You Called It Coincidence

(But Actually It's Fate)

.

Haechan menyeruput jus jeruknya dengan mata memicing. "Kau tahu, kau seperti memiliki dua kepribadian akhir-akhir ini. Aku hampir mati kaget ketika kau menjadi sangat rajin belajar."

Renjun meringis. "Aku berusaha berubah, Chan."

"Mengapa kau tidak berubah dari lalu-lalu? Rasanya seperti keajaiban, Na Jaemin menghabiskan waktunya di dalam kelas untuk belajar."

((atau ketika Jaemin terpaksa harus membagi tubuhnya dengan arwah Renjun yang dilanda masalah.))


Tragedy (1)


Pukul setengah tujuh pagi, Renjun terbangun dari tidurnya ketika jam mejanya berdering dengan keras.

Ia mengusap matanya sejenak, berusaha membiasakan matanya dengan sinar matahari yang memasuki ruangan melalui celah-celah jendela. Sembari menguap, Renjun bangkit dari kasurnya dan melipat kembali selimutnya. Dia meraih handuk yang tersampir di kursi belajarnya dan beranjak mandi.

Seusai mandi, Renjun memakai seragam SMA Kyunggi—sekolahnya untuk saat ini. Ia telah menginjak kelas sebelas beberapa minggu lalu, aura-aura tahun ajaran baru masih terasa meskipun mulai mengabur. Ketika Renjun memastikan bahwa dirinya terlihat baik hari ini, ia tersenyum singkat.

Ini hari Selasa, Renjun berharap semuanya berjalan normal seperti biasa.

Dengan sedikit tolehan terakhir ke refleksi dirinya di cermin, Renjun memakai tas ranselnya dan bergegas meninggalkan kamarnya.

.

Sebagai murid program pertukaran pelajar selama tiga tahun penuh, Huang Renjun hidup sendiri di Korea Selatan.

Sejujurnya, ia tidak benar-benar sendirian. Ia tinggal di sebuah kondominium kecil bersama seorang teman—Zhong Chenle—yang juga merupakan murid program pertukaran pelajar dari Cina. Lagipula, ia dan Chenle tidak benar-benar keturunan Cina sepenuhnya. Ia masih memiliki darah Korea Utara dan Chenle memiliki garis keluarga Korea Selatan. Ditambah lagi, beberapa relatif Chenle tinggal di Seoul dan memperlakukan Renjun seperti saudara sedarah—Renjun sama sekali tidak merasa sendirian.

Namun kali ini, Chenle tengah menginap di rumah salah satu relatifnya dan kondominium hanya diisi oleh Renjun.

Renjun mengoleskan krim keju ke permukaan rotinya dengan brutal, faktor karena ia harus mengejar bus yang akan mengantarnya sekolah dan krim keju yang masih dingin tidak membantu. Dia menutup botol krim keju tersebut dengan asal lalu menggigit rotinya, mengabaikan bahwa tidak semua permukaannya terolesi dengan benar.

Ponselnya bergetar di dalam saku, tetapi Renjun tidak punya waktu untuk mengeceknya. Ia memakai sepatunya dengan cepat, menutup pintu kondominum dan menguncinya, kemudian langsung berlarian di pinggir jalan Seoul yang penuh dengan manusia.

Jalanan sedikit padat hari ini, mungkin karena masih awal pekan. Pekerja kantoran berseliweran dengan ponsel atau handsfree menempel pada telinga mereka, pakaian mereka semuanya sangat necis. Beberapa pelajar juga terlihat di pandangan Renjun, berjalan bersama sambil mendiskusikan banyak hal. Para pelajar laki-laki sepertinya heboh membicarakan pertandingan bola yang kemarin malam tayang, sedangkan para pelajar gadis berjalan sambil memakai sesuatu yang berwarna merah terang pada bibir mereka—Liptint? Lipstick? Renjun tidak pernah terlalu mengingat apa namanya.

Renjun sudah sampai di zebra cross yang biasa ia lalui, lampu hijau masih menyala tanda belum waktunya untuk menyebrang. Di seberang sana, ada halte bus yang menjadi tujuannya. Renjun meraih ponselnya, masih ada waktu sebelum lampu merah menyala.

07.19 – Chenle

Aku izin tidak masuk hari ini, ge. Aku bangun kesiangan dan rumah saudaraku jauh dari sekolah.

07. 42 – Renjun

Baiklah ;) Bawakan aku oleh-oleh ya?

"Permisi." Sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya, membuat Renjun sedikit terkejut. "Maaf jika kau terkejut, tetapi tali sepatumu terlepas."

Renjun hanya melihat sekilas pemuda tersebut, ia langsung berjongkok untuk kembali mengikat tali sepatunya. Chenle sering mengatainya payah jika berurusan dengan tali temali dan tidak Renjuun bantah, sudah tidak terhitung lagi berapa kecelakaan ringan maupun setengah berat yang sudah ia alami karena tali sepatunya lepas. "Ah, terima kasih telah mengingatkanku," jawab Renjun setelah ia berhasil kembali mengikat sepatunya.

