Wonderland

.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

.

.

.

Sasuke POV

"Paman Sasuke, apakah kau akan mati sendirian?"

Aku mengerutkan dahiku, meneliti secara mendalam apa maksud perkataan gadis manis yang sedang duduk di jungkat-jungkit bersamaku saat ini. Wajahnya yang lebih dominan condong ke Itachi dan rambut hitam legamnya yang menurun dari Ibuku serta senyumnya yang lebih mirip dengan Konan. Ia menyeringai, memberiku seringai kecilnya yang justru membuatku mendesah.

Aku menyeringai kecil, membalasnya. "Aku tidak berniat mati dalam waktu dekat ini, sweetie."

Dia memutar matanya. Dengan boneka beruang kecil berwarna cokelat yang selalu dipeluknya, ia menatapku dengan tatapan bulatnya. Serius. Aku bisa melakukan apa saja untuknya. Dia majikan, dan aku budaknya. Aku menuruti apa yang dia inginkan.

"Kata Papa, Paman akan mati menyedihkan di dalam apartemen dan membusuk di sana karena tidak memiliki seorang Cinderella." Balasnya sembari tersenyum lebar.

Bagus Itachi. Dia akan dapat pelajaran dari adik tercintanya.

Aku tersenyum, tidak sanggup untuk memalingkan wajahku dari wajah cantik menggemaskannya. "Oh, kau kenal siapa itu Cinderella?"

Keponakanku mengangguk mantap. "Dia adalah gadis cantik yang menikah dengan seorang Pangeran tampan dari kastil. Paman Sasuke, apakah aku bisa menjadi seperti Cinderella?"

Aku akan berbicara pada Itachi untuk tidak membebaskannya menonton film membosankan dengan cerita omong kosong yang berlebih. Serius. Keponakanku adalah gadis pintar. Ia mudah terpengaruhi dengan hal-hal kecil yang tidak masuk akal.

"Kau tidak perlu menjadi Cinderella. Jadilah dirimu sendiri," jawabku bijak sembari tersenyum. "Kau akan jadi wanita kuat di masa mendatang, Hana. Lupakan Cinderella bodoh itu. Mengerti?"

Hana tampak memikirkan kata-kataku. Hanya beberapa saat sebelum kepala mungilnya mengangguk dan ia segera turun dari jungkat-jungkit untuk menyusul orang tuanya.

Dan aku menjadi yang menyedihkan di sini. Di taman belakang, bersama mainan anak-anak balita. Dan tolong bung, jangan tertawakan aku.

.

.

Makan malam besar berkedok dengan pertemuan keluarga diadakan setiap dua minggu sekali. Entah ide darimana ini berasal, yang jelas aku selalu menghadiri acara ini setiap waktunya. Tidak pernah terlewatkan. Tentunya, karena hidangan yang selalu disiapkan adalah masakan Ibuku. Masakan terlezat tidak ada duanya di dunia ini.

Hana berlari memutari meja makan dengan tawa ketika salah satu dari kami, menggodanya. Aku datang bersama dua sahabatku. Naruto dan Sai. Mereka adalah sahabat popokku. Tidak usah kujelaskan detailnya. Intinya, mereka adalah sahabat yang merangkap menjadi rekan kerja.

Rekan kerja yang menyebalkan.

"Oh, itu Karin!"

Suara lembut Ibuku yang agak keras mampu melunturkan konsentrasiku dari kalkun panggang yang baru saja keluar dari pemanggang. Aku menoleh, melihat apakah Ibuku benar-benar mengucapkan nama itu atau hanya imajinasiku saja.

Dia benar.

Matilah aku.

Sai menyikut lenganku. Ia tampak mengulum senyum mengejeknya namun segera ku tepis dengan delikan tajam.

Karin datang dengan anggun dan stiletto hitamnya tampak mengganggu penglihatanku. Aku mendengus keras-keras, hanya Sai dan Itachi yang mendengar. Mereka melemparkan tatapan penuh iba padaku. Ini adalah hari yang buruk. Benar-benar buruk.

"Halo, semua. Apa aku datang terlambat?" tanyanya dengan lembut.

Aku memutar mata. Memilih untuk menatap lapar pada kalkun panggang ketimbang dirinya.

