Fic kilat(?) yang saya ketik dalam waktu 2 hari. Untuk IVFA 2nd Periode: GAME.
Disclaimer:
Vocaloid © Yamaha
Kagamine Len, Hatsune Miku, Megurine Luka © Crypton Future Media LTD
Kamui Gakupo, Gumi © INTERNET Co. LTD
Golden Star © Hime Uguisu
Summary:
For IVFA 2nd Periode: GAME. Peraturan dari Golden Star itu sangat mudah. 'Bertahan hidup hingga akhir permainan dan kumpulkan lencana emas apapun yang terjadi'. Sebuah peraturan yang sangat sederhana, bukan? M for Bloody Scene. RnR
Golden Star
A
Vocaloid Fanfic
By
Hime Uguisu
For
Indonesian Vocaloid Fanfiction Award
2nd Periode: GAME
Malam di mana sinar rembulan menerangi gelapnya langit. Keheningan menusuk sangat terasa. Namun dengan cepat keheningan itu dipatahkan oleh suara derap langkah kaki. Perlahan dan semakin cepat. Jelas terdengar suara dedaunan kering yang terinjak. Sesekali percikan air juga ikut bersuara kala kaki-kaki itu menginjak tiap genangan yang ia lewati. Sungguh, ia tak pernah menghiraukan tetesan air yang terpencar dari kawanannya itu. Tujuannya hanya satu. Pergi sejauh mungkin. Bahkan embusan angin yang memainkan helaian rambutnya pun ia abaikan. Itu semua karena yang ada dalam pikirannya saat ini hanya bagaimana cara terbebas dari jerat maut. Melarikan diri dari seorang 'malaikat pencabut nyawa' yang terus mengejarnya. Di genggamnya lencana berbentuk bintang emas miliknya. Tepat saat ia hendak melangkah lagi, napasnya terasa terhenti. Bahkan bibir itu hanya dapat terdiam melihat sesuatu di hadapannya.
"Aku akan mengambil lencanamu," ucap seorang pemuda bersurai pirang yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu melukiskan sebuah senyuman yang artinya sama sekali tak ingin dipedulikan oleh pemuda yang tengah berlari sejak tadi. Walau ia tahu pasti apa arti dibalik senyuman dingin itu. Pemuda pirang tersebut senantiasa menggenggam sebuah pedang di tangannya. Dan dalam hitungan detik, pedang itu telah berlumuran darah dan sebuah kepala terjatuh dengan indahnya. Menyentuh genangan air yang telah diabaikan olehnya saat berlari tadi. Setelah melakukan itu, pemuda pirang tersebut berjalan mendekati tubuh tanpa kepala yang tergeletak begitu saja. Darah bercampur dengan tanah basah menodai tubuh tak bernyawa itu. Dengan rasa tak bersalah, ia mengambil paksa lencana emas yang digenggam oleh tangan yang hampir kaku. Mata emerald miliknya tampak berkilat sempurna saat melihat lencana di tangannya. Berawal dari sebuah senyum sarkastis, dan berganti menjadi sebuah tawa yang amat puas dan mengerikan.
.
.
.
"Dengan begini hilanglah satu anak yang tersesat lagi." Seorang pria tampak tersenyum menatap layar monitor di hadapannya. Layar itu menunjukkan segala sesuatu yang terjadi di hutan yang tampak tak ada penghuninya. Namun, dibalik seluruh rimbunnya pepohonan itu, dapat terlihat jelas beberapa manusia. Lalu mulailah layar-layar itu menampilkan pemandangan yang amat membuat siapapun yang menyaksikannya merasa ingin muntah. Pembunuhan terjadi di mana-mana. Tangan-tangan dingin yang memegang senjata dan mengejar yang lemah. Bagai sang elang yang siap menangkap mangsanya yang sedang berusaha menyelamatkan diri. Tak ada lagi rasa kemanusiaan dalam sanubari mereka. Jiwa-jiwa tak bersalah itu telah berubah menjadi makhluk tak kenal belas kasih.
"Permainan ini menjadi semakin menarik, ya?" Kini suara wanita yang terdengar. Pria yang tengah duduk sejak tadi itu tersenyum dan menyentuh pipi sang wanita.
