Bagaimana jadinya bila DraMione dkk berada di Indonesia dan menjadi penganut agama Islam?
Untuk menyambut bulan Ramadhan, author mempersembahkan fanfict Islamic.
Tidak mengandung unsur rasisme.
-o0o-
Title : The Beautiful Thing I've Ever Known
Pairing : DraMione, tapi mungkin akan ada cinta segitiga atau segiempat(?) bersama tokoh lain
Disclaimer : Bunda J.K. Rowling always. Tetapi ide dan cerita pure milik author
Rated : T
WARNING!
Karena author merubah total (mungkin) karakter sebagian tokoh, maka author akan menjelaskan watak pemikiran author sendiri.
Hermione : Pendiam, sholehah, pandai, rajin, tetapi entah mengapa sangat benci & ketus hanya kepada Draco
Draco : Tidak terlalu intimidatif, pantang menyerah, pandai, dan terobsesi dengan Hermione
Harry : Cool, pendiam, tapi mempunyai sisi buruk yang akan terungkap di pertengahan fict
Ginny : Genit, centil, suka cari perhatian, dan plin-plan
-o0o-
Happy reading, and-don't forget to RnR please... :D
Pukul 6 pagi. Seperti biasa, gadis cantik berhijab itu mengayuh sepedanya dengan santai menuju sekolahnya yang berjarak agak jauh dari rumahnya. Ya—beginilah keseharian seorang Hermione Granger, anak dari seorang petani miskin di sebuah desa di daerah dataran tinggi yang sejuk.
Gadis itu bisa dibilang cantik, rajin, sholehah, nan pandai. Ia juga patuh terhadap kedua orang tuanya. Banyak laki-laki desa yang menyukai gadis itu, bahkan ada yang pernah melamarnya. Namun dengan alasan yang rasional, Hermione menolak mereka dengan cara baik-baik agar tidak terjadi salah paham antar keluarga.
Hermione tersenyum dan menyapa setiap penduduk desa yang ia lewati. Sungguh ramah gadis muslimah ini. Sesekali ia berhenti untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal akibat terlalu banyak mengayuh. Ia menghirup napas dalam-dalam, merasakan sejuknya udara pagi.
"Hermione." panggil seorang laki-laki ketika Hermione hendak memarkirkan sepeda kayuhnya di halaman sekolah.
Hermione menoleh ke arah pemuda keren berkacamata yang memanggilnya. Seseorang yang selama ini ia sukai diam-diam. Dengan sedikit tersipu, Hermione tersenyum. "Ya?"
"Kau Hermione Granger, kan?" tanya pemuda tampan itu sembari mengeluarkan senyuman manisnya, yang dapat membuat gadis-gadis meleleh karenanya.
Dengan gugup, Hermione menjawab, "I-Iya, a-ak-aku Hermione Granger."
Oh Tuhan, Istighfar, Hermione. Jangan kau pandangi terus pemuda itu, kau bisa terkena zina mata, batin Hermione dalam hati. Ia menunduk, tidak ingin memandangi pemuda tampan itu karena takut dosa. Tapi, ia merasa sungguh tidak sopan jika ia tidak menatap seseorang yang mengajakmu bicara.
Pemuda tampan itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. "Aku Harry Potter. Panggil saja Harry." Katanya, masih sambil tersenyum.
Hermione hanya mengangguk, tetapi tidak menerima uluran tangan Harry. Ia tahu—bahwa ia dan Harry bukan mahrom, jadi tidak boleh bersentuhan. Harry yang baru sadar akan hal itu, buru-buru menarik kembali uluran tangannya dan salah tingkah.
"Uhm... Iya, maaf. Kita bukan mahrom. Maaf." Ujar Harry, sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Iris hijau cemerlangnya terus-menerus memandangi wajah cantik Hermione yang menunduk.
Harry Potter adalah kakak kelas Hermione, sekaligus idola seluruh siswi di sekolah Hogwarts ini. Rambut yang berantakan, iris hijau cemerlang, otak yang pandai, wajah yang tampan, membuatnya terlihat semakin sempurna di mata para gadis. Siapa yang tidak jatuh cinta atau mengidolakan pria yang satu ini? Mungkin jawabannya—tidak ada.
