BoBoiBoy © Animonsta Studios

Kubenci Kau, tapi Kutahu Kau

ApiAir, sho-ai, watch out with typo

.

.

Enjoy

.

.

.

.

.

.

.

The person who hate you, is the person who most known you althought you haven't noticed part of yours.

.

.

.

.

.

.

.

Aku selalu memandangmu disini, dengan perasaan jengkel yang bergejolak. Kedua sisi deret gerahamku beradu, menggertak. Kedua iris merah jingga ini selalu merekam tindakanmu.

"Air itu padahal anggota baru, tapi dia begitu mengerti bagaimana bertindak baik. Entah dia itu terbuat dari apa yang kita tidak punya, ya?"

Puji-pujian yang dilontarkan kepadamu, bukan padaku juga. Rasa tidak adil yang berubah menjadi dengki. Aku ingin sekali setidaknya meniadakan dirimu dari dunia ini. Andai saja kau tidak pernah lahir, sudah pasti aku tidak perlu semarah ini padamu.

Kau, adalah orang yang tidak kuinginkan ada dalam kehidupanku.

Maka, enyahlah.

-oOo-

Daun-daun pepohonan tertiup angin, dan beberapa turun menuju telapak tanganku yang hangat. Matahari bersinar dengan hawa sejuk. Aku memilih melapangkan pikiranku dengan berdiri di bawah pohon rindang yang agak jauh dari keempat saudaraku—atau bisa kubilang, pecahanku.

Napasku kuhembus melalui kedua hidungku. Mendengus, dan reflek tangan kananku yang tadi mengadah tergantikan mencengkeram daun muda. Beberapa saat setelahnya, percikan api muncul dari genggaman tanganku. Aku membuka kembali tanganku. Daun yang tadi kugenggam kini hanyalah ampas hitam yang tertiup angin kemudian.

Kudongakkan kepalaku. Awan-awan gelap mulai muncul secara samar. Kemungkinan hujan sepertinya ada dalam waktu dekat.

"Kenapa hanya Air yang dipuji? Kenapa aku tidak?"

Kembali pertanyaan yang sama kutanyakan pada diriku. Padahal sebelumnya aku sudah mengucapkan kalimat barusan kurang dari lima menit.

Aku tidak menemukan pencerahan atas pertanyaanku. Makanya aku terus menanyakan hal yang sama; berulang-ulang. Aku berpikir keras mengapa hanya dia yang dipandang baik lagi dipuja. Mengapa mereka tidak sekalipun memberi senyum bangga kepadaku? Tapi dia, mereka begitu mudahnya memuji dirinya.

Bahkan Petir; pecahanku lainnya yang paling arogan lagi berharga diri seharga berlian, bisa memberi senyum lega kepadanya.

Lagi-lagi kedua telapak tangan kukepal kuat. Mengingatnya membuat hatiku sakit.

"Kalian kan dua elemen yang baru, jadi aku ucapkan selamat datang di kelompok kami! Oh ya, kalau kalian ragu untuk bagaimana membantu kami, kami akan membantu kalian."

"Hei Tanah lihatlah satu anak ini. Air begitu telaten mengerjakan pekerjaan rumah. Tok Aba tidak perlu lagi bantuan Ochobot."

"Hmm. Kurasa anak satu ini tidak perlu lagi diajari apa-apa."

Sungguh yang kubenci bukan Air, tapi pujian orang-orang kepadanya.

-oOo-

Hujan benar-benar turun hari ini begitu cepat. Bahkan saking derasnya, aku sampai harus melepas jaket tanpa lenganku untuk menutupi kepalaku—padahal sudah ada topi jingga yang terpapah manis di atas sebelumnya.

Tentu aku menggigil. Air adalah elemen kebalikanku yang merupakan api. Hujan adalah keadaan alam yang paling tidak kusenangi kehadirannya. Api lemah dengan air. Api tidak bisa bermain jika air ada.

Dan hujan, adalah apa yang membuatku ingat kepadanya.

Orang yang paling aku benci, orang yang paling membuatku menderita. Dia, adalah orang terkutuk dalam memori ingatanku.

'Berhentilah untuk terus merutukinya, dan jalani hidupmu seperti biasa Api.'

