Eclipse
-01-
.
.
.
.
ULTIMATUM
.
.
.
.
[Taehyung...
Aku tidak mengerti kenapa kau repot-repot menitipkan pesanpada Ayah untuk disampaikan ke Billy, seperti anak SD saja.Kalau aku memang mau bicara denganmu,aku kan tinggalmenerima. Kau sendiri kan yang sudah menetapkan pilihan. Kau tidakbisa memilih dua-duanya.
Begini, aku tau sikapku ini menyebalkan, tapi tidak ada jalanlain.Kita tidak bisa berteman kalau kau tetap bergaul dengansegerombolan, kau tahu siapa maksudku.
Keadaan akan lebih susah kalau aku terlalu seringmemikirkanmu, jadi jangan menulis surat lagi.
Yeah, aku juga kangen padamu. Sangat. Tapi tidak mengubahkeadaan. Maaf.
J-Hope]
Aku meraba kertas itu, merasakan lekukan-lekukan tempat J-Hope menekankan bolpoinnya begitu kuat sampai kertasnya nyaris robek, Aku bisa membayangkan dia menuliskannya, menggoreskan kalimat-kalimat bernada marah itu dengan tulisan tangannya yang kasar. Aku bisa membayangkan perasaan frustrasi membuat alis hitamnya bertaut dan keningnya berkerut. Seandainya ada di sana, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Jangan sampai kau kena perdarahan otak J-Hope, aku akan berkata begitu padanya. Keluarkan saja semua unek-unekmu.
Tapi sekarang aku sama sekali tidak ingin tertawa, saat membaca kembali kata-kata yang sudah kuhafal luar kepala itu. Aku sudah tahu inti surat ini sebelum membukanya. Yang mengejutkan adalah betapa besarnya setiap kata yang dicoret itu melukai hariku seakan-akan setiap hurufnya tajam-tajam. Lebih lagi, di balik setiap permulaan kalimat yang bernada marah tersimpan perasaan sakit hati; kepedihan J-Hope mengoyak-ngoyak hariku lebih dalam daripada kepedihanku sendiri.
Saat memikirkan ini hidungku mencium bau yang tidak salah lagi bau gosong yang menyeruak dari arah dapur. Dirumah lain, fakta ada orang lain selain aku yang memasak mungkin tidak akan menyebabkan kepanikan. Aku menjejalkan kertas lecek itu kembali ke saku belakang celana dan berlari, dan dalam sekejap sudah sampai di lantai bawah.
Stoples berisi saus spageti yang dimasukkan ayah ke microwave baru berputar sekali waktu aku menyentakkan pintunya hingga terbuka dan mengeluarkan stoples itu.
"Lho, apa salahku?" tuntut ayah.
"Buka dulu tutupnya, Dad. Logam tidak bisa dimasukkan ke microwave."
Sambil bicara, dengan cekatan aku membuka tutup stoples, menuangkan setengah isinya ke mangkuk, kemudian memasukkan mangkuk itu ke microwave dan stoples ke kulkas; kuprogram lagi waktunya dan kutekan tombol start. Ayah memerhatikan kesibukanku dengan bibir mengerucut.
"Apa aku memasak spagetinya dengan benar?" Aku melongok ke panci di atas kompor – sumber bau yang membuatku panik tadi.
"Perlu diaduk." kataku kalem.
Aku meraih sendok dan berusaha melepaskan gumpalan spageti lengket yang menempel di dasar panci. Ayah mendesah.
"Ada apa ini?" tanyaku.
Ayah bersedekap dan memandang ke luar jendela belakang, ke hujan yang turun deras. "Aku tidak mengerti maksudmu." gerutunya.
Aku keheranan. Ayah memasak? Dan kenapa sikapnya masam begitu? Jungkook kan belum datang; biasanya ayahku menyimpan sikap itu khusus untuk pacarku, sebisa mungkin berusaha menunjukkan sikap, "kau tidak diterima" dalam setiap kata dan tindak-tanduknya. Usaha Ayah itu sebenarnya tidak perlu – Jungkook tahu persis apa yang dipikirkan ayahku tanpa ia perlu repot-repot menunjukkannya. Sambil mengaduk aku memikirkan istilah "pacar" dengan perasaan tegang dan tidak suka. Itu bukan istilah yang tepat, sama sekali tidak tepat. Aku membutuhkan istilah lain yang lebih ekspresif untuk menggambarkan komitmen abadi ... Tapi istilah takdir kedengarannya konyol bila digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Jungkook punya istilah lain, dan istilah itulah yang menjadi sumber ketegangan yang kurasakan. Memikirkannya saja sudah membuatku kalang kabut. Tunangan. Ugh. Aku bergidik membayangkannya.
"Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba Dad masak sendiri?" tanyaku. Gumpalan pasta timbul-tenggelam di air mendidih waktu kutusuk-tusuk. "Atau mencoba masak sendiri, mungkin lebih tepat begitu."
Ayah mengangkat bahu. "Tak ada hukum yang mengatakan aku tak boleh masak di rumahku sendiri."
"Soal itu memang Dad yang paling tahu." sahutku, tersenyum sambil melirik lencana yang tersemat di jaket kulitnya.
"Ha. Lucu juga." Ayah melepas jaketnya seolah-olah lirikanku tadi mengingatkannya bahwa ia masih mengenakan jaket, lalu menggantungnya di gantungan khusus untuk perlengkapan kerjanya.
Kutusuk-tusuk spageti itu sambil berdiam diri, menduga dalam hati, cepat atau lambat Ayah pasti akan mulai mengeluarkan unek-uneknya. Ayahku bukan tipe orang yang banyak bicara, dan usahanya memasak makan malam sendiri mengisyaratkan pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Mataku lagi-lagi melirik jam dinding – sesuatu yang kulakukan beberapa menit sekali. Kurang dari setengah jam lagi sekarang. Sore hari merupakan bagian terberat dalam hari-hariku. Sejak mantan sahabatku (dan werewolf), J-Hope Black, membocorkan rahasia bahwa selama ini aku diam-diam naik sepeda motor – pengkhianatan yang sengaja dilakukannya supaya aku dihukum sehingga tak bias menghabiskan waktu dengan pacarku Jungkook. Jungkook hanya diizinkan menemuiku dari jam tujuh sampai setengah sepuluh malam, selalu di rumah dan di bawah pengawasan ayahku yang memandang garang.
Ini bentuk hukuman baru yang sedikit lebih berat daripada hukuman sebelumnya yang kudapat gara-gara menghilang selama tiga hari tanpa penjelasan dan satu kejadian ketika aku terjun bebas dari puncak tebing. Tentu saja aku masih bisa bertemu Jungkook di sekolah, karena tak ada yang bisa dilakukan Ayah untuk mencegahnya. Dan Jungkook juga melewatkan hampir setiap malam di kamarku, tapi tentu saja tanpa sepengetahuan Ayah.
Kemampuan Jungkook memanjat dengan mudah dan tanpa suara ke jendela kamarku. di lantai dua sama bergunanya dengan kemampuannya membaca pikiran Ayah. Walaupun aku hanya tidak bertemu Jungkook pada sore hari, itu sudah cukup membuatku gelisah, dan waktu rasanya selalu berjalan sangat lambat. Meski begitu aku menjalani hukumanku tanpa mengeluh karena pertama, aku tahu aku memang pantas mendapatkannya, dan kedua, karena aku tak tega menyakiti hati ayahku dengan pindah sekarang, di saat perpisahan yang jauh lebih permanen sudah menanti, tak bisa dilihat Ayah, tapi begitu dekat di pelupuk mataku.
