Masamune Matsuoka tidak pernah membayangkan memiliki suatu pertemuan secara kebetulan yang mengerikan dengan seseorang paling dihindari olehnya. Tidak untuk di manapun tempatnya, terlebih jika hanya bertemu secara empat mata.

Empat mata, tanpa Yukimura atau Hotaru.

"Masamune? Ah, kebetulan sekali!"

Katakan ini hanya mimpi. Katakan pria bersurai hijau gelap yang menyapanya hanyalah sebuah khayalan belaka. Katakan bahwa itu hanyalah sosok imajinasi akibat kelelahannya.

"Eh? Apa itu temanmu, Matsuoka-san?" suara gadis yang merupakan kliennya malam ini menyadarkan host pirang yang sempat mematung di tempat, membuat sepasang matanya mengerjap untuk kembali sadar dan mengeyahkan rasa ketidak kepercayaannya.

"A-ah, y-ya, tem―" ragu, suaranya seolah menghilang saat ungkapan teman itu akan terucap dari bibirnya.

"Ahahaha, tentu, aku adalah teman Masamune, nona." sahutan ramah dari Nagamasa Midori memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka bertiga.

Masamune Matsuoka, Nagamasa Midori, dan seorang gadis yang malam ini meminta tolong untuk diantarkan pulang. Sayangnya, permintaan sang klien membawa semacam petaka bagi Masamune. Bertemu Midori.

Tidak heran sebagai host, Masamune diharuskan untuk bekerja malam hari bahkan hingga selarut ini demi menyenangkan para gadis. Yah, itu adalah salah satu alasan yang membawanya kini berada di jalanan dalam kondisi sepi, di sebuah area perumahan si gadis. Sangat bisa dimaklumi. Tapi, hey, bagaimana dengan Midori? Seorang dokter anak berkeliaran di tengah malam? Menakutkan. Sehabis kerja, eh? Rasanya tidak mungkin jika pria itu lembur hingga selarut ini.

"Kalau begitu aku permisi dulu. Sampai jumpa, Matsuoka-san!" seruan tiba-tiba dari si gadis memutus situasi yang entah kenapa tiba-tiba saja menjadi canggung.

"E-ekh!? T-tunggu, tapi aku belum mengantarmu sampai rumah, Ayumi-chan!"

Gadis bergaun merah muda feminim itu menghentikan langkahnya yang bermaksud meninggalkan kedua pria dewasa sebelumnya, kemudian menoleh kembali pada si pirang, "Ah, rumahku hanya tinggal sepuluh langkah dari sini. Jadi tidak perlu khawatir, Matsuoka-san. Jaa ne!"

Sial. Gagal. Padahal Masamune sangat berharap mengantarkan gadis itu sampai di depan rumahnya sejauh apapun agar bisa ia jadikan sebagai alasan untuk menghindar dari kapten Hoshishiro.

Sayang sekali, semua tidak seperti yang diinginkan. Sekarang, malam tanpa bintang dan di jalanan sepi yang hanya disinggahi oleh kedua kapten dari tim Survival Game tersebut memunculkan aura mencekam―lebih tepatnya hanya bagi Masamune.

"Masamune,"

Jantung host pirang itu seakan berhenti berdetak ketika suara dari orang dibelakangnya memanggil. Memang, tidak ada nada mengancam seperti pertemuan mereka jauh sebelumnya, namun tetap saja ada ketakutan dalam diri Masamune tentang Nagamasa Midori.

Menjawab atau tidak, semua terasa tidak nyaman. Tapi―mengabaikan panggilan Midori akan lebih berbahaya, mungkin. Rasa takut dan tunduknya pemuda bersurai pirang itu memaksanya untuk berbalik, menghadap pada sang dokter secara langsung. Meski sesekali pandangannya diarahkannya ke lain.

"A-apa, Midori-san?"

Kedua aquamarinenya sempat menangkap seulas senyuman bersahabat pada wajah sang rival dalam timnya. Senyum malaikat tanpa ada aura mengancam―atau mungkin belum.

"Sudah selarut ini. Apa kau keberatan untuk mengantarku pulang juga, Masamune?"

.

.

.

Aoharu x Kikanjuu © NAOE

Warning : OOC, Typo(s), Yaoi, PWP, etc.

Nagamasa Midori x Masamune Matsuoka

Rate M

Punishment

By Jiyuu15

.

.

.

