Bite (Versi Kaisoo)

Pairing : Kaisoo and other

Warning : Yaoi. OOC. OC. Bahasa kasar.

Rating : K (saat ini)

A/N : Fic ini milik AnonymousTrick senpai Selaku author originally-nya, Je Ra Cuma mengubah castnya dan sedikit meng-edit aja dan Je Ra sudah mendapatkan izin untuk me-republish fic yang berjudul Bite ini ke Versinya Kaisoo jadi bagi Readers yang mugkin sudah pernah baca fic 'Bite' yang aslinya, Je Ra tegaskan ini bukan Plagiat ne ^^.

Summary : Kyungsoo terpaksa menyamar menjadi kakak perempuannya yang baru saja meninggal untuk mendapatkan dana asuransi kesehatan yang dimiliki kakaknya. Bagaimana hari-hari yang dilalui kyungsoo selama masa penyamaranya? /Kaisoo/


Chapter 1

Kyungsoo POV

Ada banyak jenis makhluk didunia ini. Apa kau percaya vampire itu ada? Tidak? Sayang sekali,diduniaku mereka benar-benar ada.

Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau tidak percaya. Awalnya aku juga tidak yakin bahkan membantah mentah-mentah bahwa 'makhluk penghisap darah' itu benar-benar berkeliaran di luar sana. Satu-satunya penghisap darah yang kukenal adalah kelelawar, dan aku tau mereka itu bukan vampire yang dimaksud oleh ,meski ada salah satu dari jenis mereka adalah yang bernama kelelawar vampire, tapi bukan berarti merekalah vampire itu sendiri.

Alasan kenapa aku kini percaya adalah karena aku bertemu langsung dengan salah satu dari 'mereka', alasan yang klasik memang,tapi itulah yang paling sering terjadi dan menjadi penyebab terbesar seseorang percaya bukan? Jika kau benar-benar sudah pernah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri maka pilihan tercerdas yang bisa diambil adalah mempercayainya. Dan aku tidak hanya melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,tapi dengan seluruh tubuhku.

Ol=======*PROLOG*=======lO

"Petugas asuransi tidak akan menyadainya Kyungsoo,percayalah pada ibu" ibuku berusaha meyakinkan ku untuk kesekian kalinya malam ini.

Aku memutar bola mataku dan menoleh kesamping dengan malas, "ibu, apa tidak ada pilihan lain?"

Ibuku menggerak-gerakkan jari telunjuknya kekiri dan kanan didepan wajahku, "tidak Kyungsoo, ini satu-satunya cara tebaik. Hormatilah sedikit mendiang kakak perempuanmu. Tidak maukah kau membantunya untuk menolong keluarga kita ini? Anggap saja sebagai permintaan terakhirnya."

Aku menoleh kearah ayahku yang tengah duduk disamping perapian tidak memberi jawaban atas pertanyaanku tentang cara lain untuk keluar dari masalah ini. Saudara perempuanku, atau lebih tepatnya saudari kembarku ,Sookyung baru saja meninggal dua minggu yang lalu akibat komplikasi saluran pernapasan, setidaknya itu yang dikatakan dokter Choi Jae Yoon pada kami. Berita kematiannya belum disebar,oh baiklah tidak disebarkan. Terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk 'pesta pemakaman'nya. Kami tidak sanggup memberi makan mulut-mulut lapar yang menyumbang air mata mereka untuk saudara perempuanku. Maka Sookyung pun dimakamkan dengan sangat sederhana, secepat mungkin, bahkan sebelum kodok jelek yang setiap malam mampir kerumah pribadi kakak sadar bahwa gadis yang sering memberinya kecoak untuk makan sudah tidak ada lagi dirumahnya.