Ayahku duduk di meja sambil menggeram dan membuka lipatan koran yang lembab; beberapa detik kemudian i. sudah mendecak-decakkan lidah dengan sikap tidak suka.
"Kenapa kau masih membaca koran, Dad, kalau itu hanya .. membuatmu kesal."
Ayah mengabaikanku, lalu mengomeli koran di tangannya.
"Inilah sebabnya orang senang tinggal di kota kecil! Konyol."
"Memang apa salahnya kalau di kota besar?"
"Seattle terancam menjadi kota yang angka pembunuhannya paling tinggi di negara ini. Lima kasus pembunuhan dalam dua minggu terakhir. Terbayang tidak, hidup seperti itu?"
"Kurasa kasus pembunuhan di Phoenix malah lebih tinggi lagi, Dad. Aku pernah hidup seperti itu."
Dan aku baru terancam menjadi korban pembunuhan setelah pindah ke kota kecilnya yang aman ini. Faktanya, sekarang pun aku masih jadi target pembunuhan beberapa pihak.
"Well, dibayar berapa pun aku tidak akan mau." Tukas Ayah.
Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan makan malam, dan memutuskan menghidangkannya saja; aku terpaksa menggunakan pisau steak untuk memotong seporsi spageti untuk Ayah dan untukku sendiri, sementara Ayah memerhatikan dengan ekspresi malu. Sejenak kami makan sambil berdiam diri, Ayah masih menyimak berita di koran, jadi kuambil lagi Wuthering Heights-ku yang tadi kubaca saat sarapan, berusaha menenggelamkan diri dalam kisah peralihan abad di Inggris sambil menunggu Ayah bicara. Aku baru sampai ke bagian ketika Heathcliff kembali waktu Ayah berdeham-deham dan melempar korannya ke lantai.
"Kau benar." kara Ayah. "Aku memang punya alasan melakukan ini." Ia melambaikan garpu ke hidangan lengket di hadapannya. "Aku ingin bicara denganmu."
Kusingkirkan bukuku; jilidnya sudah lepas hingga buku itu langsung terkulai lemas di meja. "Dad kan bisa langsung mengajakku bicara saja."
Ayah mengangguk, alisnya bertaut, "Yeah. Iain kali akan kuingat. Kupikir dengan memasakkan makan malam bisa meluluhkan hatimu."
Aku tertawa. "Memang berhasil – kemampuan Dad memasak membuatku lembek seperti marshmallow. Dad mau membicarakan apa?"
"Well, ini soal J-Hope."
Aku merasa wajahku mengeras. "Memangnya kenapa ?" tanyaku dengan bibir kaku.
"Tenang, Tae. Aku tahu kau masih kesal padanya karena mengadukan ulahmu padaku, tapi tindakannya itu benar. Itu namanya bertanggung jawab."
"Tanggung jawab apa." sergahku sengit, memutar bola mata. "Yang benar saja. Memangnya ada apa dengan J-Hope?"
Pertanyaan itu kuulang lagi dalam benakku, sama sekali bukan pertanyaan sepele. Memangnya ada apa dengan J-Hope? Aku harus bagaimana lagi menghadapi dia? Mantan sahabatku yang sekarang .. apa, musuhku? Aku meringis.
Wajah Ayah mendadak kecut. "Jangan marah padanya, oke?"
"Marah?"
"Well, ini tentang Jungkook juga."
Mataku menyipit.
Suara Ayah semakin serak. "Aku mengizinkannya datang ke sini, kan ?"
"Ya, memang." aku mengakui. "Tapi hanya sebentar. Tentu saja, sesekali Dad mungkin bisa mengizinkan aku keluar rumah sebentar."
Aku melanjutkan – hanya bercanda, soalnya aku tahu aku tidak boleh keluar rumah sampai akhir tahun ajaran. "Belakangan ini kan aku sudah bersikap baik."
"Well, sebenarnya itu juga tujuanku mengajakmu bicara."
Kemudian wajah Ayah mendadak merekah membentuk senyuman lebar; sesaat ia tampak seolah-olah dua puluh tahun lebih muda. Aku melihat secercah kemungkinan dalam seringaian lebar itu, tapi aku tidak mau keburu senang.
"Aku bingung, Dad. Kita sedang membicarakan J-Hope, Jungkook, atau aku yang dihukum tidak boleh keluar rumah?"
Seringaian lebar itu muncul lagi. "Bisa dibilang tigatiganya."
"Lantas, bagaimana ketiganya bisa saling berhubungan?" tanyaku, hati-hati,
"Oke." Ayah mendesah, mengangkat tangan seperti menyerah. "Kupikir, mungkin kau pantas mendapat pembebasan bersyarat karena telah berkelakuan baik. Sebagai remaja, kau luar biasa karena menjalani hukuman tanpa mengeluh."
Suara dan alisku serta-merta terangkat. "Sungguh? Aku bebas?"
Bagaimana bisa Padahal aku yakin akan dikurung di rumah sampai benar-benar pindah dari sini. Apalagi Jungkook tidak menangkap sinyal-sinyal keraguan dalam pikiran Ayah ...
Ayah mengacungkan telunjuknya. "Dengan satu syarat." Antusiasmeku langsung lenyap.
"Fantastis." erangku.
"Taehyung, lebih tepat bila ini dibilang permintaan, bukan tuntutan, oke? Kau bebas. Tapi harapanku, kau akan menggunakan kebebasan itu .. secara bijaksana."
"Maksudnya?"
Lagi-lagi Ayah mendesah. "Aku tahu kau sudah cukup puas menghabiskan seluruh waktumu dengan Jungkook .."
"Aku juga berteman dengan Jin." selaku.
"Memang benar." kata Ayah. "Tapi kau punya teman-teman lain selain anggota keluarga Choi, Tae. Atau dulu kau begitu." Kami berpandang-pandangan lama sekali.
"Kapan terakhir kau ngobrol dengan Angela Weber?" tantang Ayah.
"Hari Jumat waktu makan siang." jawabku langsung.
Sebelum kepulangan Jungkook, teman-teman sekolahku sudah terbagi dalam dua kelompok. Aku menyebutnya kelompok baik vs kelompok jahat. Atau kelompok kami dan mereka. Yang masuk kelompok baik adalah Angela dan pacarnya, Ben Cheney, serta Mike Newton; mereka dengan murah hati memaafkan kelakuanku yang berubah sinting waktu Jungkook pergi. Iauren Mallory adalah sumber kejahatan di kelompok mereka, dan hampir semua temanku yang lain, termasuk teman pertamaku di Forks, Jessica, yang sepertinya tetap menjalankan agenda anti Taehyung.
Dengan kembalinya Jungkook, garis pemisah di antara kedua kubu semakin terlihat jelas. Kembalinya Jungkook membuat Mike agak menjauhiku, tapi Angela tetap setia padaku, sementara Ben ikut saja dengannya. Meski ada sikap segan alami yang dirasakan sebagian besar manusia terhadap keluarga Choi, namun dengan tenangnya Angela duduk di sebelah Jin setiap hari saat jam makan siang. Tapi setelah beberapa minggu, Angela bahkan terlihat nyaman di sana. Sulit untuk tidak terpesona pada keluarga Choi – asalkan mereka diberi kesempatan untuk bersikap memesona.
