Aku sudah lelah berharap. Mati.
Kaki tiada lagi berderap.
Jantungku berhenti berdengap.
Ma…

.

Ti.


Dialog Tepi Jembatan

Oleh: DeBeilschmidt

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
This story is a non-profit work.


"Aku tidak akan melakukan itu kalau jadi kau."

Kalimat itu masuk ke dalam pendengarannya. Diam dan sepelan hembus angin. Namun, perbuatan sederhana demikian pun mampu menghentikan gerak, membuat pemilik sepasang mata warna granit membisu. Ia tidak menoleh, bahkan tidak mengerling. Cukup diam, menatap sungai perenial (1) mengalir pelan di bawah sana.

Distraksi, sangat boleh untuk diabaikan.

"… Kau mau mati di air bau?"—rupanya suara bariton itu kembali menyusup, membuat ia gatal untuk mendengarkan—"Tercampur dengan limbah, tahi, pipis?"

Barulah pada kali ini ia berhenti. Masih—ia masih bisu, tetapi pertanyaan barusan terasa seperti belenggu. Hanya satu kejijikan sederhana; mempertanyakan kelayakan satu entitas manusia untuk mengakhiri hayat dalam kenistaan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menamparnya kembali ke kenyataan.

Barulah, pada kali itu ia mencerling.

Kala safir bertemu granit—hore, sesama batuan beku! (2)—dan ebonit bertemu emas pucat, dari sudut mata bisa ia tangkap bahwa orang itu tersenyum simpul. Penuh arti. Walau komentar yang keluar cukup sederhana, tetapi ia tahu bahwa kurva miring itu memiliki makna. Seolah dia yakin bahwa si pendek akan menoleh.

"Apa—"

"Hah…." Dirinya tahu bahwa orang yang tengah tersenyum itu akan kembali berkomentar. Itulah mengapa ia menghela napas. (Sebutlah, interupsi.) "Sudah ada yang bilang kalau kau itu kelewat suka ikut campur?"

Tawa pelan lolos dari mulutnya. Terkejut, tentu saja, siapa sangka akan ada tawa dari seseorang yang baru saja membuatnya gagal bunuh diri? "Belum," jawaban singkat terucap, "Dan namaku Erwin Smith. Kau?"

"…."

Bahkan dalam hati ia sempat berpikir: "Apakah orang ini normal?" Semua pertanyaan irasional dan interupsi tak berguna itu telah berhasil membuatnya urung meloncat. Tidak jadi mati terbawa arus sungai Thames yang bau. Selamat, Erwin Smith. Selamat!

Maka diputuskannya untuk menjawab pertanyaan Mr. Smith ini. Ha.

"Namaku…."

Levi.

Saat ia bisa lepas dari pesona kedua mata Erwin yang sedari tadi memesonanya, Levi menjadi urung mengucapkan dua suku kata yang menjadikannya beridentitas. Baru ia sadar.

"… Pembicaraan ini bodoh."

Erwin di sana hanya tersenyum. "Memang, dan begitu juga aksi bunuh dirimu yang sepi." Tap. Tap. Tap. Langkah kaki mendekat, ia bisa merasakan ada sepasang telapak tangan mencengkeram erat pundaknya, berusaha menarik dengan tenaga implisit. "Apa kau keberatan dengan secangkir espresso?"

"Tidak," Levi menjawab secepat ia menyesali refleksnya yang mengiyakan ajakan Erwin. "Tapi aku lebih suka secangkir teh hitam dingin."

Seharusnya dia yang bayar, jadi biarlah ocehanku terbebar.

.

Ini adalah sebuah metafora
Orde satu tambah satu adalah dua
Tentang interaksi dalam realita
Ketika bunuh diri di kala senja

Aku.
Kau.
Katamu itu tahi. Katamu itu pipis.
Iyakah alegori? Ucapan skeptis?
Kau.
Aku.

Kutanya pada sesapan teh hitam
Karena orang pintar tak pernah menjawab
Hanya berpikir sebab musabab
"Ini, menceracam?"

-end-


Keterangan:
1. Sungai perenial = sungai yang mengalir terus sepanjang tahun.
2. Siapa yang baru tahu kalau safir itu termasuk batuan beku selain saya? orz

Afterwords: Dan, hei, maaf kalau ini abal nan nggak jelas. Semoga Anda menikmati. Terima kasih karena sudah membaca dan biarkan saya UTS dengan tenang. #krik Ingat, review bagaikan hujan buatan: mencegah publikasi efemeral, mencangah lompatan plot asal.

Saya bicara apa? Entahlah. Salahkan hidrologi dasar yang rupanya tidak cocok disandingkan Eruri.

040314—rdb