From Now, Tomorrow and Forever
Naruto © Masashi Kishimoto
The first snow flurries (cover) © Nishi06
Permen Caca and Karikazuka proudly present
NaruHina Fanfiction
AU
Enjoy for the Fanfiction!
.
.
.
Karena tidak ada kisah yang benar-benar tanpa cinta, kan?
Jadi, biarkan mulai sekarang, besok dan selamanya kita memulai semua kisah itu ...
Bersama ...
Denganmu ...
... Mau, kan?
.
.
.
Dibanding custard yang disajikan dengan vla coklat yang meleleh diatasnya, Uzumaki Naruto lebih menyukai jika custard tersebut dilumeri vla vanilla atau vla karamel. Tapi dia tidak pula membenci custard yang sudah tersaji di mejanya ini.
Santapan yang lumayanlah, untuk waktu istirahat di siang hari panas begini. Apalagi Lee, di sampingnya berkelakar tentang Orochimaru-sensei yang terkadang memang agak kelewatan tingkahnya saat mengajar.
Sesekali—dari ekor mata Naruto—dilihatnya Lee mengambil jeda untuk mereguk segelas lemonade dinginnya. Tak jarang pula Naruto menanggapi ocehan Lee dengan kelakar yang pas, membuat ledakan tawa membahana di kantin itu.
"Tak terasa kita sudah kelas tiga ya, Rubah?" Lee membuka topik.
"Begitu cepat waktu berlalu, dan sayangnya kita masih jomblo." Naruto mendadak murung. Lee pun mendengus. Yah, beginilah rasanya menyandang predikat jomblo selama bertahun. Sedih sih kayaknya tidak, cuma rada bosan sama aktivitas yang 'itu-itu'melulu.
Kalau malming aka malam minggu, Naruto hanya ditemani Lee. Main game sembari saling memperebutkan gelar 'pejantan tangguh'—siapa yang paling tahan ngantuk sampai pagi.
Wajar saja, Naruto rada envy sama mereka yang punya pacar. Memang, rata-rata kegiatan orang pacaran seperti jalan-jalan sudah sering (bahkan mau muntah saking seringnya) dia lakukan bersama Lee, tapi kan dia ingin juga bisa panggil 'sayang-sayangan' sama someone spesial. Masa buat yang satu ini mau dilakukan sama Lee?
Dia normal, saudara dan saudari sebangsa dan setanah air, bukan 'MAHO' alias MAnusia HOmo.
Lain lagi halnya dengan Lee, dia jadi ingin pacaran karena diajak Shikamaru ke bioskop. Lho, kok? Iyalah, tahu wanti-wanti dari orang tua 'kalau manusia berlainan jenis berdua, yang ketiganya setan'?
Nah, untuk mencegah adanya setan diantara Shikamaru dan Ino—pacarnya—makanya Lee diajak untuk menemani Shikamaru dan Ino menonton bioskop. Maksudnya biar setannya main dengan Lee, gitu.
Mengenaskan.
"ASTAGA! Aku lupa bahwa ada pe-er matematika!" Lee tiba-tiba bangkit berdiri dan segera berlari meninggalkan Naruto. Ia tidak perduli lagi dengan lemonade-nya yang masih tersisa sedikit, hampir es batunya saja.
Ya iyalah, masa es batunya juga mau dimakan? Keterlaluan amat.
"Oiii! Alis Tebal! Tunggu!" Naruto segera menghabiskan custard-nya dan berlari menyusul Lee. Setidaknya lelaki berambut kuning nyentrik ini masih sanggup menelan habis custard walau resikonya ia berlari sambil tersedak-sedak.
.
.
.
"Salam kenal semuanya, namaku Haruno Sakura."
Lee dengan Naruto serentak berdiri. Membuat teman-teman sekelasnya melempar pandang heran pada mereka.
"Ah! Kalian—" Sakura tersentak kecil. Naruto dan Lee memasang cengiran lebar. Masih segar dalam ingatan, baru saja kemarin rasanya mereka berlarian, bermain sepeda, memanjat pohon bahkan rebutan mangga tetangga.
Sakura, si cilik tomboy dengan kulitnya yang dulu bewarna kecoklatan dan rambut sependek telinga dengan ujung pecah-pecah, kini tumbuh menjadi gadis remaja nan cantik. Kulitnya bersih terawat, rambutnya sekarang sudah melewati bahu dan terlihat berkilauan.