"Di luar sekolah?" tanya Ayah, menggugah perhatianku lagi.
"Aku tidak pernah bertemu siapa-siapa di luar sekolah, Dad. Aku dihukum, ingat? Dan Angela juga punya pacar. Dia selalu bersama Ben. Kalau aku benar-benar bebas." aku menambahkan dengan sikap skeptis, "mungkin kami bisa kencan ganda."
"Oke, Tapi..." Ayah ragu-ragu sejenak, "Kau dan J-Hope dulu kan akrab sekali, tapi sekarang.."
Aku langsung memotong perkataannya. "Bisa langsung ke pokok masalah, Dad? Apa persyaratan ayah sebenarnya?"
"Menurutku, tidak seharusnya kau melupakan semua temanmu hanya karena kau sudah punya pacar, Taehyung." kata Ayah tegas. "Itu tidak baik, dan kurasa hidupmu akan lebih seimbang kalau kau juga berhubungan dengan orang-orang lain. Yang terjadi bulan September waktu itu..."
Aku terkesiap.
"Well." sergah Ayah dengan, sikap defensif. "Kalau kau punya kehidupan lain di luar Jungkook, mungkin kejadiannya tidak akan seperti waktu itu."
"Jadinya akan persis seperti waktu itu."
"Mungkin, tapi mungkin juga tidak."
"Intinya?" aku mengingatkan Ayah.
"Gunakan kebebasan barumu untuk menemui teman-temanmu yang lain juga. Bersikaplah seimbang."
Aku mengangguk lambat-lambat. "Keseimbangan memang perlu. Apa aku juga diwajibkan memenuhi kuota waktu tertentu?"
Ayah mengernyitkan wajah, tapi menggeleng. "Tidak usah yang rumit-rumit, Yang penting jangan lupakan teman-temanmu ..."
Itu dilema yang sedang kuhadapi. Teman-temanku. Orang-orang yang demi keselamatan mereka sendiri, takkan bisa kutemui lagi setelah lulus nanti. Jadi apa yang sebaiknya kulakukan? Menghabiskan waktu bersama mereka selagi bisa? Atau memulai perpisahan sejak sekarang secara berangsur-angsur? Gentar juga aku membayangkan pilihan kedua.
"...terutama J-Hope." imbuh Ayah sebelum aku sempat berpikir lebih jauh lagi.
Itu dilema yang lebih besar lagi. Butuh beberapa saat sebelum menemukan kata-kata yang tepat. "J-Hope mungkin akan ... sulit."
"Keluarga Black sudah seperti keluarga kira sendiri, Tae." kata Ayah, nadanya kembali tegas dan kebapakan. "Dan selama ini J-Hope sudah menjadi teman yang sangat, sangat baik bagimu."
"Aku tahu itu."
"Memangnya kau tidak kangen sama sekali padanya?" tanya Ayah, frustrasi.
Tenggorokanku mendadak bagai tersumbat; aku harus menelan dua kali sebelum menjawab. "Ya, aku kangen padanya." aku mengakui, tetap menunduk. "Aku kangen sekali padanya."
"Jadi, apa sulitnya?"
Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Tak seharusnya orang-orang normal – manusia biasa seperti aku dan Ayah– mengetahui tentang dunia rahasia yang penuh mitos dan monster yang diam-diam ada di sekitar kami. Aku kenal benar dunia itu dan akibatnya aku terlibat masalah yang tidak kecil. Aku tak ingin Ayah terlibat dalam masalah yang sama.
"Dengan J-Hope ada sedikit... konflik." kataku lambat-lambat. "Konflik soal persahabatan itu sendiri, maksudku. Persahabatan tampaknya tidak cukup bagi J-Hope."
Aku menyodorkan alasan berdasarkan detail-detail yang meskipun benar tapi tidak signifikan, nyaris tidak krusial dibandingkan fakta bahwa kawanan werewolf. J-Hope sangat membenci keluarga vampir Jungkook – dan dengan demikian membenciku juga, karena aku benar-benar ingin bergabung dengan keluarga itu. Itu bukan masalah yang bisa dibereskan hanya dengan mengirim pesan, apalagi J-Hope tidak mau menerima teleponku. Tapi rencanaku untuk bertemu langsung si werewolf ternyata tidak disetujui para vampir.
"Apa Jungkook tidak bisa bersaing secara sehat?" suara Ayah terdengar sarkatis sekarang.
Kulayangkan pandangan sengit padanya. "Tidak ada persaingan kok."
"Kau melukai perasaannya, menghindarinya seperti ini, Dia lebih suka menjadi teman daripada tidak menjadi apa-apa."
Oh, jadi sekarang aku yang menghindari dia?
"Aku sangat yakin Hopie tidak mau, menjadi teman sama sekali." Kata-kata itu membakar mulutku. "Omong-omong, dari mana Dad mendapat pikiran seperti itu?"
Sekarang Ayah tampak malu. "Yah, dari omong-omong dengan Billy hari ini tadi..."
"Dad dan Billy bergosip seperti perempuan tua." keluhku, menusukkan garpu dengan ganas ke gumpalan spagetiku.
"Billy khawatir memikirkan J-Hope." kata Ayah. "J-Hope sedang mengalami masa sulit sekarang... Dia depresi."
Aku meringis, namun tetap mengarahkan mataku ke piring.
"Dan dulu kau selalu terlihat sangat bahagia sehabis bertemu J-Hope." Ayah mengembuskan napas.
"Aku bahagia sekarang." geramku garang dari sela-sela gigi. Kontrasnya pernyataanku dengan nada suaraku memecah ketegangan. Tawa Ayah meledak dan aku ikut-ikutan tertawa.
"Oke, oke." aku setuju. "Seimbang."
"Dan J-Hope." desak Ayah.
"Akan kucoba."
"Bagus. Temukan keseimbangan itu, Taehyung. Dan, oh ya, kau dapat surat." kara Ayah, berlagak lupa. "Kutaruh di dekat kompor."
Aku bergeming, pikiranku kusut memikirkan J-Hope. Paling-paling kiriman brosur promosi dan semacamnya; kemarin aku baru mendapat kiriman paket dari ibuku, jadi tidak ada kiriman lain yang kutunggu. Ayah mendorong kursinya menjauhi meja, lalu berdiri dan meregangkan otot-ototnya. Ia membawa piringnya ke bak cuci, tapi sebelum menyalakan keran untuk membilasnya, berhenti sebentar untuk melemparkan amplop tebal itu ke arahku. Amplop itu meluncur melintasi meja makan dan membentur sikuku.
"Eh, terima kasih." gumamku, bingung melihat sikap Ayah yang begitu gigih ingin agar aku segera membuka surat ini. Baru kemudian kulihat alamat pengirimnya – University of Alaska Southeast. "Cepat juga. Padahal kupikir batas waktunya sudah lewat."
Ayah terkekeh. Aku membalik amplop lalu mendongak dan menatap Ayah dengan garang. "Kok sudah dibuka?"
"Aku penasaran."
"Aku syok, Sherrif. Itu kejahatan serius."
"Oh, baca sajalah."
Kukeluarkan surat itu dari amplop beserta jadwal kuliah yang terlipat.
"Selamat." kara Ayah sebelum aku sempat membaca isinya. "Surat penerimaanmu yang pertama."
"Terima kasih, Dad."
