Ini MinV, diambil dari sudut pandang si 'bos' toko kue; si bos ini bisa jadi siapa saja, tergantung imajinasi masing-masing :)
--
Hari ini lagi-lagi aku melihat kamu berlari memasuki Esperanza dengan langkah gegas. Tubuhmu yang tinggi kurus dibalut kemeja putih berlengan panjang, masing-masing ujungnya sengaja tidak kau lipat hingga menyembunyikan jemari indah milikmu, jemari favoritku. Aku menilik busanamu; kemeja longgar dan jaket parasut berwarna hitam. Selera berpakaianmu selalu sama, tampak membosankan. Tetapi aku tak pernah bosan melihatnya. Kamu cocok berpakaian seperti itu.
Ah, tidak barangkali.
Pakaian itulah yang nampak cocok melekat di tubuhmu.
Kamu tersenyum untuk Woodrow yang repot mengecek dus karton berisi apel dan persik di pelataran parkir. Dengan kikuk menggeser pintu masuk Esperanza hingga menyebabkan lonceng kecil yang bergelantung di kusen berdencing agak samar. Langkah kakimu ribut, sukses menarik perhatian Gloria, juga Jimin yang sibuk mengelapi permukaan meja bermedia selembar kain lembab beraroma jeruk. Kamu menawarkan senyum dan mereka membalas dengan lambaian tangan yang tak kalah antusias.
Sesuai dugaanku. Sepasang manik berbentuk almond milikmu tak lepas dari Jimin. Pemuda bersurai kelabu yang bagimu kehadirannya menjadi nomor satu bila disejajarkan dengan bersloki-sloki rum, sekeranjang pir segar, karamel dan buah kers. Jimin melengserkan segala hal yang kau senangi. Aku tidak suka.
Merah. Samar-samar aku bisa melihat rona merah merambati kulit pipimu yang sewarna madu. Kamu memerah. Memerah untuk Park Jimin.
Kamu berseru 'buenas dias!' dengan suara kelewat nyaring. Terdengar sengau dan berat namun sarat akan keceriaan yang selalu mampu menyuntikan semangat pada siapa saja yang mendengarnya.
Aku. Taehyung, aku salah satunya.
"Pagi, Bos. Hari ini saya tidak terlambat, lho," kamu menjelaskan. Surai cokelat muda keemas-emasan milikmu bergerak-gerak saat kamu berbicara dengan gesture lucu yang benar-benar khas dirimu. Selama beberapa detik fokusku menguap entah kemana. Kamu mendekat, aku membeku, kamu menarik senyum, aku kehilangan napasku.
"Bos?"
Lagi-lagi suara serakmu merebak. Membuatku mau tak mau memandang dirimu tepat di wajah, lurus, langsung ke mata.
"Kamu terlambat." Aku tidak sadar. Alih-alih membalas sapaanmu aku malah mengatakan hal lain yang cukup untuk menarik habis senyum di bibirmu.
"Maaf?" Kim Taehyung dengan jaket yang sudah tanggal dan disampirkan rapi di lengan menoleh cepat ke arahku. Ada jeda sekurang-kurangnya tiga detik. Tiga detik yang singkat, namun cukup bagiku untuk memindai ekspresi wajahmu yang memesona dengan alis bertaut bingung. Ekspresi yang tak jarang hadir kala sosokku cukup menarik perhatianmu. Namun bukan ini yang kucari. Tidak ada warna itu di sana.
"Kamu terlambat enam menit, Taehyung."
Mulut sial.
Park Jimin yang telah selesai dengan acara lap-lap meja berseru 'hanya enam menit, jangan berlebihan Bos, kau menakuti anak buahku,' dan aku praktis mengabaikannya. Dengan status sebagai kawan lama bukan berarti dia bisa menyela seenaknya. Ini soal profesionalitas, kemampuan untuk bertindak profesional mengingat hanya ada satu perajin di Esperanza.
"Saya pikir tidak akan terlambat. Saya bangun pagi sekali hari ini, sempat siram tanaman juga. Tadi masih gelap, jadi saya pikir tidak akan kesiangan." Kamu ragu-ragu berucap seolah minta dimaklumi. Mata berkelopak monoloid milikmu bergulir menatap satu titik di sudut ruangan; meja nomor tujuh, tempat dimana Park Jimin duduk sambil tersenyum seakan-akan membisikkan 'jangan cemas, tidak apa-apa' dengan bahasa nonverbal. Kamu mengangguk patah-patah untuk Jimin. Padahal aku ada. Sibuk berbicara tepat di depanmu, namun kamu justru berpaling ke arah lain; samping, lagi-lagi hanya untuk menemukan pemuda bersurai kelabu penyandang status koki kue di dapur kami.
