Disclaimer: bleach punya si tite kubo authoress bosen nih.
Sudah lebih dari satu abad dan tameng hatiku mulai terkikis sedikit demi sedikit. Dulu kupikir aku akan bertahan paling tidak selamanya. Tapi selamanya memiliki arti yang kompleks dan tak dapat diukur oleh apapun.
…………………………………………………………
Aku tertawa tanpa memperlambat shunpo-ku. Sebenarnya aku sudah mencapai batasku dan tidak dapat menambah kecepatan lagi, tapi aku tetap memasang senyum mengejek itu di wajahku. Karena bila ia tahu hanya sampai segini batasku, ia pasti akan mulai meremehkanku.
Dan mungkin saja bisa menjadi lebih cepat dariku. Aku harus menurunkan mentalnya agar dia mempertahankan suatu opini dalam benaknya, 'Yoruichi lebih cepat dariku dan aku harus terus berlatih agar dapat melampauinya',"
Silahkan saja, Byakuya bodoh, karena opini tersebutlah yang menahanmu. Siapa juga yang peduli.
"Hei, Byakuya kecil, masih kuat nggak?"
"Tentu masih! Awas saja kalau kau sudah berhasil kutangkap, akan kuberitahu ayahku supaya aku diberi lebih banyak manju darimu saat minum teh!"
"Coba saja." Aku mengguakan sisa kekuatanku untuk melesat bersembunyi dalam sebuah gua dibalik air terjun. Byakuya takkan dapat menemukanku disini, dan besok pasti ia akan marah-marah seperti kakek-kakek tua.
Aku duduk di batu dingin berlumut. Mengatur nafas.
Besoknya kami bertemu lagi. Kutunggu sampai ia akan mulai meledak-ledak marah berkata aku curang dan meminta tanding ulang. Wajahnya menunduk. Aku tak dapat melihat ekspresinya karena rambutnya. Lain kali aku harus memotong rambut itu.
Sebentar lagi… tiga, dua, satu.
Tapi ia diam saja.
"Byakuya? Marah ya kemarin kutinggal? Makanya latihan agar paling tidak bisa sedikit menyamaiku. Eh, tidak mungkin sih ya." Aku memasang senyum yang biasanya seperti korek api penyulut kembang api.
"Yoruichi bodoh. Kemarin kemana sih?"
Ia mengangkat wajahnya. Tapi aku sama sekali tidak menemukan kemarahan disana.
"Ada deh, tempat persembunyianku."
"Kucari-cari sampai malam, kukira kau hilang atau terjatuh atau kenapa-napa."
"Hei, hei, kau meremehkanku?"
"Iya. Mengapa? Tidak senang? Kucari ke rumahmu kata bibi kau belum pulang. Kucari ke kantormu dan Soi Fon malah memarahiku."
"Aku bukan anak kecil lagi, Byakuya kecil. Aku cuma beristirahat sebentar di air terjun."
"Sampai larut malam?"
Err, mungkinkah aku tertidur? Aku tidak ingat.
"iya."
"Terserah kaulah. Yoruichi?"
"Apa sih?"
"Jangan menghilang lagi ya."
Apa katanya?
"Nanti aku nggak punya temen yang bisa digangguin lagi." Ia tersenyum. Aku lega. Kupikir ia berubah menjadi alien sok melankolis yang membuatku membenci laki-laki.
"Iya saja deh."
"Janji?"
"Janji."
………………………………………………………………………………..
Dan itu menjadi kenangan terakhirku akan seireitei. Hari terakhirku. Karena di hari yang sama aku membuat janji penting itulah aku melanggarnya. Bukan hanya melanggarnya, tapi jauh lebih parah lagi, kalau ada kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.
Dan hari ini aku akan kembali. Memunguti kembali semua yang telah kutinggalkan dan menyusunnya sepotong demi sepotong. Aku hanya berharap tak ada potongan yang hilang.