Naruto berdecak sebelum ia mengalihkan perhatiannya pada sebotol besar anggur yang ada di mangkuk besar berisikan balok es. Ayahku yang tampak mengerti dengan tatapan Naruto segera mengambil botol itu dan membukanya dengan hati-hati agar tidak mencemari meja indah ini.

Ibuku tersenyum hingga matanya menyipit. "Tidak, Sayang. Kami baru saja mulai. Duduklah di mana kau suka." Lalu, ia pergi ke dapur untuk mengambil hidangan lain dibantu Konan, kakak iparku.

Hana datang dan mengambil tempat di samping Itachi. Iris hitam gelapnya memandang Karin dengan pandangan tidak suka sebelum ia berpaling untuk menatap sang Ayah yang menikmati salad sayurnya.

"Papa, siapa wanita itu?"

"Monsters." Jawabku.

Itachi memberikanku tatapan mematikannya yang dibalas dengan senyum menyebalkan dariku. Ini sangat ampuh bagi Itachi untuk tidak sering-sering bermain denganku. Dia harus mengurangi ide gilanya untuk terus mengganggu hidupku. Aku serius.

Hana tersenyum ketika mata bulatnya bertemu pandang denganku. "Dia seperti karakter Ibu tiri Cinderella, Paman. Dia tidak keren."

Aku tersenyum lebar menyetujui kata-kata polosnya. Aku mengulurkan tanganku, memberikannya satu tos cepat ketika ia membalasnya dengan senyum tak kalah lebar.

Oh, gadisku benar-benar menggemaskan.

Itachi tampak merenggut karena tingkah kami berdua. Ia menggendong Hana turun dari kursi dan menyuruhnya untuk kembali ke taman belakang dan bermain di sana.

Ibuku kembali datang dengan hidangan penutup. Ia membuat sepiring besar pudding cokelat dengan saus fla diatasnya. Perutku sudah berbunyi nyaring bagai sirine ambulans ketika piring besar itu mendarat di atas meja dengan indahnya.

"Sasuke Sayang, Mama akan bawakan pudding ini untukmu dan beberapa bahan makanan lain untuk kau bawa pulang. Terakhir Konan berkunjung ke sana, kulkasmu seperti percobaan ilmiah yang berakhir tragis. Aku khawatir padamu." Ibuku berucap setelah ia menarik kursi untuknya duduk.

Ibuku menyayangiku. Tapi ada saat dimana ia benar-benar seperti ingin menendang bokongku.

Aku tersenyum manis. "Terimakasih, Ma."

Karin tampak memperhatikan percakapan kami dengan wajah berbinar ketika tidak sengaja aku meliriknya. Atensinya benar-benar ingin kulupakan. Aku ingin makan malam dengan tenang tanpa adanya suara lembut dibuat-buat darinya. Oh Tuhan, kenapa pula Naruto harus memiliki saudara seperti dirinya?

.

.

Acara makan malam berlangsung khidmat dan tenang. Aku menikmati kalkun panggang buatan Ibuku dengan lahap. Aku merindukan masa-masa seperti ini. Dimana Ibuku memasak dan aku memakan masakannya. Ini tidak seperti diriku dua puluh satu tahun yang lalu saat masih berusia lima tahun. Bung, zaman sudah berubah dan aku sudah beranjak dewasa.

Ibuku mengelap sisa-sisa makanan di bibirnya dengan lembut. Matanya kembali berpaling pada Karin yang sedang meminum anggurnya dengan tenang.

"Karin, bagaimana kabar orang tuamu?"

Karin merona ketika aku juga ikut menatapnya. "Mereka baik-baik saja. Ah, mereka juga menitipkan salam pada kalian berdua."

"Ah, sampaikan salam balasku untuk mereka." Balas Ibuku riang.

Aku memberengut di meja makan dan tetap diam untuk menjaga wibawaku depan orang banyak.

"Karin, bisakah kami berbicara lebih lanjut mengenai pertunanganmu dengan Sasuke bulan depan?" Ibuku melirik ke arahku yang terlihat tidak berselera jika sudah berbicara mengenai pertunangan. Aku hanya membalas tatapannya dengan bahu terangkat dan kembali meminum anggurku dalam kadar banyak.