"M-Mm-Midori― sanhh!" erangan tertahan ditengah deru napas yang melanda terus mengalun dari mulut si pirang, memenuhi ruangan yang baru beberapa menit ditempati olehnya bersama sang dokter.

Masamune Matsuoka menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tubuhnya yang terus bergerak gelisah dibawah permainan dari Nagamasa Midori. Nyata. Kapten dari Toy Gun Gun kini berada dalam kuasa Midori.

Masamune tidak bisa melihat apapun. Penutup mata yang dipasangkan oleh Midori serta dasi milik pria bersurai hijau yang semula melingkar dikerah kemejanya sekarang berpindah mengikat dikedua pergelangan tangan Masamune, membuat sang korban hanya bisa menggeliatkan tubuh tak menentu di atas tempat tidur.

Masamune Matsuoka sudah benar-benar menjadi mangsa empuk Nagamasa Midori.

"A-aakh! M-Midori-san! Hen―"

"Tenang dan rasakan saja, Masamune,"

Tidak, siapapun juga tidak akan bisa tenang jika ada seseorang yang mengulum kejantanannya. Tepat seperti yang terlihat, Midori sedang melakukannya pada Masamune.

Mulut pemuda Nagamasa itu membungkus bagian sensitif yang telah mengeras, membiarkan barang milik Masamune menyentuh rongga mulutnya. Entah sebuah naluri atau apa, Midori melakukannya seolah benar-benar paham dalam hal ini. Sesekali lidahnya memutari ujung kejantanan Masamune, sesekali pula hisapan kuat sengaja diberikannya agar desahan panjang dari si pirang itu dapat terdengar memenuhi pendengarannya. Lagu favorit bagi Midori.

Masamune sama sekali tidak bisa melawan―takut, menikmati, patuh, dia selayaknya menyerahkan dirinya pada Midori. Dalam pandangan gelap, yang bisa dilakukan hanyalah mendesah dan memohon pada sang sadist untuk berhenti. Meskipun itu mustahil.

Brengsek. Masamune merutuk dirinya berkali-kali. Seharusnya dia menolak permintaan Midori. Seharusnya dia mengabaikan Midori. Seharusnya ini tidak pernah terjadi pada dirinya. Seharusnya―tubuhnya tidak merasa nikmat oleh perlakuan dari Nagamasa Midori.

.

.

.

Pemuda itu menghela napas. Bersyukur dengan perjalanan tanpa ancaman selama dirinya bersama Midori. Setidaknya... itu cukup membuat Masamune lega karena bisa mengantar pulang sang dokter tanpa mendapat intimidasi apapun, meski beberapa percakapan diantara keduanya tetap canggung. Kedua manik biru cerah Masamune memperhatikan sebuah bangunan sederhana dihadapannya kini yang merupakan apartemen tempat Midori menetap. He, benar-benar dua kali berbeda dengan apartemen yang ditinggalinya.

"Ah, sebagai rasa terima kasih karena sudah menemaniku sampai pulang, aku akan membuatkanmu kopi. Jadi, masuklah, Masamune."

Lamunan tentang hal tidak penting―soal apartemen itu sukses buyar tepat saat Midori mengundang sesuatu yang malah tidak diinginkan sekarang oleh Masamune. Bukan kopi, melainkan tawaran untuk masuk.

"A-ah, tidak perlu, Midori-san! A-aku harus segera pulang. Aku―sudah terlalu lelah, ya! Lelah!"

Senjata makan tuan untukmu, Masamune.

Midori mengerjapkan matanya, berekspresi polos meski isi kepala pria ini jauh berbeda dari yang tergambar pada wajahnya. "Hm? Kalau begitu kebetulan, bukan? Kau bisa bermalam di sini jika sudah terlalu lelah. Wajahmu memang tampak sekali sedang lelah, Masamune. Aku jadi khawatir jika kau pingsan di tengah jalan," memang, mulanya hanya terdengar sebagai candaan biasa yang diikuti oleh tawa ceria dari kapten Hoshishiro tersebut.

―tapi kau sudah tahu watak sebenarnya dari Midori, bukan?

Senyuman malaikat itu untuk sesaat berubah menjadi senyum yang seakan mengancam Masamune secara tidak langsung, "―oh. Atau kau mau memberontak menjadi anak nakal, Masamune?"

Lagi, suatu sensasi menghantarkan perasaan takut terhadap pemuda yang sebagai masa lalu kelam Masamune kembali menyerang tubuhnya. Gemetar, pandangannya terus dialihkan, bergerak ke segala arah, sengaja menghindari kontak mata dengan pria lain itu. Bibir tipisnya terbuka, bersiap untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.

