Hiiiiiissssssssssshhhhhh *ceritany itu suara ular*. Wkwkwk, anyway, saia lagi sedikit stress. And voila, terciptalah fic ini. Anyway, just enjoy. BTW, ini masih aman gak kalau saia taruh rated T? Tenang, gak akan ada adult content yang berlebih, cuma sekedar area bar dan minum, itu pun gak yang parah-parah banget *bingung sendiri*
Seluruh karakter dalam fic ini adalah milik Sunrise, saia cuma minjem. Gak bilang-bilang lagi!
Doubt
Gundam Seed/Destiny (c) Sunrise
Ketika keraguan itu muncul, semuanya menjadi serba salah. Kehadiran pria itu, menambah keruh keadaan...
Membuat semua yang jelas menjadi buram dan kabur...
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Hujan turun secara tiba-tiba sore ini, membuat para pekerja kantor enggan keluar dari ruangan mereka, meski sekarang sudah waktunya pulang. Bagi mereka yang membawa kendaraan, mungkin akan memilih untuk menerobos hujan, sedangkan mereka yang tidak, memilih untuk menunggu taksi. Hujan membawa berkah untuk beberapa orang, ada juga yang merasa dirugikan. Para pengemudi taksi sengaja melaju dengan lambat untuk mencari penumpang, bunyi klakson saling bersahutan satu sama lain, seolah ingin mengalahkan suara hujan yang turun, atau meredam teriakan frustasi para pengendara, atau mereka yang tidak mendapat taksi.
Seorang wanita berambut pirang keluar dari gedung perkantoran dengan tergesa-gesa, wajahnya sedikit panik ketika melihat langit sore yang cerah di utara, namun mendung kelam di atas kepalanya. "Oh, ayolah!" Paling tidak dia tidak kehujanan sebab dia terlindungi oleh atap.
"Selamat sore, Cagalli-Sama." sapa seorang pria berambut hitam dari belakang Cagalli.
"Oh, selamat sore, Reverend." Cagalli tersenyum, tapi senyumnya terlihat tidak senang. Bukan karena disapa oleh Reverend, tapi karena hujan yang turun dan membasahi permukaan bumi tanpa ampun.
Reverend mendekati Cagalli, dan bersuara dari balik punggung wanita tersebut. "Tidak ada yang menjemput anda, Cagalli-Sama?"
Cagalli meraih handphone flip dari kantong mantelnya, kemudian beralih ke wajah Reverend. "Sayangnya tidak. Mungkin Athrun sedang sibuk..."
"Nampaknya anda sudah serius menjalin hubungan dengan Athrun-Kun..." kata Reverend pelan.
Pupil mata Cagalli membesar, dia bingung harus menjawab apa. Akhirnya dia hanya memilih untuk tersenyum, paling tidak, Reverend tidak dapat melihat keraguan dalam senyum indah Cagalli. Ekor matanya melihat sebuah taksi mendekati dirinya. "Maaf, aku duluan, Reverend."
Pria berambut panjang itu mengangguk pelan. "Hati-hati, Cagalli-Sama."
Cagalli menggunakan tangannya sebagai pelindung kepala dan segera berlari untuk menghentikan taksi. Namun dia kurang cepat, sebab seorang pria berambut hitam telah lebih dulu memanggil taksi tersebut. Cagalli dan pria itu sempat saling tatap untuk beberapa saat, jarak keduanya tidak terlalu jauh, jadi Cagalli bisa melihat warna merah marun mata pria tersebut. Hanya beberapa detik kejadian itu berlangsung, hingga akhirnya taksi yang membawa si pria menghilang dari sudut pandang Cagalli.
"Grah!" gerutu Cagalli setelah dia tersadar bahwa taksi yang ingin dia hentikan telah direbut oleh orang lain.
Di belakang, Reverend hanya bisa tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala. Meski tidak bisa melihat apa yang terjadi, dia bisa mengira-ngira, bahwa nampaknya Cagalli tidak mendapatkan taksi yang dia tunggu.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Di salah satu sudut kota yang padat, terdapat sebuah bangunan kecil yang terlihat nyaman. Terdapat tulisan 'Legend's Bar' di pintu masuknya, serta peringatan bahwa bagi mereka yang berusia di bawah dua puluh satu tahun dan mereka yang tidak membawa kartu identitas tidak boleh masuk. Namun jika memenuhi persyaratan, silahkan melangkah masuk, dan pengunjung akan disuguhi dengan nuansa bar yang nyaman dan ramah. Tempat yang cocok untuk melepas lelah setelah pulang kerja, setelah seharian penuh dimarahi oleh atasan, menggalau karena bertengkar dengan pasangan, atau hanya ingin sekedar menikmati minuman yang disediakan di bar ini sambil mengamati pengunjung yang lain.