"Mama, aku sudah punya kekasih."

Bohong.

Jelas sekali berbohong.

Sejak dilahirkan sampai detik ini, aku belum memiliki kekasih. Benar-benar seseorang yang kuanggap sebagai kekasih. Hanya sebatas teman kencan, itu tidak terhitung lagi.

Ibuku memandang terkejut dengan mulut membuka dan mata melotot karena ucapanku. Ayahku juga berkelakuan yang sama, tapi ia tetap menjaga imej-nya depan kami semua. Dan Itachi? Dia hampir memuntahkan kembali zaitun hitam yang sempat tertelan karena kata-kataku.

Lihat 'kan? Aku begitu berpengaruh pada mereka semua. Aku tersenyum bangga pada diriku sendiri yang pandai berdusta di sela-sela seperti ini.

Karin menatapku dengan pandangan tidak terpercaya. Ayolah, bung. Di zaman seperti ini, dia bisa mendapatkan kekasih yang lebih baik dariku. Kenapa pula ia harus bergabung dengan perjodohan konyol ini hanya karena aku dan dirinya sama-sama melajang.

Naruto dan Sai memandangku seolah aku ini adalah mangsa bagi predator buas seperti mereka. Tatapan mereka seolah ingin bertanya apakah aku serius atau aku sedang bercanda.

Sedangkan Konan? Dia terlihat tidak peduli. Bagus, kakak iparku memang kurang peduli dengan sekitarnya. Ia sudah lelah berurusan denganku karena pernah membuatnya hampir menangis waktu itu.

Aku mendengar suara isakan dari sudut meja. Karin tersenyum meskipun ia menahan isakan yang sempat lolos dan terdengar oleh kami semua. Ibuku memandangku tajam seolah ingin memotong-motong tubuhku dan memberikannya pada seekor macan putih yang mereka pelihara di ujung rumah sana dengan kandang besar yang kira-kira berluas sama dengan kamar apartemenku saat ini.

Benar 'kan kataku. Ibuku ingin sekali menendang bokongku saat ini.

Serius bung. Aku bisa mencari kekasih yang lebih dari Karin dari segi segalanya dan mereka akan takjub sekaligus bangga padaku.

"Apa kau serius, Sasuke?" Akhirnya Sai berbicara setelah sekian lama kami terhanyut dalam keheningan mencekam yang mematikan ini.

Aku tersenyum puas. "Tentu saja. Kalian harus melihatnya." Ucapku menggebu-gebu.

Naruto terlihat mengedipkan matanya padaku. Ia kembali pada sisi feminimnya dan entah mengapa aku menyukainya saat seperti ini. Sejak awal, Naruto menjadi pendukung terbesarku untuk menolak perjodohan konyol ini.

Karin tersenyum di sudut meja ketika ia memandangku. Matanya berkaca-kaca dan senyum yang ia tunjukkan adalah sebuah senyum terluka. Aku sering melihatnya di film-film drama milik Sai.

"Baguslah. Sasuke sudah memiliki kekasih. Kita tidak perlu melanjutkan hubungan ini 'kan?"

Aku mengangguk dengan senyum samar namun Ibuku berteriak tidak.

Ayahku berusaha menenangkannya dan acara makan malam ini berakhir tragis. Aku melirik Sai yang tampak lelah dengan drama yang dilihatnya setiap minggu pagi kini terpampang jelas di depannya. Naruto? Ia melanjutkan acara makannya dengan hidangan penutup.

"Karin, tenanglah Sayang. Ini tidak akan berubah cepat. Sasuke hanya bergurau," Ibuku hampir sekarat karena aku. Lalu, ia cepat-cepat melanjutkan, "kita tidak tahu bukan siapa kekasih Sasuke saat ini. Mungkin aku bisa memastikannya sebelum kita mengambil kesimpulan. Kita tidak perlu terburu-buru." Ibuku mengalihkan perhatiannya padaku. Menatapku seperti predator yang mengerikan.

Aku tersenyum sebagai balasan. Ini adalah cara paling ampuh untuk meluluhkan hatinya yang keras bagaikan batu jika di saat seperti ini. Aku menoleh pada kedua sahabatku, berusaha meminta bantuan mereka ketika aku menatapnya untuk meminta bantuan.