"Kira harus membicarakan masalah uang kuliah. Aku punya sedikit tabungan..."
"Hei, hei, tidak usah, Aku tidak mau menyentuh uang pensiunmu, Dad. Aku kan sudah punya dana kuliah." Yang masih tersisa dari dana kuliah – dan jumlah awalnya memang tidak seberapa.
Kening Ayah berkerut. "Beberapa universitas menetapkan uang masuk yang lumayan mahal, Tae. Aku ingin membantu. Kau tidak perlu pergi jauh-jauh ke Alaska hanya karena di sana biayanya lebih murah."
Bukan karena lebih murah, sama sekali bukan. Tapi karena jaraknya sangat jauh, dan karena Juneau memiliki jumlah hari mendung rata-rata 321 hari dalam setahun. Yang pertama adalah persyaratanku, yang kedua persyaratan Jungkook.
"Uangku cukup kok. lagi pula banyak bantuan keuangan yang tersedia. Jadi mudah saja mendapat pinjaman."
Mudah-mudahan gertakanku mempan. Soalnya aku belum benar-benar mencari tahu mengenai hal itu.
"Jadi..." Ayah memulai, tapi kemudian mengerucutkan bibir dan membuang muka.
"Jadi apa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya..." Keningnya berkerut. "Aku hanya ingin tahu ... apa rencana Jungkook untuk tahun depan?"
"Oh."
"Well?"
Tiga ketukan cepat di pintu menyelamatkanku. Ayah memutar bola matanya dan aku melompat berdiri.
"Tunggu sebentar!" seruku sementara Ayah menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti, "Pergi sana". Aku tidak menggubrisnya dan berlari membukakan pintu bagi Jungkook.
Kurenggut pintu hingga terbuka dan kulihat ia berdiri di sana. Waktu tidak membuatku kebal terhadap kesempurnaan wajahnya, dan aku yakin tidak akan pernah menganggap sepele aspek apa pun yang ada dalam dirinya. Mataku menyusuri garis-garis wajahnya yang putih: rahang perseginya yang kokoh, lekuk bibir penuhnya yang lembut, bibir itu sekarang menekuk membentuk senyuman, garis hidungnya yang lurus, tulang pipinya yang tajam mencuat, dahinya yang mulus seperti marmer-agak tersembunyi dibalik rambut tembaga yang gelap akibat hujan ...
Aku sengaja menyisakan matanya untuk kulihat terakhir, tahu saat aku menatapnya nanti, besar kemungkinan pikiranku akan melantur sejenak. Mata itu lebar, hangat seperti emas cair, dan dibingkai bulu mata hitam tebal. Menatap matanya selalu membuatku merasa luar biasa, seolah-olah tulangku berubah jadi spons. Kepalaku juga sedikit ringan, tapi bisa jadi itu karena aku lupa menarik napas. lagi.
Kuraih tangannya, dan mendesah ketika jari-jarinya yang dingin menggenggam tanganku. Sentuhannya membawa kelegaan yang sangat aneh – seolah-olah tadi aku merasa kesakitan dan perasaan sakit itu mendadak lenyap.
"Hai," Aku tersenyum kecil mendengar sapaanku yang anti klimaks.
Jungkook mengangkat tangan kami yang saling bertaut dan membelai pipiku dengan punggung tangannya.
"Bagaimana soremu?"
"Lamban."
"Begitu juga aku." Jungkook menarik pergelangan tanganku ke wajahnya, tangan kami masih bertaut. Matanya terpejam sementara hidungnya menjalari kulit tanganku, dan ia, tersenyum lembut tanpa membuka mata. Menikmati hidangan tapi menolak anggurnya, begitu Jungkook pernah mengistilahkan. Aku tahu bau darahku – jauh lebih manis baginya dibandingkan darah manusia lain, benar-benar seperti anggur disandingkan dengan air bagi pencandu alcohol, membuatnya tersiksa dahaga luar biasa.
Tapi sepertinya ia tidak menjauhinya lagi sesering dulu. Samar-samar aku hanya bisa membayangkan betapa luar biasa usaha Jungkook menahan diri di balik tindakan yang sederhana ini. Lalu aku mendengar langkah-langkah Ayah mendekat, mengentak-entak seolah ingin menunjukkan perasaan tidak sukanya pada tamu kami. Mata Jungkook langsung terbuka dan ia membiarkan tangan kami jatuh, tapi tetap saling bertaut.
"Selamat malam, sir." Jungkook selalu bersikap sangat sopan, walaupun Ayah tak pantas mendapat perlakuan sebaik itu.
Ayah menjawab dengan geraman, lalu berdiri di sana sambil bersedekap. Belakangan ia benar-benar ekstrem menjalankan peran sebagai orangtua yang mengawasi gerak-gerik anaknya.
"Aku membawa beberapa formulir pendaftaran lagi," kata Jungkook sambil mengacungkan amplop manila yang tampak menggembung. Di kelingkingnya melingkar sebaris prangko. Aku mengerang. Memangnya masih ada kampus yang membuka pendaftaran dan ia belum memaksaku mendaftar ke sana? Dan bagaimana ia bisa menemukan kampus-kampus yang masih membuka pendaftaran? Padahal sekarang sudah sangat terlambat.
Jungkook tersenyum seolah-olah bisa membaca pikiranku, pasti karena ekspresiku menyiratkan keheranan. "Ada beberapa kampus yang masih membuka pendaftaran. Beberapa lagi bersedia memberi pengecualian."
Aku hanya bisa membayangkan motivasi di balik pengecualian semacam itu. Serta jumlah uang yang terlibat. Jungkook tertawa melihat ekspresiku.
"Bagaimana, setuju?" tanyanya, menyeretku ke meja dapur.
Ayah mendengus dan menguntit di belakang, walaupun tentu saja dia tak bisa memprotes aktivitas malam ini. Setiap hari ia merongrongku untuk segera mengambil keputusan hendak kuliah di mana. Aku cepat-cepat membereskan meja sementara Jungkook menyiapkan setumpuk formulir yang kelihatannya menyeramkan. Ketika aku memindahkan Wuthering Heights ke konter dapur, Jungkook mengangkat sebelah alis. Aku tahu apa yang ia pikirkan, tapi Ayah sudah menyela sebelum Jungkook bisa berkomentar.
"Omong-omong soal pendaftaran kuliah, Jungkook," kata Ayah, nadanya bahkan terdengar lebih masam lagi. Selama ini ia berusaha menghindar bicara langsung kepada Jungkook, dan saat harus melakukannya, hal itu semakin memperburuk suasana hatinya yang memang sudah jelek.
"Taehyung dan aku baru saja membicarakan masalah tahun depan. Kau sudah memutuskan mau kuliah di mana?"
Jungkook menengadah dan tersenyum kepada Ayah, nadanya bersahabat, "Belum. Aku sudah diterima di beberapa universitas, tapi aku masih menimbang-nimbang..."
"Kau sudah diterima di mana saja?" desak Ayah.
"Syracuse... Harvard... Dartmouth... dan hari ini aku mendapat kepastian diterima di University of Alaska Southeast dan dari Seoul National University." Jungkook agak memiringkan wajahnya supaya bias mengedipkan mata padaku. Aku menahan tawa.