Aku takut. Berhadapan kembali dengan ayah dan ibu. Entah apa reaksi mereka nanti. Menangis dan memelukku? Memarahiku seperti saat dulu aku terlambat pulang? Atau tak sudi menatapku, apalagi menganggap aku sebagai bagian dari keluarga?
Berhadapan kembali dengan Soi Fong. Dulu ia begitu memuja dan menyayangiku. Tapi aku sudah melukainya, dan sekuat apapun aku berusaha mengerti rasa kecewanya, aku tak akan pernah mendekati rasa itu.
Satu lagi yang paling kutakuti adalah dia. Aku tak punya bayangan akan seperti apakah reaksinya, enough said.
………………………………………………………………….
Seireitei saat malam memang indah. Selalu indah. Sudah banyak yang berubah tapi masih jelas terasa di hatiku. Rasanya seperti saat kau sudah lamaaa sekali berpergian dan menginap di berbagai hotel, lalu suatu hari mendapati mobilmu berhenti dan kau sudah berada di depan pintu rumahmu.
Aku berdiri agak jauh dari rumahku. Di dahan sebuah pohon rindang. Dulu pohon besar ini belum ada, tapi waktu seratus tahun tidaklah singkat. Yang dulu belum ada menjadi ada, dan yang dulu ada menjadi tak ada.
Rumahku malam ini ramai sekali. Aku teringat, hari ini hari dimana pesta dansa besar sedang diselenggarakan, pesta sepuluh tahun sekali.
Mungkin besok atau lusa saja aku pulang. Aku hanya ingin bertemu ayah dan ibu. Hanya untuk mengucapkan selamat tinggal dengan pantas, bagaimanapun juga merekalah yang dulu merawatku.
"Hei." Suara itu dalam. Dingin. Mematikan. Tapi aku tahu siapa pemiliknya. Mati aku.
Aku terdiam. Apalagi saat aku dicengkram dari belakang. Kuat.
"Mau lari lagi, putri?"
"Tidak, pangeran kecil."
"Kau pikir aku kecil?"
"Iya."
"Bodoh."
Kami terdiam. Apakah itu suara angin atau nafasnya? Entahlah.
"Kenapa kembali?"
"……."
"Ingin bertemu dengan paman dan bibi? Dengan Soi Fon? Kau tahu, akibat kepergianmu, seireitei tidak pernah lagi kembali menjadi normal. Ayahmu mati-matian mempertahankan harga diri keluarganya di depan publik, ibumu jatuh sakit dan hampir tidak terselamatkan, kalau saja Unohana senpai tidak mengobatinya selama tiga hari tiga malam tanpa istirahat. Soi Fon, sekarang sudah berkembang menjadi jauh lebih kuat, tapi lihat, hatinya mati. Bawahanmu, hampir semuanya meninggalkan organisasi, dan kami harus setengah mati mempertahankan eksistensi militer rahasia. Kau puas sekarang?"
"Maaf."
"Hanya maaf?"
"Boleh aku bertanya sesuatu?" pertanyaan ini sudah gatal ingin melompat keluar dari ujung lidahku, "apa akibat kepergianku terhadapmu?"
Hanya terdengar suara desis angin.
"Sadarkah kau sudah menngingkari janji kita?" akhirnya ia memilih melontarkan pertanyaan, alih ali menjawab.
"Ya."
"Mengapa?"
"Karena Kisuke butuh pertolonganku saat itu."
"Oh."
Cengkraman di tubuhku melonggar dan terlepas. Ia sudah pergi.
………………………………………………………………………………
R&R yaaa kalo dapet banyak review ntar authoress lanjutin deh abis bingung mau gimana endingnya.
Mendingan jadi cerita pendek atau sekalian panjang?
Authoress pribadi sih pengennya pendek haha.
Saya sangat suka oneshot.
Tapi pengen juga sih sekalisekal bikin yang rada panjangan.
