Ketika tangan tak lagi mampu merangkul,

Sebuah asa menyentak dalam esitensi tak terkata

Untukmu,

Gadis mawar di padang ilalang


.


Disclaimer is Masashi Kishimoto


.


Sai kembali menggoreskan kuas bertinta hitam dengan mata yang menyorot penuh pada esitensi hidup bermakna yang berbaring di depannya. Sosok gadis porselen berambut pirang panjang dan bermata biru jernih yang tengah berpose di atas sofa maroon dan menampilkan ekspresi bersulut inosen pada si pelukis berkulit pucat tersebut. Sai hanya tersenyum, palsu.

"Naruto pernah berkata padaku," Pemuda bermata segelap jelaga itu menghentikan laju kuasnya dan menyempatkan sang netra untuk menilik barang sekejap pada sang Barbie hidup. "Sekejam apapun hidup yang kau lalui, maka berdirilah kuat seperti ilalang."

Sang objek—Ino—menggerakan bola mata aqua cantiknya agar tidak bersibobrok dengan esitensi tampan si pelukis.

"Berhentilah untuk berbicara dan fokuslah melukis." Ino berucap dengan nada dingin. Satu tangan yang menyangga kepalanya rasanya sudah pegal dan mati rasa.

Sai tersenyum.

Senyum palsu yang kerap kali terurai dalam setiap keadaan, dan Ino tidak mengharapkan apapun dari senyum tanpa makna yang terukir tersebut.

"Kau lebih cantik terlukis dalam keadaan tersenyum, Ino-chan." Sai kembali berkata, dan Ino mendengus.

"Tidak akan ada bedanya senyuman yang aku urai dengan ekspresiku saat ini." Ino menjawab. Suaranya terdengar dingin, sarat akan makna yang tidak berucap. Memandang benci pada sosok Sai yang masih tersenyum 'pun bagaikan tengah mengharapkan sesuatu yang mustahil tergapai.

Sai menaruh kuas lukis di atas palet, senyumannya kian merekah melihat canvas berisi cat warna yang menampilkan ragam potret seorang gadis di sana.

Ino mendudukan tubuhnya setelah melihat gerak tubuh Sai yang tidak lagi menandakan bahwa dia tengah melukis. Gadis itu merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena berpose tidak berubah selama hampir seperempat jam. Tubuh sintalnya berdiri, disangga dengan kedua kakinya yang jenjang. Lihat bagaimana kulit seputih susu itu berlenggok di lantai marmer yang dingin?

"Lihat bagaimana aku kembali melukiskanmu, Ino." Sai tersenyum manis seraya melirik pada gadis cantik bergaun biru muda yang kini melangkahkan kakinya ke arah Sai.

Ino tercekat melihat bagaimana potret itu terlukis. Kepalanya menoleh ke arah si pelukis yang masih memandang canvas dengan ekspresi puas. Netra aqua itu berkaca-kaca.

"Kau brengsek karena telah menghancurkan segala keindahannya dan kini kau menggambarnya kembali." Ino berucap dengan nada lirih penuh kebencian.

Sai berdiri dari duduknya, kemudian memeluk sosok mungil yang kini bergetar dalam pelukannya.

"Kau menikah dengan orang lain dan meninggalkanku, sekarang kau melukiskanku dalam object penuh warna dan keceriaan?"


.

.

.


Lantunan lirih penuh lara

Nyanyian muse pelipur hati

Padamu,

Mentari di tengah gelap


.

.

.


Ruangan atelier itu ditinggalkan oleh dua orang.

Meninggalkan palet canvas dengan potret seorang gadis cantik berambut pirang panjang ponytail yang tengah berada di padang ilalang tinggi. Memakai dress putih selutut dan topi biru yang digenggam erat dengan tawa ceria dan ekspresi bahagia yang tertera di wajahnya yang cantik. Sangat cantik dan diguratkan oleh si pelukis dengan rasa yang tidak bisa diuraikan

Sebuah anomali nyata karena kini ekspresi itu tidak lagi terdapat pada wajahnya yang memang cantik.

Barbie itu kehilangan keceriaannya.

Tidak dapat dikembalikan.


Thanks for reading-,