Kakak perempuanku mempunyai asuransi kesehatan untuk dirinya sendiri dan jumlahnya sangat besar. Aku bahkan tidak tau hal-hal seperti menabung untuk menjamin disaat sakit itu ada dijaman sekarang, dan mengapa Sookyung begitu ceroboh untuk tidak menggunakan asuransi itu untuk jaminan kematian saja? Jika sakit,teman kakek Sooman, si nenek berambut blonde itu bisa mengobati kami dengan gratis, sekalipun kakek Sooman harus mengemis dulu padanya, kan? Apa yang sebenarnya yang ia pikirikan? Sekarang kami harus sepintar mungkin untuk mengelabui si petugas asuransi agar mau memberi kami uang dengan alasan untuk pengobatan. Jika sampai si petugas berkumis irit itu mencium bau mayat kakak maka uang berkoper-koper itu bisa dicap 'hangus' oleh perusahaan asuransi. Ibuku bisa gila kalau sampai itu terjadi, dan jika ibuku menggila, maka ayahku hanya akan bisa menutup mata dan telinga ketika nenek Jae Yoon memutuskan 'tembak mati' untuk ibu sebagai pengobatan terbaik atas penderitaannya. Hancurlah keluargaku.

Saat ini solusi terbaik, menurut ibu, dan dijawab anggukan saja oleh ayah, serta ancungan keempat jempol yang dimiliki oleh kakek, adalah aku menyamar menjadi kakak perempuanku, Sookyung. Masalah terbesarku, yang rupanya tidak telalu besar untuk keluargaku, aku ini adalah laki-laki! Wajahku mirip Sookyung, sudah pasti. Suaraku belumlah terlalu berat layaknya pria remaja lainnya yang seusia denganku, oke. Tubuhku tidak terlalu berisi otot-otot khas pria, cukup ramping untuk menggunakan korset dan menjadi wanita, oke. Tapi demi tuhan, mau kukemanakan harga diriku? Menjadi banci bukanlah cita-citaku! Bermimpi pun aku tidak sudi! Damn it!

"Ayah rasa tidak ada salahnya berkorban sedikit, Kyungsoo. Kita sedang krisis saat ini. Kau tidak akan lama menyamar menjadi kakakmu, ayah janji."

"Aku tidak peduli! Bukan ayah yang akan menggunakan rok payung itu! Jadi berhentilah bersikap seperti ayah mengerti perasaanku sekarang!", aku membentak marah. Terlalu kasar, aku tau itu.

Tapi aku benar-benar seperti sedang dijadikan badut dan dipermalukan sekarang. Kemana suasana berduka di dalam keluarga ini? Seseorang baru saja meninggal tau!

Aku pun berlari ke lantai atas, meninggalkan ruang keluarga yang masih mendiskusikan langkah selanjutnya, gaun yang akan kugunakan, sikap yang harus kutunjukkan seolah-olah aku sudah menyutujui kesepakatan itu. Betapa egois mereka!

Matahari pukul sepuluh segera merambat menebus tirai putih jendela kamarku dan jatuh tepat diwajahku, memaksaku untuk bangun,aku menguap dan bangkit. Ah, betapa berantakannya kamarku ini. Sepatu kulit yang tergeletak tidak rapi di kaki pintu kamar yang tertutup. Aku ingat telah melemparnya dengan keras semalam saat kudengar ibu mendiskusikan apa aku harus membawa alat-alat kecantikan Sookyung untuk lebih meyakinkan petugas asuransi atau tidak, jas tanpa lenganku yang tergeletak diatas meja belajar, menutupi tumpukan buku agama dibawahnya, apa aku juga harus membuang itu? Wanita dilarang membacanya dijaman sekarang bukan? Lalu kasurku yang polos, semua bantal dan selimut berwarna krem itu kuhempaskan begitu saja untuk melampiaskan emosiku semalam, sangat berantakan. Oh, dan tempat sampahku juga menghamburkan isinya. Bekas remah roti dan pensil serta potongan kertas bertaburan. Butuh lebih dari keringat dan mengeluh untuk membersihkannya,pikirku. Aku butuh mandi untuk permulaan.

"Duduklah Kyungsoo! Ibu membuatkan daging panggang kesukaanmu", sambutan yang hangat dipagi hari saat aku turun keruang makan. Daging panggang pagi-pagi begini? Apa ini sogokan? Ibu sudah lebih dari seekor rubah licik sekarang. Aku bahkan sudah tidak melihat lagi wajah duka disana.

Setelah ritual pagi yang sangat mengenyangkan, hingga aku harus membuka beberapa kancing kemeja dan celanaku karenanya, ibu menyodorkan secarik kertas padaku. "Apa ini? Bon?" tanyaku dengan nafasku yang berat, perutku benar-benar penuh.