Sai memberikan senyum terbaiknya pada Ibuku. "Sasuke benar-benar memiliki kekasih kurasa."

Naruto ikut mengangguk di sampingnya. "Itu benar, Bibi Mikoto. Batalkan saja pertunangannya. Sasuke memiliki kekasih yang akan membuat kita semua mati berdiri."

Ayahku mengerutkan dahinya, mencerna maksud yang dikatakan putra tunggal Minato itu dengan pandangan menilisik.

Habis kau, Naruto.

.

.

Sakura POV

Makan malam kali ini berlangsung khidmat dan tenang. Aku menikmati saat-saat seperti ini dimana kedua orang tuaku tidak berbicara yang bukan-bukan mengenai diriku dan juga seseorang yang duduk di sampingku.

Ibuku menaruh garpu dan pisau secara bersamaan di atas meja makan tanpa menimbulkan bunyi. Makan malam belum sepenuhnya selesai, namun sepertinya ia sudah kenyang.

"Sakura."

Aku memutar mataku untuk menatap matanya. Ia tampak terlihat lebih muda sepuluh tahun dari umurnya saat ini.

Tidak, tidak. Ibuku tidak memakai obat-obatan untuk mempertahankan wajah mudanya. Ia paling anti dengan hal yang berbau obat-obatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. Ia adalah seorang guru yoga yang terkenal. Ibuku juga sering melatih Ibu-Ibu lainnya untuk senam kesehatan. Itu resep utamanya.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyanya.

Aku menarik sudut bibirku, tersenyum. "Berjalan lancar. Aku menikmatinya, Mama. Selalu."

Ayahku ikut tersenyum di sela-sela makan malamnya. Aku menoleh ke arah pria di sampingku yang tampak tenang tidak terganggu dengan obrolan kami.

"Sasori bilang padaku, kalau kau baru saja putus dengan kekasihmu. Apa itu benar?" tanya Ibuku.

Alisku saling bertaut. Tidak memahami apa maksud perkataan dari Ibuku. Lima menit berselang, aku mendengus keras. Menyikut pria di sampingku agak keras hingga membuatnya merintih dan menatapku tajam.

Sial. Dia cari mati denganku.

"Kakak berbohong, Mama. Aku tidak punya kekasih." Jawabku tidak berbohong.

Kini fokus Ayahku berpaling padaku. Ia menatap putri semata wayang mereka dengan pandangan menelisik seolah-olah aku ini menyedihkan karena masih melajang di usiaku yang ke dua puluh empat.

Aku memandang mereka dengan tatapan 'ayolah, ini tidak lucu, serius.' Aku benar-benar terpojok sekarang.

Ibuku berdeham kemudian. "Ini bukan berita yang baik. Kau muda dan cantik, kenapa tidak punya kekasih? Sakura, Sasori saja sudah akan menikah tahun depan. Kenapa kau belum mendapatkan pendamping untuk pesta kakakmu?"

Aku memutar mataku, mendengus bosan. "Mama, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Sasori menikah di musim panas tahun depan. Aku masih memiliki waktu untuk mencari kekasih nanti. Kalian tenang saja." Ucapku berusaha menenangkan mereka.

Ayahku tampak menyetujui kata-kataku. Ia paling tidak bisa melihatku sedih dan terluka. Sejak dulu, dialah yang selalu menjadi pembela nomor satu untukku.

"Kurasa, Rei Gaara cocok untukmu," Ibuku meminum air hangatnya dengan tenang dan tidak memedulikan wajah pucatku. Ia menatapku dari tepi gelas. "Dia tampan dan mapan. Kalian bisa menjadi pasangan yang hebat. Aku akan menemuinya untuk berbicara masalah ini."

"Mebuki," suara Ayahku memecah ekspresi Ibuku menjadi keras saat ini.

Aku menatap Ibuku dengan pandangan tidak percaya. Yang benar saja aku dijodohkan dengan pria semacam Rei Gaara yang notabene adalah 'anak mama sekali' itu? Dia jauh sekali dari kata-kata cocok untukku.