Aku hanya bisa memberi sugesti ringan pada pikiranku sendiri. Andaikata aku terus memikirkannya, aku yakin kepalaku bakal terasa terjepit lalu siap untuk meledak. Bersyukur, sugesti dari pemikiranku berpengaruh. Sekarang tubuhku terasa ringan tanpa ada lagi dendam di hati.

"Api kamu kehujanan?"

—awalnya.

Kupalingkan wajahku memandang siapa yang barusan menyapaku dengan kalimat tanya. Tutur suara yang begitu halus dan sopan namun berat. Bertopi depan sama denganku namun kedua mata ia sembunyikan dari ujungnya. Bibir tipisnya mengapit. Rintik hujan secara ramai menghujam jaket dan topi biru indigonya, sama halnya denganku.

"Air kamu kenapa disini?" tanyaku. Aku berusaha memperbaiki nada suaraku agar tidak terdengar seperti orang yang menyimpan kesal dari awal kepadanya.

"Aku melihatmu kehujanan. Mau pulang ya?"

"Jawab pertanyaanku. Kebiasaan gak mau jawab."

Air terlihat gugup. "Engh—aku tadi mau beli payung."

"Hah?"

"I—iya payung!" serunya. "Mau beli payung bareng aku gak?"

Pecahan 'Boboiboy' baru ini menarikku tanpa perlu minta permisi. Aku berusaha mencerna apa yang membuatnya menjadi orang yang agak gagapan sekarang.

Biasanya dia begitu ketika ada suatu kejelekan tengah dilakukannya. Aku mengenalnya, karena kami berdua bersama-sama lahir. Aku kenal dia yang tenang ketika ada aku bersamanya; dia yang banyak bicara ketika dia juga tahu apa yang kami bicarakan dan bukan membicarakan kejelekan orang lain; juga dia yang begitu takut ketika melakukan suatu kesalahan.

Kesalahan? Sepertinya aku bisa memanfaatkan kejelekannya kali ini agar pandangan ketiga pecahan yang menjunjung tinggi memujinya itu tidak gelap mata. Dengan begitu, mereka tidak pernah lagi baik padanya, dan mulai meninggikanku.

Kami berdua mendekati toko yang menyediakan payung dari luar. Air memanggil pemilik toko dari luar pintu, dengan tubuhnya yang tidak kalah basah kuyup dariku. Sang pemilik pun menghampiri dan mengobrol dengan Air.

"Pak kalau uangnya basah mohon maaf," ucap Air kepada laki-laki berumur paruh baya tersebut.

"Tidak apa, aku bisa maklumi. Kamu basah kuyup sih bareng temanmu," bapak tersebuut memandangku sementara. Dia memberi ulasan senyum padaku, dan kubalas dengan canggung. Beberapa saat kemudian dia kembali menatap Air. "Beli dua?"

"Beli satu aja pak."

Oh rupanya dia mau sepayung berdua? Hah, mending aku kebasahan daripada jalan bareng dia. Bukan karena aku membencinya, sungguh. Tapi aku begitu takut ketika dia bertanya saat dalam perjalanan tentangku. Juga, aku tidak enak hati menerima kebaikan orang yang sudah aku jahati dengan bertabiat buruk barusan.

"Ho iya," si bapak akhirnya menerima uang Air yang ikutan basah. Dari masih di bawah atap yang melindungi si bapak juga kami berdua dari ganasnya hujan, Air membuka plastik dari payung.

"Air, aku bisa pulang. Kamu pake aja payungnya," mulaiku. Kedua iris jingga kemerahan milikku memalingkan pandangan dari tubuhnya.

"Gak, ini untuk kamu sendiri."

"Hah?"

Payung bernuansa merah maron itu menutupi kepalaku dengan lebarannya. Kupandang lengannya yang memegang payung tersebut ia ulurkan padaku, lalu berbalik menatap wajahnya. Walau wajahnya ditutup setengah, aku masih bisa melihat kedua irisnya yang seperti memberitahuku dia bahagia.

"Aku mau beli bahan kue. Jadi pulang aja," katanya. "Pasti agak lamaan. Aku bakal pulang agak telat. Paling hujan udah selesai nantinya."

Dia menyodorkan tangkai payung itu padaku. Ketika aku menerimanya, dia sudah ancang-ancang berlari menjauhiku.

Aku menatap payung pemberiannya sejenak. Masih ada label harga dari tangkainya. Awalnya aku iseng untuk melihat harganya—yang rupanya cukup mahal. Lalu aku melihat tulisan kecil disana.