Tidak. Aku harus pulang. ―itu adalah isi kepala seorang Masamune.

Tapi apa yang dilontarkan dari mulutnya sangatlah berbeda, "T-tidak. M-maksudku... ak-aku... akan bermalam di tempat Midori-san... hanya malam ini,"

.

.

.

Tidak enak.

Bahkan rasa minuman favorit yang dikecap oleh lidah Masamune terasa sangat pahit, tidak seperti biasanya. Ya... kau pikir siapa yang bisa nyaman menikmati makanan atau minuman di tempat orang yang sangat kau hindari, bahkan tidak ingin kau temui?

Cangkir berisikan kopi hangat yang baru saja dibuatkan oleh Midori untuk Masamune diletakkannya ke meja yang berada di samping tempat tidur. Beberapa hela napas kembali lolos dari pria tinggi itu seraya kepalanya menengadah, memperhatikan langit-langit kamar Midori.

Heh. Siapa sangka dirinya bisa duduk di atas tempat tidur milik orang yang mengkhianatinya. Kamar yang luas ini, aroma Midori yang menyebar, dan apapun di sini berhubungan dengan si surai hijau. ―termasuk dirinya sebagai masa lalu.

Masa lalu yang―

"Kau mulai mengantuk, Masamune?"

Tiga kali, mungkin? Sebanyak itulah Masamune disadarkan dari lamunan oleh suara Midori. Setengah gugup, pria itu menoleh pada Midori yang baru saja menyelesaikan urusannya di dapur untuk sebuah kopi sebelumnya.

"A-ah, tidak! A-aku hanya―yah, kupikir aku mulai... mengantuk," bohong, bocah pirang ini bermaksud untuk mengakhiri malam ini dengan tidur cepat dan bangun di pagi hari agar dapat segera keluar dari tempat satu atap bersama kapten Hoshishiro sekarang.

Nagamasa Midori sangat paham tentang Masamune, bahkan mampu membaca gerak-gerik kebohongannya. Oh, atau kemungkinan akting pria pirang itu terlalu buruk hingga Midori menyadarinya.

"Kalau begitu memang sebaiknya kita segera tidur," ujar Midori seraya mengambil tiap langkah untuk menuju tempat tidur berukuran besar yang tengah disinggahi oleh Masamune.

Masamune sejenak terdiam, memperhatikan pergerakan Midori yang melepas dasi dan mulai membuka satu persatu kancing kemejanya sebelum menaiki ranjang. Tunggu, ada yang aneh.

Masamune tidak mendengar perintah dari Midori agar dirinya tidur di kamar lain.

"A-ano, Midori-san, di mana... kamar yang harus kutempati untuk tidur?"

Satu pertanyaan yang berhasil menarik perhatian Midori. "Hn? Apa kau kira tempat tidur di kamar ini tidak muat untuk dua orang, Masamune?"

Siapapun, tolong katakan bahwa Masamune salah dengar. Menelan ludah, wajahnya mulai terasa pucat juga rasanya. Ucapan Midori jelas sekali mengatakan bahwa mereka harus tidur dalam satu ranjang. Yang benar saja!?

"T-tapi, Midori-san, aku―"

Tapi adalah kata tabu yang tidak tepat diucapkan kepada Midori. Pria tersebut mendengarnya sebagai sangkalan.

Nasib malang untuk seorang Masamune Matsuoka. Siapa kira bahwa pemuda yang sedikit lebih pendek darinya itu mengambil langkah untuk mendekatinya, tiba-tiba menerjangnya, membuat tubuhnya terhempas ke ranjang dalam sekali dorongan dan memanfaatkan kelengahannya untuk menahan kedua pergelangan tangan Masamune di atas kepala, mengunci total pergerakan sang host.

Bahaya. Bahaya. Bahaya.

Alarm itu seakan berbunyi berulang-ulang ketika mata keduanya saling bertatapan; Masamune yang menyiratkan ketakutan dan Midori yang menyiratkan ancaman.

"Sudah lama kita tidak bertemu, sepertinya kau mulai menjadi anak nakal, eh, Masamune? Apa Yukimura-kun yang mengajarimu untuk melawan?"

Tatapan intimidasi itu, lagi-lagi, sesuatu yang paling dibenci oleh Masamune. Sesuatu yang membuat nyalinya menciut dihadapan pria ini.