Ketika Renjun menoleh untuk memandang pemuda itu, ia merasakan napasnya sedikit tertahan.

Pemuda di hadapannya kini tengah tersenyum ke arahnya, bibirnya merah dan terlihat menawan saat sedang dilengkungkan seperti itu. Rambutnya hitam, tertata cukup rapi dengan poni pendek yang sedikit berantakan. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari Renjun tetapi terlihat seumuran dengannya.

Seragam kuning yang ia kenakan cukup membuat Renjun tahu bahwa pemuda ini adalah pelajar di Seoul School of Performing Arts.

"Kau harus lebih berhati-hati, oke? Berbahaya untuk berjalan dengan tali sepatu yang lepas, terlebih saat ramai seperti ini," kata pemuda itu, melirik sedikit bagian dada kiri jas Renjun. "Pelajar Kyunggi?"

Renjun mengangguk singkat, tidak tahu harus membalas apa. Pemuda di hadapannya benar-benar tampan sampai-sampai lutut Renjun terasa sedikit lemas. "Ya, kelas sebelas," jawab Renjun, mengulas senyum simpul. Pemuda di hadapannya mengangguk-angguk tanda paham lalu kembali memandang jalanan. Pembicaraan mereka berakhir.

Lampu lalu lintas menyala merah dan angka di layarnya menunjukkan detik baru. Delapan puluh detik tersisa dan Renjun langsung melangkahkan kakinya, berusaha menghindari desakan pejalan kaki lainnya.

Sudah merupakan kebiasaan bagi Renjun untuk membiarkan dirinya berada di belakang kerumunan. Dia benci berdesak-desakan, sehingga ia memutuskan untuk memperlambat jalannya agar ia bisa berada di belakang kerumunan dan dapat bernapas lebih lega.

Begitu ia sudah merasakan agak lega, Renjun berniat mempercepat langkahnya sebelum ia jauh tertinggal oleh kerumunan dan lampu lalu lintas menyala kuning. Dia tinggal beberapa langkah lagi mencapai seberang ketika dirinya terantuk sesuatu.

Ah, tali sepatunya berulah lagi.

Seingat Renjun, ia telah mengikatnya dengan benar. "Mengapa kau selalu merepotkanku, sih?" keluhnya sambil mengurai kembali simpulnya, berniat untuk mengikatnya kembali dengan kencang. "Seingatku, aku tidak sepayah itu dalam tali-temali."

Samar-samar, Renjun mendengar banyak teriakan, namun ia abaikan karena ia benar-benar merasa sebal dengan tali sepatunya. Dia terus berkomat-kamit dengan posisi badan berjongkok, jemari lentiknya penuh dengan tali yang akan diikatnya.

"Hey, kamu, minggir!"

Renjun mengadah begitu mendengar suara yang tidak terlalu asing di telinganya. Masih terasa asing, sih, hanya saja ia pernah mendengarnya. Dia menemukan siswa SOPA yang tadi berbicara dengannya menatapnya dengan mata membesar dari seberang sana. Renjun mengerutkan kening, berusaha menfokuskan pendengarannya tetapi kondisi sekitar terlalu bising dengan bunyi kendaraan bermotor.

Oh.

Mata siswa SOPA yang tampan itu menyorot penuh kengerian sebelum Renjun merasakan hal yang paling sakit dalam hidupnya.

Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

.

"Lampunya berubah menjadi hijau lima belas detik lebih cepat ...,"

"Bagaimana pun juga, ini salah noona,"

"Jelas bukan salahku ketika Bos memanggilku dengan segera,"

Renjun sedikit mengerang. Sinar putih langsung menerobos indra penglihatannya, membuatnya merasa silau sampai-sampai nyeri sendiri.

"Syut, dia sudah bangun. Ini waktunya aku pergi, Jisungie."

"Hei, noona, bagaimana bisa kau meninggalkanku?!"

Suara-suara datang dan pergi di pikiran Renjun dan jujur, itu membuatnya sakit kepala. Ditambah sinar putih yang tidak jelas asalnya dari mana malah memperburuk keadaan. Renjun mengangkat tangannya, berusaha meraba-raba apapun yang bisa ia capai. Tidak ada, hanya ada kehampaan di depannya.

"Di sini kosong melompong." Sebuah suara seolah menjawab kefrustasiannya, membuat Renjun berjengit. "Tidak benar-benar kosong, sih, tetapi kau bukan penghuni di sini—sehingga kau hanya akan mendapatkan kosong."

Kening Renjun berkerut. Setidaknya, suara itu berbicara dengan bahasa Korea yang fasih dan mudah dimengerti tanpa aksen apapun. Bagus, ini membuat Renjun yakin ia masih ada di Korea. Mungkin di salah satu rumah sakit lokal.

Rasanya melegakan sekali saat Renjun menyadari bahwa ia masih mengingat bahwa detik-detik terakhir ia hidup normal adalah saat ia akan terhantam oleh kendaraan bermotor dan terciptanya kecelakaan di tengah kota Seoul.