Terdapat beberapa sofa yang terbuat dari kulit berkualitas terbaik tertata rapi mengelilingi meja bundar, atau meja kotak yang berwarna cokelat tua. Lantainya terbuat dari kayu, begitu juga dengan dindingnya. Sebuah televisi berukuran besar tergantung di atas konter bar, satu lagi di sudut kiri bar. Konter bar terbuat dari marmer, sementara rak di belakang konter dipenuhi dengan berbagai jenis minuman. Ada sekitar enam mangkok yang berisi kacang, berdampingan dengan asbak yang terbuat dari kaca. Ada sepuluh kursi tinggi yang berada di dekat konter bar. Di pojok kanan terdapat mesin jukebox yang terlihat sudah agak usang, ditemani oleh meja billiard.
Bar baru buka jam enam sore, itu artinya baru setengah jam yang lalu tulisan 'open' dipasang di pintu masuk. Suda ada pengunjung yang duduk di kursi dekat konter bar, ada juga yang asyik bermain billiard sendiri sambil meneguk bir langsung dari botolnya.
'Triiing'
Terdengar bunyi lonceng. Memang ada sebuah lonceng terpasang di atas pintu masuk, untuk memberikan tanda bahwa ada seorang pengunjung yang datang.
Sang bartender berambut pirang yang tengah mengelap gelas menghentikan kegiatannya, lalu menatap si pengunjung. Ia memberikan senyum terbaiknya. "Selamat datang di Legend's Bar."
"Hai, Rey." sapa si pengunjung wanita berambut pirang.
Bartender bernama Rey itu tersenyum. "Halo, Cagalli. Tumben datang sendiri."
Cagalli melepaskan syal warna kuning keemasan yang melingkar di lehernya, dilanjutkan dengan jaket cokelatnya. "Athrun tidak menjawab pesanku. Mungkin dia sedang sibuk."
Rey menuangkan sebuah minuman untuk Cagalli. "Bagaimana pekerjaan hari ini?"
Cagalli menciumi aroma wine tersebut sebelum mengecapnya, kemudian meneguknya sekali. "Aaaaah, nikmati..." Cagalli menjilat bibirnya. "Pekerjaan?" ia tertawa miris. "Kacau! Perusahaanku ingin mendapatkan proyek untuk pembangunan rumah sakit di pusat kota Orb."
Alis Rey naik sebelah. "Bukannya proyek itu sudah dibatalkan sebelumnya?"
Cagalli meneguk minumannya sampai habis sebelum menjawab pertanyaan Rey. "Gilbert nampaknya berhasil membuat Siegel Clyne berubah pikiran."
"Itu Gilbert Durandal untukmu." Rey tersenyum.
Cagalli hendak mengatakan sesuatu, namun terhenti ketika handphone di dalam kantong jaketnya, dengan tergesa-gesa Cagalli mengambil handphonenya, wajahnya langsung berseri. Cagalli mengucapkan nama Athrun tanpa suara, kemudian menggunakan gestur tubuh kepada Rey untuk pamit sebentar. Sang bartender mempersilahkannya dengan sebuah anggukan pelan. Dan Rey mengalihkan perhatiannya ke seorang pelanggan yang meminta agar minumannya diisi lagi.
Tidak sampai lima menit Cagalli sudah kembali, wajahnya lebih kusut dan kacau dibandingkan dengan yang pertama. Rey tidak bicara apa-apa, mengambil gelas Cagalli dan mengisinya dengan jenis minuman yang sama, dan menunggu agar Cagalli bicara terlebih dulu.
Satu helaan nafas panjang dikeluarkan oleh Cagalli. Rey sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara, tetapi dia tetap diam, dan membiarkan Cagalli untuk memulai percakapan. Dan sambil menunggu, Rey menyibukan diri sambil mengelap gelas.