Naruto, si anak berandalan yang dulu tubuhnya lebih pendek dibanding Sakura, kini tingginya saja sudah melewati gadis pinkish itu, lagi, rahangnya mulai menegaskan bentuk wajahnya. Gestur tubuhnya mencerminkan keramahan.
Rock Lee, si anak dengan sikap pemurung, kini sorot matanya menyiratkan semangat yang menggebu-gebu, tubuhnya yang dulu ceking, kini telah berbentuk; dadanya bidang, lengannya menampilkan otot yang menawan.
Memori tentang bagaimana rupa diri mereka yang dulu masih dibalut seragam junior high school dengan wujud masing-masing sekarang, tak ayal membuat terkejut. Apalagi Sakura, mengingat dia yang dulu pindah sekolah dan meninggalkan kedua teman tergilanya yang pernah ia temui.
"Selamat datang kembali, Sakura-chan," sambut mereka dengan senyuman yang sudah lama sekali tidak dilihat Sakura. Cengiran lebar dengan gigi berderet rapi.
"Okaeri." Sakura tersenyum mendatangi Naruto dan Lee. Ia yang dulu masih tersenyum dengan gaya ingusan, kini menampilkan senyum manis yang menawan. Layaknya para gadis dari kalangan atas.
Ah. Betapa rindunya Sakura terhadap dua temannya ini.
.
.
.
"Apa? Apakah ada sesuatu di wajahku?"
Naruto tersentak, kemudian menyengir gugup, "Tidak ada apa-apa kok, aku hanya cukup terkejut dengan penampilanmu sekarang, Sakura."
Sakura tertawa. Suaranya ataupun bagaimana dia tertawa, sudah sangat berbeda dari yang Naruto ingat. Sekarang, baginya Sakura terlihat … menarik.
"Apakah penampilanku aneh?"
"Tidak, bu—"
"Bagus kalau begitu." Sakura mengacak-acak rambut Naruto. Kebiasaan ini ternyata belum berubah. Masih memperlakukan Naruto sebagai anak kecil. Sadar akan hal itu, Naruto sedikit merengut. Sakura kembali tertawa melihat Naruto.
"Kalian curang, bersenang-senang tanpa aku!" Lee menyeletuk, mengejutkan Naruto dan Sakura yang sedari tadi menunggunya di koridor dan duduk di bangku panjang. Tanpa ragu, Lee langsung mengambil tempat duduk di samping Sakura.
"Yah, Lee ikut-ikutan, ganggu saja nih. Hush, hush!" Naruto berkata datar sembari mengibaskan tangannya dalam gerakan mengusir.
"Naruto!" tegur Sakura.
"Oh, kau mengusirku, Rubah baka?" Lee tidak terima dengan perlakuan Naruto.
"Iya, Alis Tebal aneh," balas Naruto yang juga tidak terima dengan perkataan Lee.
"Kau menantangku?" Lee bangkit berdiri.
"Siapa takut?" jawab Naruto menerima tantangan Lee. Dia pun ikut-ikutan bangkit berdiri dan memasang kuda-kuda.
Kedua sosok di hadapan Sakura sama-sama mulai melayangkan tinju—dengan catatan; mereka sengaja membuat gerakan slow motion. Tapi belum sampai pukulan Lee mengenai wajah Naruto, pemuda jabrik itu sudah tepar duluan.
Lee punya tenaga dalam? Oh, bukan-bukan. Penyebabnya yaitu datangnya sebuah bola dari arah samping dan sukses menonjok mukanya. Naruto meringis memegangi wajahnya. Dalam hatinya, dia menyesal karena beberapa hari yang lalu, dia menertawakan Lee yang wajahnya kena bola. Sekarang karma telah datang kepadanya.
'Rasain tuh Nar! Rasaiin!' Lee bersorak kemenangan dalam hatinya.
Lee tertawa keras-keras melihat Naruto yang meraung—dia teman yang baik bukan?
"Go-gomenasai." Suara lembut itu menyentakkan Naruto.
Nah, ini dia Si Biang Kerok! Batin Naruto merutuk. Segera saja dia mendongak dan ingin menyemburkan segala kekesalan hatinya.
Eh?