Manik almond itu eksklusif memandang si pemuda kelahiran Oktober, mengabaikan sekitar, mengabaikan orang yang kau sebut sebagai Bos. Melakukan kontak mata juga telepati. Bahasa kalbu yang kalian pikir hanya kalian saja yang paham.
"Tidak bisa membedakan gelap karena mendung? Yang benar saja. Kalau besok kamu terlambat lagi, saya bisa mencari perajin lain untuk mengerjakan cokelat ukir, irisan buah dan karamel." Ucapanku barusan berhasil menarik penuh perhatianmu. Air wajahmu berubah kalut. Park Jimin telah menghilang di balik pintu ruang penyimpanan setelah Gloria memanggil dengan dalih minta dipilihkan apel bagus untuk selai dan isian pai. Menyisakan kecanggungan. Menyisakan aku dan dirimu.
Percayalah, aku tidak sungguh-sungguh ingin menegurmu.
"B—baik, Pak Bos. Saya janji ini akan jadi yang terakhir."
Aku hanya penasaran, Kim Taehyung.
"Semangat saja tidak cukup, kamu juga harus disiplin. Saya tidak butuh pegawai yang bahkan tak mampu mengatur waktu dengan efisien." Aku tidak ingat kapan nada bicaraku mulai meningkat beberapa oktaf, tahu-tahu mata berwarna cokelat milikmu berkilat dipenuhi tekat. Berusaha meyakinkan bahwa kecerobohanmu kali ini tidak akan menjadi suatu rutinitas yang pantas kucemaskan.
"Saya janji tidak akan terlambat. Saya akan bangun lebih pagi lagi, lebih mahir membedakan yang mana langit gelap karena subuh dan yang mana langit gelap karena mendung nyaris hujan, saya janji akan datang tepat waktu. Saya janji, Pak. Jadi Bapak tidak perlu mencari perajin lain. Cukup saya saja." Kamu berbicara dalam satu tarikan napas. Seperti mengucapkan ikrar, namun yang ini beda. Kamu berikrar untuk pekerjaanmu, untuk terus berada di dapur kami, untuk mendampingi si koki kue, bukan untuk orang yang sibuk bicara ini-itu di depanmu.
"Bagus. Itu namanya tekat lelaki sejati, buktikan, jalankan. Kalau omong doang semua orang juga bisa." Kuhela napas pendek saat menilik arloji yang melingkari tanganku. Aku senang punya kesempatan berbicara denganmu tetapi tidak dengan cara seperti ini. Tidak juga dengan topik semacam ini. "Setengah delapan, Kim. Sebaiknya kamu bantu-bantu di dapur, satu jam lagi Esperanza buka. Karamel, irisan buah, dan cokelat hias tidak bisa beres tanpa sihir dari tangan-tangan ajaibmu."
Aku hanya penasaran.
"Siap, Pak!"
Kamu nyaris saja melangkah menyusul Park Jimin dan Gloria yang telah selesai dengan urusan pilih-pilih apel untuk selai dan isian pai jika tanganku tidak refleks mencekal sebelah lenganmu yang tenggelam di balik kemeja longgar.
"Nanti, Taehyung." Ragu-ragu aku berucap. Kamu berhenti, balik memandangiku dengan air muka terheran-heran.
"Ya Bos?"
Jika aku melakukan ini—
"Lipat lengan kemejamu." Tanpa permisi kuangkat sebelah tanganmu, kulipat ujung lengan kemeja itu hingga siku. "Tanganmu akan sibuk seharian ini, jangan kau buat kotor kemeja itu."
—dan menatapmu seperti ini pula.
Wajah itu termangu, bengong. Bingung total harus merespon aksiku seperti apa. Jadi kuberanikan diri untuk menatapmu. Tatapan yang sama persis dengan milik Park Jimin saat kalian bertukar cerita dan pesan rahasia lewat kontak mata dan senyuman.
Apakah kamu akan memerah juga?
"Terima kasih. Lengan yang satunya biar saya saja." Kamu yang baru pulih dari ngadat menahan tanganku. Tersenyum lucu seraya mengelengkan kepala dengan sopan. "Anda tidak perlu repot-repot."
Dan pada akhirnya hanya senyum lucu yang kau tawarkan padaku.
Tidak ada merah di sana.
Belakangan aku sadar.
Merahmu hanya untuk dia, untuk Park Jimin.
--
Fin.
a/n: terima kasih karena sudah tersasar kemari:D
