Arthur, the Magical and Pitiful
from Arthur the Wizard Series: Volume 1
© Lee Audrey

Axis Powers – Hetalia
© Hidekaz Himaruya

.

The Most Grateful for:
Allah swt. for all the bliss He gave me
Eamaky Devy for supported me
.

Back Songs:
Taylor Swift – The Story of Us
Britney Spears – Toxic

.

USA (Alfred F. Jones) x UK (Arthur Kirkland)
fantasy / drama / time leap / romance
AU / BL / R-15+

.

IMPORTANT! :
All Hetalia characters weren't nation.
Some of British history based on my fantasy.

.

Have pleasure

.

.

.

Chap 1: "Mysterious Spade Symbol"

.

Namanya Arthur, ya, seperti Raja Arthur sang pemilik Excalibur, hanya saja ia sama sekali tak berkeinginan untuk menjadi raja atau semacamnya. Oh ya, nama belakangnya Kirkland—Arthur tidak terlalu menyukainya. Tahun ini dia sudah 23 tahun, tapi masih saja bermimpi menjadi seorang penyihir.

Mimpi-mimpi itu datang bagai sebuah seri televisi berjudul Arthur si Penyihir yang ditayangkan khusus untuknya setiap malam. Ia tidak terlalu ingat kapan berawalnya, mungkin setelah ada anak di kampus yang melempar tomat ke kepalanya karena tak percaya Arthur bisa melihat peri. Terlepas dari keyakinannya sendiri bahwa Unicorn pun ada dan bersembunyi di tengah hutan, ia cukup terganggu dengan mimpinya ini. Ia bukan sebagai pelaku, hanya penonton, yang melihat dirinya sendiri—ia sangat yakin itu dirinya walau dengan pakaian militer Inggris masa Perang Dunia—mengenakan jubah hijau, terbang di sela-sela pepohonan yang rindang, dan bermain dengan para peri hutan.

Yang membuatnya tidak nyaman adalah ketika dirinya—Arthur sang Penyihir—bertemu dengan seorang pemuda yang mengaku pangeran. Pangeran itu membutuhkan pedang ajaib Excalibur untuk mendapatkan tahta, tapi Arthur tidak bisa memberikannya, dan anehnya, merasa sedih.

Tentu saja aneh melihat dirimu sendiri terpuruk dan hampir gila karena sesuatu yang bahkan kau sendiri tidak bisa membayangkannya. Ya, Arthur tidak mengerti kenapa dirinya si penyihir mau melakukan banyak hal untuk sang pangeran sementara dirinya yang ini, si penonton, tidak merasa mengenalnya sama sekali.

Dan mimpi ini selalu berakhir dengan ending yang tidak jelas. Kadang hanya cuplikan-cuplikan adegan yang tidak bisa begitu diingatnya, kadang sesuatu yang tidak terduga, tapi lebih sering tiba-tiba terbangun tanpa mengingat ending-nya, hanya yakin itu sesuatu yang menyenangkan sehingga ia tersenyum, atau menyedihkan hingga pipinya terbanjiri air mata.

Seperti pagi ini, begitu Arthur membuka mata, ia langsung sadar telah membuat genangan air mata di atas bantal. "Sial," gumamnya, sebelum beranjak ke halaman belakang untuk menjemur bantalnya. Para peri taman langsung terbang ke arahnya dengan ekspresi khawatir. Mereka bertanya apa yang terjadi, apakah mimpi buruk lagi, tanpa membuka mulut mereka. Ya, entah bagaimana Arthur bisa tahu apa yang mereka katakan—telepati?

"Tidak, hanya mimpi yang biasanya. Aku bahkan tidak mengerti juga kenapa aku menangis," tawanya, membuat para peri tersenyum sumringah. Mereka kemudian bercakap-cakap dan Arthur mempersilahkan teman-teman ajaibnya masuk.

Para peri sangat menyukai teh, terutama si Kapten Hook, yang Arthur sendiri tidak tahu termasuk kategori peri atau tidak.

Ups, tunggu, sepertinya Arthur melupakan sesuatu. Kalau tidak salah ia membeli beberapa kue kering kemarin karena kelinci terbang menginginkannya. Dengan antusias ia mengambil toples di dalam lemari dapur dan menyajikannya di atas piring bagi teman-temannya.

Bisa dibilang ini rutinitas pagi yang biasa—maksudnya, bercengkrama dengan para makhluk gaib dibanding tetangga. Hal ini tidaklah aneh karena rumah yang ditinggali Arthur termasuk rumah tua di pinggir kota, dengan halaman luas penuh tanaman hias dan pohon-pohon oak yang lebat. Lagipula, tetangga-tetangga Arthur hanya berkisar pada lansia yang terlalu tua untuk bangun sepagi ini dan bertamu demi secangkir teh.

Setelah itu Arthur akan mencuci muka dan berganti pakaian sementara para peri—dibantu beberapa gnome, kali ini—menyiapkan tas, buku, dan perlengkapan lain untuk dibawanya ke kampus.

"Ah, terimakasih. Kalian tidak perlu sampai melakukan ini, sungguh," ujar Arthur dengan sungkan. Tapi para peri dan gnome hanya membalas dengan senyum sumringah sebagai bentuk keikhlasan mereka. "Baiklah, aku pergi dulu. Ah, kunci, kunci."

Ketika sedang sibuk mencari kunci di meja dekat televisi, seorang peri dengan gaun hijau dari daun menarik-narik telinga Arthur. "Hm? Ada apa, Tink? Oh, kacamataku? Ya, kau benar." Kali ini ia langsung menemukan kacamatanya yang diletakkan di samping vas mawar setelah mengambil kunci mobil.

"Baiklah, aku pergi dulu. Tolong jaga rumah, ya." Ia melambai dari ambang pintu sebelum menutupnya, menyampirkan tas selempang melintangi tubuhnya, dan masuk ke dalam VW Beetle tua. Beberapa peri masih mengikutinya sambil melambai di dekat jendela mobil, yang membuat Arthur sadar akan kegunaan kacamata tanpa lensa khusus yang dibelinya dengan murah.