"Harvard? Dartmouth?" gumam Ayah, tak mampu menyembunyikan kekagumannya. "Well, itu sangat... hebat sekali. Yeah, tapi University of Alaska... kau tentu tak mungkin mempertimbangkan untuk kuliah di sana kalau bisa kuliah di kampus-kampus Ivy League, kan? Maksudku, ayahmu pasti ingin kau kuliah di sana... atau di Korea? Keluarga kalian berasal dari sana.."
"Ayah selalu setuju apa pun pilihanku," kata Jungkook pada Ayah kalem.
"Hmph."
"Tahu tidak, Jungkook?" seruku ceria, sok lugu.
"Apa, Tae?"
Aku menuding amplop tebal di konter, "Aku juga baru mendapat kepastian diterima di University of Alaska."
"Selamat!" Jungkook nyengir. "Kebetulan sekali."
Mata Ayah menyipit sementara ia bergantian memelototi kami. "Terserahlah," gerutunya sejurus kemudian, "Aku mau nonton pertandingan dulu, Tae. Setengah sepuluh." Itu pesan yang selalu ia lontarkan sebelum meninggalkan aku bersama Jungkook.
"Eh, Dad? Masih ingat kan pembicaraan kita tadi mengenai kebebasanku .. .?"
Ayah mendesah. "Benar, Oke, sepuluh tiga puluh. Kau masih punya jam malam pada malam sekolah."
"Taehyung sudah tidak dihukum lagi?" tanya Jungkook.
Walaupun aku tahu ia tidak benar-benar terkejut, namun aku tak bisa mendeteksi nada pura-pura dalam suaranya yang mendadak girang.
"Dengan syarat tertentu," koreksi Ayah dengan gigi terkatup rapat. "Apa hubungannya denganmu?" Aku mengerutkan kening pada ayahku, tapi ia tidak melihat.
"Senang saja mengetahuinya," kata Jungkook. "Jin sudah tak sabar ingin ditemani shopping, dan aku yakin Taehyung pasti sudah ingin sekali melihat lampu-lampu kota." Jungkook tersenyum padaku.
Tapi Ayah meraung, "Tidak!" dan wajahnya berubah ungu.
"Dad! Memangnya kenapa?"
Ayah berusaha keras menggerakkan rahangnya yang terkatup rapat. "Aku tidak mau kau pergi ke Seattle sekarang-sekarang ini."
"Hah?"
"Aku kan sudah cerita tentang berita di koran itu – ada geng yang membunuh banyak orang di Seattle, jadi aku tidak mau kau pergi ke sana, oke?"
Kuputar bola mataku, "Dad, lebih besar kemungkinan aku disambar petir daripada jadi korban pembunuhan massal di Seattle-"
"Tidak, tenanglah sir." sela Jungkook, memotong perkataanku. "Maksudku bukan ke Seattle. Yang aku maksud sebenarnya Portland. Aku tidak akan mengajak Taehyung ke Seattle. Tentu saja tidak."
Kutatap Jungkook dengan sikap tidak percaya, tapi ia mengambil koran Ayah dan langsung membaca berita dihalaman depan dengan tekun. Ia pasti berusaha mengambil hati ayahku. Tak mungkin nyawaku terancam segerombolan manusia paling berbahaya sekalipun saat aku bersama Jin atau Jungkook. Pikiran itu benar-benar menggelikan.
Upayanya berhasil, Ayah menatap Jungkook sedetik, kemudian mengangkat bahu. "Baiklah." Ia menghambur ke ruang tamu, agak terburu-buru sekarang – mungkin karena tak ingin ketinggalan awal pertandingan.
Aku menunggu sampai TV menyala, supaya Ayah tak bisa mendengar suaraku.
"Apa..." aku mulai bertanya.
"Tunggu sebentar," tukas Jungkook tanpa mengangkat wajah dari koran. Matanya tetap tertuju ke koran sementara tangannya menyorongkan formulir pendaftaran pertama ke seberang meja.
"Kurasa kau bisa mendaur ulang esai-esaimu untuk yang satu ini. Pertanyaan-pertanyaannya sama."
Ayah pasti masih mendengar. Aku mendesah dan mulai mengisi informasi yang itu-itu lagi: nama, alamat, nomor jaminan sosial... Beberapa menit kemudian aku mendongak, tapi Jungkook sekarang malah tercenung memandang jendela. Ketika menunduk lagi menghadapi kertas, untuk pertama kali aku melihat nama universitasnya. Aku mendengus dan menyingkirkan kertas-kertas itu.
"Taehyung?"
"Yang benar saja, Jungkook. Dartmouth?"
Jungkook memungut formulir yang kusingkirkan itu dan meletakkannya kembali pelan-pelan di hadapanku. "Kupikir kau pasti akan menyukai New Hampshire," katanya. "Ada kuliah malam yang cukup lengkap untukku, dan didekatnya ada hutan yang cukup dekat untuk hiking. Banyak hewan liarnya."
Ia menyunggingkan senyum miring yang ia tahu pasti bakal meluluhkan hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung.
"Kau bisa mengembalikan uangku, kalau itu membuatmu senang," janji Jungkook. "Kalau mau, aku juga bisa mengenakan bunga."
"Aku pasti tak bisa masuk tanpa sogokan dalam jumlah besar. Atau itu bagian dari pinjamanmu? Gedung perpustakaan baru bernama Choi? Ugh. Kenapa kita mesti mendiskusikan hal ini lagi?"
"Bisa tolong isi saja formulirnya, Tae? Tidak ada salahnya kan mendaftar."
Daguku mengeras. "Tahukah kau? Kupikir sebaiknya tidak usah saja." Tanganku terulur hendak meraih kertas-kertas itu, berniat meremasnya untuk kemudian kulempar ke keranjang sampah, tapi kertas-kertas itu sudah lenyap. Kupandangi meja yang kosong itu sesaat, kemudian Jungkook. Kelihatannya ia tadi tidak bergerak sama sekali, tapi formulirnya sekarang mungkin sudah tersimpan rapi dalam jaketnya.
"Apa-apaan kau?" runtutku,
"Aku bisa membuat tanda tanganmu lebih baik daripada kau sendiri. Kau juga sudah membuat esainya."
"Kau benar-benar keterlaluan," Aku berbisik, berjaga-jaga siapa tahu Ayah tidak benar-benar asyik nonton pertandingan. "Aku toh tidak perlu mendaftar ke tempat lain. Aku sudah diterima di Alaska. Uangku nyaris cukup untuk menutup biaya kuliah semester pertama. Itu kan alibi yang bagus sekali. Tidak perlu membuang-buang uang, tak peduli uang siapa itu."
Ekspresi sedih membuat wajah Jungkook tegang. "Taehyung..."
"Sudahlah. Aku setuju bahwa aku perlu melakukan semua ini demi Ayah, tapi kita sama-sama tahu kondisiku tidak memungkinkan untuk kuliah musim gugur nanti. Tidak mungkin bagiku berdekatan dengan manusia."
Pengetahuanku mengenai tahun-tahun pertama sebagai vampir baru masih belum jelas. Jungkook tak pernah menjelaskan secara mendetail – itu bukan topik favoritnya – tapi aku tahu itu pasti berat. Pengendalian diri ternyata hanya bisa didapat dengan latihan. Tak mungkin aku mengikuti kuliah kecuali kuliah jarak jauh.
"Kupikir waktunya masih belum diputuskan," Jungkook mengingatkan dengan lembut. "Kau bisa menikmati satu-dua semester masa kuliah. Ada banyak pengalaman manusia yang belum pernah kau rasakan."