Orang yang membencimu, pasti adalah orang yang paling mengenalmu walaupun kau tidak tahu bagian sifatmu sendiri

Kedua tanganku sempat gemetar dibuatnya.

-oOo-

Payung yang kupakai aku gantung di salah satu paku yang ada di luar rumah Tok Aba. Hujan pun reda seiring aku pulang. Aku memutuskan untuk kembali bersama diriku yang lain di kedai. Pasti mereka tengah sibuk mengurusi segala perabot sang kakek.

"Hei kau kemana saja sih?" tegur Tanah yang melihatku kini basah kuyup. Aku menggaruk belakang kepalaku dengan cengegesan.

"M—maaf, tadi maunya jalan-jalan nyari mainan eh kehujanan," aku sempat memeletkan lidahku sejenak.

"Kebiasaan nyari hiburan lupa waktu," celetuk Angin dengan membawa beberapa kaleng serbuk koko kepada Ochobot.

"Kami kerepotan disini," lanjut Ochobot—si robot mungil berbentuk bola yang kini menerima sekeranjang bawaan Angin. "Bersyukur hujan, jadi agak mendingan pelanggan."

"Iya deh maaf ..."

"Tapi Air mana ya?" tanya Petir yang tiba-tiba ikut perbincangan kami. Kedua tangannya ia lipat. "Tadi bukannya disuruh beli bahan kado buat ulang tahun Yaya nanti? Jam tiga siang ini kita harus datang kan?"

"Ini baru jam dua. Tenang saja," timpal Ochobot.

"Kita? Berarti nanti mencar datangnya?" tanyaku dengan semangat menggebu-gebu. Semua memandangku dengan menggeleng.

"Tidak. Kita bergabung lah. Nanti kadonya jadi lima," sahut Tanah. "Sewaktu minta THR dari guru Papa Zola karena puasa penuh saja, kami bagi tiga dia tidak mau."

"Apalagi misal ke acara ulang tahun. Kenyang saja dapatnya~" Angin bersenandung ketika bagian akhir ucapannya. Gaya bicaranya mengingatkan aku pada si kura-kura dalam animasi Pada Zaman Bahulak.

"Maaf aku telat."

Kami berlima langsung memutar tubuh kami melengoki suara barusan. Air dengan tubuh tidak kalah basah kuyup dariku, kini menenteng kantong plastik berisi entah apa aku tidak tahu. Wajahnya tampak sayu kupandang.

"Air kau tidak apa-apa?" tanya Tanah khawatir.

Air menggeleng; memberi jawaban bahwa dia sehat-sehat saja. Ia menyerahkan apa yang ia tenteng kepada Tanah. Tanah menerimanya, lalu mengecek apa saja yang ada di dalam sana dengan melebarkan kantongnya. Angin dan Petir juga menengok pada isi dari dalam kantong plastik tersebut.

"Air?" panggil Tanah lagi. Aku juga Air menatap wajah yang barusan memanggil nama Air.

"Ada apa?"

"Aku bukannya bilang, untuk membeli sesuai dari daftar yang aku tuliskan padamu?"

Aku menemukan celah untuk membuat semua Boboiboy ragu padanya.

—seandainya aku tidak mengikuti perasaanku, aku yakin Air tidak akan seperti apa yang aku lihat.

-To be Continued-

A/N: Rencana oneshot tapi kayaknya bakal jadi two-shot. Saya lagi jalanin tantangan agar diri ini tidak hiatus menulis. Beberapa hal sudah memancing saya untuk melakukan demikian, makanya mau buat cerita yang sepertinya menggambarkan apa yang buat saya mau berhenti menulis.

Kalian tahu? Review itu sangat berarti bagi author manapun. Memang author seharusnya tidak boleh menulis demi review, namun bagaimana lagi? Karena review, seorang author bisa tetap berkarya untuk memuaskan para readersnya. Jadi saya minta, bagi yang suka dengan cerita manapun yang kalian baca tolong sempatkan review. Kalian bisa sempat baca sampai habis satu cerita, tapi kenapa tidak memberi review yang kurang dari waktu kalian membacanya sendiri?

Terima kasih yang sudah mengerti isi A/N saya, maupun yang telah menjadi pelanggan setia membaca karya saya.