Sadistic S. Kuroyuki, in.

...

Naruto © Kishimoto Masashi-sensei

Not a Monster © Sadistic S. Kuroyuki

Rate : M

Genre : Mistery & Friendship

Pairing : Belum muncul tapi sudah ditentukan, just (a lot of) hints

Update : Sebulan sekali. (Petunjuk selengkapnya lihat di bawah)

Warning :

OOC, OC, modern AU, brotherhood KuramaNaruto, gore, sadisme, broken home. Typo bertebaran, gaje, plot dan setting acak-acakan, diksi tak karuan, hasil menghayal dengan kemungkinan menjadi kenyataan 0,00000000001%.

Summary :

Persetan apa kata orang, aku bukan monster. Aku hanyalah si rubah pemburu, si licik yang takkan melepaskan mangsa. Aku bisa jadi baik, sangat baik. Tapi aku juga sangat sadis, hanya sesadis yang aku mau.

.

Chapter One : Otouto

.

SYAAAT! SYAAAT! SYAAAT!

Tiga pisau itu berhasil menggores kulitku. Tak kupedulikan. Aku terus berlari, tak peduli hujan deras berpetir yang selalu kubenci menerpaku tanpa ampun.

Tapi pandanganku mulai kabur. Aku basah kuyub. Tubuhku lemas setelah berlari entah berapa lama, ditambah luka-luka yang sudah berhasil menyentuh kulitku. Aku hampir putus asa. Aku langsung mencari tempat yang tersembunyi dan tidak terlalu basah. Kemudian tubuhku ambruk menghantam tanah.

Entah karena kondisiku yang sudah setengah sadar atau apa, aku seperti melihat Aniki. Aniki-ku yang terasa jauh. Dia berdiri memunggungiku. Seperti Aniki yang selama ini kukenal.

Kurama-niisan yang jauh di depan, tak terjangkau sekeras apa pun aku berusaha. Prodigy.

Terdengar suara sambaran petir mengagetkanku. Sosok itu menghilang. Apa hanya halusinasiku saja?

"Aniki…" bisikku lirih.

Apa yang akan dia lakukan kalau berada di posisiku?

Setelah itu, semuanya terlihat buram, kemudian gelap. Hanya hitam yang terlihat.

Aku tidak tahu aku di mana. Tapi bau obat mengusik hidungku. Aku mulai sadar aku di mana.

Putih dan bau obat. Tentu saja rumah sakit.

Tempat yang paling kubenci. Aura dari kamar mayat dan orang sekarat, tangisan anak kecil yang menolak disuntik, dan sebagainya. Penuh aura tak enak, saat aku kecil membuatku selalu memilih jalan memutar daripada melewati jalan di depan rumah sakit. Aniki selalu menertawakanku soal itu dan sering menantangku berjalan lewat depan rumah sakit saat malam. Tentu saja kutolak mentah-mentah. Dan sekarang, oh sialnya aku, aku di dalam bangunan yang kubenci. Tentu saja aku ingin kabur‼ Ke mana saja boleh, asal jangan tempat ular sialan itu atau rumah sakit lain‼

Aku mencoba berdiri. Tapi melihat tebalnya perban yang membebat kedua kakiku, aku mengurungkan niat. Pasti sakit kalau kupaksa bergerak.

Tap… tap… tap…

Suara langkah membuat instingku waspada. Kuhunuskan cakar-cakarku. Seorang wanita berjas putih. Rambutnya biru gelap, lurus sampai punggung, dengan sepasang iris lavender lembut. Dia menatapku, tak menyiratkan bahaya apapun, membuatku ragu dan memasukkan cakarku.

"Tak usah banyak bergerak dulu, luka-lukamu sangat parah," ujarnya.

Aku mendengus, berbalik ke sisi lain, memunggunginya. Hal kekanak-kanakan yang selalu kulakukan saat marah. Tapi aku segera meringis. Dengan bodohnya kutimpa salah satu dari sembilan ekor rubah berbulu oranyeku, dan sialnya, tepat di sikutku!

"Ittai!"