Bunyi bel tanda pelajaran sudah dimulai membuat Harry terbangun dari lamunannya. Ia tersenyum singkat kepada Hermione. "Uhm... Hermione, kau mau ke kelas bersama? Kebetulan kelasku berada di lantai tiga, jadi—er... sekalian. Ba-Bagaimana?" ajak Harry dengan gugup dan masih salah tingkah.
Hermione hanya mengangguk singkat menerima ajakan kakak kelas idolanya itu. Sebenarnya, saat ini jantungnya sudah berdegup tak karuan, ditambah lagi dengan berjalan di sebelahnya. Membuatnya semakin tersipu. Mereka tidak saling bicara selama di perjalanan, hingga akhirnya berpisah. Hermione masuk ke kelasnya, dan Harry berjalan menaiki tangga ke lantai tiga—tempat dimana kelasnya berada.
Namun ketika Hermione memasuki kelas, ia agak terkejut melihat teman-temannya saling bergerombol di bangku tempat duduknya. Hermione bingung, ada apa ini? Dengan sopan, ia permisi—memecah gerombolan yang berbisik-bisik—hendak menuju tempat duduknya.
Sekarang Hermione tahu apa yang menjadi bahan bisikan teman-temannya—khususnya para siswi—yang sedari tadi menggerombol. Seorang pemuda tampan, bersurai pirang platina, dan wajah yang pucat dan runcing sedang menduduki bangkunya—yang seharusnya milik Hermione. Pria itu terlihat agak risih dengan pandangan orang-orang disekitarnya.
Iris pucat pemuda itu mengamati setiap wajah yang memandangnya—dan kemudian berhenti ketika sampai di bagian Hermione. Hermione hanya menunduk, karena ia merasa mata abu-abu dingin pemuda itu terus menatap dirinya.
Dengan perlahan, ia maju dan berbicara kepada pemuda itu. "P-Permisi. Ini tempat duduk saya." Katanya, berusaha sopan supaya tidak menyinggung perasaan pemuda itu.
Bibir pemuda itu terangkat membentuk seringai yang—menurut Hermione—menyebalkan dan agak mengganggu. Entah kenapa perasaan Hermione sangat kesal kepada pemuda yang baru ditemuinya itu. Mungkin karena dia mengambil bangku Hermione seenaknya tanpa izin sang pemilik.
"Heh kau gadis kampung, memangnya kau siapa? Memangnya—yang membuat bangku ini ayahmu? Kakekmu? Bukan, kan?" seluruh kelas tertawa, "Jadi, terserah pantatku dong mau duduk dimana saja. Lagipula, kau bisa duduk di sampingku." Tangan pemuda itu menepuk bangku kosong di sebelahnya.
Hermione memalingkan mukanya, melihat berkeliling. Yeah—memang tidak ada lagi bangku yang kosong kecuali bangku disebelah pemuda ini. Dengan berat hati, Hermione mengangguk dan duduk di sebelah pemuda yang menyeringai terus itu.
"Selamat pagi." Ujar seseorang dari depan kelas.
Siswa-siswi yang sedari tadi menggerombol langsung tergopoh-gopoh berjalan ke tempat duduk masing-masing. Prof Snape, guru Biologi yang amat ditakuti oleh murid-murid, memandang berkeliling. Pandangannya terhenti ke arah pemuda tadi.
"Ah... kau pasti siswa baru itu?"
Pemuda itu mengangguk singkat sembari tersenyum. Dan—menurut Hermione—sebenarnya pemuda ini lebih tampan disaat tersenyum. Apa? Astaghfirullah, kau pasti salah makan pagi ini, Hermione.
"Bisakah kau memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada teman-temanmu di depan?"
Sekali lagi ia mengangguk. Pemuda itu menggeser kursinya ke belakang dan berdiri—berjalan menuju depan kelas untuk melakukan apa yang Prof Snape tadi perintahkan.