"Ayolah, Mama. Gaara tidak pantas untuk Sakura," Sasori bersuara untuk membelaku. Dia melingkarkan tangannya untuk memeluk bahuku. "Adikku butuh laki-laki kuat untuk melindunginya bukan laki-laki lemah yang setiap masalah datang bersandar pada Ibunya."

Ibuku menatap Sasori tajam lalu bergantian denganku. Makan malam ini jauh sekali dari kata tenang dan khidmat. Ini mengerikan. Aku harus segera pergi dari sini.

"Lalu, siapa yang pantas?" seru Ibuku garang.

Aku menatap Ibuku tidak percaya. Ia benar-benar menginginkan aku untuk melepas status lajangku waktu dekat ini.

Sasori tampak berpikir serius. "Aku belum tahu. Tapi aku akan mencarinya. Mama tenang saja," Sasori mengerti arti tatapanku padanya. Ia menarik sudut bibirnya untukku. "Mama akan menyukainya, percayalah pada anak laki-lakimu ini."

Ibuku mendesah kemudian. Ia menatapku dengan lirih. Pandangan matanya tidak lagi tajam seperti tadi. Ini terasa aneh. Ibuku berubah menjadi melakonlis dalam sekejap mata.

"Sakura, kau sudah menentang kami untuk tidak sekolah kedokteran. Apa kali ini kau ingin menentang keputusan Ibumu lagi?"

Aku berdecak sebal setelah mendengar nada lirih sekaligus menyedihkan yang dibuat-buat oleh Ibuku ini. Ia memang pintar memainkan suasana dan juga menggoyahkan pendirianku.

"Mama, aku tidak bisa." Jawabku final.

Ibuku menghela napas panjang. Ia terlihat lelah jika harus berdebat denganku. "Terserah denganmu saja. Kalau kau tidak memiliki kekasih sampai minggu depan, aku akan menjodohkanmu dengan Rei Gaara. Mama serius, Sakura."

Ibuku pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya. Aku mengusap dahiku kasar dan menatap mata Ayahku yang tampaknya menyerah karena kekeraskepalaan Ibuku benar-benar tidak bisa diruntuhkan lagi.

Hanya tinggal aku dan Sasori yang masih duduk berselimut keheningan di meja makan setelah Ayah meninggalkan kami berdua dalam kebungkaman yang menyesakkan. Aku terlalu lelah untuk memikirkan pasangan yang pantas untukku. Pekerjaan banyak menuntutku untuk melakukan hal yang tidak berkaitan dengan status hidupku. Mereka mengajarkanku untuk tidak terlalu berpikir lebih jauh mengenai pasangan kekasih. Fokus ke pekerjaan akan lebih baik untuk memajukan karirmu. Dan selama tiga tahun ini, aku menurutinya.

"Apa kau ingin membantuku?" Aku menoleh pada Sasori yang memakan hidangan penutup dengan tenang. Bahunya terangkat naik, ia terlihat menyerah sama sepertiku.

"Carikan aku kekasih palsu untuk hal ini. Setidaknya, sampai Mama benar-benar melupakan hal bodohnya untuk menjodohkan aku dengan Gaara," kataku putus asa.

Sasori menoleh, ia mengangkat alisnya. "Kekasih palsu? Kau mulai tidak waras."

"Ayolah, kau punya banyak kenalan laki-laki tampan dan kaya. Mereka mungkin mau denganku dalam waktu tiga empat bulan, Sasori. Aku benar-benar pusing."

Sasori tampak tidak setuju dengan kata-kataku. Ia beberapa kali mengerutkan dahinya, masih berpikir keras mengenai saran konyolku. Namun dua menit kemudian ia mengangguk. Dan aku memeluknya, memberikannya pelukan maut dari adik tercintanya.

.

.

Sasuke POV

Hari ini adalah hari dimana semua kebohongan sialan itu dimulai. Sebenarnya tidak sulit mencari kekasih yang cantik dengan bokong seksi dan payudara berisi. Semua sangat mudah didapatkan dalam satu jentikkan jari saja. Aku mampu melakukannya.

Namun, kali ini benar-benar serius.

Wanita yang kupilih harus melampaui dari Karin sejauh-jauhnya. Karin terkenal dengan reputasi baiknya di kalangan para agensi dan awak media yang meliput tentang kehidupannya sebagai seorang model papan atas terkenal di Inggris. Dia murni berdarah Inggris sama seperti Naruto.