Kelebihannya untuk melihat makhluk gaib memang tidak selamanya buruk, tapi terkadang juga merepotkan. Apalagi ia masih susah membedakan mana yang betul-betul makhluk hidup dan bukan. Dan pasti perjalanannya dari rumah ke kampus, yang memakan waktu sekitar satu jam, akan lebih menegangkan dari film laga jika ia melupakan kacamatanya, karena harus menghindari setiap peri yang terbang bebas atau hantu kota yang muncul tiba-tiba melintasi jalan. Untungnya beberapa tahun lalu ia sadar bahwa lensa atau cermin bening dapat menutupi pengelihatan lebihnya itu.

Ia sempat melambai lagi pada para peri sebelum menggunakan kacamatanya. VW Beetle pun menggeram berat, lebih seperti batuk seorang kakek tua. Perlahan ia bergerak dari garasi menuju pekarangan. Butuh lima menit melintasi jalanan desa yang sepi sebelum masuk ke jalan raya menuju perkotaan.

Ia menyetel lagu-lagu lama The Police untuk membunuh kesunyian. Sesekali bibirnya ikut bergerak, menggumamkan lirik yang telah lama dihapalnya. Tanpa terasa perjalanan panjang yang lambat membawanya ke area parkir Universitas Oxford. Ketika keluar dari mobil, sudut matanya mengintip di celah kacamata tanpa sengaja menemukan si Tukang Kebun Steward melambai padanya dengan ramah. "Selamat pagi, Kirkland."

"Selamat pagi, Pak Steward," serunya. Tentu tidak ada yang salah dengan membalas sapaan hangat seorang kakek tua, hanya saja Steward sudah mati dua puluh tahun lalu, dan sejauh ini, hanya Arthur yang selalu membalas sapaannya.

Kejadian janggal itu sempat tidak disadari Arthur sebelum melihat kaki Steward yang tak menapak tanah dan kembali sadar. 'Akh! Sial, aku lupa,' umpatnya dalam hati. Cepat-cepat ia bergegas dari area parkir sebelum ada yang melihatnya.

Tapi, terlambat.

Pundak kirinya tiba-tiba dicengkram dari belakang setelah sebuah tepukan keras. Arthur mengenal tangan dingin ini karena sudah beberapa kali mampir ke pundak atau kepalanya. Dengan masa bodo, ia terus berjalan dan tidak menoleh.

Sang pemilik tangan semakin mengeratkan cengkramannya. "Oi, bicara dengan peri-perimu lagi, Arthur?"

Wah, wah, siapa lagi kalau bukan si Jerman-albino, Beilschmidt?

"Enyah kau, Gilbert," balas Arthur singkat. Ujung mata hijaunya ia pergunakan untuk memberikan tatapan tajam.

"Oh, dingin sekali," goda pemuda berambut pirang platinum yang kini tersenyum miring. Sudut-sudut mata violetnya melancip mencemooh. "Padahal tadi kau beramah-tamah dengan teman tidak terlihatmu. Tidakkah kau sadar itu sedikit… tidak normal, hm, bocah aneh?

Antonio, pemuda Spanyol dengan rambut coklat ikalnya, tertawa dengan sindiran Gilbert.

"Bukankah kalian sama saja?" Arthur menepis tangan Gilbert, sudah mulai kesal. Ia mengembangkan senyum miring yang lebih tinggi dari Gilbert dan mendongakkan kepala seolah menatap mereka melalui lubang hidung. "Berlagak sombong dengan mengganggu semua anak yang menurut kalian 'tidak normal'—bukankah itu lebih 'tidak normal'? Memangnya kalian manusia purba, ya? Ah, salah, bahkan Homo heidelbergensis* sepertinya lebih sopan dibanding kalian. Hei, sekarang sudah ada hak asasi manusia. Semua orang memiliki hak untuk berbicara dengan orang lain meskipun itu tidak terlihat. Sayangnya aku tidak menemukan alasan kenapa aku harus berbicara pada otak otot dan manusia tomat seperti kalian."

Balasan dari Arthur itu mengundang urat di kening Gilbert untuk muncul. Tiba-tiba saja kedua tangan putih pucat itu sudah berada di kerah sweater Arthur dan mencekiknya keras. "Jaga bicaramu, Kirkland! Kau yang harusnya sadar diri karena menjadi terlalu kutu buku bahkan untuk memiliki teman!"

Lagi-lagi, Antonio tertawa. "Bukankah itu alasan dia jadi berteman dengan peri-perinya? Hei, apakah kau kenal dengan Tinkerbell dan Peter Pan juga?"

"Tinkerbell, ya. Peter Pan, tidak. Tapi aku kenal Kapten Hook yang bisa kuperintah kapan saja untuk menarik kalian ke laut dengan pengait tangannya di lubang hidung kalian."

"Lihatlah, Arthur masih setengah sadar dari tidurnya!" Kini giliran Francis, pria necis asal Prancis, yang ikut ambil bagian. "Terjebak dalam mimpi menjadi penyihir lagi, huh? Memangnya kau ini umur berapa? Lima tahun?"

"Chk. Mulutmu itu hanya bisa mengeluarkan omong kosong, ya, Banci Berjenggot?"

Hinaan yang dilontarkan Arthur kali ini ternyata melukai perasaan Francis yang sebenarnya lembut. "Aku tidak mau mendengarnya dari berandalan sepertimu!" Dan Arthur sama sekali tidak menyangka bahwa pria pirang yang mengucir rendah rambut ikalnya itu akan mengepalkan tangan kuat-kuat, dan melemparkannya tepat ke ulu hati Arthur.

Gilbert melepaskan cengkramannya pada leher Arthur dan pemuda bermata emerald itu jatuh ke tanah detik itu juga. Ia meringkuk dalam, memegangi perutnya dengan satu tangan. Bukan hanya ulu hati, tapi jantung dan tulang rusuknya juga sakit. Siapa yang menyangka sosok gemulai itu menyimpan begitu banyak kekuatan?