Aku terlonjak, terpaksa duduk, memastikan ekorku tidak patah. Berlebihan, tapi aku tipe orang yang sering dengan tak sengaja merusak bahkan menghancurkan sesuatu. Termasuk tubuhku sendiri. Ya, aku memang agak ceroboh. Entah sudah berapa perabot di rumah yang pecah, secara tak sengaja kusenggol. Apalagi kalau lagi berantem dengan Aniki.

Eh, bukan berantem sih... Tapi aku yang menantang dengan nyolotnya, sementara Aniki hanya menghindar atau menangkis dengan wajah tanpa ekspresi—kadang-kadang tak mengalihkan pandangan dari buku bacaannya. Dasar prodigy.

"Perhatikan di mana posisi ekormu."

Dia mendekatiku, menyentuh dan mengelus lembut ekorku yang kutimpa, ralat, kusikut. Sama sekali tak terlihat takut. Mungkin dia menganggap itu hanya ekor kucing manja berbulu lebat dan lembut piaraan Okaasan.

"Ekormu tidak apa-apa. Kau harus banyak istirahat."

Kutatap iris lavender-nya yang lembut. Tatapan keibuan. Tangannya seolah memintaku untuk berbaring. Dia menarik selimutku sampai ke dada. Mengelus lembut telinga rubahku sebelum beranjak pergi.

Aku kembali terbangun karena bau obat yang terlalu tajam bagiku. Kenapa sih, obat-obatan itu baunya harus menyengat? Penyiksaan hidung!

Masih di ruangan yang sama, hanya sudah malam. Perutku berbunyi minta diisi. Kusambar gelas berisi susu coklat di meja berlaci di sisi kasur. Tidak dingin, masih agak hangat. Mungkin baru 5-10 menit didiamkan. Kuhabiskan dengan cepat.

Tap… tap… tap…

Suara langkah dan bau yang sama. Wanita bermata lavender itu lagi. Seorang wanita berpakaian perawat menyertainya.

"Kau bisa tersedak kalau minum seperti itu."

Sementara perawat menyajikan makanan, dia mengecek kondisiku.

"Proses penyembuhan tubuhmu sangat cepat. Pertahankan dengan makanan bergizi ya?"

Lagi-lagi tatapan lembut yang membuatku tak jadi menghunuskan cakar. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Saat di perawat keluar duluan, dia membelai lembut kepalaku.

"Makan sendiri, ya? Gomen, aku ada urusan," pamitnya sebelum beranjak, yang hanya kubalas dengan anggukan.

Aku sudah menghabiskan makan malamku. Aku mulai bosan. Kusambar remote TV. Lima menit mengutak-atik, tak ada kartun. Kulirik lagi meja berlaci di sisi kasurku. Tangan isengku langsung membuka laci. Ada scethbook ukuran A4 setebal 100 lembar, penghapus, pulpen hitam, penggaris 20 cm, 2 batang pensil yang baru diraut, dan buku ukuran A5 setebal 200 lembar bersampul oranye. Yay, oranye! Warna kesukaanku!

Aku menyeringai. Kumatikan TV, kuraih perlengkapan itu. Di halaman buku oranye, ada secarik kertas terselip.

'Kalau ada yang ingin kau curahkan tapi tak sanggup terucap, tuangkanlah.

Ttd. Umino Hinata'

Kubuka halaman pertama sketchbook.

Aku menelan ludah. Ragu. Padahal hanya menggambar sketsa. Gambarku tak sebagus Aniki. Tapi lumayan bagus untuk anak seumuranku. Tapi aku tak yakin bisa membuat ekspresi tatapan keibuan itu, mengingat aku sendiri lupa rasanya punya ibu. Bukan lupa, tapi memilih untuk melupakan perasaan itu. Terlalu sakit untuk diingat.

Aku kembali menggeleng. Yah, sulit, tapi harus kucoba, karena aku ingin. Padahal disuruh mengingat tatapan itu saja sudah bikin hati kacau tak karuan. Benar-benar kacau balau!

Ah, sudahlah, coba dulu baru bilang sulit.

