Munich, sebuah kota kecil yang indah, dengan berbagai macam bangunan bergaya Victoria yang berdiri kokoh mencakar langit. Banyak bangunan yang berumur tua, tapi sangat cantik dan artistic. Walau begitu, kota ini juga cukup modern, dan tak ketinggalan mode. Perpaduan harmonis antara budaya asli yang sudah berumur ratusan tahun, dengan style modern yang kekinian, merupakan seni luar biasa yang diciptakan oleh orang-orang Munish. Masyarakat di kota ini juga ramah, sehingga aku bisa beradaptasi. Yah walaupun sesungguhnya aku masih mengalami shock culture, tapi aku bisa mengatasi semuanya.
Hari ini, aku akan menyerahkan CV ku pada salah satu toko kue. Aku melihat lowongan pekerjaannya di koran, dan tak ada salahnya mencoba melamar. Tapi sepertinya toko itu toko yang kecil dan kurang terkenal, karena beberapa orang yang kutanya mengenai toko itu, mereka tak ada yang tahu.
Oya, aku belum memperkenalkan diriku. Aku Petra Ral. Umurku 20 tahun, dan baru saja lulus dari sekolah tata boga. Aku datang ke Jerman dan menginjakkan kaki ke kota Munish, hanya karena ingin mencoba belajar di tempat baru yang sama sekali tak kukenal. Yup, aku tinggal sendirian disini, tepatnya di apartemen kecil yang murah. Ayahku, kutinggalkan Ia di Wheels, bersama dengan anjing kecilku.
Aku menyusuri jalan setapak di pinggir jalan, mengitari barisan rapi pertokoan disana. Sambil memegang secarik kertas yang berisikan alamat toko kue itu, aku mendongakan kepala sambil membaca semua plang toko.
"Freiheit Cake", gumamku dalam hati, sambil mencari plang toko dengan tulisan serupa. Aku mengerutkan alisku, sambil menggaruk rambut vermilionku yang tidak gatal. Aku sama sekali tak menemukannya. Dimana letak toko itu? Aku hampir menghabisi jejeran pertokoan, tetapi sama sekali tak menemukan satupun toko dengan nama aneh Freiheit Cake.
Di ujung jalan, aku melihat dua orang ibu-ibu dengan tangan penuh tas belanjaan—sepertinya habis belanja keperluan dapur—bersama anak-anak mereka yang masih kecil, sedang mengintip bagian dalam salah satu toko dibalik pintu kaca toko tersebut. Wajah mereka tampak kebingungan, dan saling berbisik-bisik. Mereka bergumam, "ini toko kue, ya?" dengan penuh keraguan. Tapi tak lama, mereka berlalu.
Rasa penasaranku kemudian terusik, dan menghampiri toko tersebut. Sepertinya toko itu sedang buka, tapi sangat sepi dan gelap. Tak ada siapapun di meja kasirnya. Tak ada musik klasik yang mengalun di speakernya. Aku dapat merasakan hawa yang suram. Tidak, ini seperti sedang tutup, bahkan seperti sudah digusur. Tapi, aku melihat jejeran kue yang fresh di etalase tokonya. Sungguh, toko ini benar-benar membingungkan!
Aku melihat ke sekitar toko itu, dan alangkah kagetnya aku, begitu melihat tulisan—sangat kecil bagi ukuran plang toko—bertuliskan Freiheit Cake!
Oh!
Aku menelan ludah. Jadi toko inilah yang kucari daritadi. Sebuah toko kecil yang suram. Terlihat sepi dan tak ada pembelinya. Yakinkah aku bekerja disini? Apakah akan sanggup bertahan? Bagaimana jika pemiliknya brengsek? Bagaimana jika aku tak digaji?
"Tidak, aku lebih baik tidak usah melamar disini," bisikku dalam hati.
Kuputuskan untuk membatalkan melamar kerja di tempat itu. Ah, lebih baik aku melamar di restoran patisserie yang agak besar, dan hidupku akan lebih sejahtera. Aku melangkah mundur, dan berniat untuk pulang. Tetapi, benar-benar nasib yang buruk, tiba-tiba saja kakiku terpeleset dan BRAK! Badanku terhempas ke depan dan menabrak pintu kaca tersebut hingga engselnya lepas, membuat pintu itu jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping!
Ya Tuhan!