"Sesudahnya kan bisa."
"Sesudahnya berarti bukan lagi pengalaman manusia. Tidak ada kesempatan kedua, Taehyung."
Aku mendesah, "Kau harus bijaksana menentukan waktunya, Jungkook. Terlalu berbahaya untuk bermain-main."
"Belum ada bahaya apa-apa," ia berkeras.
Kupeloroti dia. Belum ada bahaya? Oh, tentu saja. Yang ada hanya vampir sadis yang berusaha membalaskan dendam kematian pasangannya dengan membunuhku, lebih disukai bila menggunakan metode yang lamban dan menyiksa. Siapa yang mengkhawatirkan Victoria? Dan, oh ya, keluarga Volturi, yang ngotot menginginkan jantungku berhenti berdetak, bagaimanapun caranya, secepatnya, karena manusia tak seharusnya tahu mereka ada.
Yang benar saja. Tidak ada alasan sama sekali untuk panik? Meskipun Jin terus memantau keadaan, sungguh gila untuk mengambil risiko. Lagipula aku sudah memenangkan argumen ini. Tanggal transformasiku untuk sementara ditetapkan tak lama setelah lulus SMA, yang berarti tinggal beberapa minggu lagi. Perutku mendadak mulas saat menyadari betapa sedikit waktu yang tersisa. Tentu saja perubahan ini perlu, tapi aku sangat prihatin memikirkan Ayah yang duduk di ruangan lain, menikmati pertandingan di TV; seperti malam-malam lain. Juga ibuku, yang jauh di Florida, yang masih memohon-mohon agar aku mau melewatkan musim panas di pantai bersama dia dan suami barunya.
Dan J-Hope, yang, tidak seperti kedua orangtuaku, tahu apa yang sesungguhnya terjadi bila nanti aku menghilang dengan alasan pergi kuliah di kota lain yang sangat jauh. Bahkan seandainya orangtuaku tidak curiga untuk waktu yang lama, bahkan seandainya aku bisa menunda kepulangan dengan alasan biaya perjalanan yang mahal atau kesibukan belajar atau karena sakit. J-Hope tahu hal sebenarnya. Sejenak, kesedihan karena J-Hope akan menganggapku menjijikkan mengalahkan kesedihanku yang lain.
"Taehyung," gumam Jungkook, wajahnya menekuk saat membaca kesedihan di wajahku. "Tidak perlu buru-buru. Aku takkan membiarkan siapa pun menyakitimu. Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan."
"Aku ingin cepat-cepat," bisikku, tersenyum lemah, mencoba bergurau. "Aku juga ingin jadi monster."
Rahang Jungkook terkatup rapat; ia berbicara dari sela-sela giginya. "Kau tidak mengerti yang kau katakan."
Dengan kasar ia melempar koran lembap itu ke meja di antara kami. Jarinya menuding kasar judul berita di halaman depan 'ANGKA KEMATIAN MENINGKAT POLISI MENGKHAWATIRKAN AKTIVITAS GENG'.
"Memang apa hubungannya?"
"Monster bukanlah lelucon, Tae."
Kutatap judul berita itu lagi, kemudian beralih ke ekspresi wajahnya yang keras. "Jadi ... jadi ini perbuatan vampir?" bisikku.
Jungkook tersenyum sinis. Suaranya rendah dan dingin.
"Kau akan terkejut Tae, kalau tahu betapa seringnya kaumku menjadi penyebab berbagai peristiwa mengerikan disurat kabar manusiamu. Mudah saja mengenalinya, kalau kau tahu apa yang dicari. Informasi yang ada di sini mengindikasikan ada vampir yang baru lahir berkeliaran di Seattle. Haus darah, liar, tak terkendali. Sama seperti kami semua dulu."
Aku menunduk memandangi koran itu lagi, menghindari matanya.
"Sudah beberapa minggu ini kami terus memonitor situasi. Semua tanda-tandanya ada – hilang tanpa jejak, selalu pada malam hari, mayat-mayat yang dibuang begitu saja, tak adanya bukti lain... Ya, jelas seorang vampir yang masih sangat baru. Dan sepertinya tidak ada yang bertanggung jawab terhadap si neo-phyte..." Jungkook menghela napas dalam-dalam.
"Well, itu bukan persoalan kami. Kami bahkan tidak akan memerhatikan situasi ini seandainya kejadiannya di tempat lain yang jauh dari sini. Seperti sudah kukatakan tadi, ini terjadi setiap saat. Keberadaan monster pasti akan menimbulkan konsekuensi mengerikan."
Aku berusaha untuk tidak melihat nama-nama yang tercantum di koran, tapi nama-nama itu tampak mencolok dibandingkan tulisan-tulisan lain, seolah-olah dicetak tebal. Lima orang yang hidupnya berakhir, yang keluarga-keluarganya sedang berduka. Sulit menganggapnya sebagai pembunuhan biasa. Orang-orang yang mempunyai orangtua, anak, teman, hewan peliharaan, pekerjaan, harapan, cita-cita, kenangan, dan masa depan ...
"Aku tidak akan jadi seperti itu," bisikku, setengahnya ditujukan pada diri sendiri. "Kau tidak akan jadi seperti itu. Kita akan tinggal di Antartika."
Jungkook mendengus, memecahkan ketegangan.
"Penguin. Bagus sekali."
Aku tertawa lemah. dan menyingkirkan koran dari meja supaya tidak lagi melihat nama-nama para korban, benda itu membentur lantai linoleum dengan suara berdebum. Tentu saja Jungkook mempertimbangkan kemungkinan berburu. Ia dan keluarganya yang "vegetarian", lebih menyukai rasa predator-predator besar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Alaska, kalau begitu, seperti yang sudah direncanakan. Hanya saja di tempat lain yang lebih terpencil lagi dibandingkan Juneau – yang banyak beruang grizzly-nya."
"Itu lebih baik lagi." ujar Jungkook. "Di sana juga ada beruang kutub. Ganas sekali. Dan serigala di sana juga besar-besar."
Mulutku ternganga lebar dan napasku terkesiap dengan suara keras.
"Ada apa?" tanya Jungkook. Sebelum aku sempat pulih dari raut bingung di wajah Jungkook lenyap dan sekujur tubuhnya seolah mengeras. "Oh, Lupakan serigala kalau begitu, bila kau tidak bisa menerimanya." Nadanya kaku, formal, bahunya tegang.
"Dia dulu sahabatku, Jungkook," gumamku. Sakit rasanya mengatakan 'dulu'. "Tentu saja aku tidak terima."
"Maafkan kesembronoanku," katanya, masih dengan sikap sangat formal. "Seharusnya aku tidak menyarankan itu."
"Sudahlah, lupakan saja." Kupandangi kedua tanganku yang mengepal di meja.
Kami terdiam beberapa saat, kemudian jari Jungkook yang dingin menyentuh bagian bawah daguku, menengadahkan wajahku. Ekspresinya jauh lebih lembut sekarang.
"Maaf. Sungguh."
"Aku tahu. Aku tahu itu tidak sama, Seharusnya aku tidak bereaksi seperti itu . Hanya saja... well, aku memikirkan J-Hope sebelum kau datang tadi." Aku ragu-ragu.
Mata Jungkook yang cokelat kekuningan berubah agak gelap setiap kali aku menyebut nama J-Hope. Melihat itu nada suaraku berubah memohon.