"Ya, kau benar, Luka," balas sang pria sambil terus menatap wanita bersurai merah muda yang setia berdiri di sisinya.
"Kita lihat saja siapa yang akan menang dari permainan Golden Star ini, Gakupo-sama." Wanita itu tersenyum sinis menatap layar monitor di hadapannya.
Mereka sedang mengawasi para 'peserta' yang tengah bertarung dengan mengerahkan seluruh yang mereka miliki demi memenangkan sebuah 'permainan gila' yang mereka sebut dengan Golden Star. Pria bernama Gakupo itulah yang mengadakan permainan tersebut. Ia adalah seorang pengusaha terkaya denga harta yang sudah tak ternilai lagi jumlahnya. Apapun yang ia inginkan dapat diperolehnya dengan mudah. Bahkan wanita sekalipun. Namun, anehnya pria itu belum menikah hingga kini. Pria itu juga tak memiliki keturunan ataupun keluarga. Dan saat ini pria beriris violet itu menderita penyakit parah yang menyebabkan hidupnya tak lama lagi.
Karena itu ia menciptakan sebuah permainan. Di mana sang pemenang akan menjadi pewaris dari seluruh kekayaannya. Banyak orang yang kekurangan dari segi ekonomi pun mendaftar. Tapi kenyataan tersebut juga tak menutup kemungkinan bahwa peserta yang mendaftar dapat berasal dari kaum yang tak kekurangan. Seluruh peserta dikumpulkan di hutan pribadi miliknya. Manusia haus akan dunia itu pun memijakan kaki mereka di hutan rimbun tersebut. Tanpa mereka sadari, mereka telah memasuki pintu neraka dan mengantarkan nyawa mereka untuk 'dilahap' begitu saja.
Peraturan dari Golden Star itu sangat mudah. 'Bertahan hidup hingga akhir permainan dan kumpulkan lencana emas apapun yang terjadi'. Sebuah peraturan yang sangat sederhana, bukan? Para peserta diberi kebebasan untuk melakukan apapun agar bertahan hidup. Mereka juga bebas menggunakan cara apapun untuk merebut lencana emas milik peserta lain. Akan tetapi, hingga permainan berakhir, peserta dilarang meninggalkan hutan, sekalipun ia telah mati. Raga tak bersalah itu pun mulai saling membunuh. Tak peduli pada siapa mereka menancapkan senjata tajam. Bahkan mereka sudah tak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang terpenting adalah, mereka mengumpulkan semua lencana yang ada, dan tetap bertahan hidup.
.
.
.
"Cih, ternyata orang ini memang hanya memiliki satu lencana," gerutu seorang pemuda yang baru saja selesai mengacak-acak tubuh seseorang. Len, pemuda berambut pirang yang menjadi salah satu peserta dari permainan Golden Star itu. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang walaupun belum lama menjadi seorang pembunuh, ia telah menjadi seorang pembunuh yang handal. Terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin.
"Ini sudah hari ke-2 sejak permainan dimulai. Aku baru memiliki 5 lencana termasuk milikku sendiri. Total peserta ada 20 orang termasuk aku di dalamnya. Haah.. Berapa orang lagi yang masih hidup di hutan ini, ya?" Len berjalan menjauhi tubuh tak berjiwa itu. Meninggalkannya begitu saja bagai seonggok sampah yang tak bernilai lagi. Ia mendekati pohon besar. Duduk bersandar pada batang pohon yang tampak telah berusia puluhan tahun. Menghela napas berat. Ia merasa lelah. Baru saja kelopak itu akan menutupi permata emerald sang empunya, indera pendengarannya telah diusik oleh adanya suara asing. Gesekkan antar rerumputan.
Ia tak melakukan apapun walau sudah tahu bahwa sesuatu bersembunyi tepat di belakang semak-semak tak jauh darinya. Tangannya masih senantiasa memegang pedang dengan erat. Seluruh lencana yang ia miliki telah ditaruhnya ke dalam saku celananya yang dilengkapi dengan resleting. Matanya mengawasi dengan waspada. Bahkan dedaunan yang terembus angin pun tak luput dari perhatiannya. Napasnya semakin dibuatnya terdengar halus.