"Surat dari perusahaan asuransi. Sookyung, mendiang kakakmu, terlambat membayar satu iuran rutinnya, itu adalah surat pemberitahuan"

"Lalu?"

"kau harus segera menyamar menjadi kakak perempuanmu dan mengambil semua uang yang disimpannya di perusahaan asuransi itu, hanya Sookyung yang boleh berurusan dengan pihak mereka, karena itu tolonglah, Kyungsoo"

"Memang bisa seperti itu?"

"Bisa." Ibuku meyakinkanku. "Kalaupun tidak, ayahmu akan menjamin bahwa ada orang dalam yang akan melancarkan semuanya." Jawab ibu, dia nampaknya tidak melihat surat ini sebagai sumber kepanikannya, melainkan sebagai alat agar aku sudah tidak punya pilihan lagi selain menerima ide gilanya itu. Kenapa dia harus begitu bersemangat akan hal ini?

Apa aku harus menyetujuinya sekarang?

Ol=======BLAME=======lO

Aku tidak punya pilihan lain.

Betapa sialnya hidupku. Maafkan aku kak, tapi hari ini aku benar-benar merasa menyesal telah dilahirkan bersamaan denganmu.

Mata sapphire ku menyusuri bangunan kayu antik dihadapanku. Mulai dari tempat dia menyentuh tanah, kelantai duanya hingga atapnya yang runcing. Sama sepertiku, Sookyung juga suka dengan warna biru dan putih. Terlihat indah untuk dijadikan cat mayoritas rumah ini. Tiang-tiangnya berwarna biru tua dan dindingnya yang berwarna putih. Mawar merah tumbuh dengan subur dipagar rumah, menyiakan dua meter wilayah kosong ditengah untuk tangga kecil yang mengarah keatas menuju pintu depan rumah yang berkenop bulat berhiaskan sedikit ukiran yang unik.

Sensasi lucu yang kurasakan saat pertama kali mengunakan kenop bulat yang diputar itu tidak cukup mampu untuk membuatku teralihkan dari rasa kagum akan suasana di dalamnya. Aku tidak bisa menggambarkan nya dengan kata-kata yang cukup indah dari suku kata yang aku miliki. Begitu antik, lemari-lemari dipenuhi dengan porselin-porselin aneka bentuk. Teko teh dan cangkir-cangkir yang aku yakini ada puluhan set disini. Piring-piring dengan ukiran-ukirannya yang tak satupun seragam. Lukisan-lukisan antik. Karpet merah yang tebal dan hangat dihampir seluruh ruangan. Dan tentunya ranjang yang besar dilantai dua.

Harus kuakui rumah ini luar biasa. Aku menyesal karena lebih mengutamakan rasa gengsiku, karena tidak ingin terlalu terlihat girly jika berkeliaran disekitar kakakku, hingga aku tidak pernah melihat isi rumah ini sama sekali sejak dihuni oleh kakak, sangat banyak yang direnovasi manual disana-sini, terutama perabotannya. Rumah ini warisan nenek untuk kami berdua, aku dan Sookyung, tapi aku menolak karena Sookyung terlihat lebih terobsesi dengan rumah ini daripada aku.

Siapa yang mau tinggal dirumah besar ini sendirian ketika kau masih punya rumah orang tua yang nyaman dan bisa mengisi perutmu dengan daging panggang setiap hari tanpa harus berusaha terlalu keras?

Setelah sampai dikamar utama yang wangi aku menghempaskan tubuhku terlentang diatas kasurnya yang besar. Begitu nyaman, lebih empuk dari kasur milikku, tapi bukankah ini bisa dibilang sudah menjadi milikku juga.

Aku bergerak tidak nyaman, memiringkan tubuhku ke kiri dan ke kanan beberapa kali hingga kuputuskan untuk membuka gaun besar ini. Korsetnya bisa membunuhku! Aku harus segera melepaskannya sekarang juga!

Tapi tunggu dulu, aku baru ingat bahwa ibu tidak memasukkan satupun kemeja dan celana panjang milikku di koper besar ini. " AGGHHH! Damn it!" aku frustasi, apa aku harus menggunakan pakaian wanita selama aku tinggal di sini?