Ketika ia mengangkat kepala, Antonio, Gilbert, dan Francis sudah berjalan menjauh sambil tertawa menghina. Ia bisa merasakan kacamatanya merosot turun, dan dari pandangannya itu, dengan tidak percaya ia melihat si Tukang Kebun Steward, mengangkat tinggi-tinggi garpu rumput di atas kepala Francis. Ujung-ujungnya berkilat tajam, dan dari auranya Steward seperti benar-benar ingin menebas kepala Francis. Tentu saja hantu bisa melakukannya jika mau, dan itu yang ditakutkan oleh Arthur.

'Sialan!'

Buru-buru ia bangkit dan belari menuju tiga pemuda itu. Arthur tidak sempat berkata, hanya saja tangannya terjulur lebih dulu untuk menarik pundak Francis hingga ia berputar menghadapnya, tepat sebelum si Tua Steward menghempaskan garpu rumputnya, dan menghilang.

Hilang lebih cepat dari asap kopi.

Napasnya menderu keras, jantungnya terpacu adrenalin. Francis yang terkejut hanya bisa melontarkan hinaan lain kepada Arthur, "Apa lagi maumu, Berandalan?" dan itu menyadarkan Arthur kebodohannya menyelamatkan Francis.

Amarahnya kembali memuncak. Ia yakin bukan seperti itu cara berterimakasih di Perancis. "Mengembalikan yang tadi, Jenggot," geramnya. Dan dengan satu tangan yang lain, dalam gerakan yang cepat, Arthur meninju rahang kiri Francis hingga pria itu tersungkur ke belakang.

Gilbert dan Antonio yang melihatnya langsung menghadapi Arthur dan mereka saling bertukar bogem mentah. Perkelahian tiga lawan satu itu berlangsung cukup lama, tidak ada yang menyerah, sampai beberapa mahasiswa lain memanggil pihak keamanan yang akhirnya datang bersama beberapa dosen.

Tanpa banyak penolakan, mereka ditarik ke ruang rektorat dan berhadapan dengan sang dekan langsung. Dan tanpa banyak omong pula, hanya perlu mendengarkan penjelasan dari para pelaku dan saksi, dekan langsung menetapkan skorsing seminggu bagi empat orang itu. Seminggu pun dirasanya belum cukup. Dengan berbagai pertimbangan lagi, dekan memperpanjang masa skors tiga kawan beda Negara menjadi satu bulan dengan pekerjaan melaksanakan kegiatan sosial di sekitar kampus. Sementara Arthur, beliau menahan pemuda kurus itu di ruangannya.

"Arthur," panggil sang dekan, Joseph Hobbs, pria paruh baya yang masih memiliki kharisma laksana seorang raja.

Arthur menegakkan punggungnya yang sudah tegak. "Ya, Pak."

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu," Pak Hobbs menghela napas panjang. "Kau salah satu mahasiswa jenius di sini. Dan sebagai teman dekat Ayahmu, aku menaruh harapan besar padamu."

Arthur menundukkan pandangan—ia malu dan merasa sangat bersalah jika kesalahannya disangkut-pautkan dengan sang ayah. "Maafkan." Dan kenyataannya, memang memalukan berkelahi karena masalah sepele—yang sebenarnya tidak karena kepala Francis hampir saja putus—padahal ia adalah siswa teladan di sekolah.

"Apa kau ingat projek penelitian terakhir Ayahmu?"

Arthur menaikkan sebelah alisnya. "Mengenai Raja Alfred?"

"Ya. Sayangnya projek itu belum selesai saat ia meninggal. Padahal projek itu dapat mengungkapkan banyak fakta sejarah dan menjadi aset berharga universitas ini. Aku sudah bicara pada dosenmu, Tuan Luke, dan dia mengizinkan. Kali ini, projek itu kuserahkan padamu, Kirkland. Anggap saja sebagai pengisi waktu senggang."

Senyum hangat dan sinar mata hazelnut yang teduh milik Tuan Hobbs memberi setitik ketenangan bagai secangkir teh hitam di sore hari. Arthur lantas menarik sudut-sudut bibirnya dan mengangguk mantap. "Terimakasih, Pak," ujarnya, sebelum dipersilahkan pergi dari ruangan tersebut.

.

-:-

.

Membolak-balik halaman kasar yang sudah menguning menjadi aktivitas Arthur begitu tiba di rumah. Hingga hari beranjak sore, ia masih mengurung diri di perpustakaan pribadi ayahnya. Beberapa peri yang merasa khawatir memutuskan untuk menemani sambil memberi penerangan pada ruang perpustakaan yang disesaki rak-rak penuh buku.

Ia sedang mencari laporan penelitian ayahnya mengenai Raja Alfred sang Pahlawan. Banyak hal yang ia temukan, namun banyak juga yang tidak lengkap dan menyisakan tanda tanya besar di kepalanya. Salah satunya "Kenapa Raja Alfred tidak memiliki seorang ratu?" dan "Apakah ketidakadaan ratu menjadi salah satu penyebab hancurnya dinasti milik Raja Alfred?"

"Chk. Masalah gini aja sih, gampang," ujarnya, bangga. Dengan enteng dibukanya laptop dan mulailah ia berselancar di internet. Satu persatu artikel ia sambangi, namun tak ada yang menjelaskan dengan detail jawaban dari dua pertanyaan itu.

Merasa frustasi, ia membenturkan kepalanya ke meja sebelum kembali pada buku-buku referensi dan makalah hasil penelitian ayahnya. "Sial, gampang apanya…."

Ia melirik sudut gelap perpustakaan dengan malas.

Membongkar-bongkar rak penuh debu dan membalik halaman berbau apak membuatnya hampir gila. Di saat-saat seperti itu, perhatiannya secara tidak sengaja terpaku pada sebuah kutipan di halaman yang terbuka. Tulisannya membuat Arthur tergelitik, membangkitkan rasa penasarannya ketika membaca bahwa Raja Alfred pernah menyukai seseorang namun tidak bisa menikahinya.