"Apa aku masih ada di Seoul?" tanyanya, meski terdengar agak bodoh.

"Hmm, aku tidak tahu cara menjelaskannya. Secara universal, tempat ini tidak berlokasi di manapun," jawab suara itu, nadanya sangat berat. Renjun amat yakin bahwa itu suara laki-laki yang berusia dua puluh tahunan. "Tapi untuk sementara ini, ya, kau ada di Seoul. Apa itu melegakan bagimu?"

Jika secara universal ia tidak berada di manapun tetapi untuk sementara ia berada di Seoul, Renjun benar-benar tidak tahu harus merasa lega atau malah panik. Dia sedikit takut, ia akui. Bagaimana jika dia diculik.

"Ngomong-ngomong, namaku Park Jisung," ucap suara itu. "Akan ada sedikit kekacauan dalam hidupmu nanti karena Seulgi noona, tapi aku pastikan ini dapat diperbaiki. Selamat menikmati istirahatmu, kita akan bertemu lagi nanti."

Renjun benar-benar tidak ingin ditinggal siapapun saat ini, terlebih ketika pandangannya masih benar-benar putih dan yang ia bisa lakukan hanya menggapai-gapai udara kosong. Dia tidak mendengar suara itu—suara Park Jisung—setelah lelaki itu menyuruhnya beristirahat, dan keheningan membuat kepala Renjun terasa berat.

Akhirnya Renjun menyerah. Ia kembali memejamkan mata dan terperangkap di kegelapan yang tidak ia tahu letak ujungnya.

.

Ketika Renjun terbangun lagi, ini dikarenakan lagu 'Firetruck' dari NCT127 masuk ke indra pendengarannya dan berhasil membuatnya kaget.

Matanya terbuka lebar, amat sangat lebar sampai terasa sakit. Alunan rap terdengar jelas bersamaan dengan kicauan burung yang samar-samar dari luar ruangan. Aroma Feebreeze tertangkap hidungnya, pilihan aroma yang menawarkan sensasi laut. Renjun terbatuk singkat, ia tidak pernah terlalu menyukai Feebreeze jenis ini karena tidak sesuai dengan seleranya.

Dia berada di sebuah kamar dengan nuansa warna-warni yang mencolok dan ceria. Dia terduduk di sebuah kasur berukuran queen size dengan seprai putih dengan strip oranye-biru, begitu juga dengan selimut, sarung bantal, dan sarung gulingnya. Kamar ini begitu terlihat 'wah' di matanya dengan warna yang menyegarkan, sekalipun cukup berantakan untuk bisa Renjun tolerir.

Renjun tidak ingat ia punya kamar semeriah ini. Atau jangan-jangan, ingatannya menghilang karena kecelakaan? Atau ia terjebak amnesia retrograde?

'Jangan bodoh,' batinnya langsung menyahut. 'Ini masih di tahun 2016 dan ingatanmu baik-baik saja.'

Tetapi, jika ia baik-baik saja, kenapa ia ada di sini? Seharusnya, ia terbaring di rumah sakit dengan beberapa tulang rusuk yang dislokasi dan kaki terbalut gips.

Dengan perlahan, Renjun beranjak bangkit dari kasur. Tubuhnya terasa aneh, sedikit lebih tinggi dari biasanya. Kakinya juga terlihat aneh. Meski ia merasa sangat sehat dibalik itu semua, tetap saja aneh. Seperti ia berada bukan di dalam tubuhnya.

Ia memutuskan untuk bercermin, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Dia harus yakin dia baik-baik saja dan masih hidup. Dia tidak berada di surga, ruangan ini terlalu duniawi untuk dikatakan surgawi. Dan terlalu sederhana jika dikatakan mirip neraka.

Begitu Renjun menatap cermin, ia menemukan sosok lain balas menatapnya. Ia mengerjap, sosok lain itu ikut mengerjap. Ia memiringkan kepalanya, sosok lain itu pun melakukan hal yang sama.

Sosok itu bermata besar dengan poni yang agak panjang sampai menyentuh mata. Bibirnya lebih lebar dan tubuhnya sedikit lebih tinggi. Raut wajahnya merupakan perpaduan dari tampan dan manis, tetapi bukan itu semua yang menjadi kekhawatiran Renjun saat ini.

"AAAAA!"

Renjun tidak tahu harus berbuat apa ketika ia menemukan bahwa ia bukanlah dirinya lagi.

.

.

A/N : Sebuah fanfic yang terinspirasi dari FF Hyungwonho Monsta X dengan judul yang sama. Storyline-nya mungkin akan mirip, tapi nggak juga sih. Aku gak akan bisa nulis cerita sebagus dan sebaik yang ditulis author fanfic itu.

Sebuah fic yang kujanjikan buat seorang HTS (?) yang selalu ribut dengan Jaemin. Uhh, aku rindu Jaemin sama seperti fans lain merindukannya.

So, get ready to next chapter!