"Dia bilang dia tadi harus mengikuti rapat dari pagi, dan baru selesai barusan." bisik Cagalli dengan lirih.
"Rapat dari pagi?" Rey mengulang pernyataan Cagalli, dan mengubahnya menjadi pertanyaan.
Cagalli hanya mengangkat bahu. "Dia bilang begitu. Tetapi... Entah kenapa, aku meragukannya..."
Rey masih membisu, dia terus menunggu hingga Cagalli selesai menyuarakan apa yang dia pikirkan saat ini. "Aku, aku mulai meragukan perasaan Athrun..."
Baru sekarang Rey memberikan reaksi. Yaitu berupa tatapan tidak percaya, serta tangan yang tiba-tiba berhenti bergerak saking terkejutnya. Mulutnya terbuka sedikit. "Kau, kau, serius?" tanyanya dengan gagap.
Cagalli menggoyang-goyangkan gelasnya yang masih berisi. "Aku rasa begitu..."
Kening Rey berkerut. "Jangan asal menuduh, Cagalli. Kau tidak memiliki bukti."
Cagalli kembali menghembuskan nafas kecewa. Dia tidak berkata apa-apa, semua yang hendak dia katakan telah ia telan kembali, bersama dengan minuman yang baru saja ia tenggak.
Rey tahu bahwa Cagalli tidak mau diganggu, itu bisa terlihat dari sorot matanya. Rey akhirnya menghembuskan nafas pelan, dan mengalihkan perhatiannya ke arah jalan yang mulai ramai setelah hujan berhenti. Para manusia akhirnya bisa kembali beraktifitas seperti biasa.
"Apa kau mau membantuku, Rey?" tanya Cagalli memecah keheningan.
"Untuk?"
Cagalli menyembunyikan wajahnya ke bawah. Dia tidak sanggup menatap wajah pria berambut pirang itu. "Memastikan perasaan Athrun kepadaku."
Biasanya Cagalli tidak pernah membuat Rey sampai mengerutkan kening, tapi kali ini, dia telah melakukannya sampai dua kali. "Bukankah lebih mudah jika kau bertanya langsung?"
"Aku... terlalu malu."
Rey menggeleng pelan. "Hanya itu satu-satunya cara, Cagalli."
"Tidak, pasti ada cara lain..." Cagalli melipat bibir bawahnya.
Rey yang tidak memiliki ide apa pun akhirnya menyerah, dan kembali sibuk melayani pengunjung bar yang mulai ramai.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Hari ini adalah hari terakhir diskon besar-besaran di swalayan dekat kantornya. Cagalli sudah lama tidak makan daging, jadi dia memutuskan untuk pergi ke swalayan dan membeli daging kualitas tinggi itu. Tapi dia lupa, bahwa swalayan saat hari terakhir diskon adalah medan perang, dan siapa yang datang ke medan perang tanpa persiapan apa-apa, dia sudah kalah sebelum perang dimulai. Dan Cagalli mengalami hal itu.
Dia hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka lebar saat melihat segerombolan ibu-ibu, bapak-bapak hingga anak kecil yang memenuhi swalayan. Untuk mencapai tempat daging, dia harus melewati lautan manusia yang nampaknya lebih beringas dari beruang kutub yang sedang kelaparan. Cagalli sempat mengurungkan niatnya, mungkin dia memang ditakdirkan untuk tidak makan daging hari ini. Tapi niatnya musnah, ketika dia melihat celah untuk masuk. Dengan kecepatan kilat yang entah dia dapatkan darimana, Cagalli melesat masuk, menerobos gerembolan anak-anak yang sedang mengubek-ubek kumpulan mainan yang terbuat dari karet. Perjuangannya tidak berhenti sampai situ, dia masih harus melawan sekumpulan ibu-ibu yang sedang berebutan pakaian yang sedang diskon hingga 90%, lalu para pria yang sedang khusyuk melihat televisi berukuran besar yang sedang menyiarkan siaran pertandingan bola secara langsung.
Perjuangan Cagalli hampir selesai ketika tangannya terulur untuk mengambil daging yang didiskon tersebut. Tetapi sayangnya, seorang pria lebih cepat darinya, dia telah mengambil daging yang hanya tinggal satu itu. Cagalli berteriak frustasi, dan melirik pria brengsek yang telah merebut jackpot yang telah ia dambakan semenjak menginjakkan kaki di swalayan ini.