"Serahkan lencanamu, Kagamine Len!" Tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik semak-semak tadi. Len secara refleks melompat menjauh dari tempatnya bersantai semula. Ia melihatnya dengan jelas. Sosok yang tadi berusaha menyerangnya. Gadis itu tampak manis dengan rambutnya yang diikat dua dan berwarna tosca. Matanya yang terlihat senada serta senyuman manisnya menambah kesan 'cantik' gadis itu. Namun tampaknya hal tersebut tak dapat menarik perhatian Sang Kagamine Len. Terbukti dengan ekspresi pemuda itu yang bahkan tak menggerakan alisnya sama sekali. Senyuman manis itu masih terlihat menawan hingga menghilang dan digantikan dengan senyuman mengerikan.
"Kau tahu, Len? Aku sudah begitu lama menunggu saat ini tiba. Menunggu untuk merasakan sensasi hebat saat hangatnya darahmu menyentuh kulitku, Saat kau menjadi pembunuh bayaran untuk membunuhku, saat aku melihat mata hampa itu, aku benar-benar ingin menghancurkanmu," ucapnya seperti bisikan. Ia memegang kedua pipinya sambil terus menampakkan sebuah senyuman seorang psycho. Merahnya darah yang mengotori tangannya, kini jadi ikut mengotori paras manisnya. Gadis itu semakin mendekati Len. "Bagaimana rasanya jika yang ada di tanganku ini adalah darahmu, ya?" tanyanya sambil menjilat jemari di tangan kanannya dengan gerakan perlahan. Membiarkan darah itu menyentuh lidahnya.
"Hatsune Miku, lama tak bertemu, ya. Aku tak menyangka putri dari keluarga kaya sepertimu akan mengikuti permainan bodoh seperti ini. Menyedihkan sekali," ujar Len. Bibir itu tersenyum dengan makna meremehkan gadis di hadapannya.
"Kau jangan salah paham dulu, Len. Aku mengikuti permainan ini bukanlah karena mengincar hadiahnya. Uang tak pernah membuatku bahagia." Gadis itu, Miku, kembali angkat bicara. "Ini semua karena aku sangat menyukai kegiatan dalam permainan ini. Kami bebas untuk saling membunuh. Bukankah itu hebat? Bagiku ini adalah kesempatan terindahku," lanjutnya lagi.
"Huh? Dasar psycho," ujar Len dengan senyuman sinis.
"Terima kasih atas pujiannya, tapi aku tak mau dengar itu darimu!" balas Miku. Saat Len sadari, gadis itu telah berada tepat di belakangnya sambil memegang erat dua buah pisau miliknya. Bercak darah masih tersisa di permukaan pisau yang terlihat sangat tajam itu.
"Baiklah jika kau suka permainan ini. Aku akan menemani kau bermain hingga akhir napasmu!" Kini Len yang memulai serangannya. Ia mengayunkan pedangnya dengan sangat terampil. Namun Miku selalu berusaha menahan pedang itu dengan kedua pisaunya. Walau bukanlah seorang profesional, Miku bukanlah orang awam dalam soal membunuh. Ia telah menjadi psycho cukup lama. Bahkan ia telah membunuh sejak usianya 13 tahun. Karena itu, ia telah cukup menguasai berbagai senjata tajam.
"Bermainlah yang serius denganku, Len!" Miku mempercepat setiap gerakannya. Jika saja Len tak segera menghindar, pasti perutnya telah tertusuk oleh pisau itu.
"Aku memang tak mengerti bagaimana cara bermain yang tidak serius," ujar Len yang kemudian berlari menjauh. Mencoba membawa Miku ke tempat lain. Wilayah sekitarnya saat ini sangat tak menguntungkan baginya. Tanah yang licin serta banyaknya genangan air. Belum lagi tempatnya saat ini begitu sempit. Sesuai perkiraannya, Miku berlari mengikutinya.
"Apa sekarang kau ingin bermain kejar-kejaran denganku?" Dengan cepat Miku mengejar Len. Tepat saat hanya ada sedikit jarak diantara mereka berdua, Miku memperhalus napasnya. Dan secara tiba-tiba ia menendang punggung pemuda pirang itu hingga ia kini tersungkur. Miku memanfaatkan keadaan dengan segera melompat dan menduduki tubuh pemuda itu. Menahan kedua tangannya. "Skakmat, Kagamine Len!" teriak Miku. Gadis itu mengacungkan pisaunya. Menatap Len dengan penuh niatan membunuh.