Keributan yang kubuat cukup parah, hingga memancing perhatian beberapa orang yang lewat. Mereka memancarkan wajah iba dan prihatin. Aku? Aku masih tersungkur dengan sangat konyol diantara pecahan kaca yang hancur berantakan, menahan sakit, malu, dan takut yang luar biasa. Sungguh, rasanya ingin menangis.
Tiba-tiba saja, dari dalam toko, aku melihat seorang laki-laki dengan pakaian memasak keluar dengan sedikit tergesa dari balik pintu dapur. Lelaki berambut hitam pendek itu sungguh kaget melihat pintu tokonya hancur berantakan. Mata tajamnya melirikku dengan tatapan yang mengerikan.
Aku meringis. "Matilah aku."
Love in Freiheit Cake
Chapter 1 : It's My Big Day! And I Ruined The Glass Door
(Suichi Shinozuka)
Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime
'
'
Enjoy the story!
Aku duduk di salah satu kursi mahoni di dalam sebuah dapur. Kepalaku hanya menunduk. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Dalam hati, aku berusaha sekuat tenaga menenangkan jiwaku yang kini sangat ketakutan. Aku dapat merasakan jantungku berdetak dengan sangat kencang, membuat aku meremas tanganku sendiri yang penuh dengan luka lecet.
Di depanku, tepatnya di seberang meja, sedang berdiri seorang laki-laki yang terlihat masih muda, dengan pakaian masak yang penuh tepung, juga bau vanilla. Kedua tangannya berlipat di depan dadanya, sambil menatapku dengan tajam. Iris abu-abunya yang mengerikan itu, sungguh, aku tak berani menatapnya balik.
Sepertinya dialah pemilik toko Freiheit Cake ini.
"Jadi… kau sebenarnya mau apa?" Tanya lelaki itu. Ia mengibaskan rambut legamnya. Bau keringatnya sedikit tercium, sepertinya ia bekerja keras daritadi.
Aku tambah menundukkan kepalaku. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha meredam rasa takut dan tegangku. Sepertinya usahaku sia-sia, karena bibirku terus mengatup. Aku tak mampu membalas pertanyaannya.
"Kau harus menggantinya, kau tahu," bisik lelaki itu pelan. Kata-kata pelan itu seperti mencubitku, dan membuat perasaanku tambah sesak.
Lagi-lagi aku tak membalas ucapannya. Pria itu melengos.
"Kau mau dipanggilkan polisi?"
Tenggorokanku tercekat. Sungguh, apa yang harus kulakukan? Aku akan dilaporkan polisi? Akan dipenjara? Seperti apa wajah ayah jika mendengar ini? Aku tinggal sendirian disini, dan baru sebulan disini, dan aku sudah melakukan tindakan kriminal? Sungguh, akulah yang terburuk!
Tak terasa, bulir-bulir air jatuh dari pelupuk mataku. "Hiks!" desisku, tak dapat menahan tangisku yang akhirnya tumpah bersama rasa takutku. Iris abu-abu lelaki itu tampak terbelalak melihatku yang malah menangis seperti anak kecil.
Lagi-lagi, ia melengos.
Laki-laki itu melangkah mendekatiku, kemudian menundukkan wajahnya kearahku. Ia melepaskan tanganku yang menutup wajahku dengan pelan, dan mengusap air mataku dengan lembut.
Aku kaget dengan perbuatan lembutnya yang tak terduga.
"Kau hanyalah gadis kecil," ucapnya. Ia mengambil plester luka dari laci dapurnya, dan menempelkan plester itu pada luka-luka di tanganku.
"Ma… maafkan aku, Tuan," ucapku terbata. Sungguh, aku canggung dengan perlakuannya yang baik padaku. Aku benar-benar salah menilainya. Kukira tadi Ia adalah pria yang jahat. Jari-jarinya yang belepotan tepung mengelus lembut telapak tanganku yang sudah tertempel plester. Tiba-tiba, matanya melirik iris oranyeku dengan sedikit tajam. Seketika aku dapat merasakan, pipiku pasti bersemu merah.
"Setelah ini pulang dan beristirahatlah. Lupakan soal pintu itu. Aku juga tak akan melaporkanmu ke polisi. Kita selesaikan saja masalah ini secara personal," ucapnya. Suara beratnya membuatku sangat lega. Aku sangat bahagia!
"Te… Terima kasih banyak, Tuan! Sungguh kebaikan hatimu sangat…" aku tak bisa melanjutkan kalimatku. Aku menangis lagi.
"Tapi, besok kau harus kembali lagi kemari," lanjutnya.