Merasa tidak mempercayai matanya, Arthur menyambar buku itu dan memperhatikannya dengan mata membelalak. Penjelasan ternyata hanya sampai di situ, tidak mencantumkan nama atau secuil definisi tentang kekasih Raja Alfred tersebut.

Lagi, Arthur mengumpat—kali ini terlalu kasar hingga lebih baik tidak dicantumkan.

Yah, setidaknya ia mendapatkan informasi walau belum berguna, tapi lebih baik dibanding tidak sama sekali.

Di tengah-tengah kebimbangan antara merasa lega dan semakin terbebani, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan.

Rasa heran membuat sebelah alis tebalnya terangkat tinggi. Siapapun yang di balik pintu, ia bisa merasa bahwa bukan hanya para peri yang mengkhawatirkannya. Jam berdentang tujuh kali ketika Arthur membukakan pintu, dan Honda Kiku, satu-satunya orang di kampus yang bisa akrab dengannya, berdiri rapi sambil membawa obat-obatan.

Alasannya tidak perlu dijelaskan—cukup dari kedua alis tipisnya yang bertekuk dalam dan tatapan sebal dari mata tanpa cahaya itu. Kekhawatiran sang mahasiswa fakultas kedokteran semakin tampak ketika nyadari lebam di seluruh tubuh Arthur, salah satu yang paling mencolok adalah lingkaran biru tua di sekitar mata kirinya.

"Ya ampun, aku benar-benar tidak menyangka kau akan bertindak sejauh itu, Kirkland-san," ujar Honda dengan dialek Jepang yang membuat bahasa Inggrisnya terdengar kaku. Dengan berhati-hati ia mengompres lebam Arthur di lengan, perut, punggung dan wajah. Beberapa peri yang memperhatikan tertawa karena kini Arthur terlihat menggelikan dengan berkantung-kantung es batu di sekujur tubuh.

"Y-yah… bahkan aku pun juga tidak menyangka," Arthur tertawa kaku, berusaha melempar kesalahannya. "Aku hanya merasa sedang tidak enak hati saat itu, dan kebetulan mereka mencari gara-gara denganku. Tiba-tiba saja aku ingin sekali menghajar wajah sombong mereka walau aku tahu mereka akan menghabisiku lebih dulu."

Honda menjauhkan tangannya setelah membetulkan letak salah satu kompres di bagian lengan, dan duduk rapi ala seiza*. Mata coklat besar itu bersinar sendu, kedua alisnya menciptakan lengkungan pelangi yang terbalik. Ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan—masih belum terbiasa dengan sikap dan pola pikir orang barat. "Yah, terkadang rasa sakit memang bisa menyalurkan stres," ujarnya dengan nada prihatin.

Arthur membelalakkan sebelah matanya yang tak terkompres. "Apakah itu normal?" Sebagai mahasiswa sejarah, sebaiknya ia tak sok tahu masalah fisik dan psikologi di depan calon dokter, walau ia cukup mengetahui masalahnya.

"Ya, bisa dibilang seperti itu. Fokus otak teralihkan dari masalah yang membuat seseorang tertekan, ke rasa sakit atau emosi. Dan emosi itu akan lebih melegakan jika di salurkan, salah satunya dengan adu fisik seperti yang kaulakukan, Kirkland-san. Katakan, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Diagnosis dan prediksi tepat Honda sedikit mengejutkan Arthur. "Uh, yah… Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi tentang sebuah cerita. Seperti film bersambung. Mungkin sedikit-banyak mempengaruhi kondisi sadarku juga."

"Kemungkinan besar memang begitu." Pria berambut hitam dengan potongan rata itu mengangguk sekilas. Tangan-tangan kurus dan pucatnya membereskan perlengkapan medis dengan cekatan. "Lebih baik kau beristirahat saja, Kirkland-san. Dan untuk masalah mimpi itu, saranku, jangan terlalu tenggelam di dalamnya. Lebih baik menyalurkan rasa tertekan dengan hal lain. Baiklah, sudah saatnya aku pergi."

Honda bangkit berdiri. Dari posisinya sekarang, ia harus menunduk untuk bisa menatap Arthur yang terbaring di atas sofa ruang tengah. Pria Jepang itu tersenyum hangat. "Semoga lekas sembuh."

"Ya. Dan terimakasih sudah datang, Honda. Maaf tidak bisa mengantarmu hingga depan rumah." Walaupun Arthur bilang begitu, tapi para peri mengikuti setiap langkah Honda dan melambai padanya dari depan pintu ketika ia memasuki mobil—walaupun, tentu saja, Honda tidak mengetahuinya.

Kini tinggal Arthur seorang diri—sebenarnya dengan tujuh orang gnome di dapur bersama Kapten Hook, dan peri-peri taman yang melayang di dekat langit-langit—merenungi perbuatannya hari ini. Semakin dipikir, kelakuannya tadi pagi seperti bukan dirinya saja, tapi seseorang, sisi lainnya, yang sudah ia kubur dalam-dalam beberapa tahun lalu. 'Apakah dulu aku seberandal itu?' pikirnya.

Dari satu mata yang tak bisa terbuka, menjadi dua mata yang tertutup ketika ia memutuskan untuk beristirahat. Napasnya ia atur, posisi tubuh sedikit ia betulkan. Ia meminta Tinkerbell untuk mematikan lampu, para gnome menyampirkan selimut padanya sebatas perut, dan dengan begitulah Arthur tertidur.

.

-:-

.

Ia kembali terbangun dengan danau air mata. Anehnya, kali ini ia tidak mengingat apapun yang ada di mimpinya. Jika dibilang terkejut, maka tidak juga. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang biasa sehingga ia bisa dengan santai berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi.

Ketika hendak berganti baju, ia ingat bahwa ia tak seharusnya ke kampus. Masa skorsingnya sudah dimulai, menyisakan tanda tanya ke mana dia harus menghabiskan satu hari dalam musim panas yang panjang.

Seekor kelinci terbang tiba-tiba muncul dan menggosok-gosokkan hidung lembutnya pada pipi Arthur. "Ah, selamat pagi," sapanya, tersenyum hangat.