"KAU!" pekik Cagalli saat melihat siapa pria menyebalkan itu. Dia adalah pria yang sama yang telah mencuri taksinya seminggu silam.
Tetapi si pria hanya mengeritkan kening, dan tidak menggubris teriakan frustasi Cagalli dengan melenggang pergi seolah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.
Cagalli ingin mengejarnya, tetapi lautan manusia menghentikan langkahnya. Teriakan Cagalli bertambah keras karena dia terjebak dalam lautan manusia yang haus akan diskon.
Malamnya Cagalli datang ke bar dengan wajah cemberut, membuat beberapa pengunjung sedikit ngeri. Rey tidak terkecuali, tetapi hanya saja dia adalah pemilik bar ini, dan dia sudah kenal Cagalli selama lima tahun. Dia tahu, jika Cagalli cemberut, sesuatu yang sangat menyebalkan terjadi kepadanya hari itu. Dia bukan tipe orang yang suka menunjukkan perasaan dengan mudah, tetapi jika dia sudah melakukannya, perasaan itu akan terbaca sangat jelas.
Rey tidak berkata apa-apa, dia masih menyayangi nyawanya. Dia tidak mau kejadian yang menimpa saudara kembar Cagalli, Kira, terjadi kepadanya juga. Walau mereka bersaudara, Cagalli tidak akan pandang bulu, dia tetap menghajar Kira hingga pria itu tidak sadarkan diri karena Kira menganggunya di saat yang tidak tepat. Jadi dia membiarkan sang singa untuk tenang terlebih dulu. Tetapi Rey tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang bartender, yaitu menyediakan minuman bagi pelanggannya.
Cagalli menenggak habis minumannya tanpa babibu, kemudian meletekkan gelas tersebut dengan kasar ke atas meja. Membuat pengunjung yang duduk di dekat Cagalli bergedik ngeri. "Pria itu menyebalkan!"
Rey mengeritkan kening. Apa pria yang dia maksud adalah Athrun? Tidak, jika iya, Cagalli tidak mungkin menyebutnya sebagai 'pria itu'. Lalu, siapa? "Siapa yang kau bicarakan?"
"Pria yang mencuri taksiku seminggu yang lalu!" Cagalli menarik rambutnya ke bawah karena kesal. "Kau tahu, tadi dia kembali merebut apa yang seharusnya menjadi milikku! Dia merebut dagingku!"
Rey hanya bisa mengangkat alis, atau terkadang mengerutkan kening karena dia bingung harus menjawab apa. Dia tahu bahwa minggu kemarin, ada seseorang yang menyerebot Cagalli saat dia menunggu taksi. Dan sekarang, orang yang sama, telah berhasil membuat Cagalli kesal untuk yang kedua kalinya? Dalam hati Rey berdoa supaya Cagalli tidak mengetahui nama pria itu, atau hanya tinggal namalah yang akan tersisa dari si pria misterius tersebut.
Belum sempat Cagalli kembali mengeluh, seorang pengunjung wanita berteriak. "Jadi selama ini, kau hanya pura-pura menjadi kekasihnya? Untuk apa!?"
Seluruh pengunjung menatap sumber suara, yang ternyata sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita berambut pendek. Dengan wajah merah menyala, dia meminta agar temannya menurunkan volume suaranya. Cagalli yang tadinya kesal dan marah, seketika itu juga berubah menjadi ceria.
"Aku tahu, Rey!"
Kening Rey semakin berkerut, dia jadi tampak lebih tua lima tahun. "Apa?"
"Maukah kau berpura-pura jadi pacarku? Untuk memastikan perasaan Athrun kepadaku!"
Baru kali ini, dan semoga hanya kali ini, Rey menjatuhkan gelas yang sedang ia bersihkan. Gelas berukuran kecil itu hancur berantakan saat menabrak lantai. Sekarang seluruh tatapan terarah ke si pemilik bar. Sepi, tidak ada jawaban apa-apa. Dan para penonton yang kecewa karena Rey tidak memberikan reaksi apa-apa akhirnya memilih untuk kembali ke kesibukan mereka sebelumnya yang telah tertunda untuk beberapa detik.
Cagalli memasang tampang memohon, membuat Rey jadi tambah bingung. Dengan susah payah dia membersihkan serpihan kaca agar tidak melukai kakinya. Setelah beres, dia kembali menatap Cagalli dengan serius.
