Ansatsu Kyoshitsu © Matsui Yuusei / AU, BL, Typo, OOC, dan lain-lain.
.
Sore menjelang malam. Tiap kali guyuran hujan turun dan mendatangkan gemricik air, maka Isogai Yuuma akan ada di balik jendela dan memandangi jajaran deret rumah yang terlihat basah tanpa sekalipun menghiraukan sambaran petir yang tiba-tiba.
Pernah suatu kali, Asano Gakushuu mendampingi di sebelah kiri, dengan tangan yang dilipat dan wajah tertekuk. Isogai dipandangnya sebentar, lantas beralih ke dinding kelabu yang berada di luar sana. Di luar agak gelap karena awan yang menggantung cukup tebal dan petang mulai datang. Pemuda itu membatin, apa menariknya hujan?
"Karena saat hujan, aku selalu melihat hal-hal yang indah."
Selama ini Asano selalu dibuat bingung. Hujan turun hampir dua kali sehari, tidak selalu, tapi juga tidak jarang. Jumlah debit maksimal yang dapat ditampung sungai kecil, kadang airnya meluap ke atas dan menggenangi trotoar. Saat itupun, Isogai akan ada di balik jendela.
"Apa yang kau lihat?" Asano bertanya dan ikut melihat ke luar dengan tangan bersedekap di dada. Raut wajahnya muram seperti biasa. Karena Asano sama sekali tak suka dengan hujan. "Hari ini dingin."
"Kau benar. Kemarin Nagisa tak masuk kerja karena sakit," Isogai menanggapi.
"Mungkin sudah saatnya duduk di depan perapian. Kau juga tak mau jatuh sakit, 'kan?"
Isogai tak beranjak. Matanya tetap terpaku pada dinding monoton yang bahkan sudah ditumbuhi lumut. Pemuda itu menoleh ke samping dan menatap raut wajah Asano yang tak terbaca. Senyum lembut nan ceria terbayang selama beberapa detik. "Aku mau menunggu sampai hujan reda."
Pada akhirnya, yang mengalah tetap saja Asano. Kalau membujuk Isogai berujung kegagalan, biasanya Asano akan kembali ke ruang tengah dan menghangatkan dirinya sendiri. Tapi kali ini berbeda. Sweeter-nya berwarna coklat, tebal, dan cukup hangat. Tapi tak sehangat Isogai. Asano mengulurkan tangan dan membelit perut Isogai. Memeluk pemuda itu dari belakang. Dirinya bersandar di bahu kanan dan menyelami kenyamanan yang selalu dapat membuatnya serasa berada di tengah keluarga bahagia.
Isogai tak protes, bahkan sama sekali tak berjengit. Pemuda itu tetap diam dan memperhatikan titik air yang mulai turun intensitasnya. "Hujan itu tak selalu abu-abu, 'kan?"
Asano menjawab dengan gumaman samar. Tangan Isogai menyentuh jendela kaca yang merefleksikan suhu di luar sana. Dingin sekali. Dan kalau dilihat, kacanya agak buram. Isogai barusan berbicara, mungkin itu alasannya.
"Lihat itu—itu pelangi."
Dan Asano harus percaya ada pelangi di kala petang?
"Itukah yang kau sebut dengan 'tak selalu abu-abu'?" bisik Asano. Tangannya mengeratkan pelukan. Tubuh Isogai memang selalu hangat.
Dapat dirasakannya ketika Isogai menggeleng pelan. Tubuhnya bergerak-gerak. Mungkin risih karena tindakan Asano. Atau mungkin mulai tak nyaman dengan pelukan yang semakin mengerat. Asano tak akan tau kalau Isogai tak membuka mulut.
"Aku menganggapnya tak abu-abu bukan karena ada warna lain setelah rintiknya menghilang."
"Lalu?"
"Itu karena ..."
.
"... aku dapat melihat Asano-kun saat memandang ke luar jendela."
Dan saat itu Asano baru tau, kalau Isogai tak sedang memperhatikan hujan.
END
Maksudnya itu, Isogai ngeliat Asano dari pantulan kaca. Karena di luar gelap, maka kacanya akan sedikit membayang kayak cermin.
Vee
30-01-2016