"Kau tak buruk juga," balas Len. Ia tersenyum, dan mencoba melepaskan diri dari cengkraman kuat Miku. Hingga akhirnya ia berhasil dan menarik tangan gadis itu. Membuatnya jatuh di sebelah Len. Pemuda itu telah membalik keadaannya. Kini ia menduduki perut gadis tosca tersebut. Tak peduli jika ia tak boleh sekasar itu pada seorang gadis. Ini masalah hidup dan matinya. Sekali saja ia lengah dan ragu, maka nyawanya akan berakhir di tangan gadis itu. Len menahan pergelangan tangan Miku. Mencengkramnya dengan sangat kuat. Bahkan dari raut wajah Miku, jelas sekali bahwa ia kesakitan.
"Ke-kenapa bisa begini?!" bentak Miku. Ia benci sekali berada pada posisi yang tak menguntungkan seperti saat ini.
"Kau mau tahu kenapa bisa seperti ini?" Tanya Len. Ia mendekatkan kepalanya ke telinga Miku. "Itu karena kau terlalu lemah untuk melawanku, bodoh," bisiknya dengan nada rendah. Detik berikutnya ia menggigit telinga kiri Miku dengan sangat kuat. Miku menjerit histeris dibuatnya. Apalagi saat Miku merasa telinganya terkena cairan hangat. Darahnya sendiri. Ia semakin berteriak dengan tak terkendali. Seakan mendapat kekuatan lebih, ia berhasil melepaskan diri. Mendorong tubuh Len hingga pemuda itu terjatuh lagi. Keringat dingin mengaliri tubuhnya. Membuat beberapa helai rambut tosca-nya menempel pada lengannya.
"Berani sekali kau!" teriaknya. Miku mulai menyerang Len secara tak terkendali. Len cukup dibuat susah olehnya karena serangan yang diarahkan padanya selalu nyaris mengenai bagian yang vital. "Aku tak akan pernah memaafkanmu!" ia kembali mengamuk.
"Aku juga tak pernah mengharapkan maaf darimu!" balas Len. Ia mengayunkan pedangnya. Menahan pisau-pisau yang terus tertuju padanya. Len yang berjalan mundur dan Miku yang berlari semakin cepat menghampirinya. Tanpa ragu Len menebaskan pedang itu dan tepat mengenai perut gadis dihadapannya. Membuat darah merembes hingga mengotori pakaian Miku.
"Kau memang benar-benar kurang ajar!" Miku mendorong bahu Len hingga membentur batang pohon yang tak jauh dari tempat Len berdiri saat itu. Ia menikam bahu pemuda itu. Tentu saja Len tak tinggal diam. Ia mendorong Miku hingga gadis itu terjatuh ke tanah. Len ikut terduduk di atas tanah yang masih basah akibat hujan beberapa jam yang lalu. Berusaha menahan bahu Miku, walau jujur, Len merasakan kesakitan yang amat sangat akibat tikaman gadis tadi. Bahkan pisau itu masih menancap di sana.
"Kau juga sama saja!" Len mengarahkan pedangnya lagi ke arah Miku. Sekuat tenaga Miku berusaha melawan dan melepaskan diri. Namun tenaga Len yang sedang marah seperti ini terlalu kuat baginya. Ia pun tak dapat menghindar lagi. Teriakannya kembali memenuhi hutan yang semakin gelap. Tanpa ada keraguan, Len menusukkan pedangnya di jantung gadis itu. Darah memuncrat mengenai wajah tampannya. Ia sama sekali tak mempedulikan soal wajahnya. Mata indah Miku masih senantiasa terbelalak sempurna. Bahkan karena terlalu takut menyaksikannya, rembulan sampai bersembunyi di balik kumpulan awan. "Ini adalah akhir bagimu, Hatsune Miku." Senyuman dingin itu kembali terukir lagi di wajah Len. Bibir manis milik gadis tosca itu pun kini telah dinodai oleh darah yang masih menetes dari mulutnya.