Sesosok itu berdiri tepat di hadapannya. Rambutnya bergoyang pelan terbawa angin, wajahnya kemerahan dan kulitnya yang sedikit berkeringat berkilau di bawah sinar matahari yang menyelip masuk pada celah-celah awan. Membuat efek seolah sosok itulah yang mengeluarkan cahaya.
Oh bidadari~ jatuh dari surga.
Naruto mengerjap-ngerjap, bingung sesaat sebelum akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. Niatnya yang ingin memaki-maki hilang tak berbekas.
Naruto bangkit, dan mengambil bola penyebab wajahnya terasa sakit.
"Nih, bolanya," ujar Naruto menyerahkan bola pada gadis berambut indigo yang tingginya hanya sedagunya. Ditelannya lagi rasa marah yang hampir terlontar dari ujung lidahnya.
"A-Ah…terima kasih," balas gadis itu dengan suara pelan—bahkan sebelum Naruto membalas, wuuuussshhh! dia menghilang begitu saja. Meninggalkan Naruto yang melongo.
"Naruto, kau tidak apa-apa?" Sakura memegangi kepala Naruto bekas hantaman bola. Sedikit tercetak ruam kemerahan di dahinya. Naruto langsung memasang akting kesakitan yang dilebih-lebihkan. Rencananya, Naruto mau bermanja-manja dengan Sakura—Lee yang tahu kelicikan Naruto, memasang wajah geram.
.
.
.
Hinata berjalan—hampir berlari menuju kerumunan teman-temannya. Tenten yang menantinya di sana hanya bisa mengangkat alis, tatkala melihat air muka Hinata yang terkesan gugup dan gelisah.
"Kau kenapa?" Tenten bertanya dan mengambil bola voli dari tangan gadis itu. Kemudian, dia melemparnya ke arah belakang. Shikamaru yang saat itu sedang menguap; wajahnya hampir bertumbukan dengan bola jika saja dia tidak melihat bola itu dan refleks menangkapnya.
"A-aku … lemparan servisku mengenai kepala Uzumaki-san!" Hinata hampir histeris menahan malu sekaligus kepayahannya dalam olahraga. Tenten langsung tertawa sebagai respons.
"Ya ampun! Hahaha, jadi dia reaksinya bagaimana?"
"Untungnya, U-Uzumaki-san tidak marah padaku." Hinata mensyukuri hal itu dalam hati. Tapi masih belum surut juga rasa malu dari hatinya.
"Wah, wah. Akhirnya ada perkembangan juga ya~" kata Tenten dengan suara menggoda dan menyikut lengan Hinata pelan. Ia nyengir dengan senyum-senyum gak jelasnya.
Hinata terlihat salah tingkah, "Per-perkembangan apaan, sih?" kilahnya gugup. Wajahnya kembali memerah malu.
"Setelah sekian lama melihatnya tanpa mengajaknya berbicara, akhirnya Dewi Fortuna memberimu kesempatan!" Tenten menepuk bahu Hinata dengan keras; bagi seorang ahli karate seperti Tenten, itu termasuk pukulan "sapaan".
Hinata meringis. Memang sih, dia sering memperhatikan pemuda itu. Tapi bukan berarti dirinya suka pada pemuda itu, kan?
Entah kenapa, senyum pemuda itu terlihat menarik. Langkahnya yang serampangan; terkadang melompat kecil, merefleksikan pribadinya yang menggebu-gebu.
"Ternyata cewek itu suka bergosip ya?" celetuk Kiba meledek dari belakang mereka. Tenten yang sudah hapal di luar kepala siapa pemilik suara yang nge-bossy itu hanya memutar bola matanya bosan.
Hinata berdeham-deham sebentar—menyembunyikan rasa geli yang menyeruak dari dalam dirinya ketika melihat bagaimana dua temannya itu memulai pertengkaran konyol.
.
.
.
Lee lagi-lagi mendengus sebal. Cemburu berat, berat, rat, rat! Melihat Sakura bercanda ria dengan anak tengil macam Naruto. Mereka bertiga memang bersahabat. Tapi Lee berbeda.
Bukan berarti Lee diacuhkan, hanya saja … ada suatu celah—Lee tersenyum getir—yang tidak bisa dia masuki di antara Naruto dan Sakura. Dia ada di luar lingkaran yang mereka berdua ciptakan. Dia pengamat dua sosok itu.