Kelinci itu menggerakkan kepalanya dua kali dan dengan itu Arthur bisa mengerti bahwa bahan makanannya sudah menipis. "Terimakasih. Aku akan pergi membelinya. Kau ingin kue kering lagi?"

Anggukan ceria kelinci itu mengundang tawa di wajah Arthur.

Setelah membereskan rumah dibantu para makhluk sihir dan mengambil kacamata, tanpa sadar Arthur menemukan dirinya sudah berada di dalam mobil sambil menggumamkan lagu 'Hey Jude' dari The Beatles. Tujuannya adalah daerah pertokoan di pinggiran London, tempat favoritnya untuk berbelanja mingguan karena harganya murah dan sudah akrab dengan penjual dan jalanannya. Bahkan, bisa dibilang ia menghabiskan masa remajanya di sana—walau bukan masa-masa yang enak untuk dikenang.

Bibi pemiliki toko buah menyapanya duluan dengan ramah. Wanita gemuk dengan terusan merah-biru itu menawarkan apel dan buah-buahan segar lainnya yang baru datang tepat sebelum ia melihat Arthur. Pemuda itu pun berpikir bahwa salad buah tidak buruk juga untuk cemilan siang hari, jadi ia memilih beberapa buah dan dengan santai menanyakan harga totalnya, sebelum bibi penjaga toko tersenyum ramah dan berkata, "Untukmu, kuberikan diskon."

Arthur membelalakkan mata hijaunya. "Eh? Tapi—"

"Apapun untuk keluarga Kirkland."

Ia kemudian ingat bahwa bibi ini pernah ditolong keluarganya saat ia kehabisan modal, sehingga satu-dua kali balas budi tampaknya masih belum cukup bagi wanita itu.

Arthur berterimakasih dan dengan itu kembali berjalan. Pandangannya mengedar ke dua sisi jalan, menerka-nerka apa lagi yang sudah mulai habis di rumahnya.

"Teh?" ia sedikit memiringkan kepala. "Benar, seharusnya ada yang menjual teh rosemary di sekitar sini."

Kakinya kembali menapak, kali ini lebih teratur. Seingatnya di balik persimpangan jalan itu terdapat toko tua yang menjual berbagai tanaman herbal. Dulu sekali ibunya sering ke sana, membeli teh, cengkeh, kayu manis, atau tanaman-tanaman aneh yang bahkan Arthur sendiri ragu digunakannya dalam memasak. Tapi ia selalu menyukai toko itu karena harum yang menguar hangat bersama memori-memori tentang ibunya di setiap sudut toko.

Namun ketika ia yakin sudah berada di tempat yang tepat, ia tak bisa menahan sepasang alis tebalnya untuk terangkat tinggi, kemudian menukik dan bertautan, ketika membaca tulisan yang terpampang besar di pintu toko, 'Tattoo Shop'.

Apakah waktu sudah berlalu selama itu sehingga ia tak tahu?

Seorang wanita tiba-tiba muncul di balik etalase, sedang membersihkan kaca rupanya. Senyumnya langsung mengembang lebar melihat Arthur yang membeku di depan pintu. Cepat-cepat ia membuka pintu, rambut pirang pucatnya menyapa lebih dulu ketika kepalanya menyembul dari sela-sela pintu, dan mata violetnya berbinar ketika bertanya, "Apakah kau ingin mentato?"

Arthur semakin kaget—setengahnya karena tidak menyangka ada wanita secantik dewi Yunani di toko tato. "Eh? Sebenarnya aku hanya mencari toko tanaman herbal. Seingatku toko itu ada di sini."

"Oh, maaf." Wanita itu membuka pintu sedikit lebih lebar, menampilkan tubuh rampingnya yang mengenakan terusan katun kotak-kotak merah dan celemek putih. Pundak kecilnya mengedik sekilas. "Kau terlambat beberapa tahun."

Yah, Arthur sudah menduganya. Ia sudah tidak pernah ke sini sejak orangtuanya meninggal—bahkan, mungkin sebelum itu.

"Jadi, mau tato?" tawar wanita itu lagi, dengan senyum ceria dan binar indah di mata violetnya, sepertinya berusaha menghibur Arthur yang terlihat kecewa.

Pemuda itu tidak punya jadwal khusus hari ini, jadi tidak menemukan alasan kuat untuk menolak. "Yah, boleh juga."

Wanita dengan rambut panjang yang terurai itu mempersilahkan Arthur duduk di sebuah kursi hitam yang mirip kursi praktek dokter gigi. Beberapa alat yang Arthur terka sebagai mesin dan jarum beserta beberapa botol tinta, bersanding di sampingnya.

"Jadi, ingin desain seperti apa?" Wanita manis yang belum diketahui namanya itu sedang memasang sarung tangan bening yang lentur.

"Entahlah, terserah saja. Tunggu, kau yang melakukannya?" Arthur menoleh dengan sebelah alis terangkat.

"Ya, sebenarnya Ayah angkatku, tapi dia sedang tidak di sini. Jadi, di mana?"

"Um," Arthur berpikir, memperhatikan tubuhnya dengan berkali-kali menoleh ke balik pundak. "Di sini," ia menunjuk ke balik pundak kirinya. "Ini tato pertamaku, jadi aku tidak ingin terlalu mencolok. Maksudku, jangan terlalu besar."

"Oke." Wanita itu kemudian menyibak rambut di belakang lehernya dan menunjukkannya pada Arthur. "Seperti ini?"

Sebuah tato gambar sekop berwarna hitam dan biru terlihat antik dengan liukan-liukan sulur di dalamnya. Arthur langsung mengangguk. "Bagus."

Maka ia membuka kemeja tipis yang dikenakannya dan mulai mengatur napas untuk membantu sugesti bahwa ini tidak akan sakit. Suara jarum mesin mulai terdengar, pundak Arthur sedikit tegang. Namun sentuhan hangat ujung-ujung jari wanita itu membuatnya sedikit lebih tenang.