Aku selesai tepat saat kudengar suara langkah datang. Secepat kilat kukembalikan peralatan gambar ke laci dan menyambar remote TV. Langsung cari berita, pilihan yang aman dari pada sinetron tidak jelas yang didominasi teriakan memekakkan telinga. Aku selamat, hanya perawat yang mengambil peralatan makan kotor. Aku menghela nafas saat perawat itu pergi. Kembali kuraih sketchbook.

Sayangnya aku tak benar-benar selamat. Wanita berambut biru gelap itu datang saat aku membuka halaman yang baru saja kuselesaikan. Sketsa wajahnya. Langsung kututup sketchbook-ku dan kumasukkan ke laci.

Dia tersenyum hangat, mengelus lembut rambut pirang jabrikku yang selalu mencuat seenaknya seperti Aniki, bedanya rambutnya warna merah darah pekat dan sepanjang Otousan. Lalu menatapkan dengan sepasang lavender-nya yang menenangkan.

"Apa kau mau mengobrol denganku?"

Aku mengangguk pelan. Dia duduk di sisi kasurku, membelai ekorku.

"Aku Umino Hinata. Kau?"

"Namikaze Naruto," ucapku pelan. Meski aku tak pernah mengerti kenapa Aniki memakai nama Uzumaki, padahal nama ayah Namikaze.

Dia sedikit kaget mendengar nama keluargaku. Tentu saja... Namikaze Corp, bisa dibilang perusahaan yang menguasai hampir separuh ekonomi dunia... Entah kenapa, setelah sekian lama, baru sekarang aku mengkhawatirkan perusahaan. Padahal biasanya aku tak peduli, karena tahu pasti Aniki yang akan mewarisinya.

"Baiklah, Naruto-kun, bisa tolong kau jelaskan kenapa polisi menemukanmu terluka parah seminggu yang lalu? Dan... Maaf, bentuk tubuhmu yang... berbeda."

"Aku kabur… kabur dari pria ular itu dan gerombolannya…"

Aku marah karena mengingatnya. Kedua tanganku mengepal, lalu terbuka dengan cakar yang menajam.

"Maaf, mungkin kau tak begitu suka pembicaraan ini. Tapi… apa pria ular yang kau sebut itu mengakibatkankan tubuhmu seperti ini?"

Aku mengangguk. Rahangku terasa mengeras dan keempat taringku menajam.

"Aku ingin membunuhnya…"

Tunggu! Apa yang barusan kukatakan? Bagus! Dia pasti akan menjauhiku karena nafsu membunuhku. Dia pasti mengiraku monster, dattebayo!

Dia menyentuh tanganku, menggenggamnya. Kehangatannya mengalir, menenangkanku. Perlahan kumasukkan cakarku. Eh? Kenapa dia justru...

"Tenangkan dirimu, Naruto-kun…" ujarnya.

Aku memejamkan mata, mengatur nafas, perlahan membaringkan diri, mulai rileks. Dia menyentuh dahiku. Kehangatannya dengan cepat menjalar di tubuhku.

"Semuanya akan lebih baik kalau diselesaikan dengan kepala dingin."

Aku mengangguk. Dia melepaskan tangannya. Aku mendengar langkah lain dan suara seperti troli. Lalu aku merasakan sentuhan di perbanku.

"Kami akan mengganti perbanmu dan memakaikan beberapa obat, tolong tahan rasa sakitnya."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, meski sedikit bergidik. Aku masih ingat jelas saat Aniki mengobati kaki kananku setelah aku terjatuh dari pohon. Dasar Aniki yang tak bisa lembut, dia membebat perban dengan sadis. Apa lagi saat membersikan lukaku dengan antiseptik. Dia malah menekan bola kapas bercairan antiseptik itu tanpa ampun, dengan alasan obatnya akan lebih meresap kalau begini. Mana ekspresinya tetap dingin begitu... Ukh…

Akhirnya proses menyiksa itu selesai. Aku meringis meski hanya membayangkannya. Kembali tangan hangat menggenggam tanganku. Dan tatapan hangatnya.

"Jangan banyak bergerak dulu. Kau benar-benar perlu istirahat. Aku khawatir beberapa luka yang belum tertutup sempurna akan terbuka."

Aku mengangguk pasrah.

Tap…tap…tap…

Suara langkah yang membuat telingaku berdiri. Langkah Hinata-neechan, tapi disertai suara langkah orang lain.