Setelah memastikan bahwa jiwa Miku telah tiada, Len melepaskan cengkraman pada bahunya. Membuat raga itu terjatuh begitu saja. Punggungnya menyentuh tanah. Len pun mulai mencari-cari lencana bintang miliknya. Merogoh setiap saku yang terdapat pada bajunya. Bahkan ia tak segan-segan mengacak-acak baju itu hingga ia mendapatkan lencana yang dicarinya.
"Ia memiliki 3 lencana. Lumayan juga. Berarti ia sudah membunuh 2 peserta sebelum ini. Baguslah, kalau begitu sekarang aku sudah memiliki 8 lencana." Len berdiri dari tempatnya semula. Berusaha melepaskan pisau yang masih menancap di bahunya. Ia juga merebut paksa pisau yang masih digenggam oleh Miku. "Lumayan untuk tambahan senjata," gumam pemuda pirang itu. Setelah mendapatkan lencana yang ia butuhkan, Len pun berjalan menjauhi raga tak bernyawa itu. Meninggalkannya membusuk dalam kegelapan sendirian.
.
.
.
Mentari pagi telah menyinari hutan yang masih tampak gelap dan suram. Pergantian hari ini menandakan bahwa permainan memasuki hari ketiga. Len masih terduduk di atas batang pohon yang lumayan tinggi dari tanah. Matanya senantiasa mengawasi keadaan sekitar. Disandarkannya tubuh itu di batang pohon besar yang terdapat di belakangnya. Ia sangat merasa lelah. Yang ia inginkan hanyalah permainan ini segera berakhir. Namun, ia sendiri tak tahu berapa banyak lagi jumlah peserta yang tersisa.
Ia masih kalut dalam pikirannya hingga peluru timah tiba-tiba melintas di sampingnya. Berhasil menggores pipi kanannya. Segera ia kuatkan pegangannya pada pedang yang tak pernah dilepasnya. Matanya menatap tajam ke depan, arah peluru itu datang. Beberapa detik kemudian, peluru itu datang lagi. Len berhasil menghindarinya kali ini. Ia pun melompat turun dari pohon tersebut. Dan sepertinya sang 'penembak' pun ikut turun. Terbukti begitu ia melihat seorang gadis berambut hijau cerah melompat turun dari atas pohon sepertinya. Di tangannya terdapat sebuah pistol.
"Jadi kau yang berani mengganggu istirahat tenangku," ujar Len sambil menunjuk gadis itu dengan pedangnya.
"Kalau iya, apa yang akan kau lakukan? Aku ke sini hanya untuk mengambil lencanamu. Setelah kau memberikan lencanamu, kau boleh kembali beristirahat kok," ucap gadis itu.
"Berani sekali kau berkata begitu padaku. Memangnya kau pikir kau siapa, hah? Apa kau tahu dengan siapa kau sedang berhadapan saat ini, bocah kecil?" Len bertanya dengan senyuman merendahkan.
"Kau bisa memanggilku Gumi. Sekarang perkenalkan dirimu." Gumi tersenyum yakin. Ia memainkan pistol hitam di tangan kanannya.
"Kagamine Len. Kau pernah dengar nama itu?" tanya Len yang sesekali mengayunkan pedangnya pada udara hampa. Dengan hanya melihat penampilan Len yang berlumuran darah saja sudah membuat Gumi merinding, apalagi begitu ia mendengar namanya.
"Oh, jadi kau pembunuh bayaran yang terkenal itu. Aku pernah dengar namamu sebelumnya," balas Gumi. Gadis itu berusaha tampak tenang. Menyembunyikan ketakutan yang hampir saja membuatnya gemetar. Dalam hatinya ia terus mengutuki kebodohannya. Sepertinya ia memang telah salah memilih lawan. Namun, walaupun ketakutan itu terus menyelimutinya, rasanya ia seperti mendapat keyakinan ketika mengingat apa tujuan utamanya mengikuti permainan ini. "Jadi, ayo kita lihat seberapa hebat pembunuh bayaran yang terkenal itu," lanjutnya. Gumi pun berlari menjauh dari Len. Ia mulai menembakan pistolnya.