"Wah, tubuhmu lebam-lebam," wanita itu memulai pembicaraan.

Perhatian Arthur beralih pada cermin besar di hadapannya, dan menemukan wanita itu tersenyum tipis.

"Eh, yah, makanya aku ingin kau berhati-hati."

"Berkelahi? Padahal kau seperti anak baik-baik."

"Tidak juga. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan bawah sadarku."

"Eh? Dulu kau suka berkelahi?"

"Aku tidak ingin membahasnya."

"Maaf." Wanita itu mundur selangkah dan Arthur tidak merasakan lagi sensasi perih yang mencubit seperti ketika jarum mesin menyentuh kulitnya. "Baiklah, sudah selesai. Cepat, kan?"

Arthur mengerjap. "Sudah?"

"Yup, seperti mencabut gigi di dokter gigi, kan?"

.

-:-

.

Ketika sampai di rumahnya dan bercermin, Arthur benar-benar tidak percaya tato sedetail dan serapi ini dapat selesai dalam selang waktu kurang dari lima menit dan hanya tertutupi sebuah percakapan singkat. Apakah ini sihir atau wanita itu yang benar-benar berbakat?

'Haha, tidak mungkin,' ia menertawai pemikirannya sendiri. 'Tidak ada yang namanya sihir di dunia ini.'

Tapi, terlepas dari rasa herannya, Arthur cukup puas karena hasilnya seperti yang ia inginkan. Dan entah kenapa, salah satu lambang dari kartu trump itu tidak begitu asing baginya. Bahkan, mungkin sangat familiar… tapi ia tidak ingat.

Rasa gatal di dalam kepala ini begitu menggeregetkan hingga Arthur mengacak-acak rambutnya. Beberapa peri yang melihat itu merasa heran namun tak berani mendekat. Tampang Arthur semakin tidak karuan. Ketika ia melihat wajahnya di kaca, kedua alisnya bertekuk dalam dengan kerutan di antaranya.

Arthur menarik napas dalam. 'Tenanglah, percuma saja mencari sesuatu di kala panik.' Lebih baik ia menenangkan diri dengan teh hangat dan melanjutkan penelitiannya.

Ah, ia baru ingat tidak membeli teh.

Baiklah, kali ini coklat hangat saja cukup. Kandungan endorphin di dalamnya memang mampu membuatnya tenang. Kini kepalanya sudah kembali dingin, alis tebalnya melengkung normal dan mood-nya membaik.

Arthur kembali ke perpustakaan dan duduk di meja kerja ayahnya, mengamati lagi apa yang ia tinggalkan tadi malam sebelum Honda Kiku datang tiba-tiba. Mata hijaunya mengamati halaman pada buku-buku yang terbuka.

Apa yang tadi malam ia kerjakan, ya? 'Ah, benar! Mencari alasan kenapa Raja Alfred betah melajang hingga akhir hayat. Eh, bukankah buku ini sudah dua kali kubaca? Tidak ada referensi yang bagus di sana.' Menutup buku itu dan beralih pada buku yang lainnya, tubuhnya tiba-tiba membeku. Kedua mata itu membesar perlahan, napasnya yang seperti tersumbat membuatnya tersedak coklat hangatnya ketika kembali menarik napas.

'I… itu, kan…'

Sebuah lambang spade, persis seperti tato di balik pundak kirinya dan di belakang leher wanita tato tadi siang, tergambar di halaman terbuka buku yang ditulis ayahnya. Penjelasannya hanya 'lambang Kerajaan Spade dan kebangsawanan yang hanya dipegang raja dan ratu'.

'Eh… simbol… kerajaan?'

Arthur kembali tersedak coklat.

.

-:-

.

Ketukan dari buku-buku jari pada pintu kaca semakin lama semakin agresif. Arthur menarik napas panjang, kemudian mengintip ke dalam ruangan dari kaca yang gelap. Tak ada cahaya di dalam ruangan, tak ada tanda-tanda kehidupan seolah bangunan ini sudah bertahun-tahun tak tersentuh.

Arthur mundur dari depan pintu, dan mengamati toko tato yang baru beberapa jam lalu ia sambangi. Tak ada tulisan 'Tatto Shop' lagi di depan pintu, kaca etalase penuh debu, dan tak ada yang membukakan pintu tak peduli sudah belasan kali ia mengetuk pintu dengan keras.

'Ke mana wanita cantik tadi?' rutuknya. Apakah dia hanya cameo dari episode baru mimpi Arthur?

'Astaga, di antara jutaan manusia di Inggris, kenapa harus orang yang mungkin saja mengetahui sesuatu tentang Kerajaan Spade, yang hilang? Wanita itu pasti tahu sesuatu tentang dinasti yang hancur di masa kepemimpinan Raja Alfred itu,' pikirnya. Jika tidak, tidak mungkin ia menggunakan lambang kerajaannya sebagai penghias tubuh, kan? 'Apakah lambang itu sedang tren sekarang?' Arthur mengutuki dirinya karena tidak aktif sosial media lagi. Tapi, jika memang sedang tren, dia pasti akan dengan mudah menemukannya, bisa di sudut jalan, bisa di dalam bus atau di baju orang-orang yang lewat.

Tapi, tidak. Ini seperti hanya dia—dan wanita itu, selain Raja Alfred, tentunya—yang tahu bahwa lambang ini pernah tercipta.

Tanpa sadar Arthur sudah berkacak pinggang dengan sebelah tangan yang memijit sela di antara dua alisnya. 'Apakah wanita itu hanya asal memilih desain? Atau apakah wanita itu yang menciptakan desainnya? Lalu kenapa ada di kumpulan makalah Ayah yang meninggal lima tahun lalu? Apa mereka berhubungan?'

Arthur mengerang keras—ia tak menemukan benang merah di antara ini semua.