Saat pintu terbuka, muncul Hinata-neechan dan seorang pria dengan pakaian polisi. Usianya... sepertinya 40an. Dari pakaiannya, sepertinya jabatannya cukup tinggi. Uchiha Fugaku, tertera di tagname-nya.

Aku memaksakan diri meski kakiku masih terasa nyeri. Seingatku ada 7 luka tembakan di kaki kiri dan 12 luka tembakan di kaki kanan. Itu belum termasuk belasan sayatan yang cukup dalam. Oh, jangan dihitung luka tembakan di bagian tubuhku yang lain

"Jangan paksakan dirimu untuk berdiri," ujar pria itu, tersenyum aneh.

"Pistol di sabukmu terisi penuh. Lalu belati tersembunyi di masing-masing sepatumu. Alat komunikasi wireless seperti alat bantu dengar manusia di telingamu. Di jam tanganmu ada alat perekam suara. Lepaskan itu semua!"

Aku berhasil memaksakan diri untuk duduk. Nafasku terengah karena kalimat barusan dan.. panik, yeah, panik. Tapi tatapan tajamku tak melepaskannya. Cakarku menajam. Rahangku mengeras dan taringku memanjang. Aku menggeram rendah.

"Pengamatan yang bagus. Baiklah, akan kulepas."

Pria itu melepas semua yang kusebut, meletakkannya di kasur. Lalu aku merasakan sentuhan hangat di bahuku. Hinata-neechan.

"Cakar dan taringmu."

Aku mengangguk, menarik cakarku. Taringku memendek. Memang tak adil dia tanpa senjata sementara aku dengan cakar dan taring tajam siap menyerang.

"Siapa dia?" tanyaku, masih menatap tajam iris onyx yang tampak menyebalkan itu.

"Uchiha Fugaku-san, polisi yang menemukanmu 2 minggu lalu. Harusnya kau berterima kasih padanya. Kenapa kau waspada begitu? Kau tidak memercayainya?"

"Tentu saja aku tidak memercayainya! Masuk dengan senjata begitu!"

"Menurutku kau terlalu defensif," ujar Uchiha itu.

Okay, cukup sudah. Aku tidak suka dia. Langsung kuhunuskan cakarku. Kakiku benar-benar sakit. Takkan kuat berdiri lebih dari 15 detik. Jadi kujejakkan kedua kakiku sekuatnya untuk melompat dan menyerang. Aku tahu tipe serangan seperti ini mudah diprediksi. Pria itu dengan mudah menghindarinya. Tapi refleks kujejakkan tangan kiriku di lantai untuk memutar arah serangan.

Syaat…

Dia menghindar tepat waktu. Cakarku hanya sedikit mengenai pipi kanannya. Aku menggeram rendah, marah.

"Naruto! Apa yang kau lakukan? Jangan terus menyerang‼" amuk Hinata-neechan. Entah tenaga dari mana, dia tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menghempaskanku ke kasur.

"Kendalikan dirimu…" ujarnya lirih.

"Aku tak yakin…"

"Apa nalurimu untuk menyerang pihak asing yang tampak mencurigakan?"

"Kurasa. Semua tampak… ingin menyerangku…"

Dia lalu duduk di samping kiriku.

"Sepertinya dia hanya menurutimu, Hinata-san."

Telinga rubahku langsung berdiri tegak. Aku menggeram rendah, menatapnya dengan nafsu membunuh.

"Bercanda, kau rubah yang terlalu manis untuk membunuh."

Aku tak peduli. Cakarku kembali menajam.

"Apa maumu?"

"Identitas lengkapmu."

Aku langsung mengambil buku harianku, membuka bagian identitas dan menunjukkannya.

"Hanya itu yang ingin kuingat."

Dia mengernyitkan dahi melihat jumlah kolom yang kuisi.

"Menurutmu, apa bagusnya mengingat saat kedua orang tuaku dibantai di depan mata di hari ulang tahunku yang ke-10?! Pria ular sialan dan gerombolan tikus tanah pengecutnya yang melakukan itu! Hentikan bahas topik ini kalau tak mau kubunuh!"