"Eh?"
"Jadilah pelayanku," bisiknya.
Mataku terbelalak. "Eeeh? Ma.. maksudnya?" balasku masih bingung dengan perkataannya yang aneh.
"Aku bilang, kau harus menggantinya, bukan? Ya, kau harus membayar semuanya. Jadilah pelayanku di toko ini," ucapnya. Sangat dingin. Aku dapat merasakan aura hitam yang mengerikan tiba-tiba muncul, dan mengitarinya.
Wajahku seketika membiru.
"Kau tak mau? Jadi kau ingin menyelesaikannya di meja hijau?" ucapnya.
"Aaahh… tidak, maksudku.. bukan itu," aku mulai canggung dan kebingungan. Aku menarik nafas pelan, dan berusaha menenangkan diriku. "A—aku sudah bekerja di restoran patisserie, jadi aku tak bisa…" ucapku berbohong.
Ia menaikkan alisnya. Kemudian, ia pergi mengambil secarik kertas, dan kalkulator. Sekitar 10 menit kemudian, ia kembali dan memberikan kertas itu padaku.
"Kau harus membayar sekian juta," ucapnya dingin.
Tenggorokanku tercekat. "Se—segini banyak kah?!"
Pria bertampang datar itu mengangguk.
Aku meringis melihat angka yang cukup banyak di kertas itu. Aku hanya merusak pintu kaca kan? Apakah pintu kaca semahal ini? Memangnya kaca itu terbuat dari apa? Bebatuan dari pegunungan Himalaya kah?
"Ini tidak masuk akal…" ucapku lirih.
"Hm? Memang segitu, kau tak tahu apa-apa ya?" gumamnya. "Jadi bagaimana? Bisa menggantinya? Kalau tidak, kuberikan kesempatan untuk resign dari tempat kerjamu, dan jadilah pelayanku," ucapnya tegas. Mata abu-abunya itu… seperti sedang menikamku.
Keringat dingin mulai bercucuran. Kutarik lagi ucapanku, laki-laki ini sangat kejam!
Aku menghembuskan nafasku. Sungguh, aku tak punya pilihan lain lagi. Menggantinya dengan uang? Hey, aku pengangguran! Untuk makan saja sudah susah. Terpaksa sudah, aku harus memilih pilihan kedua.
Kepalaku mengangguk dengan berat, seperti ada beton yang terikat di tengkukku.
Melihatku mengangguk, laki-laki itu tersenyum sinis padaku. Sepertinya ia sangat bahagia. Sepertinya ia siap untuk menyiksaku!
Dan disinilah semua ceritaku bermula. Sebuah toko kue tersuram disepanjang kota Munish. Tanpa pembeli, tanpa music klasik yang mengalun, aura hitam memenuhi ruangan, dan segala keburukan yang ada. Mungkin kalian akan mendengar banyak jeritan histeris dan banyak omelan, bersatu padu dengan dengungan mixer yang mengaduk vanilla serta lelehan mentega. Menikmati tikaman dari bosku yang paling jahat sedunia, dengan segala siksaan yang ada. Semuanya hanya ada di Freiheit Cake!
Hai semuanya!
Yup, akhirnya aku menyempatkan untuk menulis fic lagi, yay! Maaf ya kalau gak bisa terlalu rajin nulis. Semua ini akibat dari tugas kuliah yang menggunung *derita mahasiswa
Oke deh, cerita Love In Freiheit Cake ini bakal jadi project besar aku, karena aku merencanakan membuatnya dengan 12 chapter atau lebih, hehehe. Macem sinetron gitu, ada serinya.
Nah, disini karakternya lumayan OOC, soalnya umur Petra kubuat masih muda banget dan labil, juga meletup-letup. Kupikir cocok sama karakter Rivaille yang galak dan dingin *plak. Dan disini, Petra kubuat nggak terlalu feminim dan gak lembut-lembut banget lah. Moga kalian suka ya *sujud.
Oh ya, buat yang kemarin-kemarin pada baca dan nge-review fic ku, aku ucapin, MAKASI BANGEEE Duh, seneng banget bacanya, bener-bener nge-dopping semangatku buat nulis lagi. Tenang aja, walau aku gak bisa bales reviewnya, tapi aku jamahi kok fic-fic kalian 3
Yup, segini dulu deh curhatannya. Makasi ya yang udah baca, sampai ketemu di chapter 2!
~Suichi Shinozuka~