Pertama-tama pemuda itu tersenyum. "Halo. Nama saya Draco Lucius Malfoy—panggil saja Draco. Saya adalah siswa pindahan dari SMA Durmstrang," SMA Durmstrang yang terkenal itu? Pastilah ia anak orang kaya, pikir Hermione, "dan saya pindah kesini karena ikut dengan kakek. Salam kenal."
Kelas pun riuh dengan tepuk tangan—terutama yang paling keras adalah para gadis—ketika Draco mengakhiri perkenalan singkatnya dan duduk kembali di sebelah Hermione. Prof Snape—bisa dikatakan—tersenyum sedikit kepada pemuda yang ternyata bernama Draco itu.
"Well, Draco. Saya harap kau bisa betah disini. Dan—kalau kau butuh bantuan untuk berkeliling sekolah ini, ke kantin, atau kemanapun, kau bisa bertanya kepada teman sebangkumu, Ms Granger."
Merasa namanya dipanggil, Hermione mendongak menatap guru yang paling ditakutinya itu. Ia tersenyum meng-iya-kan.
"Baiklah, sekarang—buka halaman 364 di buku kalian, dan kerjakan soal yang saya tuliskan di papan ini."
Seluruh kelas sibuk mengambil buku dari dalam tasnya untuk melakukan perintah Prof Snape. Jika tidak—bisa-bisa kau dijemur setengah hari di lapangan menghadap bendera. Itulah yang membuat Prof Snape ditakuti oleh murid-muridnya, karena detensinya yang mengerikan.
Draco Malfoy menoleh menghadap Hermione yang serius membaca. Hm... cantik juga gadis ini, batin Draco. Dengan tidak sopan, ia menarik buku yang sedang dibaca Hermione. Mata Hermione hanya membelalak kepada pemuda itu, namun yang dipandang hanya menyeringai.
"Aku belum mendapatkan buku. Jadi, aku pinjam dulu, oke?" Ujarnya, dengan mata berkilat jahil.
"Lalu, bagaimana denganku?" bisik Hermione, takut-takut Prof Snape mendengarnya sedang mengobrol. "Jika kau memakainya, aku belajar pakai apa? Maaf, bukannya aku pelit atau apa. Jangan salah sangka terlebih dahulu."
Draco terdiam sejenak, mengelus dagunya pura-pura berfikir. Hermione tahu bahwa pria pirang itu tidak benar-benar berfikir. "Baiklah. Kalau begitu—kita membacanya berdua." Draco menggeser buku Hermione ke tengah meja, supaya Hermione dapat membacanya juga.
Dengan gugup, Hermione menggeser duduknya—sehingga lebih dekat dengan Draco—dan mencondongkan kepalanya sedikit agar bisa membaca dengan jelas, namun dengan masih menjaga jarak. Dengan begini, Draco dapat dengan leluasa memandangi wajah cantik Hermione tanpa sepengetahuan sang empunya. Tetapi sesungguhnya, Draco membawa semua buku pelajaran hari ini.
-o0o-
"Kita ke Kantin."
"Tapi aku mau ke Perpustakaan."
Mendengar penolakan Hermione, Draco memasang muka mengintimidasinya dan menatap Hermione dengan pandangan mengancam. Hermione tidak mau kalah, ia menyipitkan matanya dengan sebal ke arah pemuda itu. Sebenarnya ia agak risih berpandang-pandangan geram seperti ini, tapi—jika Hermione menuruti perintah Draco, bisa-bisa waktu istirahatnya terbuang percuma tanpa membaca buku di tempat favoritnya, Perpustakaan.
"Apa kau tak ingat apa yang tadi Prof Snape perintahkan untukmu? TEMANI AKU KEMANAPUN AKU MAU." Seru Draco dengan menggebrak meja.
Hermione tersentak dengan gebrakan Draco. Sejenak ia ber-istighfar sembari mengelus pelan dadanya. Gadis itu akhirnya menyerah, ia mau menemani Draco ke Kantin, asalkan Draco tidak mengganggu Hermione membaca.
Mereka berdua berjalan berdampingan, melewati barisan gadis-gadis yang menggerombol karena terpesona oleh ketampanan Draco Malfoy. Mereka tidak menyadari bahwa Hermione juga berada di sana bersama pemuda itu. Mereka terus-menerus mengikuti Draco hingga ke Kantin—bahkan mereka berhenti mengikutinya ketika Draco membentak mereka semua dengan kasar.