Tidak menjawab, Masamune malah memutar bola matanya menghindari tatapan Midori. Dan itu adalah keputusan yang salah. "Seseorang sepertinya harus mendisiplinkanmu, Masamune."

"TUNG―"

Terlambat. Refleks Masamune benar-benar terlalu telat untuk melawan sekarang ini.

Bibirnya telah tertawan oleh Midori yang juga berhasil meredam protesnya. Satu lumatan serta gigitan pada bibir bawah Masamune membuat pria itu membuka sedikit bibirnya, namun tetap saja hal itu memberikan celah bagi lidah Midori untuk menyelinap masuk dan menjelajahi rongga mulutnya.

Ciuman memaksa, lidah yang saling bertaut, saliva yang bercampur―membuat Masamune seolah dalam pengaruh alkohol, berefek memabukkan.

Tanpa disadarinya pula selama ciuman itu, tangan Midori telah mengikat kuat kedua pergelangan tangannya menggunakan dasi hitam miliknya, memberikan keputus asaan untuk melawan bagi Masamune.

"Mmngh― Mido―hmnh," Masamune mengernyit. Ia tidak bisa mengimbangi permainan lidah Midori yang mengobrak-abrik isi mulutnya. Napasnya turut semakin memburu, memberitahukan bahwa paru-parunya menuntut oksigen. Beruntunglah, Midori memberikan kesempatan untuknya sekedar mengambil napas.

Perlahan, pagutan bibir sang dokter terlepas, menciptakan benang saliva yang memutus dikala dirinya bergerak menjauh dari wajah Masamune. Meninggalkan jejak ciuman basah pada bibir sang kapten Toy Gun Gun.

Sepasang manik kelabu Nagamasa Midori menatap lekat pada pria dibawahnya, Masamune yang terengah dengan semburat merah samar menghiasi wajahnya.

"Masamune," bisikan itu diperdengarkannya tepat pada telinga Masamune,

"―perlihatkan ekspresimu yang sekarang ini. Lebih, lebih dan lebih. Hanya padaku,"

Masamune tidak berkutik, hanya terdiam setelah bisikan itu selesai terngiang dalam telinganya. Tubuhnya melemas kala Midori menaikkan kaos yang dikenakannya hingga memperlihatkan dada telanjangnya mulai basah oleh peluh. Ujung bibir Midori terangkat membentuk sebuah seringai kecil saat melihat pemandangan tersebut, "Wah, wah. Apa suhu ruangan di sini terlalu panas hingga membuatmu berkeringat, Masamune?" pertanyaan yang diikuti oleh jemari sang dokter menari di atas kulit Masamune menimbulkan desahan kembali lolos dari bibir ketika telunjuk dan ibu jari Midori menyentuh tonjolan dibagian sana, membuatnya mengeras.

"J-jangan... Midori-san―" berapa kalipun Masamune berucap sangat percuma, hanyalah seperti angin lalu yang tidak dihiraukan.

"Hm? Kau memerintahku untuk tidak melakukannya?" dua jari tersebut mulai bermain-main dengan salah satu bagian sensitif Masamune, memutarnya perlahan dan menjepitnya di antara dua jari itu. "―memangnya kau siapa, bocah nakal?"

Dan satu cubitan keras pada bagian itu menjadi hadiah untuk Masamune. Mengerang sakit, Masamune memejamkan matanya serapat mungkin, meredam habis-habisan rasa sakit yang menjalar pada bagian tertentu. Suatu reaksi yang sedikit memuaskan untuk sepasang mata kelabu yang menatap intens padanya. Ingin lebih, lebih. Satu tangan tetap memanjakan tonjolan tersebut, sementara kepala sang surai hijau menunduk, berada tepat di atas tonjolan lainnya.

"Masamune, kau rupanya tipe yang mudah terangsang, ya." ucapan nakal Midori membuat tubuhnya terasa memanas, gemetar membayangkan apa yang akan dilakukan oleh pria di atasnya setelah ini. "Tapi tidak apa. Itu akan mempermudahku untuk menyiksamu,"

Manik biru itu terbelalak lebar saat merasakan daging kenyal dan basah menyapu bagian sensitifnya. "MMN─! MI-MIDORI-SAN!" serius, mungkin teriakan itu berlebihan, namun percayalah, ini kali pertama Masamune diperlakukan seperti ini, terlebih oleh seseorang yang ditakutinya. Tubuhnya masih terlalu asing oleh sentuhan-sentuhan pria, tidak heran jika ia mengejang hanya karena sedikit foreplay.