Tiba-tiba pandangan matanya bertumpuk pada sudut gelap di etalase kaca samping pintu. Ada pesan yang ditulis dengan tinta merah dan ditempel di belakang kaca. Tulisannya rapi dan Arthur bisa tahu itu tulisan wanita. Isinya memberitahukan bahwa mereka—pemilik toko dan wanita itu, nampaknya—telah pindah ke suatu alamat yang juga dicantumkan. Arthur mengeluarkan telepon genggamnya dan mengambil gambar alamat tersebut.

.

-:-

.

Alamat yang dibawanya menuntunnya ke suatu dusun jauh dari London dan berlawanan arah dari rumahnya. Saking jauhnya, ia sampai berhenti beberapa kali untuk menanyakan jalan, terus mencocokkan peta GPS dengan informasi yang diberikan warga, hingga menyadari bahwa tempat tujuannya bahkan lebih jauh dari sekedar dusun di pinggir hutan tua.

Untuk kesekian kalinya ia menunjukkan alamat pada salah satu warga, dan pria petani tua itu menyuruhnya untuk mengikuti jalan tanah kecil menuju tengah hutan. Setelah itu ia langsung pergi tanpa mengucapkan salam, tampak takut dengan Arthur. Bahkan sikapnya seperti tidak mau ikut campur.

'Cih, cuek sekali,' dengusnya, memandangi kepergian si petani tua.

Arthur memutuskan untuk tidak mempedulikannya karena berpikir bahwa seperti itulah sikap orang-orang di sekitar sini. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melaju memasuki hutan. Jalanan tanah yang mulus perlahan hilang, diganti kerikil dan akar-akar pohon yang menghantam bagian bawah VW kesayangannya.

Ketika ia akhirnya menemukan sebuah rumah dari bebatuan, matahari sudah berada di ujung horizon. Sinar oranyenya tidak begitu menyilaukan berkat kabut tipis yang sepertinya selalu menyelimuti daerah sekitar sini. Rumah itu sedikit tertutup oleh pohon-pohon oak. Pintunya terhalang ilalang setinggi perut, jika dilihat dari jauh, lebih seperti reruntuhan bekas rumah hantu.

'Masa iya wanita cantik dari toko tato tadi benar-benar pindah ke sini? Memang siapa pelanggannya? Bandit-bandit hutan dan serigala?' begitu pikir Arthur.

Tapi alamatnya tepat. Ia berkali-kali mencocokkan alamat yang tertulis dengan GPS dan tulisan tua di dinding rumah yang berlumut.

'Chk, sudahlah, aku harus pulang sebelum tengah malam.'

Diketuknya pintu itu dengan tegas. "Permisi," serunya setelah berdeham. Lagi-lagi kesunyian yang membalas bersama kicauan nyaring gagak di kejauhan.

'Tidak ada orang, ya?' Arthur mulai kesal. 'Tapi masa aku datang jauh-jauh cuma untuk hal sia-sia?' Jadi, ia mengetuk lagi.

Lagi, tak ada yang membalas.

Arthur menoleh ke sekeliling rumah, berpikir mungkin saja wanita itu dan ayahnya sedang berada di suatu tempat di tengah hutan.

Oke, suasana semakin mencekam dengan raungan serigala dan sinar oranye matahari yang berubah ungu tua. Lebih baik ia tak membuang-buang waktu lagi. Jika ia tidak diizinkan masuk, maka ia akan memaksanya.

Dengan sedikit kesal digenggamnya gagang pintu yang dingin dan berkarat. Ketika mendorongnya sedikit, Arthur langsung tahu bahwa pintunya tidak terkunci. Kemudian pintu itu membuka sendiri, derik angselnya bagai sendi lutut seorang kakek tua. Hal itu terjadi tepat saat matahari sepenuhnya menghilang, jadi ia tak melihat apapun di dalam.

Tiba-tiba sebuah lilin menyala di atas meja.

Apinya yang bergerak lembut memberikan penerangan redup dalam jarak yang tak terlalu besar. Tapi itu saja cukup bagi Arthur untuk menyadari ada sepucuk surat di samping lilin tersebut.

Dengan hati-hati ia melangkah melewati pintu. Rasa takut dan terkejut tidak bisa ia pungkiri sesering apapun ia bertemu makhluk gaib. Tapi ia tak merasakan apapun—tidak ada bahkan arwah penasaran atau peri hutan. Masih terlalu naïf untuk menyimpulkan lilin itu menyala karena sihir. 'Chk. Bisa saja ini cuma trik murahan seperti memasang benang tipis dengan mesiu yang akan menyala ketika pintu dibuka, seperti di komik-komik detektif.'

Tapi ketika ia berdiri di samping meja, ia tak melihat seutas benang pun yang melintasi ruangan—kecuali jaring laba-laba.

Arthur menggeleng, berusaha melupakan hal itu dan membuat dirinya fokus. Apa tadi yang membuatnya memutuskan untuk masuk? Ah, surat di atas meja. Arthur tahu ini tidak sopan tapi rasa penasaran membuatnya tidak bisa mati dengan tenang jika tidak melihat isi surat ini. Dengan perlahan diraihnya amplop dengan kertas yang sudah menguning dan rapuh. Sebuah tulisan rapi tertoreh dengan tinta yang sedikit pudar.

Tulisannya, "Untuk yang tersayang, Arthur Kirkland. Dari Alfred Foster Jones."

Arthur tidak bisa mempercayai apa yang dia baca, sebesar apapun matanya melebar.

Angin di malam musim panas yang masuk melalui jendela yang rusak, menggoyangkan ujung rambut dan membekukan tengkuknya. Sebuah suara berdebum yang seperti ledakan di dekat telinganya membuat Arthur terlonjak.

'Demi Tuhan, apa lagi sekarang?'

Ketika menoleh perlahan, ternyata hanya sebuah buku besar yang jatuh dari rak. Perasaan tidak enak mulai menghantui Arthur. Ia ingin cepat-cepat keluar dari sini. Tapi halaman-halaman itu membuka perlahan, dan tiba-tiba bergerak cepat. Arthur mulai ragu itu perbuatan angin, tapi tak bisa memikirkan hal lain.