"Kata Ayah, Hopie sedang mengalami masa-masa sulit. Dia sedih sekarang, dan ... itu salahku." Aku seolah tidak peduli dengan raut wajah Jungkook yang tidak suka karena aku memanggil J-Hope seperti itu.
"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Taehyung." Aku menghela napas dalam-dalam.
"Aku perlu memperbaikinya, Jungkook. Aku berutang budi padanya. lagipula, itu salah satu syarat yang diajukan Ayah."
Wajah Jungkook berubah sementara aku bicara, kembali mengeras, seperti patung.
"Kau tahu kau tak boleh berada di sekitar werewolf tanpa perlindungan Tae, dan kami akan dianggap .melanggar kesepakatan bila memasuki tanah mereka. Memangnya kau mau terjadi perang?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu, tak ada gunanya membicarakan masalah ini lebih jauh lagi." Jungkook menjatuhkan tangannya dan berpaling, mencari topik lain untuk dibicarakan. Matanya terpaku pada sesuatu di belakangku, dan ia tersenyum, meski matanya tetap was-was.
"Aku senang Charlie memutuskan mengizinkanmu keluar. Sungguh menyedihkan, kau benar-benar harus pergi ke toko buku. Aku tak percaya kau membaca Wuthering Heights lagi. Memangnya kau belum hafal luar kepala sekarang?"
"Tidak semua orang mempunyai ingatan fotografis," tukasku pendek.
"Ingatan fotografis atau bukan, aku tidak mengerti kenapa kau menyukai buku itu. Karakter-karakternya adalah orang-orang menyebalkan yang saling menghancurkan hidup yang lain. Entah bagaimana ceritanya sampai Heathcliff dan Cathy disejajarkan dengan pasangan-pasangan seperti Romeo dan Juliet atau Elizabeth Bennet dan Mr. Darcy. Itu bukan kisah cinta, tapi kisah benci."
"Ternyata kau benar-benar tak suka novel-novel klasik," balasku.
"Mungkin karena aku tidak terkesan dengan yang antik-antik." Jungkook tersenyum, puas karena berhasil mengalihkan pikiranku. "Jujur saja, kenapa kau sampai membacanya berulang kali?"
Kini matanya hidup oleh rasa tertarik yang nyata, berusaha menguraikan belitan pikiranku yang kusut. Ia mengulurkan tangan ke seberang meja untuk merengkuh wajahku.
"Apa yang membuatmu tertarik?"
Keingintahuannya yang tulus membuatku tak berdaya.
"Entahlah," jawabku, dengan panik berusaha memfokuskan pikiran sementara tatapannya tanpa sengaja mengacau-balaukan pikiranku. "Mungkin karena ada unsur yang tidak bisa dihindari di dalamnya. Betapa tak ada satu hal pun bisa memisahkan mereka – tidak keegoisan Cathy, atau kekejaman Heathcliff, atau bahkan kematian, pada akhirnya..."
Wajah Jungkook tampak merenung saat mempertimbangkan kata-kataku.
"Aku tetap berpendapat ceritanya bisa lebih bagus seandainya salah seorang saja diantara mereka memiliki kelebihan."
"Menurutku justru itulah intinya," sergahku tidak setuju. "Cinta mereka adalah satu,satunya kelebihan yang mereka miliki."
"Kuharap kau lebih punya akal sehat – tidak jatuh cinta pada orang yang begitu ... kejam."
"Sekarang sudah agak terlambat bagiku untuk khawatir kepada siapa aku jatuh cinta," tukasku. "Tapi walau tanpa peringatan sekalipun, sepertinya aku baik-baik saja."
Jungkook tertawa tenang. "Aku senang kau berpendapat begitu."
"Well, mudah-mudahan kau cukup pintar untuk tidak dekat-dekat dengan orang yang begitu egois. Catherine-lah yang menjadi sumber segala masalah, bukan Heathcliff."
"Aku akan waspada," janjinya.
Aku mendesah. Jungkook benar-benar pandai mengalihkan pikiran. Kuletakkan tanganku di atas tangannya yang memegang wajahku. "Aku harus menemui J-Hope."
Mata Jungkook terpejam. "Tidak."
"Tidak berbahaya sama sekali," kataku, memohon-mohon lagi. "Dulu aku sering menghabiskan waktu seharian di La Push bersama mereka semua, dan tidak pernah terjadi apa-apa."
Tapi aku terpeleset suaraku bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir, karena saat itu aku sadar itu bohong. Tidak benar tidak pernah terjadi apa-apa. Sepotong kenangan berkelebat dalam ingatanku – seekor serigala abu-abu besar merunduk, siap menerkam, menyeringai memamerkan gigi-giginya yang menyerupai belati padaku – dan telapak tanganku berkeringat saat terkenang lagi kepanikanku waktu itu.
Jungkook mendengar detak jantungku yang mendadak cepat dan mengangguk, seolah-olah aku mengakui kebohonganku dengan suara lantang.
"Werewolf tidak stabil. Terkadang orang-orang di dekat mereka terluka. Bahkan ada yang sampai meninggal."
Aku ingin membantah, tapi bayangan lain membuatku urung menyanggah. Dalam benakku aku melihat wajah Emily Young yang tadinya cantik, tapi sekarang hancur akibat tiga bekas luka berwarna gelap yang melintang dari sudut mata kanan hingga ke sisi kiri mulur, membuat wajahnya seperti merengut miring selama-lamanya. Jungkook menunggu, ekspresinya muram namun penuh kemenangan, sampai aku bisa menemukan suaraku lagi.
"Kau tidak kenal mereka," bisikku.
"Aku kenal mereka lebih baik daripada yang kau kira, Taehyung. Aku ada di sini saat peristiwa itu terakhir kali terjadi."
"Terakhir kali?"
"Kami mulai bersinggungan dengan para werewolf kira-kira tujuh puluh tahun yang lalu... Waktu itu kami baru mulai menetap di Hoquiam. Itu sebelum Jin dan Namjoon bergabung. Jumlah kami lebih banyak daripada mereka, tapi itu tidak akan menghentikan pecahnya pertempuran seandainya bukan karena appa. Dia berhasil meyakinkan Ephraim Black bahwa hidup berdampingan itu mungkin, dan akhirnya kami melakukan gencatan senjata."
Nama kakek buyut J-Hope membuatku kaget.
"Kami menyangka keturunan werewolf berhenti di Ephraim," gumam Jungkook; kedengarannya dia seperti berbicara pada diri sendiri sekarang. "Bahwa penyimpangan genetik yang mengakibatkan transmutasi itu sudah hilang..."
Jungkook berhenti bicara dan memandangiku dengan tatapan menuduh.
"Kesialanmu tampaknya semakin hari semakin menjadi-jadi. Sadarkah kau bahwa kecenderunganmu menarik segala sesuatu yang mematikan ternyata cukup kuat untuk memulihkan segerombolan anjing mutan dari ancaman kepunahan. Kalau saja kita bisa membotolkan kesialanmu, kita akan memiliki senjata pemusnah massal di tangan kita."
Kuabaikan ejekan itu, perhatianku tergugah oleh asumsi yang dilontarkan Jungkook – apakah dia serius?
"Tapi bukan aku yang memunculkan mereka. Masa kau tidak tahu?"
"Tahu apa?"
"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesialanku. Werewolf muncul lagi karena vampir juga muncul kembali."
Jungkook menatapku, tubuhnya tak bergerak karena kaget.