Bagaimana tawa mereka berderai, bagaimana tatapan sarat afeksi itu saling terhubung, bagaimana pula sentuhan ringan yang tak bermaksud menyakiti itu terjadi. Sesaat, dia merasa jauh dari mereka. Tak terjangkau. Dia … merasa takut.
"Aku pergi menemui guru Kurenai dulu untuk mengumpul tugasku. Jaa … Naruto!" Sakura bangkit berdiri, membereskan bukunya dan memasukannya dalam tas sampingnya yang berwarna burgundy. Sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi klasik ketika pemiliknya melangkah tergesa-gesa menuju laboratorium fisika.
Mata Lee mengikuti sosok sahabatnya itu berlari hingga hilang di antara khalayak. Badannya yang semula bersandar nyaman pada pilar ruangan serba guna, terkesiap ketika menangkap gelagat aneh Naruto.
Naruto mengawasi sekelilingnya, lalu berjalan menuju loker-loker yang ada di arah utara. Penasaran, dia mengikuti pemuda itu secara diam-diam dan mengamatinya dengan dahi berlipat.
Apa yang dilakukan Naruto di loker Sakura? Benda apa yang dimasukan Naruto dalam loker gadis itu? Lalu kenapa wajah itu tersenyum gugup seolah takut ketahuan?
Setelah Naruto pergi, Lee mulai melangkah pelan ke jajaran loker siswa-siswa itu. Pikirannya memberi alarm untuk berhenti melakukannya semua ini.
Kotak Pandora tak boleh dibuka.
Apa yang akan ditemukan? Kebahagiaan? Kesedihan?
Atau ...
Kenyataan?
.
.
.
"Owh! Maaf aku tidak melihat-lihat jalan," ucap Naruto menyesal. Segera dia memunguti kertas-kertas yang berhamburan akibat ulahnya. Saat kertas terakhir, tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan orang yang baru saja ditabraknya. Serentak, mereka mendongakkan kepala.
Mata safir Naruto bertemu dengan sepasang mata keperakan yang teduh.
"Oh, kamu ternyata," kata Naruto tersenyum. Sang gadis gelagapan disenyumi seperti itu. Dia menghindari bertemu pandang lama-lama dengan pemuda itu. Naruto melihatnya, dan merasakan kegelian merayap hatinya.
Kenapa dia bertemu dengan gadis—yang menurutnya—aneh itu dalam keadaan "tabrakan"?
Gadis itu segera tegak dan melangkah tergesa meninggalkan Naruto tanpa sepatah kata pun. Sempat dilihatnya kalau wajah gadis itu memerah.
Aaarrghh~
Hinata berusaha mengontrol gejolak dalam dirinya. Ini kali kedua dia berbicara dengan pemuda itu—yah, hanya sepatah dua patah kata saja sih. Namun mampu membuat tenggorokannya tercekat, apalagi saat disenyumi.
Hanya saja, dia merasa aneh dengan senyuman itu. Senyuman yang terukir tidak sama dengan pancaran mata safir biru itu. Binar safir itu agak meredup.
Atau perasaan dia sajakah?
"Hina-chaaaan~"
Sepasang lengan segera mengalungi lehernya dari belakang dan menyentaknya dari renungannya. Hinata terhuyung sebentar atas serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa melihat pun, dia tahu siapa yang punya kebiasaan seperti ini.
"Tenten-nee … se-sesak!" ujar Hinata patah-patah.
"Lepaskan dia, tante ekstrim!" Kiba menimpali. Tenten mendelik atas sebutan Kiba yang semena-mena. Pelukan lengan itu dia lepaskan perlahan. Setelahnya, Tenten melempar cengiran permohonan maaf.
"Hehe … maaf, kebablasan. Aku kebiasaan berlatih karate ya seperti itu ..."
"Dasar. Bedakan Hinata dengan samsak tinjumu, bodoh!" cibir Kiba.
"Apa? Kau mau cari gara-gara, hah?"
Kiba bagi sebagian orang adalah orang yang egois, keras kepala, suka menghina, dan suka mengatur. Tapi bagi Tenten dan Hinata, mereka tahu, setiap Kiba berkata "Itu ya yang namanya melompat?" pada mereka dengan tatapan mengejek. Sesungguhnya Kiba berusaha menekan perasaan bahwa dirinya dengan mereka bisa berteman baik.