Hermione yang melihat kelakuan Draco, hanya menggeleng lemah. "Seharusnya kau tak berbuat kasar kepada mereka semua. Kan, mereka hanya ingin berkenalan. Apa salahnya?" cercah Hermione, sembari melihat-lihat—mencari tempat duduk yang kosong.
Dengan sebal, Draco mendekatkan wajahnya kepada Hermione. Secara refleks, gadis itu segera menghindar dan menghalangi wajah Draco menggunakan buku yang dibawanya. Bibir Draco terangkat membentuk seringaian lagi.
"Salahnya? Karena kau cerewet." Jawab Draco tidak jelas. "Dan kenapa kau menutupi wajahmu menggunakan buku itu? Lagipula, aku tak akan mau repot-repot mencium gadis kampungan sepertimu. Cih." umpat Draco, sambil menekankan kata 'gadis kampungan' itu keras-keras ke telinga Hermione.
Tiba-tiba saja, genk gadis-gadis centil berjalan mendekat ke arah Draco dan Hermione berada. Draco mengangkat kepalanya dan meraih tangan Hermione—ke arah tempat duduk yang kosong. Sang ketua genk, Pansy Parkinson, hanya menganga bodoh melihat meja favoritnya ditempati oleh Draco dan Hermione.
Gadis centil nan nyentrik itu dengan marah menghampiri meja tempat Draco dan Hermione berada—hendak memarahi mereka. Namun ketika ia melihat ketampanan Draco, seketika hatinya luluh dan mulai meluncurkan gaya centilnya yang membuat Hermione jijik.
"Minggir kau, gadis miskin." Gertak Pansy, sambil memandang Hermione dengan mata melotot.
Tanpa berberat hati sedikitpun, Hermione memberikan tempat duduknya kepada Pansy Parkinson dan mengucapkan 'sukses ya' kepada Draco tanpa suara. Ia pun melenggang pergi menuju Perpustakaan, tanpa menghiraukan panggilan-panggilan Draco.
Sembari membaca, Hermione terus-menerus tertawa membayangkan apa yang terjadi dengan Draco ketika ia berhadapan dengan tiga anak paling centil di Hogwarts. Dengan ketua genk yang bernama Pansy Parkinson—gadis berwajah pug yang sungguh tak punya malu, dan anggota-anggotanya yang bernama Millicent Bulstrode—gadis bertubuh besar dan menyeramkan, dan juga Daphne Greengrass—gadis cantik yang sangat garang dan liar. Ugh... Hermione tak bisa membayangkan ekspresi Draco.
Namun ketika ia asyik membaca sambil sesekali terkekeh pelan, Harry Potter mendudukkan dirinya di meja depan Hermione.
"Hai." Sapanya dengan ramah.
Masih sambil terkekeh, Hermione mendongak karena merasa ada yang memanggilnya. Tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi canggung tatkala ia tahu siapa yang baru saja memanggilnya.
Harry tersenyum melihat ekspresi Hermione yang tiba-tiba saja berubah seperti itu. "Apa yang kau tertawakan? Sepertinya lucu sekali." Tanyanya sambil melongok, berusaha mengintip buku yang dibaca Hermione.
Dengan gugup, Hermione menjawab, "Oh... uhm... Sejarah. Iya, sejarah."
Pemuda itu memiringkan kepalanya sedikit, "Sejarah? Menurutku pelajaran sejarah tidak ada lucu-lucunya." Ujarnya dengan dahi berkerut. "Maksudku, ya—menarik juga sih pelajarannya. Tetapi, setahuku tidak ada yang lucu."
Pipi Hermione merona memerah. Yeah—memang tidak ada yang lucu. Sungguh bodoh jika ia terlihat tertawa karena membaca buku sejarah, yang notabene adalah pelajaran serius. Ia hanya tersenyum bodoh dan menundukkan kepalanya lagi.
Tawa Harry meledak seketika. "Kau—lucu—sekali—Hermione." ujarnya di sela-sela tawanya. "Kenapa kau selalu menunduk ketika kuajak bicara, hn?"