"Kata J-Hope, keberadaan keluargamu di sini menggerakkan semuanya. Kukira kau sudah tahu..."
Matanya menyipit. "Jadi, begitukah menurut mereka?"
"Jungkook, lihat saja fakta-faktanya. Tujuh puluh tahun lalu, kalian datang ke sini, dan para werewolf muncul. Sekarang kalian kembali, dan para werewolf itu muncul lagi. Apakah menurutmu itu hanya kebetulan?"
Jungkook mengerjapkan mata dan tatapannya melunak.
"Appa pasti tertarik pada teori itu."
"Teori," dengusku.
Jungkook terdiam sesaat, memandang ke luar jendela, ke hujan yang menderas: dalam bayanganku ia sedang memikirkan fakta bahwa kehadiran keluarganya mengubah penduduk lokal menjadi anjing-anjing raksasa.
"Menarik, tapi tidak terlalu relevan," gumamnya setelah beberapa saat, "Situasinya tetap sama."
Aku bisa menerjemahkan maksudnya dengan cukup mudah: tetap tidak boleh berteman dengan werewolf. Aku tahu aku harus bersabar menghadapi Jungkook. Bukan karena ia tidak bisa diajak bicara dengan pikiran jernih, tapi karena ia tidak mengerti. Ia tidak tahu betapa besar utang budiku pada J-Hope Black – lebih dari hidupku, dan mungkin kewarasanku juga.
Aku tidak suka membicarakan masa-masa sulit itu dengan siapa pun, terutama Jungkook. Kepergiannya waktu itu dimaksudkan untuk menyelamatkanku, berusaha menyelamatkan jiwaku. Aku tidak menganggapnya bertanggung jawab atas semua hal tolol yang kulakukan selama ia tidak ada, atau kepedihan yang kuderita. Tapi Jungkook merasa dirinya bertanggung jawab. Jadi aku harus bisa menjelaskan maksudku dengan sangat hati-hati.
Aku berdiri dan berjalan mengitari meja. Jungkook membentangkan kedua lengannya menyambutku dan aku duduk di pangkuannya, meringkuk dalam pelukannya yang sedingin batu. Kupandangi tangannya sementara aku bicara.
"Kumohon, dengarkan aku sebentar. Ini jauh lebih penting daripada sekadar keinginan bertemu teman lama. J-Hope sedang menderita," Suaraku bergetar mengucapkan kata itu.
"Aku tidak bisa tidak berusaha menolongnya – aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja sekarang, saat dia membutuhkan aku. Hanya karena dia tidak selalu menjadi manusia. Well, dia mendampingiku saat aku sendirian... sedang dalam kondisi yang tidak layak disebut sebagai manusia. Kau tidak tahu bagaimana keadaannya waktu itu... Aku ragu."
Lengan Jungkook yang memelukku mengejang kaku, tinjunya mengepal, otot-ototnya menyembul.
"Seandainya J-Hope tidak membantuku, entah apa yang akan kau temukan waktu kau kembali. Aku berutang banyak padanya, Jungkook."
Aku mendongak, menatap wajahnya was-was. Kedua mata Jungkook terpejam, dagunya tegang.
"Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena meninggalkanmu," bisiknya.
"Tidak seandainya aku hidup sampai seratus ribu tahun sekalipun."
Kuletakkan tanganku di wajahnya yang dingin dan menunggu sampai Jungkook mendesah dan membuka mata.
"Kau hanya ingin melakukan yang benar. Dan itu pasti berhasil bila ditujukan pada orang lain yang tidak sesinting aku. Lagipula, kau ada di sini sekarang. Itu yang terpenting."
"Seandainya aku tak pernah pergi, kau tidak akan merasa perlu mempertaruhkan hidupmu untuk menghibur anjing."
Aku tersentak. Aku sudah terbiasa dengan J-Hope dan semua caci makinya yang merendahkan – pengisap darah, lintah, parasit... Entah mengapa kedengarannya lebih kasar dalam suara Jungkook yang selembut beledu.
"Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan benar," kata Jungkook, nadanya muram, "Ini akan terdengar keji, kurasa. Tapi dulu aku pernah nyaris kehilanganmu. Aku tahu bagaimana rasanya mengira itu telah terjadi... Aku tidak akan menolerir hal berbahaya apa pun lagi."
"Kau harus memercayai aku dalam hal ini. Aku tidak akan kenapa-kenapa."
Wajah Jungkook kembali sedih. "Please, Taehyung," bisiknya.
Kutatap mata emasnya yang mendadak membara itu. "Please, apa?"
"Please, demi aku. Please, berusahalah agar kau tetap aman. Aku akan melakukan apa saja yang kubisa, tapi aku akan sangat senang kalau mendapat sedikit bantuan darimu."
"Akan aku usahakan," gumamku.
"Tak tahukah kau betapa pentingnya kau bagiku? Kau tidak punya bayangan sama sekali betapa aku sangat mencintaimu?" Jungkook menarikku lebih erat ke dadanya yang keras, menyurukkan kepalaku di bawah dagunya.
Kutempelkan bibirku ke lehernya yang sedingin salju.
"Aku tahu betapa aku sangat mencintaimu," jawabku.
"Kau membandingkan sebatang pohon kecil dengan seluruh isi hutan."
Kuputar bola mataku, tapi Jungkook tak bisa melihat, "Mustahil."
Jungkook mengecup ubun-ubunku dan mendesah. "Tidak ada werewolf."
"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus menemui J-Hope."
"Kalau begitu aku harus menghentikanmu."
Nadanya begitu yakin bahwa itu takkan jadi masalah. Aku yakin ia benar,
"Kita lihat saja nanti," aku tetap menantang. "Dia tetap temanku."
Aku bisa merasakan surat J-Hope di sakuku, seakan-akan benda itu mendadak beratnya jadi dua puluh kilo. Kata-katanya kembali terngiang dalam benakku, dan sepertinya ia sependapat dengan Jungkook – ini sesuatu yang tidak akan pernah terjadi di alam nyata. Itu tidak mengubah keadaan. Maaf.
[TBC]
[]
[]
[]
Halooooooooo, gimana kabar kalian gaes?
Sehat kah? Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja..
Sebulan sudah berlalu, dan i'm back with new series!
Maaf ya kalo terlalu lama ninggalin kalian.. T.T
Semoga kalian tidak melupakan aku~~
Btw, aku masih belum bisa move on sama black suit Bangtan version di jepang kemarin!
Mereka sekseh syekaliiiii~~~
Tapi, tapi, tapi, kok perasaan Yoongi jadi tambah kurus ya? Sedih aku tuh kalo dia tambah kurus, udah kecil, mungil, kurus.. T.T
Okelah back to the topic, so gaes.. ini lah series terbaru dari Twilight KookV version, yaitu Eclipse.
Sekali lagi aku ingatkan, aku ambil ceritanya dari novel yg pasti ada bedanya sama scene yang ada di film nya, ocre?
Aku baru pulang tanggal 1 mei, oleh2nya pilek! Tadi diperiksa katanya ada gejala sinuitis (bener gak sih itu nulisnya), kaget juga sekaligus takut.. sinuitis itu gak berbahaya kan? :(
Minta doa nya semoga saya baik-baik saja, flu nya cepet sembuh.. aamiin..
Udah sekian itu saja...
Maaf kalau ada typo yeeesss?
Terima kasih~~~
I lap you all~~~
[]
[]
[]
[]
