoleh dengan sedikit menggaruk pipi sedang yang ditatap mempertahankan pandangan lurus dengan bibir membentuk garis.

"Jadi...kita sekelas? Kau...anak baru?"

Pria itu merendahkan sedikit arah pandangannya, "Aku rasa...tidak."

Jadi apa? Wonyoung di dera rasa penasaran, tapi tidak bisa membuka pembicaraan lagi. Bibirnya juga seperti dilem.

Ia memainkan jemarinya dipangkuan sampai terdengar obrolan dibarisan depan.

"Ah, jadi kau sudah kenalan dengannya? Langsung minta nomor telponmu saat pertemuan pertama?"

"Aku rasa kami cocok."

Lupakan kalimat yang lain, fokus pada awal percakapan mereka.

Berkenalan. Aturan yang sangat dasar untuk mengenal seseorang.

Kenapa bisa lupa? Apa ini artinya ia sudah lama tidak berbicara dengan orang lain?

Segera dia menoleh lagi dan membuka mulutnya, namun, "Namaku|Namaku—"

Mereka terkejut dengan ucapan mereka sendiri yang tidak disengaja berujar hal sama. Kenapa bisa? Apa jangan-jangan orang itu juga memikirkan hal yang sama sepertinya?

Karena pikiran itu, Wonyoung tersenyum tanpa sadar. Kok bisa ya?

"Jadi? Nama...mu?"

Wonyoung menggulung bibirnya kedalam sebelum menjawab, start-nya dicuri duluan, "Namaku Jang Wonyoung, kelas 10 – 2. Kau?"

"Kai. Huening Kai Kamal."

Jadi itu namanya. Kai.

.

.

.

.

.

.

To be continued...

A/N: Woaaah aku akhirnya nulis lagi di akun ini. xD Dateng bawa dedek-dedek TXT. Tolong kalo nama adenya Kai salah, bilang ya? Aku ngga begitu yakin. xD Apapun kalo ada salah-salah di sini bilang juga ya?

Sekian, terima kasih udah mampir dan baca :*

Kritik dan saran ya?