Aku bangkit menuju cermin besar di sudut kamar. Memperhatikan sosok yang kini ada dihadapanku. Aku seperti benar-benar melihat Sookyung dengan nyata. Aku berputar sedikit, melihat melihat bagaimana bagian bawah rok yang kugunakan mengembang. Karena ada penyangga seperti payung yang menahannya, ini bergoyang mengikuti arah gerakku yang lambat. Gaun renda-renda. Bewarna biru muda. Sookyung cinta warna biru, dia bilang warna itulah yang paling mirip diantara kami. Rambut kami sama-sama bewarna pirang, tapi Sookyung berambut panjang sementara aku hanya sebatas leher, itupun pada saat basah, membuatku terpaksa menggunakan wig untuk menirunya. Tubuh kami jelas tidak sama, dia wanita dan aku pria. Hanya mata kami, warnanya, sama-sama bewarna biru dengan nyaris tanpa perbedaan sama sekali, aku tidak perlu mengakali bulu mataku untuk terlihat lentik seperti Sookyung, bulu mataku memang sudah seperti miliknya. Mata biru kami, alasan mengapa aku juga menyukai warna biru, mengingatkan kami satu sama lain.

Hari sudah sore, langit berubah orange dan perutku lapar. Sekarang aku tinggal sendiri dan memasak bukanlah hobiku. Aku harus mendapatkan makanan di desa ini sebelum larut malam.

Seperti halnya mengunjungi rumah warisan itu, aku juga nyaris tidak pernah berkeliling di desa ini. Jaraknya terlalu jauh masuk ke dalam hutan untuk dijadikan tempat bermain kalau aku sedang senggang di rumah ibu.

Suasananya tidak terlalu berbeda, tidak banyak gangguan dan orang-orang aneh yang berkeliaran seperti di desa asalku. Kecuali pemabuk-pemabuk yang kepagian (kesorean) dan pengemis-pengemis yang sangat sedikit berkeliaran di sepanjang jalan menuju pusat desa, aku tidak menganggap mereka aneh ataupun pengganggu. Satu-satunya alasanku menganggap mereka merepotkan adalah saat aku sadar sedang berpakaian wanita dan berjalan sendiri di jalan yang sepi sekarang. Tapi bagaimanapun aku adalah seorang laki-laki, dan mereka harus berpikir seribu kali sebelum menyerangku.

Aku masuk ke dalam kedai yang terlihat cukup ramai dan sudah mulai menyalakan lampunya sebelum gelap. Terlalu ramai dan gaduh dari luar sampai akhirnya aku masuk kedalam dan menyadari tempat ini bukan hanya kedai makanan tapi juga bar minuman keras, jadi beberapa pemabuk kepagian tadi itu berasal dari sini?

Sangat banyak pria brewokan, kotor dan bau di meja bar. Mulai dari yang sangat mabuk, setengah mabuk dan yang baru menegak gelas bir pertamanya sore itu. Rumah ini terbagi menjadi dua bagian di dalamnya. Sangat ricuh di sebelah kiri ruangan bangunan persegi ukuran dua puluh kali lima belas meter itu. Sementara diwilayah kanan ruangan berjejer meja dan kursi dari bahan yang sama di wilayah bar minuman, hanya disana dipenuhi oleh orang yang kelaparan bukan yang mencari kunang-kunang.

aku mengambil kursi di dekat meja bar kecil tempat memesan makanan,memesan beberapa jenis makanan lalu menunggunya segera dihidangkan. Sembari menunggu, pandanganku menyusuri seluruh ruangan ini, karena aku duduk menghadap ke wilayah kiri ruangan itu jadi yang hanya bisa kunikmati adalah betapa joroknya orang-orang yang sedang mabuk di sebelah sana, berharap setelahnya aku tidak kehilangan nafsu makanku.

Ah, aku tidak perlu khawatir tentang hal itu, sampai saat ini aku belum menemukan alasan kenapa nafsu makanku harus hilang. Belum.

Tempat ini tidak sepi dengan wanita, diwilayah penyajian makanan selain pelayan dan juru masak ada beberapa wanita yang ikut membeli dan makan di sini. Entah karena tidak memasak di rumah mereka atau sedang ditraktir oleh kekasihnya.

Satu hal yang membuatku sedikit heran adalah kenapa aku tidak melihat 'wanita penghibur' di wilayah bar minuman? Rasanya akan kurang jika kau bisa minum-minum menghabiskan uangmu tanpa seorang atau beberapa gadis cantik melingkar dilengan dengan manja betapapun busuknya dirimu. Kuputuskan untuk kuabaikan saja kali ini.