"Apa kau sedang demam, Cagalli? Kau tahu hal itu tidak mungkin, sebab Athrun tahu siapa aku, dan apa hubungan kita..."
"Oh, ayolah, Rey!" Cagalli mengangkat kedua tangannya ke atas sebagai tanda kekecewaannya.
Rey kembali menggeleng. "Ide buruk, Cagalli. Sudah aku katakan, tanyakan langsung kepada Athrun."
"Dan sudah aku katakan kepadamu, aku malu..." bisik Cagalli dengan suara mendesis.
"Maaf, tapi aku tidak bisa membantumu."
Cagalli menjatuhkan dagunya ke atas konter dengan penuh kekecewaan. Tapi dia tahu, bahwa rencana itu bagus. Dia hanya perlu menemukan orang yang tepat...
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Malam ini sangat indah, langit hitam berhiaskan bintang, dan rembulan tidak malu-malu untuk muncul dan menyapa para manusia. Tetapi untuk Cagalli, bukan itu yang membuatnya bahagia, bukan langit malam. Tetapi pria yang akan menjemputnya untuk makan malam bersama. Sebetulnya Cagalli benci gaun, namun malam ini, dia harus melakukan pengecualian. Khusus malam ini. Hanya untuk malam ini.
Cagalli menunggu di depan restoran tempat mereka berjanjian dengan perasaan gugup. Sudah hampir sebulan lebih mereka tidak berjumpa. Terlihat beberapa pasangan keluar masuk restoran dengan bangunan bergaya arsitektur neo-gothik tersebut. Restoran ini memang sangat terkenal, bahkan harus melakukan pemesanan dari berbulan-bulan sebelumnya, atau tidak akan mendapatkan tempat.
Setengah jam, satu jam, dua jam berlalu lebih lama daripada seharusnya untuk Cagalli. Sudah hampir seratus kali Cagalli menelepon Athrun, namun pria itu tidak mengangkatnya, pesan singkat juga tidak digubris. Seorang pelayan sempat bertanya kepada Cagalli apakah dia ingin masuk atau tidak, sebab ada seseorang yang membatalkan pemesanan tempat, tapi Cagalli menolak dan mengatakan bahwa dia ingin menunggu. Hingga tiga jam lebih, orang yang ditunggu tidak kunjung datang. Kerumunan orang semakin berkurang, bahkan restoran nampaknya akan segera tutup.
Angin malam berhembus kencang, dinginnya seolah mengoyak hati Cagalli yang telah terluka. Cagalli menahan agar tangisnya tidak pecah, dia menggenggam ponselnya seerat mungkin. Dengan perasaan campur aduk, Cagalli memanggil taksi. Sekarang, hanya ada satu tempat yang ingin dia datangi. Hanya satu orang yang ingin dia temui...
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Mata hazel tersebut tidak bisa melihat dengan jelas, sebab terhalang dengan genangan air mata di kelopak matanya. Tetapi dia bisa mengenali seseorang yang sedang duduk di tempat yang biasa dia duduki. Pria itu, pria yang telah merebut taksinya dan daging diskon yang sangat didambakan oleh Cagalli...
Seharusnya Cagalli tidak perlu marah, paling tidak, tidak semarah ini, tetapi pria itu muncul disaat yang tidak tepat. Dengan jantung berdebar yang lebih cepat, Cagalli melangkah masuk ke dalam. Rey yang tadinya ingin menyapa Cagalli menghentikan niatnya ketika Cagalli mencengkram lengan pria berambut hitam yang sedang sibuk membuka kulit kacang.
"KAU! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!" tanya Cagalli penuh emosi.
Suara tinggi Cagalli berhasil membuatnya menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat, semua orang terdiam, hening.
Pria tersebut mendelik kesal. "Kau siapa? Dan kenapa kau..."
Belum selesai pria itu bicara, Cagalli sudah mencengkram kerah kemeja putihnya. Gigi Cagalli saling beradu, dia berusaha menekan amarahnya, usaha itu nyaris sia-sia jika saja Rey tidak menyentuh pundak Cagalli dengan lembut. Sentuhan tangan Rey yang hangat seolah menyadarkan Cagalli, memberikan hawa panas ke tubuhnya yang dingin membeku. Dengan gerakan lambat dia melepaskan cengkramannya, lalu duduk di samping pria tersebut.