Hermione tidak menjawab—hanya mengulum bibirnya dengan gugup. Tidak mungkin ia harus berkata jujur soal perasaannya, yang bahwasannya ia menyukai Harry sejak dahulu. Ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya keluar jendela, melihat para siswa-siswi yang hilir mudik di depan Perpustakaan.
"Uhm... baiklah jika itu menurutmu pribadi—aku tak akan menanyakannya lagi." ujar Harry akhirnya, setelah sekian lama menunggu Hermione menjawab.
Ketika Hermione membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, Draco berlari ke arahnya dan menggebrak meja, membuat seluruh penghuni Perpustakaan memandangnya dengan marah. Sungguh tidak ada sopan santunnya pria ini, batin Hermione sembari memijat keningnya. Draco tidak mempedulikan pandangan marah orang-orang di sekitarnya.
"Kenapa kau tadi meninggalkanku? Hn? Kau tahu, aku hampir saja ditelan hidup-hidup oleh mereka bertiga—apalagi yang badannya seperti gorila itu. Ya Tuhan, kenapa ada orang seperti itu di dunia ini?" ratap Draco dengan berlebihan.
Merasa sebal, Hermione memukul kepala Draco menggunakan buku sejarahnya yang lumayan tebal. Pemuda itu mengaduh dan mendelik kepadanya, namun Hermione hanya meliriknya sambil mengertakkan gigi. "Malfoy, apa kau tak sadar sekarang berada dimana? Ini Perpustakaan. Kumohon jaga sikapmu, jangan seperti orang yang tidak mempunyai sopan santun." Omel Hermione.
Namun Draco hanya menggerak-gerakkan bibirnya tanpa suara untuk mengejek Hermione. Hermione yang semakin sebal, memukul kepala Draco lagi seperti tadi—namun kali ini lebih keras dan pastinya lebih sakit.
Draco tidak melawan, hanya merutuk dalam hati. Ternyata gadis pendiam ini bisa jadi galak juga, pikir Draco. Iris Draco menangkap sosok Harry yang sedari tadi diam memperhatikan pertengkaran dirinya dan Hermione.
"Hey kau mata empat, apa yang kau lihat?" bentak Draco, membuat seluruh penghuni Perpustakaan melihat ke arahnya lagi. Namun—seperti tadi—ia tetap tidak peduli.
Dengan cuek, Harry hanya mengangkat bahunya dan berdiri, berjalan menuju rak buku untuk mengembalikan buku yang baru saja ia ambil tetapi tidak dibaca, dan berjalan keluar melewati Draco. Harry bergumam sesuatu di belakang telinga Draco seperti, "Dasar bocah tidak punya sopan santun."
Tapi sebelum Draco berbalik untuk menyerang Harry, Hermione sudah menarik lengannya. Harry berbalik dan melambaikan tangan sembari menyeringai, kemudian melanjutkan berjalan lagi untuk keluar Perpustakaan.
Iris coklat madu Hermione membelalak menatap Draco—dengan posisi masih memegangi lengan Draco dengan erat. Sedangkan yang dipandangi hanya menyeringai nakal, memandangi tangan Hermione yang memegang lengannya dengan kuat. Namun Hermione belum sadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Bibirnya terus mengomeli Draco seperti seorang ibu yang mengomeli anaknya yang nakal.
"...sekali lagi kuperingatkan kau, Malfoy. Jaga sopan santunmu. Atau kalau tidak—apa yang kau lihat?" bentak Hermione, karena ia melihat Draco tidak mendengarkan ceramah panjangnya.
Hermione mengikuti pandangan Draco. Hingga akhirnya, ia tersadar dengan apa yang ia lakukan. Buru-buru ia melepas genggaman tangannya sambil mulutnya berkomat-kamit membaca Istighfar. Pipi Hermione kembali memerah—ia malu—bagaimana ia bisa melakukan kekhilafan itu tanpa ia sadari?
-o0o-
Sepulang sekolah, Hermione kembali mengayuh sepedanya hendak pulang ke rumah. Siang ini Hermione memutuskan untuk melewati jalur transportasi, bukan kebun teh seperti biasanya. Matahari yang biasanya bersinar terik tertutup oleh awan hitam. Hm... sepertinya sebentar lagi akan hujan, batin Hermione dengan khawatir.