"Siapa pria yang kau maksud?"

"Orochimaru."

Jika biasanya kuku jariku hanya memanjang sampai membentuk cakar 3 cm, tak tanggung-tanggung, kali ini sampai 7 cm.

"Tertarik untuk kerja sama? Orochimaru adalah buronan kelas kakap kami," tawar pria itu.

"Fugaku-san! Saat kau membawanya kemari dia terluka parah!" seru Hinata-neechan.

"Sistem penyembuhan diri tubuhku tanpa pengaruh racun itu 10 kali lebih cepat dari manusia normal," ujarku.

"Baiklah… kita lihat perkembanganmu 6 minggu lagi, baru kupastikan kapan kau boleh keluar rumah sakit."

Tatapan matanya tampak sangat khawatir.

"Aku ingin membunuhnya…"

Aku tahu dia khawatir. Tapi nafsu membunuhku terlanjur naik. Bagaimana pun juga, aku ingin membunuhnya. Aku takkan bisa memaafkannya. Dendamku sudah terlalu besar untuk dibendung. Aura kegelapanku menguar. Ekorku melambai tegang. Aku menggeram.

"Apa keluargamu akan kembali kalau kau membunuh Orochimaru?"

Aku terdiam memikirkan apa yang Hinata-neechan katakan. Ya, memang tak mungkin.

"Aku tahu, memang Okaasan, Otousan dan Aniki tak akan kembali, tapi… AARRGGHH‼‼ KELUAR KALAU TAK MAU KUBUNUH‼"

Aku menjambak rambutku sendiri dengan frustasi, meraung dalam bahasa yang sulit dijelaskan, membanting tubuh dan berguling di kasur. Untung mereka menuruti kemauanku, segera keluar. Kalau tidak, aku tak bisa jamin kalau aku bisa menahan diri. Bisa-bisa 'dark side'-ku bangkit.

"Memang tak ada yang mengerti dendamku kalau tak mengalami…" gumamku sebelum tertidur.

Aku memaksakan diri untuk berjalan ke jendela. Kubuka jendela kaca geser itu. Angin malam yang sejuk menerpa wajahku. Aku menikmatinya, merilekskan diri untuk berpikir. Aku kembali menghela nafas. Entah berapa puluh kali aku menghela nafas hari ini sejak Uchiha itu datang tadi pagi. Aku melongokkan kepalaku dengan tangan bertumpu pada kusen jendela, karena kakiku masih terlalu sakit untuk sepenuhnya menopang tubuhku.

Kutatap langit kelam yang tanpa bintang. Sesekali kudengar gemuruh petir di kejauhan.

Kelam. Yeah, kelam.

Aku ingat Aniki yang suka pada langit malam, pilihan warna yang serba gelap, sampai sorot mata a la film-film horor. Dia memang sukanya yang kelam-kelam...

Aku menatap cakarku. Sialan, aku kembali menghela nafas.

"AAAARRRRRGGGGHHHH‼‼‼"

Hhh… aku tahu… sejak awal aku tahu!

Membunuh Orochimaru takkan mengembalikan keluargaku. Mereka akan tetap di sana, amat jauh, sampai tiba waktunya bagiku untuk menyusul. Tapi aku benar-benar dendam. Aku tak begitu memikirkan tubuhku yang dia ubah seenaknya seperti boneka manekin. Aku marah karena apa yang dia lakukan pada keluargaku.

Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan kalau tahu dendamku. Mungkin mereka tidak akan menyalahkan keputusanku. Hanya Orochimaru yang pantas disalahkan. Hanya dia!

Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Kubiarkan jendela terbuka. Angin malam menyeruak masuk.

Kerja sama dengan kepolisian? Jujur saja, tak pernah kupikirkan. Malah mereka kuhitung sebagai musuh.

Memang, artinya aku tak bisa menyerang atau membunuh sesuka hati. Yah, tak masalah. Aku bukan sadistic. Malah cenderung takut dengan darah.

Aku mendengus, lalu terkekeh miris. Ironis.

"Bukan sadist, tapi self-injury. Memalukan, dasar sialan kau," rutukku.