"Kau hanya berani pertarungan jarak jauh, ya?" Len menatap peluru timah yang melesat menghampirinya. Lalu dengan mudahnya ia menebas peluru timah itu. Membelahnya menjadi dua. Dan tindakannya itu membuat Gumi semakin merinding. Karena gugup, Gumi terus menembaki Len. Saat pelurunya habis, ia segera menggantinya dengan cepat. Len dapat menangkap gerak-gerik Gumi dengan baik. Ia tahu sekali bahwa gadis itu sangat ketakutan walaupun Gumi terus berusaha menyembunyikan hal itu. Len berjalan mendekatinya dengan perlahan. Melihatnya, Gumi semakin sering menekan pelatuk pistolnya. Namun tak satupun peluru itu berhasil mengenai Len lagi. Pedangnya selalu berhasil menangkis setiap peluru yang datang.
"Ternyata kau hebat juga, ya," ujar Gumi masih berusaha menyombongkan diri. Ia berusaha merendahkan Len.
"Aku yang hebat, atau kau yang terlalu lemah?" Pertanyaan Len terdengar sangat sarkastis bagi Gumi. Tepat saat Len hanya beberapa langkah lagi di depan gadis itu, ia kehabisan peluru. Dan Gumi sangat menyadari bahwa tak akan sempat mengisi peluru saat ini. Ia pun memilih untuk berlari menjauh dari Len. "Aku sangat senang saat melihat seseorang yang akan mati, tapi tetap berjuang untuk bertahan hidup lho. Yah, walaupun ia akan tetap mati juga." Sungguh, Gumi tak mau mendengar kalimat terakhir Len tadi.
Gumi pun kini berusaha berlari semakin cepat hingga akhirnya ia tersandung dan jatuh menindih sesuatu. Ia sama sekali tak memperhatikan langkahnya, tapi ia yakin sekali ia tersandung oleh sebuah benda yang cukup besar. Saat ia bangun dan melihat ke bawah, ia sangat terkejut melihat jasad seorang gadis yang berlumuran darah. Rasanya ia ingin sekali berteriak saat itu.
"Gadis yang kau lihat itu adalah Hatsune Miku. Aku baru saja membunuhnya tadi malam. Bagaimana menurutmu?" tanya Len yang telah berada di belakang Gumi. Ia pun memberanikan diri untuk menoleh ke arah Len. Pemuda itu tersenyum sangat ramah ke arahnya. Namun entah mengapa, ia merasa itu adalah senyuman paling mengerikan baginya. "Aku tahu kau takut. Kenapa tidak berteriak saja lalu pulang ke rumah ibumu?"
"Aku sudah tak punya yang seperti itu. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan!" balas Gumi yang tak bisa menahan gemetarnya lagi. Ia memegang pistolnya dengan kuat.
"Panti asuhan, ya? Kalau begitu sebelum kau mati, aku ingin bertanya sesuatu. Kau menggunakan pistol itu karena menghindari pertarungan jarak dekat. Itu berarti kau bukanlah seorang psycho. Lalu, mengapa kau mengikuti permainan ini?" Len menatapnya dengan pandangan biasa saja. Bukanlah dengan pandangan penuh nafsu membunuh seperti sebelum-sebelumnya.
"Aku hanya mengikuti pertandingan ini untuk memenangkan hadiahnya. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk memenuhi kebutuhan panti asuhan tempatku tinggal. Aku sama sekali tak mengira jika aku harus saling membunuh seperti ini!" Gumi bicara dengan nada yang semakin meninggi. Air matanya menggenang dan mengalir begitu saja. Membasahi pipi yang bahkan belum ternodai oleh darah itu. "Aku juga tak pernah ingin membunuh seperti ini!"
"Kau adalah salah seorang yang serius mengincar hadiahnya ya. Sebenarnya sih aku sama sekali tak tertarik dengan hadiahnya. Aku mengikuti permainan ini karena memang sedang tak ada kegiatan lain," ujar Len yang masih belum mempersingkat jarak di antaranya dengan Gumi.
"Kalau begitu, biarkan aku memenangkan pertandingan ini! Kau hanya perlu memberikan lencanamu padaku, kan?" Gumi berusaha memohon. Walau sesungguhnya ia tak yakin Len mau mendengarkannya.