Dengan was-was, ia mendekati buku itu dan mengambilnya. Kakinya membawanya kembali mendekati lilin agar mata jade-emerald itu dapat menelaah tulisan meliuk berbahasa kuno di halaman yang terbuka. Sesuatu membuatnya tertarik, yaitu tulisan 'Arthur' di salah satu kalimat. 'Apakah buku ini berhubungan dengan surat itu?' pikirnya.

Arthur sama sekali tidak mengerti artinya, tapi ia bisa mengira-ngira dari bentuk kalimatnya bahwa buku ini menggunakan bahasa Cumbric*, seperti sastra-sastra kuno yang terdapat di perpustakaan Oxford bagian sastra kuno. Sudah sangat sedikit orang yang mempelajari bahasa itu, jadi walaupun Arthur mengambil jurusan sejarah dan sudah berkutat dengan historiografi hampir seumur hidupnya, ia seperti balita yang dihadapkan dengan huruf untuk pertama kali.

Tapi cara sang penulis menuliskan bait-bait ini menciptakan sebuah rasa tantangan untuk dilafalkannya. Arthur tidak tahu apakah ia salah, tapi ia akan mencobanya.

"Ef guant tratrigant echassaf
ef ladhei auet ac eithaf
oid guiu e mlaen llu llarahaf
godolei o heit meirch e gayaf
gochore brein du ar uur
caer ceni bei ef arthur
rug ciuin uerthi ig disur
ig kynnor guernor guaurdur."

Cahaya terang tiba-tiba muncul dari bawah kaki Arthur dan membuatnya takut untuk bergerak. Tanah berguncang, menghilangkan keseimbangannya dan terjatuh ke belakang. Untuk beberapa saat yang menyilaukan, Arthur tidak bisa menebak apa yang terjadi. Seingatnya tidak ada gunung berapi di sekitar sini jadi ia bisa tenang tidak akan jatuh ke dalam lava. Ketika ia membuka mata, mengerjapkannya beberapa kali, kegelisahannya berangsur-angsur menghilang mengetahui ia masih berada di tempat yang sama.

Hanya saja, ini perasaannya saja atau barang-barang di gubuk ini terlihat masih… bagus?

'Yah, tapi karena sama-sama berdebu, jadi sama saja,' guraunya dalam hati.

Arthur kembali memperhatikan buku dengan kertas tebal yang tidak seusang yang diingatnya, dengan sampul tebal nan keras dari kulit ular. Arthur menganga, bukan karena kulit ularnya, tapi tulisan di sampul itu.

'The Spell by Joseph and Amanda Kirkland'

"Holy shit!"

Tadi namanya di surat antah berantah dari seseorang bernama Alfred, sekarang nama orangtuanya di sampul buku tua mengerikan?

Arthur meremas sebagian poninya dan mengerjap. "Ini pasti mimpi. Ya, aku pasti tertidur di mobil dan kembali bermimpi menjadi penyihir. Ya, itu benar! Haha! Dengan begitu ini semua masuk akal. Aku… tidak perlu takut lagi. Ya, kan?"

Ia segera bangkit dan berjalan keluar menghampiri mobilnya. Dibiarkannya lilin menyala dan pintu tetap terbuka. Ia juga memasukkan buku itu ke dalam tas selempang yang sedari awal melintangi tubuhnya. Benar dugaannya, langit telah gelap dan jutaan bintang berkilau lebih terang dari yang biasanya.

'Ah, pasti karena ini di tengah hutan.'

Ia merogoh tas untuk mencari kunci mobil. Keadaan yang gelap membuatnya harus berjalan dengan pandang menunduk pada tas. Ketika menemukannya, kepalanya menoleh beberapa kali, alisnya bertekuk, rasa takut membanjirinya hingga membuatnya berputar untuk menatap seluruh hutan yang gelap.

Ia tidak bisa menemukan VW tercintanya.

Apakah ia salah tempat?

.

.

-:-

To be continue

-:-

.

.

Hai, saya Lee Audrey. Anak baru di fandom Hetalia, jadi mohon bimbingannya, ya.

Bait yang ada di buku sebenarnya cuma paragraf terakhir dari puisi tahun 600-an M., judulnya Y Gododdin, yang dikenal sebagai referensi paling awal untuk legenda Raja Arthur (itu lho, yang memimpin Ksatira Meja Bundar). Artinya:

He pierced three hundred, most bold,
He cut down the centre and wing.
He was worthy before the noblest host,
He gave from his herd horses in winter.
He fed black ravens on the wall
Of the fortress, although he was not Arthur.
Among those powerful in feats [?]
In the front rank, a pallisade, Gwawrddur.

(terjemahannya beda dari yang di Wikipedia karena saya ambil di . )

Dan sebelum ada yang tanya, saya akan jelaskan kalau judul-judul lagu yang saya cantumkan di pembukaan tidak ada hubungannya dengan fic ini. Cuma sebagai doping saya ngetik. (Oke, saya akui kalau ngetik, saya harus setengah 'mabuk')

Nah, ada kuis nih. Siapakah 'wanita cantik di toko tato' itu? Yang jelas dia juga karakter Hetalia lho, bukan OC. Clue: muncul di anime Hetalia The World Twinkle, bagian dari Nordic Country, dan sudah punya suami. Jawaban dikirim secepatnya lewat kotak 'review' sebelum chapter 2 update ya. ...eh, hadiah?

Keterangan:

* Homo heidelbergensis: manusia purba asal Kota Heidelberg, Jerman, yang sudah menggunakan bahasa walaupun dalam tingkat sederhana, karena morfologi telinga bagian luar dan tengah yang serupa dengan manusia modern, bukan simpanse. Jadi, sindirannya Arthur itu…

… maaf, saya juga kurang mengerti sindirannya Arthur.

*Seiza: gaya duduk formal ala Jepang; kaki dilipat ke bawah dan diduduki, punggung ditegakkan dan dada dibusungkan.

*bahasa Cumbric : sama dengan bahasa Wales Kuno.

.

Selamat menikmati masa MOS bagi yang mengalami!
(Sunday, July 26, 2015)
Lee Audrey