Yeah, saat aku sudah sangat frustasi, ada dua pilihan. Raungan frustadi atau self-injury-ku kumat. Dan saat ini, self-injury-ku kembali kumat. Kutorehkan luka baru dengan cakarku di sekujur lengan kiriku.

Sakit.

Rasa sakit yang membuatku merasa hidup. Kalau aku masih bisa merasakan sakit, berarti aku belum mati rasa. Aku memang masih cukup waras untuk tak mengiris nadiku. Aku hanya membuat luka yang tidak fatal. Konyol rasanya kalau mati gara-gara hal sepele seperti itu.

Tap... Tap... Tap...

Suara langkah khas Hinata-neechan membangunkanku. Dia sudah di depan jendela yang tadi kubuka.

"Kau bisa masuk angin kalau begini," ujarnya sambil menutup dan mengunci jendela, lalu menatapku.

"Hanya angin malam dan suhu sedikit rendah."

Aku memalingkan wajah. Aku tak begitu suka tatapan khawatir. Membuatku merasa bersalah. Aku tidak suka membuat orang lain khawatir.

"Kau ragu?"

Aku menggeleng.

"Lalu kenapa?"

"Tidak…"

"Hey, tatap aku!"

Tangan hangatnya menyentuh daguku. Mau tak mau aku menatapnya. Aku berani bertaruh, yang dia temukan di dasar samudra kelamku hanya kegelapan, dendam, dan keraguanku. Kemudian dia menyadari lengan kiriku yang berlumuran darah. Tak bertanya, dia segera merawat lukaku. Tapi tatapannya yang menggantikan 'kenapa bisa terluka?'.

"Self-injury kalau sedang frustasi atau kesal."

"Kau tak mempercayai Itachi-san?"

Aku mengangguk. Dia lalu membelai kepalaku.

"Tak masalah. Sulit bagimu untuk percaya orang baru, ya?"

"Dia mencurigakan!"

"Tapi kau tak bisa terus begini. Kau harus bersosialisasi. Tentu kau ingin kehidupan normal, 'kan?"

Aku menepis pelan tangannya, menghela nafas.

"Hal itu mustahil kudapatkan… Aku memang menginginkannya. Tapi aku hanya ingin membuat perhitungan dan bertemu Aniki. Setelah itu, aku tak terlalu peduli."

"Apa yang ada di otakmu hanya balas dendam?"

"Tentu saja tidak!"

"Apa hanya balas dendam karena orang tuamu yang menjadi keinginan terbesarmu?"

"Kau takkan mengerti rasanya!" raungku kesal, mencengkram kerah jas putihnya.

Dia terdiam, menghela nafas. Kurasa aku mengatakan hal yang salah. Apa dia marah? Aku langsung melepaskannya, lalu duduk memeluk lutut. Aku tersentak, menyadari apa yang baru saja kulakukan.

Akhirnya dia berdiri, menuju pintu.

"G-gomennasai…" ucapku lirih, merasa bersalah. Memang harusnya tak kubentak dia yang tak tahu apa-apa.

"Bukan salahmu. Tolong jangan melukai diri lagi. Kombanwa, oyasuminasai, Naruto-kun," ujarnya sembari tersenyum, meski agak berbeda dari biasanya. Senyum yang memaksakan diri. Senyum getir. Apa dia juga memiliki masa lalu kelam sepertiku?

Suara kicau burung membangunkanku. Aku menggeliat, lalu meregangkan badan. Kakiku masih terasa sakit. Tapi tetap kupaksakan untuk berdiri meski sakitnya bukan main. Aku meringis, lalu berharap tak ada luka yang terbuka. Aku melangkah kearah pintu. Tapi aku terjatuh di langkah ke-5.

"Chi-kuso… dasar lemah…" rutukku, berusaha berdiri lagi. Umpatan normal kalau dibanding Aniki yang bisa merutuk dalam belasan bahasa dalam sehari. Tak cukup bahasa Jepang dan Inggris, dia bisa melontarkan dalam bahasa Yunani, Latin, Prancis, Spanyol, Jerman, Italia, Mandarin, Korea, Rusia, bahkan bahasa sandinya sendiri. Karena dia... prodigy. Dia bahkan sudah kuliah di usia 15 tahun, di saat teman-teman seumurannya baru kelas 3 SMP. Bahkan dia hanya perlu dua tahun untuk menyelesaikan S1.