Tenten, termasuk gadis tercerewet nomor tiga setelah ibu dan kakaknya bagi Kiba. Meminum air dingin setelah pelajaran olahraga saja bisa keluar satu pidato untuknya. Hinata diam-diam terkikik geli menyadari suatu hal; Tenten termasuk orang yang perhatian tapi enggan untuk mengakuinya.
Hinata, bagi Tenten dan Kiba, adalah gadis yang polos. Mereka terkikik geli diam-diam mengamati wajah blank gadis itu ketika Naruto tiba-tiba di depannya ataupun Hinata yang gelagapan jika mereka berteriak "Naruto! Ada orang yang naksir kamu tuh!"—jahil sekali memang.
.
.
.
"Hai, Naruto!" sapa Sakura lantang sembari memasang senyum cerah. Naruto mengulas senyum untuk membalas, lalu pergi dan bercakap-cakap dengan teman laki-lakinya yang lain. Hati Sakura mencelos mendapati respons yang sama dalam beberapa hari ini. Mukanya berubah pilon. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh terhadap pemuda—
Sebuah tepukan pelan di bahunya membuatnya segera mengalih pandang dari sosok kuning jabrik itu.
"Lee…" kata Sakura lirih. Matanya beralih lagi pada siluet Naruto yang semakin samar ditelan oleh kerumunan siswa-siswa berlalu lalang. Menekur dan menerawang, "…Naruto kenapa ya? Bersikap defensif padaku?"
Lee mengamati mimik muka Sakura; bibirnya sedikit dikerucutkan dan dia menghela napas berat. Tidak ada sepatah kata pun yang Lee lontarkan. Dia hanya mengeratkan genggamannya pada bahu Sakura.
Semua akan baik-baik saja.
Sakura tersenyum lemah. Mengerti akan isyarat dari Lee. Yakin bahwa kondisi sahabatnya baik-baik saja, Lee pun pergi meninggalkan Sakura. Kemudian, gadis itu tersadar akan sesuatu.
Lee juga … berubah.
Tidak sama seperti dulu lagi.
Beda.
.
.
.
"Naruto, kau mau cewek gak?" Kiba memulai aksinya yang ingin mencomblangkan Naruto dengan sahabatnya. Ia menyenggol-nyenggol bahu Naruto dengan sikutnya—menyengir.
Naruto yang ditanyai seperti itu tergelak. "Kau pikir cewek itu barang apa?"
Kiba tertawa juga, namun tidak lama. Dia memasang raut muka serius. "Memangnya kau tidak mau? Habisnya kulihat kau akhir-akhir ini sedikit pendiam. Mungkin punya cewek bisa membuat lebih bersemangat."
Naruto tersenyum mendengar penuturan Kiba—perhatian juga ternyata temannya yang penyayang anjing itu. "Cantik gak?" canda Naruto.
"Tentu saja," tegas Kiba. Semangat pemuda itu membuncah melihat Naruto menunjukan minat. Segera, dia mengetik sesuatu di ponselnya. Selang beberapa detik kemudian, ponsel Naruto bergetar di saku celananya.
"Itu nomornya. Namanya Hyuuga Hinata, anak sekolah ini juga kok." Kiba bangkit dari duduknya dan meninggalkan Naruto di meja kantin sendirian. Tidak lupa juga meninggalkan sebuah sikutan dan cengiran jahil. "Sukses, bro!"
Setelah bercanda singkat dengan Kiba, Naruto menimang-nimang tawaran kawan baiknya yang cukup menarik. Dia putar ponselnya di meja sembari bertelekan siku. Benaknya melayang pada kejadian beberapa hari lalu. Dia menunggu pada tempat itu. Akhirnya kecewa dan—Naruto menggelengkan kepala. Tidak membiarkan memori itu kembali menguasainya. Dia membatin.
'Aku…'
'Aku … ingin move on.'
.
.
.
From: xxxx-xxxxxx
Hai!
Hinata mengerjapkan matanya saat menerima sebuah pesan singkat dari ponselnya beberapa saat yang lalu. Ia sedang ada di tengah-tengah les bahasa inggrisnya hingga ia harus diam-diam membaca pesannya.
Siapa? Masa Kiba? Tenten? Neji?
Neji? Masa sepupunya itu SMS dengan cara yang sama sekali tidak jelas padanya? Setahunya Neji tidak akan mengirim pesan jika tidak perlu. Jadi mustahil.