Rey mengambil inisiatif, dia keluar dari tempatnya berdiri, berlutut di hadapan Cagalli. Menyentuh pipi wanita itu dengan jari telunjuknya. Rey terkejut, pipinya sangat dingin. Apa yang dilakukan Cagalli hingga dia kedinginan seperti ini? Pria bermata abu-abu itu melepaskan vest warna hitam yang ia gunakan, kemudian memakaikannya ke Cagalli. Memang belum cukup, tapi setidaknya itu bisa membuatnya hangat. Dengan lembut Rey menarik tubuh Cagalli untuk masuk ke dalam pelukannya, setengah berteriak, Rey meminta agar salah satu staffnya mengambil posisinya untuk sementara waktu.
Seluruh mata terus tertuju kepada dua orang yang sedang bergerak dengan tertatih-tatih menuju ruangan belakang. Dan diantara pasang mata tersebut, terdapat mata bewarna merah marun yang tidak pernah lepas dari kedua sosok tersebut hingga menghilang di balik pintu. Dia pun berdiri dan pergi ke arah yang sama.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Rey menuntun Cagalli yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya ke sofa di ruang istirahat yang berada di bagian belakang bar, kemudian mendudukkannya dengan posisi kepala bersandar ke tembok berwarna cokelat muda. Rey berlari ke ujung ruangan untuk mengambil sebuah selimut yang memang selalu disediakan oleh Rey, sebab terkadang ada pelanggan yang saking mabuknya tidak bisa pulang, sehingga mau tidak mau harus menginap di sini. Rey menyelimuti tubuh Cagalli, lalu beralih ke meja yang terdapat alat untuk membuat kopi panas.
Isak tangis tiba-tiba mengisi ruangan berukuran 2x3 itu, Rey yang terkejut langsung meninggalkan alat pembuat kopi, dan berlutut di hadapan Cagalli. Wajahnya terlihat prihatin, tetapi dia belum bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Cagalli. Rey mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi pipi wanita yang malam ini mengenakan gaun berwarna hijau muda yang memperlihatkan pundaknya. Suara mesin membuat Rey sedikit terloncat, ia pun berjalan untuk mengambil kopi yang telah jadi.
Aroma kopi segera memenuhi ruang istirahat para staff, Cagalli masih belum berkata apa-apa, Rey sibuk dengan berbagai spekulasi dalam benaknya, sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangan tersebut.
"Maaf," ucapnya pelan dan sedikit gugup. "tapi aku tidak bermaksud..." pria berambut hitam itu menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
Emosi Cagalli yang tadinya sudah stabil kembali memuncak, dengan gerakan cepat dia berjalan ke arah pria tersebut. Dia ingin menamparnya, namun tangannya berhasil ditahan.
"Hei, hei, apa-apaan ini?!" tanyanya dengan penuh emosi. "Kenapa kau ingin menamparku segala?!"
Rey yang sudah berdiri di belakang Cagalli menarik wanita itu mundur. "Hentikan, Cagalli." kemudian matanya beralih ke pria di hadapannya. "Lebih baik kau pergi sekarang. Aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan sehingga Cagalli ingin menamparmu, tapi sekarang lebih baik jika kau keluar."
Pria itu sedikit kesal karena dia dituduh melakukan hal yang rasanya tidak dia lakukan. Dengan wajah tersinggung dia berkata. "Baiklah. Tapi paling tidak, aku punya nama. Shinn Asuka, tolong ingat itu. Dan jika perempuan itu sudah bisa mengendalikan diri, bisa tolong katakan padanya untuk mencariku? Sebab aku membutuhkan penjelasan atas sikapnya ini."
Rey mengangguk paham, kemudian menggunakan dagu lancipnya dia menunjuk arah pintu keluar. Shinn, tanpa perlu disuruh untuk ketiga kalinya, keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Cagalli yang tengah menangis tersendu-sendu dalam pelukan Rey.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Esok harinya suasana bar tidak begitu ramai, apa ini karena hujan yang turun sedari siang tadi? Apa pun alasannya, bar tetap buka. Dan Rey tetap sibuk membersihkan gelas-gelas kecil untuk para pelanggannya minum.