Mengabaikan protes Masamune, Midori melanjutkan pekerjaannya. Lidahnya memberikan jilatan pada bagian sensitif tersebut, membasahinya dengan saliva dalam jumlah banyak sebelum akhirnya dilahap dan mulutnya mengulum, menghisap kuat berulang-ulang hingga suara sedotan terdengar bercampur dengan desah Masamune, membuatnya semakin mengeras.

Tak ayal kenikmatan yang diberikan pria lebih tua darinya itu membuat bagian dibawah sana bereaksi. Ah... sesuatu dibalik celana mulai menegang dan keras. Dan sesuatu yang ditakutkan Masamune lagi-lagi terjadi. Tangan yang mulanya sibuk memanja puting lainnya bergerak turun dan berhenti dibagian bawah sana. Bagian tubuh yang memancing seringai puas Midori.

"Hmhh... apa bagian ini juga ingin dimanjakan, Masamune?"

Masamune terhenyak kaget ketika dirasa tangan Midori mengusap kasar miliknya yang masih tersembunyi oleh celana. Kepalanya dengan cepat menggeleng, menolak untuk kemungkinan aksi Midori selanjutnya. Seorang sadis tetaplah sadis, rengekan Masamune tidak akan memberikan rasa iba. Justru memberikan kepuasan tersendiri bagi penyerang.

"Midori...─san k-kumohon... jangan lagi─ a-aku janji akan menuruti apapun─"

Kembali diabaikan, Midori malah beringsut turun seraya menangkap sabuk yang menjadi penghalang dirinya untuk menyiksa bagian sensitif Masamune. Tangan sang dokter muda begitu cekatan mengenyahkan sabuk tersebut, langsung menarik turun resleting celana mangsanya sampai gundukan keras dari balik celana boxer Masamune jelas nampak menggoda.

"Wah, wah. Sudah benar-benar tidak sabar, Masamune? Kau pasti merasa tersiksa dibagian sini," usapan dengan gerakan lembut mendarat di atas bagian yang membuat celana terasa sesak. "Bukankah menyedihkan jika dibiarkan begini?" satu tarikan turun pada celana sang host berhasil membebaskan kejantanan si pemuda pirang, membuahkan pemandangan panas bagi keduanya. Malu, Masamune sungguh ingin bunuh diri karena situasi ini.

"M-Midori-san... aku mohon, h-hentikan! Lepaskan... a-aku─" semula nada membentak, namun suara Masamune tiba-tiba merendah ketika pria yang sangat-ingin-dihajarnya itu kembali menegapkan badannya di atas Masamune dengan tatapan tajamnya.

"Kurasa kau mulai semakin berisik ya, Masamune."

Masamune menelan ludah. Tatapan serta senyuman itu, Masamune yakin ada rencana lebih licik yang dipikirkan oleh Midori untuk menyiksanya. Midori menggeser sedikit posisinya dari atas tubuh pria yang memiliki julukan 'Mattsun', meraih pegangan pada laci meja yang ada di dekat tempat tidur dan mengacak-acak isinya, mencari sesuatu. Dan─ketemu. Sesuatu yang berada dalam kepalan tangan Midori adalah barang yang barusan sedang dicarinya.

"Kau tahu, akan lebih baik jika kau tidak melihat apa yang kulakukan. Itu akan membuatmu tidak merengek, kan. Jadi─"

Itu adalah penutup mata. Jelas, sesuatu yang membuat pandangannya gelap, yang tengah dipakaikan oleh Midori pada matanya adalah semacam penutup mata. "─kau cukup menikmati dan merasakannya, Masamune."

.

To Be Continued...

.

Maafkan otak nista ini! Sebenarnya mau bikin fic ini dalam satu chapter, tapi berhubung mendapat kabar tentang tugas yang langsung menurunkan mood saya, jadinya... yah, bersambung di saat yang anu(?). Dan maaf sekali kalo kesannya sudah bikin Midori ooc di sini /nangis/. Untuk next chapter mungkin bakal full lemon, jadi saya permisi untuk mencurahkan pikiran /ero/ di chapter selanjutnya.

Yukki, aku kini sudah mengerti perasaanmu yang menyukai hal-hal berbau ero. /enyahkamu.

Nah, terima kasih sudah membaca! dan mind to review?