Dugaan Hermione menjadi kenyataan. Belum separuh jalan menuju rumahnya, hujan mengguyur dengan lebat. Terpaksa Hermione harus berteduh terlebih dahulu ke sebuah Pos Kamling yang kosong. Sial bagi Hermione, kenapa ia tidak melewati kebun teh seperti biasanya, dan malah memilih lewat jalur transportasi yang menjadikan jarak tempuhnya semakin jauh.
Karena kedinginan, Hermione mendekap tubuhnya sendiri dan mencoba tenang. Ia berdoa supaya hujannya cepat-cepat reda—sehingga ia bisa pulang ke rumahnya sebelum hari gelap. Ia berpikir, jika hujannya selebat ini—mungkin saja redanya akan lama.
Ketika Hermione melirik jam tangannya yang sedikit basah, ia melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktu sholat dhuhurnya akan habis, dan ia belum sampai di rumah. Hermione tidak mungkin menembus hujan untuk pulang, bisa-bisa sampai di rumah ia sakit dan keesokan harinya tidak ke sekolah.
Dengan sabar, Hermione menunggu hujan reda sembari membaca buku-buku pelajarannya. Rajin sekali gadis ini. Sesekali ia menggaris bawahi bagian-bagian penting yang ada di bacaan itu, supaya keesokan harinya bisa dengan mudah ia pelajari lagi.
Mendengar suara sepeda motor besar yang berhenti di depannya, Hermione mendongak. Sepertinya orang itu hendak berteduh juga. Hermione memperhatikan orang itu. Dan ketika pengendara itu membuka helm penutup kepalanya, ia bisa melihat dengan jelas rambut pirang platina yang sedikit basah itu—Draco Malfoy.
Draco juga sedikit terkejut melihat siapa yang tengah duduk di Pos Kamling di depannya. Tak lama kemudian ia menyeringai—seringaian yang amat dibenci oleh Hermione. Tanpa permisi, ia mendudukkan diri di samping Hermione sambil menyapu air dari rambutnya.
"Hai, kita bertemu lagi. Apakah kita berjodoh?" gumam Draco dengan seenaknya saja.
Hermione tidak menjawab, ia hanya diam seribu bahasa sambil tetap melanjutkan aktifitasnya. Ia mengacuhkan Draco yang sedari tadi cerewet sekali bertanya ini-itu. Pertanyaannya tidak penting, seperti, "Apakah hujannya akan lama?" atau kalau tidak "Memangnya disini sering hujan, ya?" dan bahkan "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?"
Hermione menyerah. Ia menoleh menghadap Draco. "Bisakah kau diam dan tidak memperburuk keadaan? Mana aku tahu hujannya akan lama atau tidak. Dan tidak—tidak biasanya disini hujan, mungkin karena sekarang sudah mulai musim penghujan. Dan yang terakhir—apa kau tak melihat aku sedang apa?" cercah Hermione dalam satu tarikan nafas.
Draco hanya melongo melihat gadis dihadapannya menjawab semua pertanyaannya dengan secepat itu, dalam satu tarikan nafas pula.
"Dan jangan menatapku seperti orang bodoh seperti itu. Dasar pirang." Cercah Hermione lagi, ketika melihat tampang Draco yang konyol.
Dengan menghela nafas—yang entah sudah beberapa kalinya—Hermione menggeleng pelan dan menutup bukunya dengan kasar. Moodnya sudah hancur semenjak kedatangan Draco. Entah mengapa, Hermione menganggap pria itu sungguh mengganggu dan keras kepala—tidak bisa dinasehati baik-baik.
Takut Hermione mengomel lagi, Draco pun mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin membicarakan apapun saat ini, karena Hermione ternyata gadis yang tegas juga.
Hari telah menjelang sore, namun hujan belum reda juga—bahkan semakin deras. Pukul empat. Jika sedari tadi sudah sampai di rumah, mungkin Hermione sedang mengajar mengaji di Masjid. Entahlah, ia tak tahu siapa yang menggantikannya hari ini. Mungkin Oliver Wood atau Ernie McMillan, karena biasanya dua pemuda tampan itu yang menggantikannya.