Selesai makan aku lalu bersandar dikursi, mengistirahatkan perutku yang penuh. Makanan di tempat ini sangat lezat, aku hampir saja lupa untuk berhenti makan. Untung aja sebelum berangkat aku mengganti gaunku yang bewarna biru muda dengan gaun terusan bewarna coklat muda dengan tali yang dibuat simpul kebelakang dan tanpa kerangka 'payung' di dalamnya, setidaknya gaun ini lebih sederhana.

"Ahh~ inilah saat dimana baju terusan akhirnya berguna." Gumamku senang.

Pelayan kedai lalu datang menghampiri mejaku untuk membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja, itupun kalau ada yang tersisa. Pelayan itu sedikit bergidik saat melihatku, belum pernah lihat perut melar karena kekenyangan? Memangnya kau pikir perut wanita saja yang elastis, hah?

"Hei, nyonya bolehkah aku bertanya?" tanyaku saat pelayan wanita paruh baya bertubuh subur itu sedang membuat gunung dari tumpukan piring dan mangkuk diatas nampan kayunya.

"Apa?" balasnya

"Kenapa tidak ada penghibur disana? Kau tau, wanita?", tanyaku sambil mengerdikkan kepalaku keseberang ruangan.

"Kenapa? Kau ingin melamar pekerjaan itu? Kusarankan untuk tidak coba-coba. Desa ini meski tidak religious dan bobrok tapi tidak memilik wanita sundal seorang pun sejak…" ujarnya menggantung.

"Sejak…" sahutku mengikuti nada terakhir kalimatnya.

Dia mulai mendekatkan mulut besarnya ketelingaku, berbisik, "Sudah menjadi rahasia umum mengapa tidak ada wanita penghibur di desa ini. Dua tahun lalu ada seorang pria datang dan membunuh semua wanita pelacur yang ada di desa ini. Selama setahun ia terus membunuh seperti membasmi hama, tak tersisa. Kalaupun ada yang muncul lagi setelah sekian lama, maka pria itu akan datang kembali dan mengejarnya." Wanita itu melirik sebentar kearah kerumunan memastikan tidak ada yang mendengarkan apa yang dikatakannya lalu kembali berbisik padaku. "Ini diantara kita saja, aku sangat yakin 'Pria' itu berasal dari London, kau tau, Jack The Ripper. Pembunuh berdarah dingin yang hanya membunuh pelacur."

"Jack The Ripper?" tanyaku tak yakin, ini pasti lelucon, London sangat, sangat, dan sangat jauh dari sini. Untuk apa seorang pshyco seperti dia jauh-jauh datang kemari meninggalkan London yang penuh dengan wanita tuna susila yang takkan habis untuk dibunuhnya? Apa dia punya misi untuk menghabisi semua pelacur di muka bumi?

"Iya. Tapi cara membunuh JTR di sini berbeda. Ia tidak memutilasi korbannya tapi mencabiknya, mengeluarkan isi perutnya dan menghisap habis darahnya. Bahkan ada yang bilang JTR adalah vampire di sini. " Sambung wanita berpakaian kumal disampingku ini. Ia lalu menegakkan punggungnya dan terlihat puas dengan apa yang telah ia ceritakan.

"Aku mengenalimu. Kau sepertinya baru keluar dari rumah besarmu, nona. Apa kau bosan di dalam sana dan berniat mencari hiburan?" Tanyanya sambil tersenyum genit, kurasa dia sedang berusaha mengganti suasana agar aku tidak terlalu memikirkan apa yang baru dikatakannya tadi.

"Well, iya. Aku sedang tidak berselera untuk memasak sendiri jadi aku mencoba untuk mencari tempat makan. Sekedar mencicipi kuliner di sini." Jawabku agak kaku, mungkin karena aku kekenyangan bukan karena aku takut setelah aku mendengar ceritanya. Tidak, aku tidak takut dengan hal itu.

"Bukankah terlalu beresiko berjalan sendirian saat sedang gelap?"

Aku bangkit dari kursiku bersiap pulang, "Tidak, selama aku wanita baik-baik"

TBC

Mind to review? ^^