Lalu siapa?
Dengan rasa penasaran yang menggelegak, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya, di balik sebuah buku bahasa inggris tebal yang diposisikan berdiri agar tidak terlihat.
To: xxxx-xxxxxx
Siapa ya?
Belum sampai 3 menit berlalu, ponsel Hinata kembali bergetar. Ia lekas-lekas meraih ponselnya yang sudah tersimpan di saku dan membukanya.
From: xxxx-xxxxxx
Penggemar setiamu, mungkin? :P
Hinata Hyuuga, ya?
Alis Hinata saling tertaut. Siapa ini? SMS iseng? Tapi mana mungkin, orang ini tahu namanya dengan lengkap. Pasti bukan sekedar iseng.
To: xxxx-xxxxxx
Siapa, sih? Iya, aku Hinata Hyuuga.
Dengan cepat sebuah balasan ia terima. Sebelum sempat ia membuka dan membaca pesan yang masuk, sebuah suara mengagetkannya.
"Hyuuga-san, harap dengarkan pelajaran saya."
"Ba-baik! Ma-maafkan saya," kata Hinata sambil menundukkan kepalanya malu. Ia segera menyimpan ponselnya di saku dan berusaha fokus dengan pelajaran yang diterangkan di depan.
Walau penasaran, ia harus tahan. Ya, kan?
.
.
.
Hinata pulang dengan wajah pucat. Nampaknya ia kelelahan karena terlalu banyak yang harus ia lakukan pada hari ini. Ia segera melepaskan sepatunya dan naik ke lantai atas menuju kamarnya.
Ia duduk di tepi ranjang sambil menghela napas panjang. Ia melirik sebuah bingkai foto yang berada di meja kecil di sebelah ranjangnya. Ia tersenyum.
Sebuah foto yang diambil pada festival olahraga tahun kemarin sengaja ia beli dari klub fotografi dan ia pasang di atas mejanya. Foto seseorang dengan ikat kepala merah dan menggigit kerupuk di mulutnya sambil berlari menyambut garis finish.
Siapa lagi kalau bukan Naruto Uzumaki? Laki-laki itu sudah benar-benar menawan hatinya sejak pertama ia menginjakkan kakinya di depan gerbang SMA.
Lelaki itu, punya senyum ceria dan penuh kegembiraan yang pernah Hinata lihat dalam seumur hidupnya. Mata yang begitu biru—sebiru Laut Karibia—dan kulit tan yang begitu membuatnya nampak atletis tidak bisa Hinata lupakan.
Apalagi suaranya ... ah, membuat tubuh Hinata seperti jeli yang dibelinya di swalayan kemarin.
Setelah melihat foto itu, semangatnya mendadak kembali muncul berkali-kali lipat. Ia baru saja akan bangkit dan bersiap-siap untuk belajar merangkai bunga kalau saja ia tidak teringat akan ponselnya.
Segera ia mengambil ponsel dari dalam saku dan membaca isinya.
From: xxxx-xxxxxx
Aku Naruto Uzumaki. Aku diberi nomor sama temanmu. Kita kenalan? :3
Satu dua satu dua.
Deg deg deg.
Tiga empat lima enam.
Deg deg deg.
"Na-Naruto-kuuuuuuun?!"
Lalu ia pingsan.
-TBC-
A/N:
Karikazuka's note:
Who am I? #kicked
Ckckckk.. masih gak nyangka aku udah collab bareng permen Caca.. :""
Penulisan dia bener-bener bagus dan buat aku merasa gak sepadan jika collab bersama dia.. :'3
Btw, ini multichap NaruHina pertama lhooo~ #tumpengan
Kuharap kalian mau memberikan kesan pesan akan fic ini pada kami berdua ya.. :D
Ditunggu~~~! :D
Permen Caca's note:
Hallo! Nona Caca di sini, pastinya kangen ma aku, dong? #pede gila/siapa lho?/tendang
Yupz, ini fic collab-ku yang kedua dengan pair NH dan ini menjadi fanfic NH pertama yang publish di akunku
Pertama, terima kasih buat terong yang sudah mau collab bersamaku, mengedit chapter awal ini menjadi lebih manis dengan diksinya yang soft :D
Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca.
Anyway, biarkan kami tahu apa yang ada di pikiran kalian saat membaca ff ini :D
(Review?)