"Tapi sayangnya, aku tak mau mati dan tak mau menyerahkan lencana yang telah kukumpulkan dengan susah payah. Jadi, kau saja yang mengalah dan mati, ya?" Sekali lagi, pemuda pirang itu tersenyum dengan sangat ramah lagi. Mendengarnya membuat Gumi ingin menjadi tuli saat itu juga. Ia pun kembali mencoba berlari. Ia yakin itu tak akan berhasil. "Aku akan tetap mengejarmu lho," lanjut Len.
Gumi pun menatap pohon di depannya. Ia memilih untuk menaiki pohon tersebut. Walau kesulitan, ia tetap berhasil menaiki pohon tempatnya semula. Ia pun mengisi amunisinya. Setelah berhasil, ia mulai menembakkan pelurunya ke arah Len. Saat ia berpikir bahwa peluru tersebut mengenai Len, ia segera melihat ke bawah. Tapi, ia tak dapat menemukan Len di bawah sana. Pemuda itu hilang begitu saja.
"Kemana dia? Sial!" gerutu Gumi.
"Mencari siapa?" Suara yang sudah terekam dalam ingatannya itu terdengar lagi. Segera Gumi menolehkan kepalanya ke kiri. Ia mendapati Len telah berdiri di batang pohon tempatnya juga berdiri saat ini. Di sana Len berdiri dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya.
"Sejak kapan kau ada di sini?" Gumi memegangi pistolnya dengan jemari yang masih gemetar.
"Sejak tadi. Aku hanya melihatmu menembaki sesuatu yang tak ada di bawah sana. Makanya ku tanya, kau mencari siapa?" jawabnya.
"Sialan! Kau sengaja, kan? Kau-," ucapanya terpotong. Len menarik paksa dagunya lalu menahan pipinya dengan kasar.
"Hey, amatir, apa kau tahu bagaimana rasanya saat pedang ini berada di tenggorokanmu?" Len memainkan pedangnya di sekitar leher Gumi tanpa melukai leher itu. Gumi hanya menggeleng lemah. Air matanya semakin mengalir. "Kalau begitu, aku akan membuatmu merasakan seperti apa rasanya!"
"Kyaaa!" teriak Gumi saat Len mengacungkan pedangnya. Detik selanjutnya suara itu hilang. Teredam oleh pedang milik Len. Ia benar-benar melakukannya. Menancapkan pedang itu di mulut gadis di hadapannya. Lalu ia segera mencabut lagi pedangnya dan menendang Gumi hingga ia terjatuh ke tanah. Menyebabkan bunyi benturan yang lumayan keras. Darah mengalir dari kepalanya. Matanya terbelalak seperti Miku saat Len mengakhiri hidupnya. Len pun melompat turun dan berdiri di sebelah Gumi. Ia mulai mencari lencana emas milik gadis bersurai hijau itu.
"Dia memiliki dua lencana? Rupanya ia bisa membunuh juga," gumam Len saat berhasil mengambil lencana itu. Ia pun memasukannya ke dalam kantong. Dengan begitu ia berhasil memiliki 10 lencana saat ini. "Semoga dengan begini permainan ini segera berakhir."
.
.
.
"Kagamine Len. Pembunuh bayaran itu hebat juga rupanya. Ia berhasil mengumpulkan 9 lencana milik lawan dalam waktu 3 hari." Pria bersurai violet itu, Gakupo, tersenyum puas saat menatap layar monitornya.
"Kau benar, sepertinya ia memang bukan pembunuh sembarangan." Gadis bersurai merah muda yang setia menemaninya, Luka, kini mulai angkat bicara.
"Kita lihat saja, sampai sejauh mana ia dapat bertahan." Seulas senyuman dingin terlukis di wajah Gakupo.
.
.
.
To Be Continued
Ya ampun, begadang deh buat nyelesainnya. Singkat, ya? Chapter ke-2 nya akan segera di publish. Ini cuma bakal jadi two-shot kok.
Jujur ya, saya sendiri agak ngilu(?) juga pas bayangin adegan Gumi tadi, tapi entah kenapa saya tetep pengen pake adegan itu #plak.
Mohon kritik dan sarannya.
Mind to review? ;)