Saat aku hampir berhasil berdiri, kudengar suara langkah yang familiar, Uchiha dan Hinata-neechan. Lima detik berselang, pintu terbuka, mereka segera masuk.

"Perlu bantuan?" tawar Uchiha. Aku menggeleng, kembali memaksa berdiri, agak tertatih kembali ke ranjang yang sudah 2 minggu kupakai.

"Bocah keras kepala."

"Terserah apa katamu. Aku tak merasakan peralatanmu," balasku.

"Sengaja tak kupakai. Kau pasti akan mencabik-cabik tubuhku begitu merasakannya."

Aku tak peduli dan tak mau dengan ucapannya. Aku tak suka orang ini… Gaya humornya mirip Aniki.

"Naruto-kun, kalau kau memang ingin membunuh Orochimaru, kau juga harus bekerja sama dengan Fugaku-san," tegur Hinata-neechan.

"Cih… Baiklah, aku menurut saja. Sesuka kalian saja. Toh kulakukan bukan karena aku mau. Tapi jika dengan itu aku bisa makin cepat membunuh Orochimaru, akan kulakukan."

Aku kesal. Kenapa Hinata-neechan sekarang terus-terusan membela Uchiha?

Tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya merasa dikhianati sekutu sendiri. Apa dia marah karena tiba-tiba kubentak dan hampir kucekik?

Aku melewatkan jam sarapan. Mereka mengantarkannya, tapi tak kusentuh. Setali tiga uang dengan obat penahan nyeri dan vitamin-vitamin entah apa, tak ada yang kuminum. Aku kehilangan selera makan. Memang, pengaruhnya tak signifikan pada tubuhku. Obat penahan nyeri dosisnya tidak pas untukku, tak berefek, hanya menyiksa lidah karena aku tak suka pahit. Lalu vitamin? Lupakan, aku tak suka baunya. Entah baunya yang memang menyengat, atau hidungku yang hipersensitif terhadap zat sintetis.

Saat kulewatkan jam makan siang, Hinata-neechan langsung berkunjung.

"Kenapa kau tidak mau sarapan dan makan siang?"

"Tidak lapar."

"Apa perlu kusuapi?"

"Tidak perlu."

"Kalau begitu makanlah."

"Aku benar-benar tidak lapar."

"Aku khawatir kau-"

"Melewatkan dua kali makan tak akan berpengaruh bagi tubuhku."

"Oh ya, dari data identitasmu sebelum menghilang seminggu setelah tragedi itu, kau punya kakak. Kurama, delapan tahun lebih tua darimu. Kau pasti memikirkannya, 'kan?"

Aniki. Sekarang mungkin usianya dua puluh tahun. Apa yang kau lakukan sekarang, Aniki?

.

Tsuzuku

.

Naruko sudah dapat 'jatah penyiksaan' di ACS (Another Crazy Story). Nah, sekarang giliran Kurama! Mmm... kapan giliran Minato ya? *evil smirk*

Setting-nya Modern AU. Tapi author satu ini paling susah membuat fanfict di mana chara-nya hanya punya kemampuan tarung standar manusia normal. Makanya jangan kaget kalau bakal ada crazy scientists berkeliaran. OC pun pasti ada, karena... Well, sedikit hint :

~~"Akuma Kazoku adalah keluargaku yang sebenarnya," ucap Kurama.~~

Karena ini sifatnya proyek sampingan dan author masih sibuk baru masuk SMA (cieee, yang sudah pakai putih-abu-abu ceritanya nih...) maka updatenya tidak sesering ACS (Another Crazy Story). Ini jadwalnya.

Week 1 : ACS

Week 2 : NAM (Not a Monster)

Week 3 : ACS

Week 4 : -

Week 5 : Balik ke Week 1, dst.

Sekian, sampai jumpa di NAM bulan depan!

.

Words : 3.228

Pages : 11

Publish : 2013-06-18

.

Mind to review?

.

Sadistic S. Kuroyuki, out.