Karena kedinginan dan tubuhnya sedikit basah, sepertinya Hermione terkena flu. Sedari tadi ia bersin-bersin dan hidungnya merasa gatal. Untuk menjaga tubuhnya agar tetap hangat, Hermione memeluk dirinya sendiri.
Namun tanpa direncanakan, Draco sudah melepas jaket kulit berwarna hitamnya untuk diberikan kepada Hermione. Sembari mengeluarkan senyuman terbaiknya, Draco memberikan jaket itu di depan wajah Hermione yang kebingungan seketika. Namun Hermione tak kunjung menerimanya, ia memandang Draco dengan kebingungan. Ia masih bingung dengan maksud 'baik' Draco.
Sambil mengerjapkan matanya dengan konyol, Hermione bertanya, "Uhm... apa maksudnya, Malfoy?"
Draco berdehem sok gentleman. "Untukmu, tentu saja. Pakailah terlebih dahulu. Kulihat kau kedinginan dan—sedikit flu sepertinya. Intinya, pakai saja dahulu. Kau bisa mengembalikannya kapan-kapan." Ujarnya sok perhatian. Mungkin ini cara pertama Draco untuk bisa mengambil hati Hermione. Karena yang Draco tahu, wanita selalu ingin diperhatikan.
Hermione mengambil jaket yang diulurkan Draco sambil tersenyum sedikit dan mengucapkan terima kasih. Selepas itu Hermione memakainya dan—jujur saja—ia merasa lebih hangat. Namun belum lama Hermione memakainya, hujan sudah reda, meskipun masih ada rintik-rintik kecil. Tapi tak apa, daripada sampai malam ia terjebak disini bersama Draco Malfoy.
Karena merasa sudah tidak membutuhkannya, Hermione melepas jaket milik Draco yang ia kenakan dan mengembalikannya kepada sang empunya, tak lupa mengucapkan terima kasih lagi.
"Eh, tunggu, Granger." Cegat Draco ketika Hermione hendak mengayuh sepedanya.
Dengan dahi berkerut, Hermione turun dari sepedanya dan menghampiri Draco yang masih cengar-cengir. "Ada apa lagi, Malfoy?"
"Kau bisa memakainya terlebih dahulu jika kau mau. Yeah... supaya kau tidak terkena rintik-rintik air hujan."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Aku kan bawa helm." Ujar Draco sembari menunjuk helmnya yang tergeletak di kursi.
Kali ini Hermione tersenyum manis kepada Draco, sehingga membuat pemuda itu meleleh seketika. Ini yang Draco tunggu-tunggu, senyum manis Hermione. "Baiklah, akan ku kembalikan besok di sekolah. Thanks before. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah pamit dan mengenakan jaket Draco, Hermione mengayuh sepedanya kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Tetapi tanpa sadar, entah mengapa Hermione merasa senang sekali dan jantungnya berdegup kencang. Beda rasanya saat sedang bersama Harry. Sepanjang perjalanan, Hermione jadi senyum-senyum sendiri.
Lain halnya dengan Hermione, Draco Malfoy melonjak-lonjak tak karuan seperti orang terkena gangguan jiwa. Jika ia bisa memohon, ia ingin kejadian seperti ini terulang lagi esok harinya, esoknya lagi, dan esoknya lagi, sampai ia bisa mendapatkan cinta Hermione.
.
.
.
-To be Continue-
Hai.. ('-')/
Ketemu lagi sama author di fanfict terbaru :D
Author boleh curhat nggak?
Sebenarnya author agak ragu untuk mem-publish fanfict islamic ini, takutnya ada yang menyangka author 'rasisme',
padahal nggak. Tujuan author hanya untuk menyambut bulan Ramadhan saja. :l
Maaf jika ada yang kurang berkenan :(
Btw, kalau komen & responnya bagus, author bakal ngelanjutin fict ini. Tapi jika responnya jelek, terpaksa author discontinued :)
Jangan lupa, RnR, please...
Don't be silent readers :D