Tapi sekali lagi kutekankan, tidak semuanya yang terlihat baik itu baik. Kalian mengerti maksudku 'kan?

Aku sudah mengenal Karin seluruhnya dari Naruto, yang notabene adalah sepupu terdekatnya. Naruto tidak memiliki hubungan yang baik dengan Karin sejak kecil. Banyak hal yang Naruto ceritakan dan membuatku merasa harus menjauhi wanita itu secepatnya. Namun, Ibuku dengan segala lemah lembutnya menerimanya dengan tangan terbuka lebar dan tidak pernah mendengarkan kata-kata dariku mengenai wanita itu.

Seolah Karin baru saja memberikan mantra ajaib yang mampu membuat Ibuku terpesona padanya dalam sekali bertemu tatap. Aku tidak mengerti dengan semua ini.

Aku belum memperkenalkan secara detail bagaimana kehidupanku yang sebenarnya. Aku terlahir sebagai anak emas dari seorang bankir tersukses di Amerika dan mewarisi sebagian dari kekayaannya untuk diriku sendiri. Itachi juga mendapat bagian, tapi tidak sebanyak diriku. Aku tidak tahu apa yang membuat Ayahku menjadi pilih kasih seperti itu. Yang jelas, Itachi tidak merasa keberatan dengan hal itu.

Konan adalah wanita karir sukses yang mampu bersaing dengannya sebagai seorang wanita. Aku tahu, alasan itulah yang membuat Itachi bertekuk lutut menyerah padanya dan akhirnya mereka menikah dan mempunyai anak manis penawan hatiku.

Beralih pada Sai, dia adalah anak tunggal dari Shimura Danzo. Rekan kerja Ayahku di bidang komunikasi sejak mereka muda. Sai menjabat sebagai manajer utama Perusahaan ini. Aku mempercayakan semua padanya, dia benar-benar bisa diandalkan.

Dan Naruto, dia adalah pengacara sukses, puta seorang Minato yang juga bekerja sebagai pengacara sukses di saat Ayahku masih menjabat sebagai kepala tertinggi Perusahaan. Naruto adalah pengacara yang hebat. Ia satu-satunya pengacara sekaligus teman terbaik di gedung ini selain Sai.

Aku mengakui mereka berdua. Apa itu terlihat menggelikan?

Aku lupa memikirkan calon kekasih pura-puraku sampai suara pintu terbuka membuat tubuhku serasa mati rasa. Aku belum mempersiapkan segalanya sampai Itachi dan Konan datang untuk membuktikan segalanya. Mereka berdua sudah menjadi mata-mata Ibuku sejak malam mengerikan itu.

Sai masuk dengan majalah harian di tangannya. Matanya fokus menatap majalah itu dengan pandangan yang sangat sulit kutebak. Itu adalah majalah dewasa dan jelas saja Sai menyukainya.

"Kau lihat bagaimana cantiknya Yamanaka Ino itu, Sasuke." Sai menunjuk halaman majalah yang menampilkan pose foto Yamanaka Ino dengan pakaian minimnya padaku. Aku hanya mendengus, tapi ia terlihat tidak peduli.

"Aku ingin segera bertemu dengannya. Tapi bagaimana caranya?" Sai terlihat putus asa dan frustrasi secara bersamaan. Aku tersenyum menang, ia mengalami masa yang sulit sama sepertiku.

"Santai saja, bung. Kau akan mendapatkan Ino sesuai harapanmu," kataku menyemangatinya.

Dahi Sai tampak berkerut, ia berulang kali mendekatkan wajahnya pada majalah itu dan menatapnya dengan serius. Aku yang melihatnya hanya mendengus, siapa lagi kalau bukan wanita pirang yang menjadi incarannya sejak satu tahun yang lalu?

"Sasuke," panggilnya.

Aku bergumam kata tak jelas untuk meresponnya.

"Kau masih ingat siapa dia?" tanya Sai ketika ia mengulurkan majalah keluaran terbaru hari ini padaku. Ia menaruh majalah itu di atas meja, memandangku bergantian lalu pada sosok wanita yang menjadi model di majalah itu.

