Sang tengkorak memandangi langit yang luas. Ia, yang tengah disinari cahaya rembulan, tak bergerak satu inci pun. Seakan terhipnotis oleh indahnya malam.
Pikiran melayang membayangi impiannya. Menjadi seorang yang berarti, yang memiliki kedudukan, dan dihargai. Oh betapa indah hal itu di kepalanya, senyum tak kunjung hilang ketika memikirkannya.
Namun siapa sangka itu tak semudah pikirannya? Hatinya diluluhkan keteguhan dan ketulusan sang manusia. Terbayang semburat merah yang sering kali terlihat di pipi gembilnya. Aduhai, manisnya. Semanis hati anak itu. Apa daya kalau sudah merasakan sayang.
Tekad mulai bertengkar dengan hati. Apa yang harus ia utamakan? Persahabatan atau kekuasaan? Gundah. Gelisah. Kacau sudah.
Pada akhirnya kebaikan hati anak itu mengalahkan segalanya. Impiannya sudah terbuang jauh-jauh, digantikan dengan hangatnya persahabatan. Sakit memang, tapi memang wajar kan mengorbankan satu hal untuk yang lainnya?
Meski tentu saja itu tak mengubah kenyataan bahwa ia seakan hilang tujuan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Demi senyuman seorang anak ia rela banyak berkorban.
Anehnya, tak sedikitpun sesal mengganjal hatinya. Hanya untuk seorang anak manusia yang seharusnya ia tangkap.
Heh.
Manusia itu seram bukan? Mereka mudah sekali mengambil hati seseorang. Namun tak apa, karena ialah teman yang ia butuhkan. Dan dialah kunci untuk mencapai kebahagiaan yang ia dambakan selama ini.