'Triiing'
Rey mengangkat kepalanya sesaat untuk melihat siapa yang masuk, ternyata Shinn. Pria itu membuka tudung kepalanya. Mata merah marunnya menyapu seluruh ruangan, dan kembali lagi ke titik pusat, tempat Rey berdiri. Ia pun berjalan menuju konter bar.
"Dia belum datang?" tanya Shinn pelan.
"Jika sudah, dia pasti akan muncul 'kan?" Rey balik bertanya.
Shinn berdecak kesal. Sambil menunggu, Shinn memesan minuman. Satu gelas, dua gelas... lima gelas, tapi yang ditunggu belum muncul juga. Shinn sempat berpikir untuk pergi, tapi penantiannya membuahkan hasil, Cagalli masuk ke dalam bar dengan kondisi kacau. Seperti orang yang baru bangun tidur, dan terkena badai. Shinn mengerutkan kening, begitu juga dengan Rey serta beberapa pengunjung lainnya.
Cagalli duduk di samping Shinn, dia sempat memutar matanya bosan karena melihat sosok Shinn. Keduanya diam, tidak berkata apa-apa. Hingga Cagalli berkata.
"Apa yang kau inginkan?"
"Penjelasan atas sikapmu kemarin. Memangnya aku salah apa?"
Cagalli memutar tubuhnya, sekarang dia dan Shinn saling berhadapan. Cagalli baru menyadari bahwa pria ini lumayan tampan, dia memiliki aura yang berbeda dari Athrun. Shinn masih memancarkan hawa remaja laki-laki, beda dengan Athrun yang sudah menjadi pria dewasa. Hidungnya mancung, dagunya agak lancip, bibirnya tipis. Alisnya cukup tebal. Tubuhnya lumayan terbentuk, itu terlihat dari kaos yang ia kenakan. Kaos tersebut menempel cukup lekat di badannya, hingga mencetak otot-otot tubuhnya.
"Kau, pria menyebalkan, telah mencuri taksiku, dan mengambil daging yang seharusnya menjadi milikku!" kata Cagalli penuh emosi.
Kening Shinn berkerut. "Sungguh?"
"Ya! Apa kau lupa?!"
Shinn berpikir sejenak, kemudian mulutnya membentuk huruf o. "Ah ya, aku ingat sekarang. Maaf, waktu itu aku sedang terburu-buru."
"Semua orang terburu-buru, bung, bukan hanya kau saja." cibir Cagalli.
"Maaf, aku sungguh minta maaf." Shinn kembali meminta maaf. "Semarah itukah kau kepadaku hanya karena aku merebut taksimu? Atau ini juga karena daging itu?"
Cagalli menghembuskan nafas. Dia bingung bagaimana harus menjelaskannya. Semalam, sebetulnya itu bukan salah Shinn seratus persen. Dia yang salah, sebab tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri.
"Shinn Asuka." suara bariton Shinn menghentikan keheningan yang sempat tercipta di antara keduanya. Tangannya terulur ke depan.
Cagalli sempat bingung, tetapi akhirnya menerima uluran tersebut. "Cagalli. Cagalli Yula Athha."
Shinn tersenyum. "Jadi, apakah salah paham ini bisa kita lupakan?"
"Itu bukan salah paham, Shinn Asuka!" gerutu Cagalli.
Shinn menyengir lebar. "Ok, maaf. Hei, aku sudah minta maaf kepadamu. Apa lagi yang kau mau?"
Cagalli terdiam beberapa saat, dan kemudian sebuah ide gila muncul dalam benaknya.
"Kau mau menjadi kekasihku?"
Gyahahahah, endingny gantung yah? Tadiny saia pengen bikin jadi One-Shot, tapi sekali-sekali pengen nyoba bikin Two-Shot. Kheheheheh. Dan sebetuly ada niat untuk membuat versi Athrun, tapi rasaaaany, saia gak bisa bikin Athrun jadi melankolis abis. Jadi saia pake Cagalli deh, gyahahah *ditembak pake beam Cannonny Strike Rouge*
BTW, ini fic ke-12 saia loooh di fandom ini, seneng deh *tebar bunga*. Tapi di sisi lain, saia sedih, karena kehilangan jiwa Cannon saia untuk fandom ini *garuk-garuk tanah di pojokan*
Silahkan mulai menebak, kira-kira siapa yang akan mendapatkan Cagalli. Fufufufufufu