Aku mengusap kedua pipiku tidak percaya. Iris mataku benar-benar melihat jelas siapa sosok wanita yang berpose tak kalah menggodanya dengan Yamanaka Ino di halaman majalah berikutnya.

Sai tersenyum meledek padaku. Ia tampak menang sekarang karena melihat ekspresi terkejut berlebih di wajahku. Aku masih belum percaya apa yang aku lihat. Ini benar-benar suatu keajaiban bisa melihat sosoknya setelah sekian lama.

Pintu ruanganku kembali terbuka lebar. Tanpa mengetuk sebelumnya, aku tahu mungkin saja kali ini Naruto yang datang. Namun aku salah besar. Aku melihat Konan masuk dengan senyum mematikannya dengan Itachi yang mengekor di belakangnya.

Aku pernah katakan pada kalian, aku dan Konan memiliki hubungan yang buruk antar keluarga. Dia kakak ipar yang jahat dan bukan menjadi panutan yang baik untuk malaikat kecilku. Dan Konan jelas-jelas menghajarku dengan tangan kosongnya untuk memberikan pelajaran pada mulut kotorku.

"Halo, Sasuke. Apa kau sedang sibuk?" Konan menarik kursi untuknya duduk dan Itachi melangkah mendekat ke arahku. Konan melirik majalah yang sedang kupegang dan tatapan matanya seolah meremehkanku.

"Majalah dewasa lagi? Tch, Sasuke, kau benar-benar tidak bisa dipercaya."

Benar 'kan? Aku siap berperang hidup dan mati untuk melawan wanita ini. Tidak peduli dengan Itachi yang menjadi bala tentara pendukungnya. Aku memiliki banyak anak buah lainnya untuk membantuku melawannya.

"Ini bukan seperti yang kau bayangkan," kataku kalem. Aku mencoba menjadi baik kali ini.

Konan mengangkat alisnya. "Lalu?"

Menghela napas panjang, aku beralih menatap Itachi yang tidak sabar untuk melihat isi majalah dewasa itu. Aku benar-benar tidak tahu kalau Itachi bisa menyembunyikan semua ini dari Konan secara baik.

"Ada kekasihku di sini." Jawabku santai.

Sai mengangkat alisnya. Mulut Itachi terbuka lebar dan Konan … yah akhirnya wanita itu ikut menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia benar-benar terkejut.

"Aku kira kau hanya bercanda, Sasuke. Kau serius ternyata." Konan menggelengkan kepalanya tak percaya.

Aku hanya tersenyum menang karena mampu mengalahkan wanita ini. Itachi berusaha menarik majalah itu dariku dan aku membiarkannya melihatnya.

"Kau serius?" Itachi memandangku bergantian pada majalah itu lalu padaku.

Aku mengangguk yakin.

"Sial, aku tidak tahu kau memiliki hubungan dengan gadis yang pernah kau ejek gendut dulu. Dia benar-benar berubah sekarang."

Konan mengalihkan perhatiannya dariku dan memilih untuk menatap Itachi yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu lalu menarik majalah itu dari tangan suaminya. Melihat dengan jelas siapa wanita yang sedang menjadi topik hangat itu.

"Haruno Sakura?" tanya Konan tak percaya.

Aku hanya menyeringai sebagai jawaban dan membiarkan mereka menebak-nebak sendiri apa yang akan terjadi selanjutnya.

Termasuk kalian juga, bung. Jangan terlalu serius berpikir. Okay?

.

.

.

.

.

Tbc.

.

.

.

.

.

Author Note:

Fic ini totally bakalan kayak outside. Beberapa ada yang masuk ke kotak PM dan minta saya untuk buat fic sejenis Outside namun lebih menantang lagi. Dan begini hasilnya.

Saya gatau berapa chapter fic ini selesai. Doakan aja biar cepat selesai. Dan saya minta maaf karena buat fic lagi. Saya lagi tidak mood bikin OS dan malah nambah utang. Saya memang tidak bisa diharapkan.

Kayaknya kalau dari judul udah ketahuan ya inspirasi terbesar dari lagunya punya siapa.

So, review ditunggu. Haha.

Lots of Love

Delevingne